Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Selasa, 27 September 2016

Mahkamah Konstitusi Kabulkan Permohonan Setya Novanto



             


                 Pada tanggal 10 Februari 2016, mantan Ketua DPR RI yang juga politisi Partai Golongan Karya, Setya Novanto mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945. Permohonan tersebut di registrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 Februari 2016 dengan Nomor Perkara 21/PUU-XIV/2016.
                 Dalam permohonannya, Setya Novanto menyatakan mengalami kerugian konstitusional dengan berlakunya undang-undang a quo khusus terkait permufakatan jahat dengan alasan sebagai berikut :
1.    Bahwa Pemohon adalah selaku perseorangan warga negara Indonesia yang juga merupakan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), namun Pemohon dalam mengajukan permohonan ini tidak bertindak dalam kedudukan Pemohon sebagai warga negara Indonesia Anggota DPR RI. Akan tetapi Pemohon bertindak selaku perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak konstitusional yang diatur dalam UUD 1945 yakni hak untuk mendapat pengakuan, jaminan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum, termasuk tetapi tidak terbatas pada proses hukum yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang memberikan kepastian hukum yang adil [Pasal 28D ayat (1) UUD 1945] sebagai ciri dari negara hukum yang mengedepankan hukum dan Undang-Undang [Pasal 1 ayat (3) UUD 1945] yang dilaksanakan secara bertanggung jawab oleh negara demi menjamin terlindunginya Hak Asasi Manusia [Pasal 28I ayat (4) UUD 1945]. Kepastian hukum yang adil yang menjadi tanggung jawab negara dapat tercapai, antara lain, jika proses hukum pidana dilaksanakan berdasarkan aturan hukum yang memenuhi asas kecermatan (lex certa) berdasarkan asas legalitas;
2. Pemohon telah diperiksa tiga kali dalam penyelidikan atas “dugaan tindak pidana korupsi pemufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia”. Pemberitaan berbagai media diketahui seolah-olah Pemohon bersama dengan orang lain dianggap telah melakukan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Pasal 15 UU 31/1999 seharusnya Kejaksaan Agung melihat apakah Pemohon memiliki atau tidak memiliki kualitas yang dipersyaratkan Pasal 15  mengingat beberapa tindak pidana korupsi yang dirujuk oleh Pasal 15 adalah delik-delik kualitatif yang mensyaratkan kualitas tertentu. Oleh karena Pemohon tidak mempunyai kualitas sebagai subjek delik, baik sebagai Pemerintah yang berwenang untuk memperpanjang PT. Freeport Indonesia (PTFI) maupun sebagai pengurus PTFI, maka seharusnya proses hukum terhadap Pemohon tidak dilanjutkan. Menurut Pemohon ketidakjelasan makna pemufakatan jahat dalam Pasal 15 UU Tipikor disebabkan Pasal 88 KUHP yang menjadi rujukan makna pemufakatan jahat tidak membedakan antara delik umum yang tidak mensyaratkan kualitas tertentu pada subjek delik dan delik kualitatif yang mensyaratkan kualitas tertentu sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Frasa “tindak pidana korupsi” dalam Pasal 15 UU Tipikor tidak memenuhi syarat lex certa. Ketidakcermatan perumusan pasal ini terlihat dalam frasa “tindak pidana korupsi” yang tidak menyebutkan jenis-jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud karena sebagian delik korupsi tersebut bersifat umum dan sebagian lagi bersifat kualitatif. Perumusan Pasal 15 UU Tipikor tidak memenuhi asas lex certa dan tidak memberikan kepastian hukum yang pada akhirnya tidak memberikan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia sebagaimana yang dialami Pemohon.
3.  Frasa “pemufakatan jahat” dalam Pasal 15 UU Tipikor yang merujuk kepada Pasal 88 Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1946 bila tidak ditafsirkan kembali dan dibiarkan begitu saja, maka kaidah dan norma pasal tersebut tidak dapat memberikan kepastian hukum dan pada akhirnya berpotensi membuka ruang terjadinya pelanggaran hak asasi sebagaimana yang secara nyata dialami Pemohon yang diperiksa berdasarkan Pasal 15 UU Tipikor yang sumir, tidak jelas dan tidak memenuhi syarat lex certa karena Pasal 88 KUHP yang menjadi rujukan tidak memberikan makna yang jelas. Hal ini sangat bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negaralah terutama Pemerintah yang bertanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Negara, dalam hal ini Pemerintah cq Kejaksaan Agung belum dapat melaksanakan tugas tersebut secara bertanggung jawab;
4. Frasa “tindak pidana korupsi” dalam Pasal 15 UU Tipikor seharusnya menguraikan strafbaar (perbuatan yang dilarang) dalam bentuk kalimat definisional atau dengan merujuk kepada pasal tertentu yang merupakan tindak pidana korupsi;
5. Ketidaktegasan dan ketidakcermatan rumusan delik dalam Pasal 15 UU 31/1999 berpotensi menghilangkan kepastian hukum, jaminan dan perlindungan hak asasi setiap orang yang terlibat dalam proses hukum dengan dugaan tindak pidana korupsi. Sebab, tanpa pengaturan yang tegas dan cermat tentang bentuk-bentuk tindak pidana dalam frasa “tindak pidana korupsi” yang diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang a quo, maka fungsi tindak pidana untuk memberikan peringatan yang jelas bagi masyarakat tidak tercapai. Pada akhirnya kepastian hukum menjadi terabaikan.
                 Untuk menjawab permasalahan konstitusionalitas norma pasal a quo, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut :
Pokok Permohonan
[3.8] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan hak/kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 15 Undang-Undang Nomor  31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi, Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14“. Dengan alasan pasal tersebut di atas Pemohon telah diperiksa tiga kali dalam penyelidikan oleh Kejaksaan Agung atas dugaan tindak pidana korupsi pemufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia berdasarkan surat perintah  penyelidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana khusus Nomor Print-133/F.2/Fd.1/11/2015 tanggal 30 November 2015, Nomor Print-134/F.2/Fd.1/11/2015 tanggal 2 Desember 2015 dan Nomor Print-01/F.2/Fd.1/12/2016  tanggal 4 Januari 2016. Terhadap pemanggilan yang dilakukan oleh pihak Kejaksaan Agung tersebut telah diberitakan melalui media massa yang pada dasarnya menyudutkan nama baik Pemohon meskipun sebagian tindak pidana korupsi tertentu adalah delik kualitatif yang memerlukan  kualitas terhadap para pelakunya, pada hal Pemohon tidaklah memiliki kualitas sama sekali seperti yang disyaratkan oleh Undang-Undang baik dalam kapasitas sebagaimana pemerintah yang berwenang maupun sebagai pengurus PT. Freeport Indonesia;
Menurut Pemohon rumusan pasal Undang-Undang a quo tidak cermat, tidak memiliki kejelasan dan ada masalah dengan normanya, tidak menyebutkan jenis-jenis tindak pidana korupsi, pada hal stafbaar-lah yang harus menjelaskan jenis-jenis tindak pidana korupsi  dengan mengacu pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor sehingga Undang-Undang a quo bertentangan dengan konstitusi, bertentangan dengan asas negara hukum, pengakuan, jaminan dan perlindungan  dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945;
Berdasarkan alasan dalam pokok permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Hal yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah:
1.  Apakah benar frasa “pemufakatan jahat“ dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999   sebagaimana telah diubah dengan  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Pemufakatan jahat  adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana“;
2.  Apakah benar frasa “tindak pidana korupsi“ dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14“;
Sebelum Mahkamah mempertimbangkan dua pokok masalah tersebut di atas, terlebih dahulu Mahkamah berpendapat bahwa tujuan utama dari penegakan hukum adalah keadilan. Keadilan merupakan antinomi nilai antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum yang keduanya berjalan seiring tanpa menafikan satu dari yang lainnya. Kepastian hukum merupakan prinsip yang utama dalam penegakan hukum sebab merupakan suatu ukuran bahwa seseorang dapat dihukum karena telah melakukan pelanggaran dan/atau kejahatan. Demikian pula sebaliknya bahwa kepastian hukum memberikan jaminan kepada siapapun subjek hukum tidak boleh dihukum apabila tidak melakukan pelanggaran atau kejahatan. Kepastian hukum sekaligus untuk memastikan siapa pelaku yang sebenarnya melakukan suatu pelanggaran atau kejahatan jangan sampai seseorang yang tidak melakukan kesalahan justru jadi korban penegakan hukum yang tidak benar. Kepastian hukum merupakan ketegasan bahwa siapapun yang melakukan pelanggaran atau kejahatan haruslah dihukum tanpa kecuali sesuai dengan aturan yang berlaku, tidak ada hukuman apabila tidak ada kesalahan. Ketidakpastian hukum dapat dipastikan menciptakan ketidakadilan;
Kepastian hukum tidak akan bisa pernah sendiri memberikan keadilan tanpa bersama-sama dengan kesebandingan hukum. Kesebandingan hukum merupakan barometer untuk menentukan jenis hukuman yang akan dijatuhkan sesuai dengan pelanggaran atau kejahatan yang ia lakukan atau harus dibebaskan karena tidak terbukti melakukan kesalahan. Berat ringan hukuman yang akan dijatuhkan tergantung dari faktor sebab akibat terjadinya suatu pelanggaran dan/atau kejahatan. Hukuman yang dijatuhkan tidak boleh salah, tidak boleh lebih berat dari kesalahan atau kejahatan yang dilakukan, hukumannya haruslah sebanding. Kepastian hukum dan kesebandingan hukum merupakan filosofi penjatuhan hukuman yang adil. Rumusan suatu norma hukum haruslah mengandung suatu kepastian hukum sehingga tidak multitafsir atau ditafsirkan sendiri secara kurang tepat oleh penegak hukum yang dapat merugikan seseorang yang diduga melakukan pelanggaran atau kejahatan. Apabila suatu norma tidak memiliki kepastian hukum dapatlah dipastikan akan memakan korban ketidakadilan. Penegak hukum bukanlah penguasa yang bisa menghukum seseorang tanpa adanya kesalahan. Ketiadaan kepastian hukum juga akan berakibat akan terjadinya kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum yang memiliki hak diskresi antara lain untuk memanggil, menyelidiki, menyidik, menahan diri, menyita harta kekayaan;
Indonesia sebagai negara hukum harus memiliki aturan-aturan hukum yang benar untuk menegakkan prinsip keadilan, baik untuk pencegahan terjadinya pelanggaran dan kejahatan sekaligus untuk melakukan penindakan. Demikian halnya dengan tindak pidana korupsi yang dimulai dengan pencegahan yang dilakukan secara efektif dan efisien sehingga sedini mungkin tidak terjadi perbuatan tindak pidana korupsi. Dalam penegakan hukum termaksud tidaklah boleh mengabaikan prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

1. Frasa “Pemufakatan Jahat”
[3.9]    Menimbang bahwa pertama kali pemufakatan jahat diatur dalam Pasal 88 KUHP. Istilah asli pemufakatan jahat dalam KUHP (WVS) dalam bahasa Belanda ialah “samenspanning”. Dalam bahasa Inggris disebut conspiracy, dalam bahasa Indonesia disebut persekongkolan. Pemufakatan jahat dapat dilihat dari sisi subjektif dan objektif. Dari sisi subjektif pemufakatan jahat adalah niat di antara para pelaku untuk bersama-sama (meetings of mind) mewujudkan suatu kejahatan sedangkan dari sisi objektif pemufakatan jahat adalah adanya perbuatan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam delik percobaan.
        Para ahli dalam persidangan perkara a quo yakni ahli Dr.Chairul Huda, S.H., M.H, ahli Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H, dan ahli Prof. Dr. Eddy O.S Hiariej, S.H., M. Hum., pada dasarnya berpendapat sama  bahwa pemufakatan jahat adalah apabila  dua orang atau lebih sepakat akan melakukan kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 88 KUHP.
Pasal 88 KUHP berbunyi, “Dikatakan pemufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan”,  (Pasal 110, Pasal 111 bis, Pasal 116, Pasal 125, Pasal 139c, Pasal 164, Pasal 169, Pasal 214, Pasal 324, Pasal 358, Pasal 363, Pasal 365, Pasal 368, Pasal 457, Pasal 462, Pasal 504, Pasal 505 KUHP)”.
Pasal 110 ayat (1) KUHP berbunyi, “Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut Pasal 104, 106, 107 dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut”. Bahwa Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108 KUHP merupakan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara yang dapat dilakukan oleh siapapun juga;
[3.10]    Menimbang bahwa pemufakatan jahat bukan tindak pidana yang berdiri sendiri akan tetapi bagian dari persiapan melakukan penyertaan tindak pidana, perbuatan tindak pidana, untuk membuat kesepakatan untuk melakukan tindak pidana tertentu yang secara tegas dinyatakan dalam undang-undang.  Harus jelas tindak pidana yang mana yang akan dilakukan. Dalam tindak pidana pemufakatan jahat harus ada meetings of minds atau mens rea (guilty mind) karena pemufakatan jahat tersebut  merupakan kejahatan conspiracy sehingga harus ada   persamaan kehendak atau niat diantara orang-orang yang melakukan conspiracy pemufakatan jahat tersebut. Terhadap meetings of mind diperlukan adanya perbuatan, baik kelakuan, atau penimbulan akibat yang dilarang oleh Undang-Undang. Pemufakatan jahat merupakan perbuatan (actus reus) yang membutuhkan kesalahan atas perbuatan yang dilarang sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum;
Berdasarkan Pasal 15 UU Tipikor, tindak pidana korupsi pemufakatan jahat dapat dihukum  asalkan ada tindak pidana pokoknya seperti yang tercantum dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, bahkan hukumannya disamakan dengan hukuman dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan  Pasal 14. Bahwa UU Tipikor Pasal 15 mengaitkan keberadaan Pasal 15 dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14;
 Pasal 2 UU Tipikor menegaskan tentang setiap perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dengan demikian apabila tidak ada kerugian negara atau perekonomian negara  maka pasal ini tidak merupakan delik;
Pasal 3 UU Tipikor merumuskan tentang setiap orang yang bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal 3 UU Tipikor ini menegaskan bahwa suatu kejahatan itu baru  nyata adalah apabila ada kerugian negara yang dilakukan karena jabatan atau kedudukan sehingga apabila siapapun pelaku tidak memiliki jabatan atau kedudukan maka Pasal 3 ini tentu tidak bisa dijadikan sebuah delik sehingga pasal a quo merupakan delik kualitatif;
Demikian pula dengan Pasal 7 UU Tipikor mensyaratkan deliknya pada Pasal 387 dan Pasal 388 KUHP. Pasal 387 KUHP adalah tentang tindak pidana yang dilakukan kepada setiap orang memiliki keahlian dalam bidang bangunan yang bekerja sebagai pemborong bangunan. Pasal 388 KUHP adalah tindak pidana yang dilakukan oleh balatentara darat atau laut akibat adanya suatu perbuatan penipuan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan negara dalam keadaan perang, sehingga kedua pasal inipun mengaitkan dengan kualitas seseorang dalam melakukan tindak pidana;
Pasal  8 UU Tipikor mengaitkan suatu tindak pidana dengan Pasal 415 KUHP yakni tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pegawai negeri yang menggelapkan keuangan negara atau surat berharga yang digelapkan dalam melaksanakan jabatannya sehingga pasal ini juga mensyaratkan pelakunya adalah harus seorang pegawai negeri sehingga  pasal a quo merupakan delik kualitatif;
Kemudian Pasal 9 UU Tipikor mengaitkan dengan Pasal 416 KUHP yakni tentang seorang pegawai negeri yang membuat atau memalsukan daftar atau buku-buku untuk pemeriksaan administrasi, dengan demikian pasal a quo juga mensyaratkan pada keberadaan seorang pegawai negeri sehingga delik tersebut juga merupakan delik kualitatif;
Pasal 10 UU Tipikor juga mengaitkan delik dengan Pasal 417 KUHP yakni  pegawai negeri yang melakukan tindak pidana menggelapkan, merusak atau membinasakan surat-surat atau barang yang akan dijadikan sebagai barang bukti, sehingga delik tersebut juga merupakan delik kualitatif;
Pasal 11 UU Tipikor berkenaan dengan tindak pidana yang dilakukan dalam Pasal 418 KUHP yakni pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan kekuasaannya, sehingga delik tersebut juga merupakan delik kualitatif;
Pasal 12 UU Tipikor berkenaan dengan tindak pidana yang dilakukan dalam Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 KUHP yakni tentang yang menerima hadiah, perjanjian untuk membujuk agar kekuasaan dalam jabatannya untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu apa yang berlawan dengan kewajibannya, sehingga delik tersebut juga merupakan delik kualitatif;
Pasal 13 UU Tipikor berkenaan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, sehingga delik tersebut juga merupakan delik kualitatif;
Pasal 14 UU Tipikor berkenaan dengan setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelangaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini;
Dengan demikian semua ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor adalah merupakan tindak pidana kualitatif yang memerlukan kualitas seseorang baik sebagai pegawai negeri atau pejabat negara untuk memenuhi unsur-unsur delik;
[3.11]    Menimbang bahwa dalam tindak pidana pemukatan jahat para pihak  harus sepakat untuk melakukan tindak pidana, harus mewujudkan rencana pemufakatan jahat tersebut baik untuk sebahagian saja ataupun secara keseluruhan, harus ada kerugian negara, dan harus ada unsur memperkaya diri sendiri dan atau orang lain ataupun korporasi. Apabila tidak demikian maka sama dengan mempidana kehendak atau niat tanpa perbuatan;
Ahli Prof. H.AS. Natabaya, S.H.,LL.M. berpendapat bahwa “Doktrin yang ditetapkan oleh Lord Mansfield dalam Rex v.Scofield, terdiri dari semua prinsip-prinsip  yaitu, bahwa tindakan terletak di niat dan niat saja tidak dapat dihukum; akan tetapi ketika suatu tindakan dilakukan, maka hakim tidak hanya menghukum karena ada tindakan dilakukan tetapi karena adanya niat yang dilakukan dengan melanggar hukum dan niat itu berbahaya ... dst “
Pemufakatan jahat menunjuk kepada kesepakatan yang merupakan perbuatan persiapan (voorbereidings-handeling) yang harus ditegaskan oleh orang-orang yang bersepakat atau setidak-tidaknya terdapat perbuatan lanjutan yang belum masuk pada permulaan pelaksanaan sebagai wujud dari adanya kesepakatan tersebut. Hal ini bertujuan untuk membedakan bahwa pemufakatan jahat adalah perbuatan bukan semata-mata pikiran. Aspek subjektif dan aspek objektif dari pemufakatan jahat merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan;
 Kesepakatan untuk melakukan tindak pidana tersebut dengan suatu kesengajaan dan bukan oleh karena perangkap salah satu pihak, jika kesepakatan tersebut atas perangkap maka kesepakatan jahat tersebut menjadi gugur sebab tidak didasarkan pada kehendak conspiracy secara bersama-sama;
             Dalam hukum pidana dikenal beberapa jenis delik antara lain dikenal dengan delik persiapan (voorbereiding delict), delik percobaan (poging delict), delik selesai (aflopende delict), dan delik berlanjut (voortdurende delict);
[3.12]     Menimbang bahwa ahli Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H berpendapat bahwa dalam Undang-Undang 31 Tahun 1999 khususnya Pasal 15 juncto Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 terhadap perbuatan pemerasan dalam jabatan haruslah memenuhi unsur-unsur antara lain adanya dua orang atau lebih yang sepakat melakukan suatu tindak pidana korupsi, Pegawai Negeri Sipil atau penyelenggara negara artinya orang perseorang yang memenuhi kualifikasi dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan agar seseorang melakukan sesuatu diluar kehendak dirinya. Pasal 15  juncto Pasal 12 huruf e UU 31/1999 juncto UU 20/2001 hanya dapat diterapkan terhadap kesepakan antara dua orang atau lebih memiliki kualitas khusus sebagai Pegawai Negeri  atau pejabat negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 2. Pemufakatan jahat (samenspanning) merupakan salah satu bentuk perluasan berlakunya ketentuan Undang-Undang tentang suatu tindak pidana  seperti penyertaan (deelneming), pembantuan (medeplichtige), percobaan  (poging);
[3.13]   Menimbang bahwa Pasal 15 UU Tipikor yang menentukan bahwa setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, dan pemufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Rumusan ini adalah rumusan yang menggambarkan adanya kriminalisasi yang tidak sempurna (uncompleted criminalization) karena hanya memuat sanksi pidana saja, itu pun sanksi pidana yang dirujuk ke dalam pasal-pasal yang lain yaitu sanksi pidana yang ada di dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Sementara berkenaan dengan strafbaar-nya atau perbuatan yang dilarangnya, pembentuk Undang-Undang hanya menyebutkan istilah-istilah yang berhubungan dengan istilah percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat atau persekongkolan. Istilah-istilah ini belum menggambarkan adanya strafbaar. Istilah ini hanya merupakan istilah tentang persoalan-persoalan atau konsep-konsep dalam hukum pidana. Padahal Pasal 15 UU Tipikor  adalah rumusan delik karena ada unsur subjek setiap orang yang ada unsur strafbaar (perbuatan yang dilarang), unsur strafmaat dan strafsoort-nya,  jumlah dan jenis sanksinya akan tetapi pembentuk Undang-Undang tidak memberikan penjelasan, tidak memberikan unsur, tidak memberikan uraian tentang apa yang dimaksud dengan percobaan, perbantuan, dan pemufakatan jahat.
[3.14]    Menimbang bahwa dalam buku kedua KUHP delik-delik yang dapat dipidana atau perbuatan yang juga dinyatakan dapat dipidana sekalipun baru dalam tahap pemufakatan jahat, hanyalah delik Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108. Kalau ditelaah lebih mendalam bahwa delik-delik tersebut dalam tindak pidana tidak memerlukan kualitas. Sementara, delik-delik korupsi, terutama yang ada di dalam Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor semuanya membutuhkan kualitas tertentu untuk melakukannya yakni pegawai negeri atau penyelenggara negara. Jadi, hanya pegawai negeri atau penyelenggara negara atau pejabat yang bisa melakukan itu, yang lainnya tidak memenuhi kualitas. Oleh karenanya delik-delik ini adalah delik-delik yang berbeda. Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor seharusnya tidak dijadikan sebagai suatu delik yang dapat dilakukan dalam bentuk pemufakatan jahat akan tetapi merupakan delik yang telah selesai dilaksanakan.
Ahli Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M. Hum, mengatakan bahwa salah satu prinsip yang paling mendasar dalam hukum pidana ini adalah asas legalitas, yang mana menurut pendapat Machteld Boot yang mengutip Weigend, Jesheck, mengatakan, “Di dalam asas legalitas itu terkandung empat makna. Yang pertama adalah nullum crimen nulla poena sine lege praevia (tidak ada perbuatan pidana tanpa Undang-Undang sebelumnya), Nullum crimen nulla poena sine lege scripta (tidak ada pidana tanpa Undang-Undang tertulis), Nullum crimen nulla poena sine lege certa (tidak ada perbuatan pidana tanpa Undang-Undang yang jelas) dan yang terakhir adalah Nullum crimen nulla poena sine lege stricta (tidak ada pidana tanpa Undang-Undang yang ketat). Terkait dengan pasal a quo yang dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk diuji, ahli berpendapat bahwa pasal tersebut khususnya tentang “pemufakatan jahat“ tidak menganut atau tidak mengandung prinsip lex certa atau Nullum crimen nulla poena sine lege certa, sebagaimana yang terkandung di dalam asas legalitas.
Pemufakatan jahat merupakan tindakan awal berupa kesepakatan untuk melakukan suatu kejahatan. Sehingga merupakan delik yang tidak sempurna sebagai bentuk perluasan dapat dipidananya perbuatan. Pada dasarnya kesepakatan untuk melakukan suatu kejahatan tidaklah dapat dipidana karena baru sebatas mengungkapkan apa yang ada dalam pemikiran atau benak para pelaku. Apa yang ada dalam pemikiran tidaklah dapat dipidana berdasarkan adagium cogitationis poenam nemo patitur (seseorang tidak dapat dihukum hanya karena apa yang ada dalam pemikirannya). Akan tetapi terhadap kejahatan-kejahatan tertentu untuk mencegah dampak atau akibat yang muncul dari kejahatan tersebut sampai pada tahap permulaan pelaksanaan. Pada tahap perbuatan persiapan saja pembentuk Undang-Undang memandang perlu untuk menjatuhkan pidana. Kendatipun demikian kejahatan-kejahatan yang dapat dipidana hanya karena pemufakatan jahat haruslah disebut secara tegas. Oleh karena itu, dapatlah dipahami ketentuan pemufakatan jahat yang terdapat dalam Pasal 88 KUHP hanya dapat diterapkan khusus kepada Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108 tentang makar sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 110 KUHP. Lalu bandingkan dengan pasal a quo yang diuji ini hanya menyebutkan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi padahal diantara pasal-pasal tersebut memiliki sifat dan karakter yang berbeda;
[3.15]       Menimbang bahwa dalam hukum pidana dikenal adanya delicta communia dan delicta propria. Delicta communia adalah delik yang dapat dilakukan oleh siapapun. Sedangkan delicta propria adalah delik yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang dengan kualifikasi tertentu. Baik delicta communia maupun delicta propria pada hakikatnya adalah mengenai subjek hukum yang dapat dipidana berdasarkan suatu rumusan delik.
Dalam kaitannya dengan pemufakatan jahat dan bila dihubungkan dengan pembagian delik antara delicta communia dan delicta propria, maka pemufakatan jahat hanya dapat terjadi antara dua orang atau lebih yang memiliki kualifikasi yang ditentukan oleh UU. Padahal ketentuan pasal a quo yang sedang diuji tidak membedakan secara tegas antara pemufakatan jahat terhadap delicta communia dan delicta propria. Tidaklah mungkin terjadi pemufakatan jahat apabila antara dua orang atau lebih yang tidak memiliki kualitas yang sama bersepakat untuk melakukan kejahatan;
Berdasarkan hal itu maka frasa “pemufakatan jahat” untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor adalah rumusan delik yang tidak jelas dan multitafsir karena tidak memuat bentuk perbuatan secara cermat. Apalagi ketentuan Pasal 14 itu sama sekali bukan ketentuan pidana, tetapi untuk membatasi lex specialis sistematis dalam tindak pidana korupsi.
Apabila meninjau berbagai tindak pidana keamanan negara dalam beberapa pasal tersebut adalah delik umum yang tidak mensyaratkan kualitas dan kualifikasi tertentu bagi subjek deliknya. Sehingga setiap orang dapat mewujudkan delik tersebut dan dapat pula diterapkan pemufakatan jahat dengan pengertian dua orang atau lebih yang sepakat melakukan kejahatan. Namun, persoalannya menjadi berbeda manakala pemufakatan jahat dengan penelitian tersebut diberlakukan terhadap delik-delik kualitatif yang mensyaratkan kualitas tertentu, pejabat negara, atau pegawai negeri sipil yang diatur dalam norma a quo.
Manakala definisi pemufakatan jahat tidak diubah, maka definisi pemufakatan jahat akan digunakan untuk menjerat siapapun yang berbincang  untuk melakukan delik kualitatif meskipun orang-orang tersebut tidak mempunyai kapasitas tertentu yang ditentukan oleh Undang-Undang sebab dalam perumusan delik pidana, maka perlu memenuhi syarat  yakni lex previa tidak berlaku surut, lex certa harus jelas, lex stricta harus tegas, dan lex scripta harus tertulis, maka pembentukan delik pidana tersebut dimaksudkan untuk menopang konsepsi negara hukum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berkenaan dengan kepastian dan keadilan hukum;
Apabila prinsip lex certa tidak dipenuhi unsur-unsurnya sebagaimana dimaksud dalam norma a quo, maka ketentuan tersebut jelas bertentangan dengan UUD 1945. Apabila konsep ini merujuk pada Pasal 88 KUHP adalah persoalan kaidah Undang-Undang yang dapat melahirkan implikasi di kemudian hari. Kondisi normatif sebagaimana termaksud dalam pasal a quo, maka pendapat ini tidak mengenai perbuatan karena sarana dan tujuan yang dipilih tidak mungkin menyelesaikan kejahatan tetapi tentang perbuatan yang tidak mungkin mewujudkan rumusan delik karena tidak adanya unsur esensial dalam rumusan ini. Keadaan ini jelas merugikan bagi warga negara dikarenakan perumusan norma yang demikian itu akan memperluas kewenangan penafsiran atas niat jahat yang sesungguhnya, tidak semua subjek hukum memiliki kualitas untuk berbuat jahat atau dasar kualitas kewenangan yang dimilikinya. Bahwa dengan demikian, kualitas yang disyaratkan dalam delik kualitatif adalah kualitas-kualitas yang secara hukum ditentukan dalam aturan pidana yang menyebabkan delik tersebut hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu saja. Kualitas-kualitas tertentu dapat berupa jabatan, kewenangan, profesi, pekerjaan, ataupun keadaan tertentu yang ditentukan terhadap subjek tertentu;
Oleh karena itu, pemaknaan dan penafsiran kaidah norma pemufakatan jahat dalam norma a quo bertujuan untuk menguatkan dua hal. Pertama, memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat melalui seleksi normatif atau siapa sajakah yang jadi subjek yang dituju oleh norma hukum pidana dan mana yang tidak dituju oleh norma tersebut. Kedua, mencegah terjadinya kesewenang-wenangan penegak hukum terhadap masyarakat;
Pemahaman tentang hakikat pemufakatan jahat ini menjadi sangat penting sebab berkaitan dengan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum dan kenyamanan hidup dalam bernegara. Dengan demikian negara dalam penegakan hukum harus mampu menegakkan prinsip due process of law and fair procedure bukan semata-mata crime control model;
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, maka beralasan secara hukum  permohonan Pemohon untuk dikabulkan bahwa Pasal 15 UU Tipikor sebatas berkaitan dengan frasa pemufakatan jahat bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak ditafsirkan dikatakan ada pemufakatan jahat bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana”;
2. Frasa “tindak pidana korupsi
[3.16]    Menimbang bahwa frasa tindak pidana korupsi“ dalam Pasal 15 UU Tipikor mencakup seluruh tindak pidana korupsi mempunyai unsur delik yang berbeda-beda. Penggunaan  frasa “tindak pidana korupsi“ tidak dapat menjelaskan unsur delik dari Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 karena frasa “tindak pidana korupsi“ hanyalah kata pengumpul dari berbagai delik yang diatur dalam UU Tipikor dengan  demikian berpotensi melangar asas lex certa, lex scripta, dan lex stricta yang dapat melanggar HAM. Untuk mencegah pelanggaran tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa frasa “tindak pidana korupsi“ harus ditafsirkan  dengan tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 sehingga dapat memberikan pedoman yang jelas dan tegas tentang perbuatan yang dilarang (strafbaar) menurut Undang-Undang a quo. Penafsiran di atas memenuhi alasan filosofis, teoritik dan praktis dalam merumuskan tindak pidana dalam suatu aturan pidana. Secara filosofis, aturan pidana bertujuan  untuk memberikan gambaran yang jelas kepada masyarakat tentang perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilanggar yang harus dirumuskan secara jelas dan tegas sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang tidak benar sehingga bisa melindungi hak semua orang yang terlibat dan dalam proses hukum dan menempatkannya dalam kedudukan yang proporsional berdasarkan aturan hukum yang jelas. Setiap rumusan pidana paling tidak mencakup tiga komponen yaitu: subjek delik (adressaat norm), perbuatan yang dilarang (strafbaar) dan ancaman pidana (strafmaat);
Ahli Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M. berpendapat bahwa “ketentuan Pasal 15 UU Tipikor ini menyatukan dalam satu pasal ketentuan mengenai percobaan, pembantuan dan permupakatan jahat, akan tetapi dalam penjelasan Pasal 15 … aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidananya”. Bunyi Pasal 15 UU Tipikor dan Penjelasan mengandung kontradiksi dengan Pasal 53 dan Pasal 56 KUHP, karena menurut teks Pasal 15 setiap orang melakukan perbuatan percobaan, pembantuan, ada pengurangan hukuman tanpa ada pengurangan dalam perbuatan pemufakatan jahat. Meskipun asli dari ketentuan ini pengurangan hukuman hanya terjadi pada percobaan, bahkan selanjutnya ahli berpendapat terjadi salah kaprah yang mencederai keadilan, maka sepatutnya ketentuan Pasal 15 UU Tipikor ini dibatalkan, terutama karena substansinya merupakan hal yang berbeda dan juga ancaman hukumannya  yang juga berbeda atas ketiga norma yang terkandung dalam pasal tersebut adalah norma yang berbeda.
[3.17]   Menimbang bahwa subjek delik menunjuk kepada orang-orang yang melakukan tindak pidana baik secara umum maupun yang mempunyai kualitas tertentu. Perbuatan yang dilarang (strafbaar) menunjuk pada bentuk perbuatan yang dilarang yang dirumuskan secara jelas, sedangkan ancaman pidana memuat tentang perbuatan yang diancam serta jenis hukuman yang akan dijatuhkan sehingga Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 harus ditempatkan dalam bagian perbuatan yang dilarang bukan dalam bagian ancaman pidana sehingga dalam praktik mengharuskan menyertakan “juncto” sebab pemufakatan jahat bukanlah delik yang berdiri sendiri.
   Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon beralasan menurut hukum.
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.    Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya;
1.1       Frasa “pemufakatan jahat“ dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 4150) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, Pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana”;
1.2   Frasa “pemufakatan jahat“ dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 4150) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, Pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana“;
1.3   Frasa “tindak pidana korupsi“ dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak maknai, “tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14“;
1.4   Frasa “tindak pidana korupsi“ dalam Pasal 15  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 4150) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”;
2.      Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
========