Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Senin, 27 April 2015

Permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) ke Mahkamah Konstitusi


Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh UUD 1945 adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan  "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.***)

Selain itu dalam  Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
"

Lalu siapa saja yang dapat mengajukan sengketa kewenangan lembaga negara tersebut?

Pasal 61 ayat (1) UU 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan,  "Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan".

Bila merujuk pada pasal tersebut maka kita dapat menyimpulkan lembaga negara mana saja yang dapat mengajukan sengketa kewenangan lembaga negara ke Mahkamah Konstiutusi. Bila kita telaah secara seksama maka ada batasan lembaga negara yang dapat mengajukan sengketa yaitu lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

Apabila kita membaca UUD 1945 ada banyak lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 mulai dari lembaga Legislatif (MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota), lembaga Eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota), lembaga yudikatif (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial), BPK, Polri, TNI, KPU, dan Bank Sentral.

Itulah lembaga negara yang secara ekplisit disebutkan dalam UUD 1945 dan memiliki kewenangan yang kewenangannya diberikan UUD 1945.

Lalu yang menjadi pertanyaan kita adalah bagaimana menentukan apakah lembaga negara tersebut memiliki kualifikasi sebagai lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus membaca putusan Mahkamah Konstitusi tentang sengketa kewenangan lembaga negara khususnya dalam pertimbangan hukum terkait kedudukan hukum (legal standing) Pemohon/lembaga negara.

Sebagai contoh salah satu putusan MK tentang SKLN, sebagai berikut:

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 1/SKLN-VIII/2010

 
" KEWENANGAN MAHKAMAH DAN KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
[3.6] Menimbang bahwa salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara (selanjutnya disebut SKLN) yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;

[3.7] Menimbang bahwa Pasal 61 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK) telah menentukan hal-hal yang berkaitan dengan SKLN tersebut sebagai berikut:

a.    Bahwa Pemohon dalam SKLN adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;

b.    Bahwa Pemohon mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan dan menguraikan dengan jelas dalam permohonannya;

c.    Bahwa Pemohon harus menguraikan kewenangan yang dipersengketakan;

d.    Bahwa Pemohon harus menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi Termohon;

[3.8] Menimbang bahwa dalam pelaksanaan kewenangan Mahkamah sebagaimana dimaksud dalam paragraf [3.6] dan [3.7] di atas, Mahkamah telah menegaskan  pendiriannya dalam Putusan Mahkamah Nomor 004/SKLN-IV/2006 tanggal 12 Juli 2006 junctis Putusan Nomor 027/SKLN-IV/2006 tanggal 12 Maret 2007, Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006 tanggal 17 April 2007 dan Putusan Nomor 26/SKLN-V/2007 tanggal 11 Maret 2008. Dalam putusan-putusan tersebut ditegaskan bahwa Mahkamah dalam memutus sengketa kewenangan lembaga negara harus mengaitkan secara langsung pokok yang disengketakan (objectum litis) dengan kedudukan lembaga negara yang mengajukan permohonan, yaitu apakah kewenangan tersebut diberikan kepada lembaga negara yang mengajukan permohonan, sehingga dengan demikian masalah kewenangan dimaksud terkait erat dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang akan menentukan berwenang atau tidaknya Mahkamah dalam memeriksa, mengadili dan memutus permohonan a quo;

[3.9] Menimbang bahwa oleh karena antara kewenangan Mahkamah dan kedudukan hukum Pemohon dalam perkara ini tidak dapat dipisahkan maka   sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan kewenangan Mahkamah dan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan ini. Untuk menilai ada atau tidak adanya kewenangan Mahkamah dan kedudukan hukum Pemohon dalam permohonan a quo, Mahkamah perlu terlebih dahulu menilai apakah Pemohon merupakan lembaga negara yang memiliki kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 (subjectum litis) dan apakah  kewenangan yang dipersengketakan (objectum litis) oleh Pemohon merupakan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945;

[3.10] Menimbang bahwa untuk menilai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan a quo, Mahkamah lebih dahulu menilai apakah Pemohon adalah lembaga negara yang dapat mengajukan permohonan SKLN. Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UUD 1945, menyatakan sebagai berikut:

1)     Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

2)     Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

3)     Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

4)     Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

Pemerintahan Daerah menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 adalah “Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UUD 1945 dihubungkan dengan Pasal 1 angka 2 UU 32/2004, Bupati sebagai Kepala Pemerintah Daerah di tingkat kabupaten bersama-sama dengan DPRD Kabupaten sebagai satu kesatuan mewakili pemerintahan daerah sehingga dianggap sebagai  lembaga negara yang mempunyai kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 yaitu kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di daerahnya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dari sudut subjectum litis, Pemohon, yaitu Bupati Kabupaten Maluku Tengah dan Ketua DPRD Kabupaten Maluku Tengah, adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud UUD 1945 dan memiliki kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Namun demikian, Mahkamah perlu menilai apakah kewenangan yang dipersengketakan oleh Pemohon dalam permohonan a quo, merupakan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. 

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil permohonan Pemohon, objectum litis permohonan Pemohon adalah adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2010 tentang Batas Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat Dengan Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku, tanggal 13 April 2010 yang dalam konsiderans mengingatnya bertolak belakang dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 123/PUU-VII/2009, tanggal 2 Februari 2010, karena masih tetap merujuk pada lampiran II Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat, dan Kabupaten Kepulauan Aru di Provinsi Maluku, padahal Putusan Mahkamah Kontitusi a quo telah mengubah norma yang terkandung dalam Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat, dan Kabupaten Kepulauan Aru di Provinsi Maluku berikut penjelasannya dan Lampiran II tentang batas wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat sepanjang menyangkut Pasal 7 ayat (2) huruf b. Hal itu, menyebabkan batas wilayah Pemohon yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah a quo, sehingga telah menghilangkan sebagian wilayah yang seharusnya merupakan wilayah Pemohon yaitu Kabupaten Maluku Tengah;  

[3.12] Bahwa berdasarkan dalil Pemohon tersebut, persoalan yang dipersengketakan oleh Pemohon adalah penetapan batas wilayah kabupaten yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2010 tentang Batas Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat Dengan Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku, tanggal 13 April 2010, yang tidak merupakan kewenangan Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, kewenangan sebagai objectum litis permohonan Pemohon bukanlah kewenangan Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga tidak merupakan objectum litis dalam SKLN sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 61 UU MK, dan Pasal 2 PMK Nomor 08/PMK/2006. Persoalan yang diajukan oleh Pemohon adalah pertentangan antara Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2010 tentang Batas Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat Dengan Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 123/PUU-VII/2009 tanggal 2 Februari 2010 yang telah mengubah Lampiran Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat, dan Kabupaten Kepulauan Aru di Provinsi Maluku, yang bukan merupakan kewenangan Mahkamah;

[3.13] Menimbang bahwa karena subjectum litis dikaitkan dengan objectum litis permohonan Pemohon bukan merupakan subjek maupun objek SKLN maka menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 61 UU MK juncto Pasal 2 PMK Nomor 08/PMK/2006, sehingga pokok permohonan tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut; "

dari putusan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa meskipun lembaga negara tersebut secara ekplisit sudah disebutkan dalam UUD 1945  akan tetapi yang harus juga ditelaah adalah apa saja kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada lembaga tersebut .
Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi telah memberikan rambu-rambu atau batasan tentang objectum litis dan subjectum litis tersebut, sehingga hal tersebut menyebabkan permohonan yang diajukan Pemohon tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing).
Jadi dapat kita simpulkan bahwa syarat kedudukan hukum (legal standing) dalam sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) adalah syarat utama yang harus terpenuhi khususnya terkait dengan objectum litis dan subjectum litis tersebut. Apabila lembaga negara tersebut tidak dapat menguraikan atau menjelaskan tentang kualifikasi objectum litis dan subjectum litis tersebut maka secara otomatis permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

Cara mengajukan permohonan SKLN
Terkait mekanisme pengajuan sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) telah diatur dalam UU 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan juga Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara.
Adapun tata cara mengajukan permohonan SKLN adalah sebagai berikut: 
Permohonan  diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya (apabila ada kuasa hukum ) yang ditujukan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi. 
Materi permohonan terdiri atas:


  1. Nama dan alamat Pemohon (lampiran surat resmi yang menuktikan bahwa Pemohon adalah lembaga negara). Apabila Pemohon didampingi oleh kuasa hukum, maka harus dilampirkan juga surat kuasa khusus. Yang dimaksud dengan Pemohon dalam permohonan ini adalah lembaga negara yang kewenangannya disebutkan dalam UUD 1945;
  2. Identitas Pemohon, meliputi: Nama Lembaga , Alamat LengkapNomor telepon/faksimili/telepon selular/e-mail (bila ada)
  3. Uraian mengenai permohonan pengujian SKLN (Posita). Dalam posita, Pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang adanya sengketa kewenangan lembaga negara yang telah menyebabkan Pemohon kehilangan kewenangannya. 
  4. Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi: kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai kewenangan Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 dan alasan permohonan mengenai adanya sengketa lembaga negara tersebut. Dalam posita harus diuraikan secara jelas dan rinci.
  5. Hal-hal yang diminta (Petitum). Berisikan uraian mengenai hal yang diminta oleh Pemohon terkait kewenangan lembaga negara yang dipersengketakan.
  6. Daftar alat bukti dan lampiran alat bukti tertulis yang terkait dengan SKLN. Setiap bukti tulisan harus dileges dan dibubuhi materai.
  7. Permohonan tersebut bisa diajukan secara tertulis ataupun secara elektronik melalui media permohonon on line yang ada di web site .



 Contoh Permohonan SKLN :



          Jakarta, ____ Juni ___


Kepada Yth,
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jalan Medan Merdeka Barat
Jakarta Pusat


Hal      :     Permohonan Untuk Memutus Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara


Dengan hormat,


Yang bertanda tangan di bawah ini :

________________, advokat dan konsultan hukum pada ________, beralamat di  _________, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal __________, dengan ini bertindak untuk dan atas nama :

  1. N a m a           :  _____________________
Jabatan          :  ______________________
Alamat            :  ____________________

  1. N a m a           :  _________________
Jabatan          :  _________________
Alamat            :  _________________

Untuk selanjutnya disebut Pemohon [Bukti P-___].

Dengan ini mengajukan permohonan Untuk Memutus Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara terhadap:

_________________ (sebutkan lembaga negara), beralamat di ____________, selanjutnya disebut sebagai Termohon;


Kewenangan Mahkamah Konstitusi

1.    Pasal 24 C ayat (1) amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa ” Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat Pertama dan Terakhir yang putusannya bersifat Final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, Memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran Partai Politik, dan memutus hasil perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

2.    Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ” Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar negara RI Tahun 1945, Memutus pembubaran Partai Politik, dan memutus hasil perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

3.    _____________ uraian tentanng PMK dan juga Putusan MK tentang SKLN;


Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
___________________________________________________________________________________________________________ (uraikan bahwa Pemohon adalah lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 yang kewenangannya juga ada dan diuraikan dalam UUD 1945, uraikan mengenai objectum litis dan subjectum litis seperti dalam putusan MK diatas)

Pokok Permohonan
________________________________________________________________________________ (Uraikan tentang kerugian konstitusional yang dialami Pemohon beserta bukti tertulis yang menggambarkan bahwa Pemohon mengalami kerugian sehingga Pemohon mengajukan sengketa tersebut ke MK)_______________________________________________________________

PETITUM
Bahwa berdasarkan uraian di atas, tindakan-tindakan Termohon yang telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan kewenangan konstitusional Para Pemohon merupakan suatu tindakan inkonstitusional, sehingga Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang bertugas dan berwenang dalam menjaga dan menegakkan konstitusi patut mengoreksi tindakan inkonstitusional  Termohon tersebut.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, PEMOHON memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk memutus sebagai berikut: 
1.        Mengabulkan Permohonan PEMOHON untuk seluruhnya;
2.        Menyatakan _________________________________________;
3.        Menyatakan _________________ bertentangan dengan kewenangan Termohon sebagaimana diatur dalam UUD 1945;
4.        Memerintahkan Termohon   untuk _______________________________;
5.        Memuat Putusan dalam Berita Negara sebagaimana mestinya.

Atau, apabila Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);

Hormat kami,

Kuasa Hukum/Pemohon,

Untuk melihat berbagai contoh format permohonan sengketa kewenangan lembaga negara dapat dilihat dalam beragai putusan Mahkamah Konstitusi tentang SKLN yang ada diwebsite MK >>>>http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1

Tidak ada komentar: