Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Rabu, 29 April 2015

Konstitusionalitas Penetapan Tersangka dalam KUHAP




Pada tangga 17 Februari 2014 salah seorang Karyawan PT. Chevron Pasific Indonesia yang bernama Bachtiar Abdul Fatah mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang diregistrasi dengan nomor 21/PUU-XII/2014 pada tanggal 26 Februari 2014. Dalam permohonannya Bachtiar menyampaikan bahwa sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional atas “pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil” dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menurut Bachtiar selaku Pemohon hak konstitusionalnya tersebut telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 77 huruf a, Pasal 156 ayat (2) KUHAP karena terhadap diri Pemohon telah diberlakukan proses pidana yaitu penetapan Pemohon sebagai tersangka, penangkapan dan penahanan Pemohon dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP; sedangkan Pasal 77 huruf a diberlakukan dalam perkara praperadilan yang diajukan Pemohon dan Pasal 156 ayat (2) KUHAP diberlakukan atas eksepsi yang diajukan Pemohon dalam persidangan perkara pidana atas diri Pemohon.
Pada tanggal 28 April 2015 akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan permohonan a quo dan menyatakan mengabulkan sebagian permohonan Pemohon yaitu terkait dengan frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup”, dan bukti yang cukup dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup”, dan bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan menyatakan Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

Selasa, 28 April 2015

KONSTITUSIONALITAS PIDANA MATI DALAM UU NARKOTIKA



Pada tanggal 18 Januari 2007, dua orang warga negara Indonesia (WNI) yaitu Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani (Melisa Aprilia) dan tiga orang warga negara asing (WNA) Myuran Sukumaran, Andrew Chan, Scott Anthony Rush (ketiganya Warga Negara Australia) mengajukan permohonan pengujian Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap UUD 1945, sebagai berikut:
§  Pasal 80 ayat (1) huruf a, “Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati …”.
§  Pasal 80 ayat (2) huruf a, “Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: ayat (1) huruf a didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana mati …”.
§  Pasal 80 ayat (3) huruf a, “Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati…”.
§  Pasal 81 ayat (3) huruf a, “Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati …”.
§  Pasal 82 ayat (1) huruf a, “Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam hal jual beli, atau menukar narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati …”.
§  Pasal 82 ayat (2) huruf a, “Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di dahului dengan permufakatan jahat, maka terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana mati…”.
§  Pasal 82 ayat (3) huruf a, “Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati …”.
Adapun isu hukum utama yang diajukan oleh para Pemohon adalah hal mengenai pidana mati yang diatur dalam Undang-Undang Narkotika yang menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi pada pokoknya menolak permohonan para Pemohon dan menyatakan bahwa Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a UU Narkotika tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan juga tidak melanggar kewajiban hukum internasional Indonesia yang lahir dari perjanjian internasional sehingga permohonan para Pemohon tidak beralasan. Selain itu, dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah Konstitusi menyarankan agar semua putusan pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) segera dilaksanakan sebagaimana mestinya;
Berikut pertimbangan lengkap Mahkamah Konstitusi dalam menjawab persoalan konstitusionalitas norma tersebut,

Senin, 27 April 2015

Konstitusionalitas Bawaslu sebagai Lembaga Penyelenggara Pemilihan Umum




Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang diketuai oleh Nur Hidayat Sardini mengajukan pengujian UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelengara Pemilihan Umum kepada Mahkamah Konstitusi.
Dalam permohonannya Pemohon menyatakan bahwa sebagai satu kesatuan sistem pemilihan umum (Pemilu) Pasal 22E UUD 1945 secara tersirat menentukan bahwa di dalam satu wadah besar penyelenggaraan Pemilu terdiri dari peserta pemilihan umum, penyelenggara pemilihan umum, dan pengawas pemilihan umum, yang kemudian UUD 1945 memberikan kewenangan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya;
Bahwa UU 22/2007 yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang sebagai penjabaran dari Pasal 22E UUD 1945 menentukan bahwa selain Komisi Pemilihan Umum (KPU) ditentukan juga adanya lembaga pengawas yang disebut Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dimana dalam Penjelasan Umumnya menyatakan, “…Untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum, Undang-Undang ini mengatur mengenai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bersifat tetap”.

Petani Tembakau Gugat UU Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi




Bambang Sukarno perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai petani tembakau yang berasal dari Kabupaten Temanggung, pada tanggal 17 Maret 2010 mendatangi Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan .
Adapun bunyi lengkap pasal yang diajukan judicial review oleh Bambang Sukarno adalah sebagai berikut:
Pasal 113
(1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
(2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.
(3) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan.
Dalam permohonannya, Bambang Sukarno beranggapan bahwa oleh karena ada banyak warga desa di Kabupaten Temanggung yang latar belakang kehidupannya sebagai penghasil tembakau dan cengkeh yang menjadi tumpuan dan harapan serta penggerak roda perekonomian masyarakat Kabupaten Temanggung akan menyebabkan perekonomian masyarakat di Kabupaten Temanggung menjadi lumpuh akibat diberlakukannya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan a quo, menurut Bambang, pasal tersebut akan memunculkan ketidakpastian hukum dan perasaan was-was mengalami kerugian materiil apabila tidak menanam tembakau khususnya bagi para petani dan buruh pabrik rokok di Kabupaten Temanggung;
            Untuk menjawab permasalahan tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam persidangan telah mendengar keterangan dari Presiden dan DPR sebagai pembentuk UU serta Pihak Terkait yaitu Komisi Nasional Perlindungan Anak, Yayasan Jantung Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Perkumpulan Forum Warga Kota Jakarta, dan dr. drh. Mangku Sitepoe, Hakim Sorimuda Pohan, PT. Djarum, PT. HM Sampoerna, PT. Gudang Garam dan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia;

Permohonan Sengketa Pemilukada ke Mahkamah Konstitusi



Pasca Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran terhadap Pasal 18 ayat 4 UUD 1945, yang pada pokoknya menafsirkan  frasa demokratis dalam pasal tersebut artinya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dapat dipilih oleh DPRD ataupun dapat dipilih langsung oleh rakyat, dan keduanya adalah pilihan yang merupakan legal policy dari pembuat undang-undang, sampai akhirnya diundangkan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto UU 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU 32 Tahun 2004. 

Dalam UU Pemda tersebut pembentuk UU pada akhirnya telah menentukan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang umumnya disebut dengan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada). 

Pada awalnya proses penyelesian sengketa Pemilukada tersebut diserahkan kepada Mahkamah Agung, tetapi karena banyak konflik yang terjadi pasca putusan pemilukada tersebut akhirnya pembentuk UU mengalihkan tugas penyelesian sengketa Pemilukada tersebut kepada Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah konstitusi sebagai pengawal konstitusi dan penjaga demokrasi tentunya sudah cukup berpengalaman dalam menyelesaikan sengketa pemilu. Sejak awal MK sudah diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pemilu dan sudah berjalan dan dilaksanakan dengan baik dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2004.

Kini sengketa pemilukada merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari MK. Sejauh ini MK sudah memutus ratusan perkara pemilukada dan hampir semuanya berjalan dengan baik dan sesuai harapan masyarakat. Meskipun ada beberapa perkara yang sejauh ini masih konflik tetapi persentasenya dibawah 5% dan hal tersebut menandakan bahwa MK telah melaksanakan kewenangan tersebut dengan cukup baik.

Permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) ke Mahkamah Konstitusi


Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh UUD 1945 adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan  "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.***)

Selain itu dalam  Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
"

Lalu siapa saja yang dapat mengajukan sengketa kewenangan lembaga negara tersebut?

Pasal 61 ayat (1) UU 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan,  "Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan".

Bila merujuk pada pasal tersebut maka kita dapat menyimpulkan lembaga negara mana saja yang dapat mengajukan sengketa kewenangan lembaga negara ke Mahkamah Konstiutusi. Bila kita telaah secara seksama maka ada batasan lembaga negara yang dapat mengajukan sengketa yaitu lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

Apabila kita membaca UUD 1945 ada banyak lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 mulai dari lembaga Legislatif (MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota), lembaga Eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota), lembaga yudikatif (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial), BPK, Polri, TNI, KPU, dan Bank Sentral.

Permohonan Pengujian Undang-Undang (PUU) ke Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara pemegang kekuasaan kehakiman hasil reformasi memiliki kewenangan yang diberikan oleh konstitusi (UUD 1945).

Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstiusi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 adalah "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, ...... "

Selain itu dalam UU 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi kewenangan tersebut terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) yang menyatakan, "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. ....... "

Kewenangan pengujian UU terhadap UUD 1945 ini adalah kewenangan yang sangat umum dimiliki oleh lembaga Mahkamah Konstitusi di seluruh dunia dengan tujuan agar setiap warga negara dapat menguji sebuah UU apabila ternyata UU tersebut menyebabkan warga negara tersebut mengalami kerugian konstitusional yaitu kerugian terhadap berlakunya sebuah UU yang oleh karena adanya UU tersebut maka hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi menjadi terlanggar atau terabaikan.

Lalu yang menjadi pertanyaan kita adalah kerugian konstitusional yang seperti apa yang dapat dijadikan patokan bagi warga negara untuk mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945?

Kamis, 23 April 2015

Konstitusionalitas Hak Pasien vs Kode Etik Dokter



Pada tanggal 29 Januari 2014 bebrapa orang dokter yang dimpin oleh dr. Agung Sapta Adi, Sp.An., dkk., mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran  (UU 29/2004), yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 66 ayat (3):       “Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan”.
                 Dalam permohonannya dr. Agung Sapta Adi, Sp.An., dkk., menyatakan bahwa sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai dokter yang memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28D dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 merasa dirugikan akibat berlakunya ketentuan Pasal 66 ayat (3) UU 29/2004. Hak konstitusional para Pemohon berupa hak akan kepastian hukum, hak untuk memperoleh rasa aman, dan hak untuk bebas dari rasa takut, telah dirugikan atau berpotensi dirugikan oleh Pasal 66 ayat (3) karena ketentuan a quo mengakibatkan para Pemohon sebagai dokter tetap dapat dinyatakan bersalah oleh pengadilan pidana maupun pengadilan perdata, meskipun oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) para Pemohon telah diperiksa dan dinyatakan tidak bersalah melakukan pelanggaran disiplin.

Rabu, 22 April 2015

Pelarangan Buku Melanggar Konstitusi



Beberapa orang penulis buku, peneliti dan sejarawan mengajukan pengujian UU Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Mengganggu Ketertiban Umum juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
            Dalam uraian permohonannya para Pemohon menyampaikan bahwa para Pemohon sebagai Penulis Buku yang diantaranya berjudul  “Enam Jalan Menuju Tuhan”, dan termasuk dari lima buku yang terkena dampak atas kewenangan Kejaksaan mendasarkan pada Pasal 30 ayat (3) huruf c UU 16/2004, dimana buku yang ditulis Pemohon dilarang oleh Kejaksaan berdasarkan bagian dari penerapan UU 16/2004 dan Undang-Undang Sensor Buku. Menurut para Pemohon sepatutnya dalam UU a quo tidak menghilangkan atau menyerahkan sepenuhnya pelaksanaan Norma Kemerdekaan Mengeluarkan Pikiran Dengan Lisan dan Tulisan (Norma Kemerdekaan Berpendapat) kepada kehendak pejabat yang berwenang, yang mana pengaturan seperti ini jelas bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 sebagai Hukum Dasar.

Hak Politik keluarga mantan aktifis G30 S/PKI



Prof. Deliar Noor, Ali Sadikin, Sri Bintang Pamungkas dan masyarakat yang keluarganya pernah masuk organisasi PKI melakukan pengujian UU 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 15 Oktober 2003. 

Dalam permohonannya Prof. Deliar Noor, dkk., sebagai para Pemohon menyatakan bahwa Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah khususnya frasa “bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung atau pun tak langsung dalam G.30.S/PKI atau organisasi terlarang lainnya" bertentangan dengan UUD 1945 oleh karena Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum adalah cacat berat secara etis sehingga dari segi moral mencemarkan keseluruhan Undang-undang Pemilihan Umum itu sendiri, dan merupakan diskriminasi berdasarkan keyakinan politik. Oleh kerena itu, pasal dimaksud melanggar hak asasi manusia yang terkandung di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang bila diteruskan dan dilaksanakan (enforced) akan melestarikan stigmatisasi kepada sekelompok orang, berarti juga menghentikan secara resmi upaya untuk mereintegrasikan dan rekonsiliasi sebagian warga bangsa ini ke dalam tubuh bangsa yang adalah kewajiban moral dari era yang disebut "reformasi" ini.

Konstitusionalitas Kenaikan BBM Berdasarkan Mekanisme Pasar


Salah satu putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang menjadi milestone adalah putusan dengan Nomor perkara 002/PUU-I/2003 tentang pengujian UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Permohonan tersebut diajukan oleh APHI, PBHI, SNB (SOLIDARITAS NUSA BANGSA), SP KEP - FSPSI PERTAMINA, Dr. Ir. Pandji R. Hadinoto, PE, M.H, pada tanggal 3 Januari 2003 melalui Kuasa Hukumnya: Hotma Timbul H., S.H., Johnson Panjaitan, S.H., Saor Siagian, S.H., dkk., yang telah mengajukan pengujian UU UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ke Mahkamah Agung yang kemudian setelah Mahkamah konstitusi terbentuk perkara tersebut dialihkan dan di terima oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada bulan Oktober 2003.

Dalam urain positanya dalam permohonan tersebut, para Pemohon menyatakan bahwa alasan utama mengapa para Pemohon mengajukan permohonan a quo adalah karena Pertamina, yang selama ini merupakan satu-satunya BUMN yang mengelola sektor migas dan telah memberikan sumbangsihnya bagi bangsa, negara dan masyarakat, bukan hanya karena telah menjalankan fungsi untuk menyediakan bahan bakar minyak dan gas bumi kepada seluruh masyarakat dengan harga terjangkau melainkan juga telah memberikan peran yang besar bagi perekenomian nasional, berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2001 tidak lagi merupakan cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga tidak adanya jaminan dan kepastian bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh bahan bakar minyak dan gas bumi dengan harga terjangkau melainkan juga akan merugikan perekonomian negara, yang pada akhirnya akan mengurangi tingkat kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia;

Tidak Membayar Upah Tepat Waktu Melanggar Konstitusi



Salah seorang pekerja PT. Megahbuana Citramasindo yang bernama Andriyani tanpa didampingi pengacara datang ke Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan:
“Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
...
a.  tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih”;
Dalam permohonannya Andriyani menyatakan bahwa dirinya telah tidak dibayar upahnya oleh perusahaan tersebut selama lebih dari 3 bulan berturut-turut yaitu selama 18 bulan (dari bulan Juni 2009 sampai dengan November 2010) yang seharusnya telah cukup alasan bagi Andriyani untuk mengajukan pemutusan hubunan kerja (PHK). Akan tetapi setelah Andriyani mengajukan PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial (selanjutnya disebut PHI) ternyata ditolak oleh PHI karena perusahaan kembali membayar upah kepada Pemohon secara rutin. Menurut Andriyani, Pasal 169 ayat (1) huruf c tersebut tidak memberikan kepastian hukum apakah dengan pembayaran upah secara rutin oleh pengusaha setelah pengusaha lalai membayar upah secara tepat waktu lebih dari tiga bulan menggugurkan hak Pemohon untuk mengajukan PHK, atau dengan adanya pembayaran rutin oleh pengusaha setelah pengusaha lalai membayar upah secara tepat waktu lebih dari tiga bulan adalah cukup beralasan bagi Andriyani untuk mengajukan PHK, sehingga menurut Andriyani Pasal 169 ayat (1) huruf c UU 13/2003 bertentangan dengan UUD 1945 yaitu

Penyadapan Harus atas Perintah Undang-Undang



Pada tanggal 16 Januari 2010, tiga orang warga negara yang berprofesi advokat dan peneliti mengajukan permohonan pengujian Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Traksaksi Elektronik.
Salah satu isu yang menjadi perdebatan hangat pada saat proses persidangan berlangsung adalah terkait isu penyadapan. Dalam permohonannya para pemohon yang terdiri atas Anggara, S.H., Supriyadi Widodo Eddyono, S.H., dan Wahyudi, S.H., mengajukan pengujian Pasal 31 ayat (4) UU 11/2008 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Menurut para Pemohon ketentuan pasal a quo berpotensi melanggar hak konstitusional para Pemohon, karena  Pemohon I dan Pemohon II sebagai Advokat dilindungi hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya untuk menjalankan profesinya secara bebas dan mandiri sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menyatakan, “Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat”. Pemohon I dan Pemohon II dalam menjalankan profesinya tersebut, melakukan komunikasi dengan klien, di mana komunikasi demikian tidak boleh dilakukan penyadapan. Pemohon III dalam permohonan a quo berprofesi sebagai peneliti Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi, di mana dalam menjalankan aktivitasnya tersebut mengharuskan Pemohon III untuk berhubungan dan/atau mencari beragam sumber baik langsung ataupun tidak langsung. Dalam proses mencari sumber dimaksud, Pemohon III membutuhkan komunikasi melalui beragam sarana komunikasi untuk mencari, memperoleh, mendapatkan, memiliki, menyimpan, meneruskan, penelitian yang akan dipublikasikan ke masyarakat luas.

Konstitusionalitas Hakim Ad Hoc sebagai Pejabat Negara



11 orang hakim ad hoc dari berbagai daerah di Indonesia yang dipimpin oleh DR. Gazalba Saleh, S.H., M.H., dkk., pada tanggal 6 Maret 2014 mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang menyatakan, “Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu: ...
e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;”

Konstitusionalitas Peninjauan Kembali (PK) dan Penangguhan Eksekusi Mati



Dua lembaga swadaya masyarakat (LSM) yaitu Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia  (LP3HI) yang mempunyai kepedulian terhadap proses penegakan hukum pada tanggal 6 Januari 2015 mengajukan permohonan pengujian undang-undang Pasal 268 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan, “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.
                  Dalam permohonannya, para Pemohon yang merupakan badan hukum privat  yang aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi serta melakukan pengawasan, pengawalan, dan penegakan hukum terhadap perkara perdata maupun pidana beranggapan telah dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dan memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dengan berlakunya Pasal 268 ayat (1) KUHAP. Menurut para Pemohon, pasal a quo akan berpotensi merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon yang dijamin oleh UUD 1945 karena memuat norma hukum yang tidak jelas, bias, menimbulkan multi tafsir, menimbulkan ketidakjelasan, perlakuan yang tidak adil, dan perlakuan yang berbeda di hadapan hukum. Dengan berlakunya pasal a quo, para Pemohon sebagai badan hukum privat yang concern terhadap penegakan hukum dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum. Oleh karena itu, menurut para Pemohon pasal a quo telah merugikan hak konstitusional para Pemohon

Selasa, 21 April 2015

Mantan Satpam Mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi




Marten Boiliu, pria kelahiran Kupang, yang berprofesi sebagai satpam di PT. Sandhy Putra Makmur pada tanggal 26 September 2012 mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ke  Mahkamah Konstitusi.
Adapun pasal yang diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi adalah Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan  yang menyatakan, “Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.”
Dalam permohonannya Marten menyampaikan bahwa dia yang pernah bekerja sebagai satpam di PT Sandhy Putra Makmur (PT. SPM) dan telah di-PHK sejak tanggal 2 Juli 2009 berdasarkan Surat Keterangan berakhirnya hubungan kerja Nomor 760/SEKR/01/SPM-02/VII/2009 bertanggal 2 Juli 2009  yang isinya menyatakan Sdr Marten adalah karyawan PT SPM yang bekerja sejak tanggal 15 Mei 2002 sampai dengan tanggal 30 Juni 2009. Atas PHK dimaksud, pihak PT.SPM tidak/belum membayarkan kepadaMareten uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 163 ayat (2) juncto Pasal 156 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan mengenai kewajiban Pengusaha/Perusahaan membayar uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak dalam hal terjadi PHK;

Senin, 20 April 2015

Konstitusionalitas Kewenangan PUPN Dalam Melakukan Restrukturisasi Hutang

 
Tujuh perusahaan yang terdiri atas PT. Sarana Aspalindo Padang, PT. Bumi Aspalindo Aceh, PT. Medan Aspalindo Utama, PT. Citra Aspalindo Sriwijaya, PT. Perintis Aspalindo Curah, PT. Karya Aspalindo Cirebon, PT. Sentra Aspalindo Riau (selaku para Pemohon), yang juga selaku Debitur PT. Bank Negara Indonesia Tbk., pada saat terjadi suatu keadaan yang merupakan peristiwa di luar kekuasaan (force majeure), yaitu terjadinya krisis moneter tidak mendapatkan fasilitas berupa pemberian keringanan kewajiban pembayaran termasuk pemotongan utang (hair cut)
Faktanya, debitur-debitur bermasalah yang tidak kooperatif, yang menyelesaikan kreditnya melalui Lembaga BPPN dan debitur Bank Swasta (Non BUMN) ternyata telah menikmati pengurangan utang pokok (hair cut) hingga mencapai di atas 50% dari utang pokoknya, sedangkan para Pemohon yang direstrukturisasi kreditnya melalui Panitia Urusan Piutang Negara ternyata utang pokoknya semakin bertambah besar. Adanya perbedaan perlakuan tersebut karena masih diberlakukannya pasal-pasal UU 49/1960 terhadap Bankir para Pemohon selaku Bank BUMN. Oleh karena itu, menurut para Pemohon pasal-pasal a quo bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil dan prinsip ekonomi yang dijamin oleh konstitusi;

Konstitusionalitas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi


Pada akhir tahun 2006, tepatnya tanggal 7 Desember 2006, Majelis Hakim Mahkamak Konstitusi (MK) kembali membuat putusan mengejutkan. Putusan itu ialah pembatalan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR. Putusan MK ini menutup salah satu peluang legal penyelesaian pelanggaran berat HAM diluar mekanisme pengadilan. Artinya korban dan keluarganya atas pelanggaran HAM tersebut kembali hanya dapat berharap dengan mekanisme pengadilan HAM ad hoc sebagaimana yang diatur UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Namun, mekanisme hukum ini bukan suatu yang mudah. Hambatan politik di parlemen dan keengganan pemerintah (Jaksa Agung) membuat mimpi tentang proses hukum selalu terpinggirkan.
Sebelumnya pihak pemohon hanya meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji sejumlah pasal dari UU tadi, yang dinilai bertentangan dengan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Para pemohon yang terdiri dari Kontras, Elsam, SNB, Imparsial, LPKROB, LPKP serta sejumlah korban pelanggaran HAM meminta MK menguji Pasal 27 dan Pasal 1 Ayat 9, keduanya soal pemberian amnesti, serta Pasal 44 tentang hak korban menempuh jalur hukum. Sementara Pemohon kedua, Arukat Djaswadi dan KH, M Yusuf Hasyim dengan kuasa hukum Sumali, meminta MK menguji Pasal 1 ayat 1, 2, dan Ayat 5 terkait cara rekonsiliasi.

Jumat, 17 April 2015

Konstitusionalitas Asas Retroaktif menurut Konstitusi (UUD 1945)




Pasca terjadinya tragedi Bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002, salah seorang Terdakwa tragedi Bom Bali yang bernama Masykur Abdul Kadir mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 Menjadi Undang-Undang.

Pemohon, Masykur Abdul Kadir, adalah seorang warga Negara Indonesia yang menjadi salah seorang terdakwa dalam kasus peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang menganggap hak-hak konstitusionalnya dirugikan oleh Undang-undang No. 16 Tahun 2003, yaitu hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Hak untuk hidup hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Padahal, terhadap Pemohon telah diterapkan hukum yang berlaku surut, yaitu Undang-undang No. 16 Tahun 2003, karena terhadap kasus yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 (Peristiwa Peledakan Bom di Bali) telah diterapkan Perpu No. 1 Tahun 2002 yang diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2002.

Dalam permohonannya, Masykur Abdul Kadir beranggapan bahwa Perpu No. 2 Tahun 2002 ditetapkan, diundangkan dan mulai diberlakukan pada tanggal 18 Oktober 2002, yaitu 6 hari setelah terjadinya peristiwa peledakan bom Bali yang didakwakan dilakukan oleh Pemohon bersama-sama terdakwa lain. Sedangkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 disahkan, diundangkan dan mulai diberlakukan pada tanggal 4 April 2003, yaitu 6 (enam) bulan setelah peristiwa peledakan bom Bali yang didakwakan dilakukan oleh Pemohon bersama-sama dengan terdakwa lain. Hal tersebut menurut Pemohon telah secara nyata, jelas dan tak terbantahkan bahwa Perpu No. 2 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 telah ditetapkan, disahkan, diundangkan dan mulai diberlakuakn setelah terjadinya peristiwa peledakan bom yang didakwakan dilakukan oleh Pemohon sehingga pemberlakukan UU tersebut berlaku surut atau menganut asas retroaktif yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28I ayat (1) yang menolak dengan tegas penggunaan asas retroaktif dalam bentuk, waktu dan peristiwa apapun juga yang juga sekaligus sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

                Untuk menjawab isu hukum tentang asas retroaktif atau pemberlakuan surut tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Bahwa terlebih dahulu perlu dibedakan antara pengertian (makna) Undang-undang yang berlaku surut dengan pembenaran (justifikasi) pemberlakuan surut suatu undang-undang. Suatu undang-undang dikatakan berlaku surut jika keberlakuan efektifnya dinyatakan mundur ke belakang, yang berarti mengatur suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang sebelum undang-undang itu diundangkan. Berdasarkan pengertian dimaksud, maka Undang-undang No. 16 Tahun 2003 yang memberlakukan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 yang diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2002 terhadap peristiwa peledakan bom di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 merupakan undang-undang yang berlaku surut (ex post facto law).
Bahwa sebagaimana diuraikan selanjutnya, hingga kini dalam ilmu hukum masih terdapat pro dan kontra terhadap pembenaran (justifikasi) atau penyangkalan terhadap pemberlakuan surut suatu undang-undang. Baik mereka yang berpendapat tidak membenarkan pemberlakuan surut suatu undang-undang yang hingga kini tetap dominan, maupun mereka yang berpendapat membenarkan pemberlakuan surut suatu undang-undang, keduanya pada hakikatnya sama berpendapat bahwa pemberlakuan surut undang-undang merupakan suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan standar perikemanusiaan sebagaimana dinyatakan oleh World Organization Against Torture, USA.
Bahwa  memang ada kelompok pendapat yang membenarkan bahwa dalam keadaan tertentu asas tidak berlaku surut dapat dikesampingkan (non-rectroactive principles dari World Organization Against Torture) dengan mengajukan 6 (enam) alasan (arguments) sebagai berikut :
1.       Argumen Gustav Radbruch, yang menyatakan bahwa suatu perbuatan dapat dihukum walaupun ketika dilakukan perbuatan itu belum dinyatakan sebagai perbuatan pidana (crime), karena asas superioritas keadilan bisa mengesampingkan asas non-retroaktif. Namun, Radbruch tetap meyakini bahwa asas non-retroaktif sedemikian pentingnya, sehingga pengesampingan asas tersebut hanya boleh dilakukan dalam situasi yang sangat ekstrim, seperti yang pernah diterapkan pada rezim Nazi yang telah melakukan tindakan pemusnahan peradaban.
2.       Argumen yang menyatakan bahwa adanya pengetahuan dari pelaku tentang perbuatan yang dilakukannya itu merupakan subyek yang patut dihukum di masa datang, walaupun pada saat dilakukan perbuatan itu adalah legal. Argumen dimaksud menyimpulkan bahwa dalam keadaan apapun asas non-retroaktif tidak bisa digunakan untuk melindungi seorang pelaku yang tahu bahwa perbuatannya adalah salah.
3.       Argumen yang menyatakan bahwa asas umum dari keadilan dapat mengesampingkan keberadaan hukum positif. Suatu perbuatan yang walaupun pada saat dilakukannya bukan merupakan perbuatan pidana menurut hukum positif, dapat diterapkan hukum yang berlaku surut jika perbuatan itu bertentangan dengan asas keadilan yang bersifat umum.
4.       Argumen yang menyatakan bahwa asas hukum internasional dapat mengesampingkan hukum domestik. Oleh karena itu walaupun menurut hukum domestik sebelumnya perbuatan itu tidak melanggar hukum tetapi asas non-retroaktif dapat dikesampingkan karena perbuatan itu melanggar asas hukum positif internasional.
5.       Argumen yang menyatakan bahwa asas non-retroaktif dapat dikesampingkan melalui penafsiran kembali (re-interpretation) hukum yang berlaku sebelumnya. Dengan menggunakan penafsiran kembali terhadap hukum yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan, maka perbuatan yang semula tidak merupakan perbuatan yang dapat dihukum menjadi perbuatan yang dapat dihukum.
6.       Argumen yang menyatakan bahwa perbuatan itu menurut hukum yang berlaku pada saat dilakukannya, sebenarnya telah merupakan pelanggaran yang jelas terhadap hukum yang berlaku saat itu.
Bahwa di samping aliran pandangan yang diuraikan di atas, ternyata sebagian terbesar para sarjana hukum di dunia – dengan memperhatikan perkembangan pandangan sebagaimana tersebut – tetap berpendapat bahwa bagaimanapun juga asas non-retroaktif itu tidak dapat dikesampingkan hanya atas dasar alasan seperti tercermin dalam aliran pandangan di atas. Oleh karena itu, terlepas dari adanya perbedaan pendapat di antara para hakim konstitusi, Mahkamah berpendapat :
1.       Bahwa pada dasarnya hukum itu harus berlaku ke depan (prospectively). Adalah tidak fair, jika seseorang dihukum karena perbuatan yang pada saat dilakukannya merupakan perbuatan yang sah. Adalah tidak fair pula jika pada diri seseorang diberlakukan suatu ketentuan hukum yang lebih berat terhadap suatu perbuatan yang ketika dilakukannya diancam oleh ketentuan hukum yang lebih ringan, baik yang berkenaan dengan hukum acara (procedural), maupun hukum material (substance).
2.       Bahwa asas non-retroaktif lebih mengacu kepada filosofi pemidanaan atas dasar pembalasan (retributive), padahal asas ini tidak lagi merupakan acuan utama dari sistem pemidanaan di negara kita yang lebih merujuk kepada asas preventif dan edukatif.
3.       Bahwa telah menjadi pengetahuan umum bahwa pengesampingan asas non-retroaktif membuka peluang bagi rezim penguasa tertentu untuk menggunakan hukum sebagai sarana balas dendam (revenge) terhadap lawan-lawan politik sebelumnya. Balas dendam semacam ini tidak boleh terjadi, oleh karena itu harus dihindari pemberian peluang sekecil apapun yang dapat memberikan kesempatan ke arah itu.
4.       Bahwa saat ini tengah berlangsung upaya penegakan hukum (rule of law) termasuk penegakan peradilan yang fair. Adapun jaminan minimum bagi suatu proses peradilan yang fair adalah: asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), persamaan kesempatan bagi pihak yang berperkara, pengucapan putusan secara terbuka untuk umum, asas ne bis in idem, pemberlakuan hukum yang lebih ringan bagi perbuatan yang tengah berproses (pending cases), dan larangan pemberlakuan asas retroaktif. Dengan mengacu kepada syarat-syarat minimum tersebut di atas maka Undang-undang No. 16 Tahun 2003 justru berselisihan arah dengan jaminan bagi suatu peradilan yang fair, karena jelas-jelas telah melanggar salah satu syarat yang harus dipenuhi, yaitu pemberlakuan asas retroaktif.
Bahwa sebagai bahan bandingan di negara-negara yang mempunyai sejarah penegakan hukum yang panjang dan mantap, semisal Amerika Serikat, dalam konstitusinya tetap melarang penerapan asas retroaktif sebagaimana termuat dalam Article I Section 9 yang berbunyi : “No bill of attainder or ex post pacto law shall be passed”. Memang hakim dalam putusannya kadang-kadang mengesampingkan larangan itu, tetapi pada umumnya hanya dilakukan dalam perkara perdata. Sementara itu lembaga legislatif tetap memegang teguh asas itu, dan hingga kini tidak pernah mengamandemennya.
Untuk menunjukkan betapa penerapan asas retroaktif sangat tidak diinginkan, dapat dilihat dari kutipan berikut ini:
An ex post facto violation can occur in several ways. No legislative body may pass a law that makes criminal any conduct occuring prior to the passage of the law. Neither may a law redefine a statute to make previous conduct a more serious or aggravated violation. The ex post facto prohibition also precludes retroactively increasing the severity of punishment for criminal conduct. No law may alter evidentiary rules in a way that makes successful prosecution more likely or diminishes any legal prosecutions a person may exercise. In sum, the ex post facto provision prohibits any legislative action that retroactively disadvantages a person in a criminal context. (Ralph C. Chandler et. al “The Dictionary of Constitutional Law page 615”).
Bahwa memang benar asas ini pernah dilanggar ketika mengadili kejahatan perang di Pengadilan Nuremberg. Tetapi sebagaimana dikemukakan di atas, hal itu dilakukan sebagai perkecualian dan dorongan emosional yang sangat kuat untuk memberi hukuman kepada kekejian Nazi, dan setelah pengadilan itu berakhir masyarakat internasional selalu kembali menekankan bahwa asas non-retroaktif ini tidak boleh dilanggar.
Hal ini nampak dari rumusan dalam instrumen-instrumen HAM termasuk yang dibuat setelah itu, seperti berikut ini:
1.       United Nations Universal Declaration of Human Rights, Article 11. (2) No one shall be held guilty of any penal offence on account of any act or omission which did not constitute a penal offence, under national or international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time the penal offence was committed.
2.       European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms and Its Eight Protocols, Article 7 (1) No one shall be held guilty of any criminal offence on account of any act or omission which did not constitute a criminal offence under national or international law at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time the criminal offence was committed. (2) This article shall not prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according to the general principles of law recognized by civilised nations.
3.       United Nations International Covenant on Civil and Political Rights (1966), Article 4 (2) No derogation from articles 6, 7, 8 (paragraphs 1 and 2), 11, 15, 16 and 18 may be under this provision. Article 15, (1) No one shall be held guilty of any criminal offence on account of any act or omission which did not constitute a criminal offence, under national or international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time when the criminal offence was committed. If, subsequently to the commission of the offence, provision is made by law for the imposition of a lighter penalty, the offender shall benefit thereby. (2) Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according to the general principles of law recognized by the community of nations.
4.       4. American Convention on Human Rights. Article 9 : Freedom from Ex Post Facto Laws, No one shall be convicted of any act or omission that did not constitute a criminal offence, under the applicable law, at the time it was committed. A heavier penalty shall not be imposed than the one that was applicable at the time the criminal offence was committed. If subsequent to the commission of the offence the law provides for the imposition of a lighter punishment, the guilty person shall benefit there from.
5.       5. Rome Statute of the International Criminal Court (1998) PART 3. GENERAL PRINCIPLES OF CRIMINAL LAW. Article 22. Nullum crimen sine lege (1) A person shall not be criminally responsible under this statute unless the conduct in question constitutes, at the time it takes place, a crime within the jurisdiction of the Court. (2) The definition of a crime shall be strictly construed and shall not extended by analogy. In case of ambiguity, the definition shall be interpreted in favour of the person being investigated, prosecuted or convicted. (3) This article shall not affect the characterization of any conduct as criminal under the international law independently of this Statute. Article 23. Nulla poena sine lege. A person convicted by the Court may be punished only in accordance with this Statute. Article 24. Non-retroactivity ratione personae, (1) No person shall be criminally responsible under this Statute for conduct prior to the entry into force of the Statute. (2) In the event of a change in the law applicable to a given case prior to a final judgement, the law more favourable to the person being investigated, prosecuted or convicted shall apply.
Bahwa pelarangan diterapkannya asas retroaktif dalam hukum Indonesia telah dianut sejak waktu yang sangat panjang.
1.       Pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) Staatsblad 1847 Nomor 23 berbunyi : “De wet verbind alleen voor het toekomende en heeft geene terug werkende kracht”.
2.       Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Straftrecht berbunyi : “geen feit is straafbaar dan uit kracht van eene daar aan voor afgegane wettelijk straafbepaling (Suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya)”.
3.       3. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, - Pasal 4 berbunyi : "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun". - Pasal 18 ayat (2) berbunyi : "Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya".
4.       4. UUD 1945, Pasal 28I ayat (1) berbunyi : "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun".
Dengan merujuk pada ruh yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Straftrecht yang merupakan asas yang bersifat universal, Prof. Dr. Harun Alrasid, S.H., sebagai ahli, dalam persidangan berpendapat bahwa tidak ada penafsiran lain kecuali bahwa asas non-retroaktif adalah sesuatu yang bersifat mutlak.
Bahwa Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 itu mengukuhkan peraturan perundang-undangan sebelumnya dan menempatkan asas a quo dalam tingkatan peraturan perundang-undangan yang tertinggi (hogere optrekking) pada tataran hukum konstitusional. Constitutie is de hoogste wet ! Negara tidaklah dapat menegasi UUD, karena jika demikian halnya, niscaya konstitusi telah menyayat-nyayat dagingnya sendiri (de constitutie snijdt zijn eigen vlees). Dengan mengacu pula kepada pendapat ahli Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. maka ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berisi kemungkinan untuk melakukan pembatasan hak asasi manusia tidak dapat diberlakukan terhadap Pasal 28I ayat (1), karena adanya anak kalimat (frasa) “dalam keadaan apapun”.
Bahwa dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa semua hak asasi dapat dibatasi, kecuali dinyatakan sebaliknya dalam UUD. Hal ini sesuai dengan kesimpulan Bryan A. Garner dalam Black’s Law Dictionary page 1318 yang menyatakan : “A retroactive law is non unconstitutional unless … is constitutionally forbidden”.
Bahwa terorisme memang merupakan suatu kejahatan yang sangat mengancam, mengerikan dan menyebabkan ketakutan masyarakat, meskipun sampai saat ini belum ada definisi dan pemahaman yang universal tentang apa yang disebut terorisme tersebut. Kecenderungan yang terjadi lebih menekankan One Dimensional Conception on Terrorism, dengan konstruksi gagasan bahwa terorisme secara dominan dan resmi didefinisikan dalam kerangka yang one direction, dalam pengertian bahwa pelaku yang ditunjuk bersifat tunggal, yakni semata-mata non-state actors, sehingga dengan demikian, tindakan terorisme senantiasa dilihat dalam kegiatan yang menurut istilah Johan Galtung (Exiting From The Terrorism-State Terrorism Vicious Cycle : Some Psychological Conditions, 2001) sebagai terrorism from below, seperti yang ditunjukkan dalam definisi terorisme oleh League of Nations Convention, 1937 dan juga Resolusi PBB No. 50/186, 22 Desember 1995. Pada hal, terorisme juga dapat dilakukan oleh negara (state terrorism) dalam bentuk berbagai kekerasan struktural (Michael Tilger, Terrorism and Human Rights, 2001).
Bahwa terlepas dari masih rancu dan kontroversialnya pengertian dan makna terorisme seperti dikemukakan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa segala bentuk terorisme memang harus diberantas, bahkan sampai kepada akar permasalahan dan penyebab awalnya, sesuai dengan harapan yang berkembang dalam masyarakat internasional. Oleh karena itu harus dibuat undang-undang yang memberikan jaminan untuk mencegah, menghindari dan memberantasnya. Undang-Undang dimaksud selain harus memberikan ancaman hukuman yang lebih berat, juga harus menjamin kemudahan bagi proses pengungkapan penanggulangan dan penindakannya.
Bahwa Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang telah cukup memenuhi harapan para justisiabel. Namun Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tidak perlu diberlakukan surut, karena unsur-unsur dan jenis kejahatan yang terdapat dalam terorisme menurut undang-undang dimaksud sebelumnya telah merupakan jenis kejahatan yang diancam dengan pidana berat.
Bahwa pemberlakuan prinsip retroaktif dalam hukum pidana hanyalah merupakan suatu pengecualian yang hanya dibolehkan dan diberlakukan pada perkara pelanggaran HAM berat (gross violation on human rights) sebagai kejahatan yang serius, yang merupakan jaminan terhadap hak-hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights). Sementara itu, yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat menurut Statuta Roma Tahun 1998 adalah kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi; sedangkan menurut Pasal 7 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat adalah hanya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan demikian, baik merujuk kepada Statuta Roma Tahun 1998, maupun Undang-undang No. 39 Tahun 1999, peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 belumlah dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime) yang dapat dikenai prinsip hukum retroaktif, melainkan masih dapat dikategorikan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) yang sangat kejam, tetapi masih dapat ditangkal dengan ketentuan hukum pidana yang ada. Perpu No. 1 Tahun 2002 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 mendapat banyak tantangan, karena secara legal formal digunakannya asas retroaktif sebenarnya tidak dapat diterapkan, sebab terorisme tidak termasuk kategori kejahatan yang bisa diterapkan asas retroaktif (Posisi Paper YLBHI, No. 1, Desember 2002). Apabila terorisme dipandang telah bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), namun ketentuan dan tindakan hukum untuk memberantasnya juga tak dapat mengesampingkan HAM, sebab di Amerika Serikat sendiri terdapat penilaian bahwa Terrorism Law is major setback for civil liberties.
Bahwa selain pertimbangan yang telah dikemukakan tersebut di atas, Mahkamah perlu mempertimbangkan pula perkaitan dan keselarasan antara materi muatan (substansi) normatif yang terkandung di dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2003 dengan bentuk aturan hukum penuangannya. Dengan mengacu kepada teori yang secara umum dianut dalam ilmu hukum, yaitu Stufen Theorie des Recht dari Hans Kelsen, undang-undang sebagai produk legislatif berisi kaidah-kaidah hukum mengatur (regels) yang bersifat umum dan abstrak (abstract and general norms). Undang-undang tidak memuat kaidah-kaidah yang bersifat individual dan konkrit (individual and concrete norms), sebagaimana kaidah-kaidah yang terdapat dalam keputusan hukum yang dibuat oleh pejabat tata usaha negara yang berupa penetapan administrasi (beschikking) ataupun produk hukum pengadilan berupa putusan (vonis). Karena itu, dapat dikatakan bahwa pada pokoknya bukanlah kewenangan pembentuk undang-undang untuk menerapkan sesuatu norma hukum yang seharusnya bersifat umum dan abstrak ke dalam suatu peristiwa konkrit, karena hal tersebut sudah seharusnya merupakan wilayah kewenangan hakim melalui proses peradilan atau kewenangan pejabat tata usaha negara melalui proses pengambilan keputusan menurut ketentuan hukum administrasi negara.
Bahwa Undang-undang No. 16 Tahun 2003 yang berasal dari Perpu No. 2 Tahun 2002 bertanggal 18 Oktober 2002 berisi kaidah hukum berupa pernyataan pemberlakuan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 yang berasal dari Perpu No. 1 Tahun 2002 bertanggal 18 Oktober 2002. Pernyataan pemberlakuan suatu kaidah hukum terhadap peristiwa hukum yang bersifat konkrit tidak tepat, dan karenanya tidak dapat dibenarkan untuk dituangkan dalam bentuk produk legislatif berupa undang-undang, melainkan seharusnya merupakan material sphere pengadilan dalam menerapkan sesuatu kaidah hukum umum dan abstrak. Oleh karena itu, pemberlakuan Undang-undang No. 16 Tahun 2003 untuk menilai peristiwa konkrit, yaitu peristiwa peledakan bom di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 yang terjadi sebelum undang-undang tersebut ditetapkan, bertentangan dengan prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan yang dianut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang dapat dianggap telah melakukan sesuatu yang merupakan kewenangan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sebagai kekuasaan yang merdeka, yang terpisah dari cabang kekuasaan pemerintahan negara yang diatur dalam Bab III ataupun dari cabang kekuasaan pembentukan undang-undang yang diatur dalam Bab VII dan Bab VIIA Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa di samping itu, sekiranya pemberlakuan kaidah hukum oleh pembentuk undang-undang terhadap sesuatu peristiwa konkrit yang terjadi sebelumnya, sebagaimana dengan pemberlakuan Undang-undang No. 16 Tahun 2003 seperti tersebut di atas dibenarkan adanya, atau dianggap konstitusional oleh Mahkamah, maka hal tersebut di masa-masa yang akan datang dapat menjadi preseden buruk yang dijadikan rujukan bahwa pembentuk undang-undang dapat memberlakukan sesuatu kaidah hukum dalam undang-undang secara eksplisit atau expressis verbis terhadap satu atau dua persitiwa konkrit yang telah terjadi sebelumnya, hanya atas dasar penilaian politis (political judgement) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama Pemerintah bahwa persitiwa hukum yang telah terjadi sebelumnya itu termasuk kategori kejahatan yang sangat berat bagi kemanusiaan. Padahal, dalam kenyataannya untuk menanggulangi dan melakukan penindakan terhadap kejahatan dimaksud telah tersedia perangkat hukum yang cukup atau setidaknya belum terbukti bahwa berbagai perangkat hukum yang tersedia tersebut telah dipergunakan secara maksimal dalam upaya menindak kejahatan dimaksud.
Bahwa, melalui putusan Mahkamah, para penegak hukum Indonesia di manapun mereka berada perlu diyakinkan bahwa penindakan terhadap setiap bentuk kejahatan yang terjadi haruslah dilakukan dengan menegakkan hukum (law enforcement) secara adil dan pasti, bukan dengan cara membuat norma hukum baru (law making) melalui pembentukan Perpu ataupun Undang-Undang baru. Apalagi jika ternyata kebijakan legislasi semacam itu didasarkan atas pertimbangan yang bersifat politis (political judgement). Jikalau kejahatan yang terjadi di depan mata, selalu kita hadapi dengan membuat hukum baru, maka niscaya tidak akan pernah ada hukum yang kita tegakkan, karena hukum yang tersedia selalu dirasakan tidak mencukupi. Oleh sebab itu, Mahkamah berpendapat bahwa meskipun pembaruan hukum Indonesia yang menyeluruh dewasa ini sungguh sangat mendesak untuk dilakukan dalam upaya membangun sistem hukum yang makin tertib dan berkeadilan, namun tindakan penegakan hukum secara nyata tidak boleh ditunda-tunda karena pertimbangan bahwa hukum yang tersedia tidak sempurna. Keadilan yang ditunda sama dengan keadilan yang diabaikan (justice delayed, justice denied). Preseden kekeliruan seperti diuraikan di atas apabila dibiarkan dapat merusak sendi-sendi negara hukum, karena membenarkan pertimbangan politik dijadikan sebagai panglima yang paling menentukan berlaku tidaknya sesuatu kaidah hukum ke dalam sesuatu peristiwa yang bersifat konkrit dan membiasakan tindakan yang salah yaitu mengatasi suatu peristiwa kejahatan yang bersifat konkrit dengan membuat hukum baru. Preseden semacam itu akan memperlemah upaya perwujudan prinsip negara hukum sebagaimana yang seharusnya ditegakkan berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang secara tegas menyatakan bahwa ”Negara Indonesia adalah negara hukum”. Padahal, hakikat keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai pelembagaan upaya untuk mengawal konstitusi dan menegakkan prinsip supremasi hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia setelah era reformasi, tidak lain ialah upaya untuk memperkuat perwujudan cita-cita Negara Hukum itu.
Bahwa selain dari kelemahan ditinjau dari segi bentuknya, dan juga kekeliruan dari sudut kewenangan pembentuk undang-undang untuk memberlakukan sesuatu kaidah hukum yang bersifat abstrak terhadap sesuatu peristiwa yang bersifat konkrit, dan karena itu bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan kehakiman yang dianut oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan Undang-undang No. 16 Tahun 2003 tersebut memang ternyata dapat dikatakan sebagai undang-undang yang diberlakukan surut (ex post facto law atau rectroactive legislation) sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.               
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas Mahkamah berpendapat permohonan a quo harus dikabulkan, karena Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 bertentangan dengan ketentuan dan semangat Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, dan oleh karena itu Mahkamah harus menyatakan Undang-undang a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Berikut bunyi lengkap amar Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Perkara Nomor 013/PUU-I/2003 :
M E N G A D I L I
§  Mengabulkan permohonan Pemohon untuk pengujian Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
§  Menyatakan bahwa Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 No. 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4285) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
§  Menyatakan bahwa Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 No. 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4285) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

=============