Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Rabu, 30 Maret 2011

Investasi Masa Depan Buah Hati

Tahun 2006 ketika anak pertama saya lahir, rasa bahagia, bangga dan haru menyelimuti kami sebagai pasangan muda yang genap dua tahun menikah.

Anak pertama kami yang bernama Hanif Muhammad Aqeel lahir dengan kondisi kami yang hidup serba berkecukupan, artinya hanya cukup beli nasi, hanya cukup ngontrak rumah, hanya cukup kredit motor dan tentunya hanya cukup untuk beli susu yang tidak terlalu mahal dan ditambah ASI yang ternyata memberikan manfaat yang luar biasa terhadap tumbuh kembang buah hati kami.

Hidup di Jakarta yang notabene kota Metropolitan memang terbilang boros diongkos, tidak ada yang gratis, semua harus pake doku yang tentunya bila dibandingkan dengan di kampung sangat jauh perbandingannya. Uang makan 15 ribu hanya untuk sekali makan, kalo dikampung tentunya bisa untuk dua kali makan. 

Tapi itu tidak menyurutkan semangat kami untuk terus berikhtiar membesarkan anak kami hingga menjadi anak yang soleh, berbakti kepada orang tua, pintar, cerdas dan tentunya punya masa depan yang lebih baik dari orang tuanya. Tentunya hal itu harus dibarengi dengan semangat jihad mencari rizki yang halal agar bisa membesarkan anak kami dan bisa menyekolahkan anak kami hingga pendidikan yang tertinggi.

Orang tua kami selalu memberikan petuah bijak agar anak kami pendidikannnya harus melebihi apa yang diberikan orang tua kami. Kalo orang tua kami bisa menyekolahkan sampai S1, maka kami berkewjiban untuk menyekolahkan anak kami sampai S2. Cita-cita yang luar biasa, yang tentunya didambakan oleh semua orang tuanya, karena ilmu dan pendidikan adalah warisan yang tidak ternilai harganya dan akan dibawa hingga akhir usia. Selain itu, ilmu dan pendidikan akan selalu memberikan kesuksesan yang lahir dari hasil penimbaan ilmu yang didapatkan dari pendidikan formil ataupun non formil.

Kini, usia anak kami telah menginjak usia 5 tahun dan kami pun Alhamdulilah tidak mengontrak rumah lagi karena sudah mempunyai rumah RSSSSSSS (Rumah Sangat Sempit Sekali Sehingga Saya Sulit Senyum) di pinggiran Ibu Kota Jakarta tepatnya di daerah tangerang. 

Tentunya, di usia yang lima tahun tersebut, seperti lazimnya anak anak sekarang, maka ada semacama keharusan untuk memasukan anak kami ke TK dengan tujuan agar anak kami bisa belajar sambil bermain dan agar anak kami bisa bersosialisasi mencari teman sebaya. Meskipun memang memasukan anak ke TK bukanlah suatu kewajiban, tetapi ternyata saat ini TK adalah semacam batu loncatan agar anak bisa mudah masuk SD, karena ternyata untuk masuk SD ada tes seleksi sehingga untuk memasukan anak ke SD harus lulus tes terlebih dahulu, apalagi bila kita ingin memasukan anak kita ke SD yang favorit.  

Untuk masuk TK pun ternyata biaya yang harus dikeluarkan tidaklah murah, dan itu disesuaikan dengan fasilitas dan tingkat kualitas dari masing-masing lembaga pendidikan. TK dengan tingkat kualitas terbaik tentunya biaya nya juga tidak sedikit karena memang itu sudah disesuaikan dengan fasilitas dan kualitas yang akan didapatkan oleh anak didik, meskipun memang tidak ada jaminan bahwa anak yang disekolahkan di TK yang berkualitas dan mahal akan menghasilkan anak yang cerdas dan pintar karena banyak juga anak-anak yang justru tidak masuk TK malah lebih pintar dibandingkan dengan anak yang masuk TK. Tentunya orang tua mempunyai peranan yang sangat vital untuk mengarahkan anaknya hingga menjadi anak yang pintar, cerdas, pandai dan tahu sopan santun alias tidak nakal berlebihan. 

Bisa dibayangkan bila dengan biaya masuk TK yang mahal, maka yang mungkin jadi pertanyaan kita apakah kita sanggup menyekolahkan anak kita hingga S2? jawabannya jelas ya dan tidak, karena biasanya kalo untuk sekolah anak, orang tua akan mengorbankan apapun agar anaknya bisa sekolah, sungguh sangat luar biasa. Banyak orang tua yang pada akhirnya harus meminjam uang ke Bank demi agar anak nya bisa sekolah atau bisa kuliah, padahal pendapatan bulanan orang tuanya tidak cukup untuk membiayai sekolah anaknya tersebut tapi ternyata pada akhirnya Alloh SWT selalu membantu memudahkan orang tua yang mencari rizki untuk anaknya.

Biaya pendidikan yang mahal memang menjadi semacam PR besar buat bangsa kita, program pendidikan 9 tahun yang katanya gratis ternyata masih belum bisa menyentuh semua kalangan masyarakat karena ternyata meskipun gratis tapi tetap masih ada saja biaya tambahan yang harus dibayar orang tua. Apalagi bila sekolah di swasta, maka 100% orang tua harus siap merogok kocek yang lebih dibanding sekolah negeri.

Lalu bagaimana agar kita bisa mensiasati agar pas anak sekolah kita punya biaya? tentunya menabung adalah bagian yang harus menjadi kewajiban bagi orang tua. Menabung tidak hanya identik dengan Bank tapi juga bisa lewat asuransi pendidikan yang sesuai dengan budget yang kita miliki agar suatu saat bila anak kita masuk sekolah minimal tidak terlalu memberatkan budget yang telah ada. 

Tentunya bila kita bisa berhasil melewati fase itu maka menyekolahkan anak bukanlah pekerjaan sulit, memang perlu kerja keras agar kita selaku orang tua benar-benar bisa memberikan warisan ilmu dan pendidikan untuk anak-anak kita agar mereka memiliki masa depan yang lebih baik dan tentunya lebih menjanjikan. Insya Alloh niat baik akan selalu dimudahkan oleh Alloh SWT, jangan menyerah karena hidup adalah perjuangan tanpa henti-henti.

Kamis, 17 Maret 2011

Cerita tukang Ulen di Pinggiran Istana

Entah kenapa hari ini, ketika melewati trotoar seberang gedung sekretaris negara, ada keinginan yang sangat kuat untuk kembali membeli makanan ringan khas sunda yang bernama ulen, makanan yang dibuat dari beras ketan dan biasanya dibakar kemudian disuguhkan dengan oncom ataupun parutan kelapa goreng. 
Tepat persis di depan gedung BRI depan Gedung Sekneg, abang ulen itu biasanya sudah duduk dengan santainya, ditemani sebatang rokok dji sam soe batangan dan secangkir kopi hitam dengan memakai gelas bekas air mineral. Usia abang tukang tukang ulen ini mungkin sekitar 47 tahun, raut muka yang murah senyum membuat orang sumringah untuk membeli panganan tersebut, meskipun memang ulen tidaklah selaris panganan gorengan tapi tetap saja setiap hari selalu ada orang yang membeli.

Sebulan yang lalu, saya sempat berbincang dengan beliau dan menanyakan tentang pengalaman beliau sebagai penjual ulen dan keuntungan yang didapat setiap hari.
Ulen tersebut dijual dengan harga 2 ribu rupiah, agak mahal memang bila dibandingkan dengan panganan gorengan, karena memang bahan ulen lebih mahal dibanding gorengan.
Abang tersebut bercerita, bahwa setiap hari rata-rata yang membeli ulen nya sekita 5-10 orang saja, dan biasanya membeli dengan jumlah antara 2-4 ulen, bila dihitung rata-rata tiap hari, abang tersebut menjual ulen 20 buah ulen dan bila dikalikan 2 ribu maksimal yang beliau dapat hanya 40 ribu setiap hari, mungkin keuntungan dari ulen itu hanya 10-20 ribu saja dan bila dikalikan 30 hari, maka penghasilan abang tukang ulen tersebut sekitar 600ribu setiap bulannya, dan itu sangat jauh dari UMR Jakarta.

Bisa dibayangkan apa bisa abang tersebut mencukupi kebutuhan hidup keluarganya? jawabannya jelas tidak, pastinya abang tersebut mungkin hanya bisa mencukupi kebutuhan primer saja yaitu makan, dan itupun dengan menu yang sangat sederhana tentunya.
Pagi ini abang ulen tersebut tidak jualan, info dari security Gedung BRI, katanya abang ulen itu dah 2 hari gak jualan dan kayaknya beliau sakit :(

Sedih dan miris saya mendengarnya, bila dia sakit bagaimana dengan anak dan keluarganya? apa mungkin bisa berobat ke dokter?

Kehidupan di Jakarta memang sangatlah keras, bila kita ingin survive maka kita harus siap menghadapi resiko apapun, abang tukang ulen tersebut hanyalah contoh kecil bagaimana susahnya berjuang untuk hidup di Kota Megapolitan ini. Berjuang di Jakarta haruslah dengan menggunakan strategi yang tepat, dan bukan hanya mengandalkan nekad saja, mungkin hidup dikampung atau jadi transmigran akan lebih baik daripada hidup di Jakarta tapi tidak jelas arah dan masa depan.

Negara yang seharusnya menjadi media untuk membuat rakyat sejahtera sudah berpangku tangan, para pemimpin di negeri ini lebih mementingkan isu reshuffle kabinet, daripada memikirkan rakyatnya yang kelaparan.

Itulah sedikit cerita dari tukang ulen di pinggiran istana yang megah :(
Semoga cerita ini menginspirasi kita semua untuk senantiasa membantu sesama dan untuk para pemimpin negeri ini, ya sekali kali tengok lah rakyat mu ini, jangan hanya keluar masuk mobil mewah dan gedung ber AC sementara fasilitas yang anda pakai kami juga yang bayar, betul betul gak tahu malu.