Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Jumat, 09 Juni 2017

PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT (PKPA) PASCA PUTUSAN MK

Terlampir Opini tentang PKPA yang dimuat di HukumOnline pada tanggal 8 Juni 2017 yang dapat di download di web hukumonline >> http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5938db3148153/pendidkan-khusus-profesi-advokat-pasca-putusan-mk-oleh--hani-adhani





PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT (PKPA)
PASCA PUTUSAN MK
Hani Adhani [1]

            Profesi Advokat adalah profesi yang saat ini sangat diminati oleh para lulusan fakultas hukum. Para fresh graduate sarjana hukum biasanya memiliki ketertarikan untuk menjadi Advokat oleh karena adanya tantangan dalam upaya untuk membantu masyarakat untuk menegakan hukum dan keadilan. Masih banyaknya masyarakat yang buta tentang hukum tentu menjadikan profesi Advokat ini menjadi urgent ada dalam masyarakat. Profesi Advokat adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Tuntutan Jaksa dan Putusan Hakim tentu tidak akan pernah ada tanpa ada gugatan dari para Advokat, oleh karenanya sangat wajar apabila profesi advokat menjadi bagian profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile).
            Seseorang yang telah bergelar sarjana hukum tidak dapat langsung menjadi Advokat. Ada tahapan yang harus dilalui apabila para sarjana hukum ingin menjadi Advokat yang tahapan tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Salah satu tahapan yang harus dilalui oleh para sarjana hukum untuk menjadi Advokat yang diatur dalam Undang-Undang Advokat adalah adanya keharusan untuk mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
            Adanya keharusan untuk mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Advokat telah dilaksanakan oleh organisasi Advokasi baik itu Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ataupun Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang biasa dilaksanakan 1 (satu) sampai 3 (tiga) bulan yang diisi dengan berbagai materi khusus seperti hukum acara, mulai dari pidana, perdata, TUN, agama, MK, hubungan Industrial, niaga, HAM, persaingan usaha dan arbitrase. Selain itu, setiap peserta pelatihan juga diberikan materi mengenai kode etik profesi Advokat, teknik non litigasi serta materi pendukung lainya seperti teknik wawancara dengan klien, penelusuran hukum, dokumentasi hukum, serta argumentasi hukum (legal reasoning).
            Setelah mengikuti PKPA para calon Advokat selanjutnya akan mengikuti Ujian Profesi Advokat yang diselenggarakan oleh organisasi Advokat dan setelah dinyatakan lulus selanjutnya mereka juga diwajibkan untuk mengikuti magang di kantor hukum selama dua tahun secara terus menerus. Kewajiban magang ini memang memberikan kematangan bagi para calon Advokat dalam menangani berbagai kasus yang ada di masyarakat. Apabila diibaratkan seorang pilot, maka pengalaman jam terbang menangani berbagai kasus atau perkara menjadikan patokan awal kemahiran dan kematangan seorang Advokat. Hal tersebut memiliki nilai jual tersendiri bagi karir seorang Advokat yang pada akhirnya menjadikan mereka Advokat yang mahir dan handal dalam menangani berbagai kasus.
            Setelah memenuhi syarat magang barulah nantinya para Advokat ini disumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya dan setelah itu mereka akan mendapatkan kartu tanda anggota Advokat dan dapat mulai untuk menangani kasus sendiri dan/atau dapat pula membuka kantor hukum sendiri. Adanya tahapan yang terbilang cukup sulit tersebut menjadikan profesi Advokat memiliki nilai prestise tersendiri. Apalagi nantinya para Advokat tersebut memiliki keahlian khusus yang tidak dimiliki oleh Advokat lain, maka secara otomatis hal tersebut akan memberikan nilai lebih yang berimbas kepada banyaknya kasus yang akan ditangani.
Putusan MK tentang PKPA
            Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang selama ini dijalankan oleh organisasi Advokat sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Advokat ternyata dalam kenyataannya dianggap melanggar hak konstitusional khususnya bagi Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945.
            Pimpinan Pusat Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia mengajukan permohonan judicial review Undang-Undang Advokat kepada Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengaturan PKPA sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Advokat. Menurut Pimpinan Pusat Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia, seharusnya PKPA yang diselenggarakan oleh organisasi Advokat dilaksanakan dengan bekerjasama dengan perguruan tinggi atau sekolah tinggi hukum. Mereka beranggapan bahwa ada kewajiban dari Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia untuk ikut serta menjaga dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 yang salah satunya adalah dengan menjadikan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kompetensi Strata Satu (S1) yang dihasilkan oleh perguruan tinggi ilmu hukum.

Kamis, 08 Juni 2017

KONSTITUSIONALITAS ANGKUTAN UMUM ONLINE





Terlampir Opini saya yang dimuat di Majalah Konstitusi Edisi 123 Bulan Mei 2017 yang dapat di download di web MK [http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Publikasi&id=2&pages=1&menu=8



KONSTITUSIONALITAS ANGKUTAN UMUM ONLINE

Hani Adhani[1]

            Kisah pilu tentang bentrokan antara pengemudi angkutan online dan angkutan konvensional yang terjadi di beberapa kota di Indonesia jelas sangat mengkhawatirkan kita semua sebagai masyarakat. Fenomena angkutan online ini jelas menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Bagi masyarakat pengguna jasa angkutan umum, adanya aplikasi angkutan online ini jelas sangatlah menguntungkan. Dengan rate harga yang dibawah angkutan umum konvensional dan tingkat trust yang tinggi maka pada akhirnya angkutan online mendominasi dan menyebabkan banyak angkutan konvensional non-online yang tergerus dan gulung tikar.
            Kita masih ingat bagaimana demonstrasi yang dilakukan oleh para supir taksi dan angkutan umum non online di Jakarta yang dilakukan pada bulan Maret 2016 yang pada akhirnya berakhir bentrok yang menimbulkan korban dan kerugian yang tidak sedikit. Tentunya hal tersebut menimbulkan kecemasan bagi masyarakat pengguna jasa angkutan umum online. Pasca tragedi bentrok tersebut, ada perasaan was-was dan takut saat memakai jasa angkutan online baik mobil online ataupun ojek online.
            Kini perusahaan provider angkutan online mulai berekspansi ke kota-kota lain di Indonesia. Hal tersebut jelas di satu sisi akan banyak membuka lapangan kerja bagi masyarakat, tetapi di sisi lain akan membuat angkutan konvensional seperti angkutan kota, taksi, dan ojek biasa tergerus dan gulung tikar. Belum lagi adanya peluang bentrokan yang  akan terjadi seperti halnya yang terjadi di Kota Bogor dan Kota Tangerang antara pengemudi ojek online dan pengemudi angkutan kota. Hal tersebut tentu harus segera di antisipasi oleh negara dalam hal ini Pemerintah baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Peran Negara Dalam Pengelolaan Angkutan Umum
            Lalu bagaimana sebenarnya peran negara dalam pengaturan angkutan umum, khususnya pengaturan angkutan umum online?.