Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Kamis, 27 September 2007

Terkoyaknya Dunia Peradilan Indonesia


MASA DEPAN PERADILAN INDONESIA
oleh Hani Adhani

Tertangkapnya Irawady Joenoes, salah seorang anggota Komisi Yudisial (KY) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada hari rabu tanggal 26 September 2007, karena menerima uang Rp 600 juta dan 30 ribu dolar AS dalam pengadaan tanah untuk Gedung Komisi Yudisial, (lihat http: http://www.republika.co.id/ ,“KPK: Irawady Joenoes Tertangkap Tangan Terima Suap”, Republik Online, Rabu 26 September 2007, pukul 21.15 WIB) jelas sangat berdampak terhadap semakin terpuruknya dunia peradilan Indonesia. Komisi Yudisial (KY) sebagai salah satu lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Pasal 24B UUD 1945, memiliki kewenangan : "Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim" yang selanjutnya kewenangan tersebut diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Komisi Yudisial (KY) yang genap baru berusia 2 tahun memang pada awal pembentukannya memberikan secercah harapan akan semakin baiknya dunia peradilan Indonesia, yang boleh dikatakan pada saat ini berada dalam ambang keterpurukan. Maraknya mafia peradilan memberikan catatan yang buruk terhadap dunia peradilan Indonesia.
Sejarah Komisi Yudisial (KY)
Sejarah awal mula pembentukan Komisi Yudisial (KY) sendiri berawal pada tahun 1968 dimana pada waktu itu muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim. Meskipun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Tahun 1998 seiring dengan berjalannya roda reformasi, wacana tentang perlu dibentuknya sebuah lembaga yang mandiri yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan eksternal terhadap hakim semakin kuat, ini ditambah dengan adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, demi mewujudkan tercapainya cita-cita peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional. (lihat http: www.komisiyudisial.go.id)
Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, yang diatur dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun beberapa perubahan dan penambahan pasal dalam amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berkaitan dengan Komisi Yudisial adalah sebagai berikut :
▪ Pasal 24A ayat (3) : “Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”
▪ Pasal 24B ayat (1) : “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim”
ayat (2) : “Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela”
ayat (3) : “Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”
ayat (4) : “Susunan, kedudukan dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang”
Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi dasar pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang selanjutnya disahkan pada tanggal 13 Agustus 2004.
Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial (KY)
Pasal 24B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur secara jelas tentang kewenangan Komisi Yudisial (KY) yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, yang selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Untuk melaksanakan kewenangan dalam mengusulkan pengangkatan hakim agung, selanjutnya Pasal 14, pasal 15, pasal 16, pasal 17, pasal 18, dan pasal 19 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial mengatur lebih lanjut mengenai tugas tersebut. Adapun tugas-tugas tersebut diantaranya adalah:
a. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung
b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c. Menetapkan calon Hakim Agung; dan
d. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
Tugas lain yang terkait dengan kewenangan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim, yang selanjutnya diatur dalam pasal 20, pasal 21, pasal 22, pasal 23, dan pasal 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Adapun tugas-tugas tersebut diantaranya adalah :
a. Menerima laporan pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim,
b. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim, dan
c. Membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi yang disampaikan kepada Mahkamah Agung dan tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Pada tanggal 10 Maret 2006, 31 Hakim Agung melalui kuasa hukumnya Prof. Dr. Indrianto Senoadji, SH., dkk., mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam permohonannya, para Pemohon (31 Hakim Agung) menganggap hak dan kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, khususnya yang berkaitan dengan “pengawasan hakim” yang diatur dalam Bab. III Pasal 20 dan Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5) serta yang berkaitan dengan “usul penjatuhan sanksi” yang diatur dalam Pasal 21, Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) dihubungkan dengan Bab. I Pasal 1 butir 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Selain itu Pemohon beranggapan bahwa Pasal-pasal tersebut menimbulkan kerugian pada para Pemohon sebagai Hakim Agung termasuk juga Hakim Mahkamah Konstitusi menjadi atau sebagai objek pengawasan serta dapat diusulkan sebagai objek penjatuhan sanksi oleh Komisi Yudisial dan itu Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa “dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim Agung dan Hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam Undang-undang”.
Akhirnya pada tanggal 23 Agustus 2006, Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menyatakan sebagai berikut : (lihat http:www.mahkamahkonstitusi.go.id)
- Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian;
- Menyatakan:
▪ Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata “hakim Mahkamah
Konstitusi”;
▪ Pasal 20, yang berbunyi, ”Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim”;
▪ Pasal 21, yang berbunyi, ”Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi”;
▪ Pasal 22 ayat (1) huruf e, yang berbunyi, ”Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial: e. membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR”;
▪ Pasal 22 ayat (5), yang berbunyi, ”Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta”;
▪ Pasal 23 ayat (2), yang berbunyi, ”Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a beserta alasan kesalahannya bersifat mengikat, disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi”;
▪ Pasal 23 ayat (3), yang berbunyi, ”Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi”, dan;
▪ Pasal 23 ayat (5), yang berbunyi, ”Dalam hal pembelaan diri ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pembelaan diri ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim”;
▪ Pasal 24 ayat (1), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”;
▪ Pasal 25 ayat (3), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”;
▪ Pasal 25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
▪ Pasal 34 ayat (3), yang berbunyi, ”Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang”, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Menyatakan:
▪ Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata “hakim Mahkamah
Konstitusi”,
▪ Pasal 20,
▪ Pasal 21,
▪ Pasal 22 ayat (1) huruf e,
▪ Pasal 22 ayat (5),
▪ Pasal 23 ayat (2),
▪ Pasal 23 ayat (3), dan
▪ Pasal 23 ayat (5)
▪ Pasal 24 ayat (1), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah
Konstitusi”;
▪ Pasal 25 ayat (3), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah
Konstitusi”;
▪ Pasal 25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
▪ Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah untuk memuat amar putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
- Menolak permohonan untuk selebihnya.
♦ ♦ ♦

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan implikasi terhadap hilangnya kewenangan pengawasan yang selama ini dimiliki oleh Komisi Yudisial. Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa prosedur pengawasan yag diatur dalam UU KY, tidak jelas dan tegas menentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek yang diawasi, instrumen apa yang digunakan, serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan. Hal tersebut menyebabkan semua ketentuan UUKY tentang pengawasan menjadi kabur (obscuur) dan menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dalam pelaksanaannya.
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, UU KY harus segera direvisi sebagai salah satu upaya untuk memperjelas dan mempertegas prosedur pengawasan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial. Sayangnya hingga saat ini revisi UU KY yang seharusnnya dijadikan prioritas, belum jelas arah dan masa depannya.
Masa Depan Peradilan Indonesia
Tertangkapnya anggota Komisi Yudisial (KY), Irawady Joenoes, oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima uang Rp 600 juta dan 30 ribu dolar AS dalam pengadaan tanah untuk Gedung Komisi Yudisial, mengisyaratkan bahwa memang upaya untuk melakukan perbaikan di ranah kekuasaan kehakiman akan semakin sulit.
Dengan tertangkapnya Irawady Joenoes, anggota Komisi Yudisial yang juga menjabat sebagai Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan, Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim, kian makin mempertegas bahwa memang masa depan Peradilan Indonesia sangat jauh dari harapan masyarakat. Upaya untuk memberantas Mafia Peradilan dan Judicial Corruption seolah-olah hanya jadi isapan jempol belaka. Publik dan juga para pencari keadilan akan semakin sinis terhadap dunia peradilan Indonesia.
Patut kita tunggu akan dibawa kemana masa depan dunia peradilan kita. Mudah-mudahan di bulan yang penuh berkah ini, kita selaku warga negara Indonesai yang peduli terhadap peradilan Indonesia tidak berlarut-larut berada dalam kesedihan karena kasus Irawady Joenoes. Masih banyak pekerjaan rumah yang mesti kita kerjakan, biarlah KPK yang diberikan kewenangan untuk memberantas korupsi bekerja dengan maksimal mengusut tuntas kasus Irawady Joenoes dengan tetap menjungjung tinggi azas praduga tak bersalah dengan tetap mengedepankan prinsip ”equality before the law”. Seyogyanya kasus ini bisa dijadikan pelajaran, pemicu semangat dan harapan bagi kita semua untuk selalu bekerja lebih keras serta bersama-sama membangun dan memperbaiki citra peradilan Indonesia.