Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Kamis, 25 Agustus 2011

KEHIDUPAN POLITIK RAKYAT KECIL


A. Pandangan Politik Rakyat Kecil
             Politik di mata rakyat kecil di Indonesia khususnya sekarang ini (pasca reformasi) tidak lagi seperti pada masa orde baru. Pengalaman politik Indonesia mengalami roda perputaran, hampir sama pada masa orde lama (permulaan kemerdekaan republik Indonesia). Pada masa orde baru, dengan alasan yang berbeda-beda setiap orang akan terpaksa memilih pihak dalam pertarungan besar. “Terserah pada para ahli” berarti memihak golongan yang membabi buta. Pada umumnya orang menerima pendapat bahwa politik adalah soal yang terlalu penting untuk diserahkan kepada para ahli. Isi terpenting dari politik adalah ekonomi, dan isi ekonomi yang terpenting adalah teknologi.
              Pada kenyataannya bahwa rakyat kecil sering kali dapat menerima pandangan yang lebih luas dan yang lebih “berkemanusiaan” dibandingkan dengan pandangan yang biasanya ada pada ahli. Kekuatan orang biasa yang cenderung merasa tak berdaya, tidak terletak pada usaha untuk mengambil langkah yang baru, tetapi terletak pada menaruhkan simpati dan dukungan mereka pada golongan minoritas.
              Runtuhnya rezim orde baru memang jadi acuan strategis akan semakin dewasanya proses dialektika masyarakat, khususnya dalam bidang politik. Sekarang, politik cenderung menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan rakyat. Mereka dapat lebih santai dalam mengemukakan pendapatnya. Fakta yang paling nyata adalah PEMILU tahun 1999  dipandang sebagai kejadian yang menarik perhatian rakyat kecil dan mereka dengan bangga dan pasti memilih partai sesuai dengan keinginannya. Tentu saja suatu pandangan politik tidak terlepas dari ideologi yang mendasari pemikiran setiap orang. Jika pada masa yang lalu pandangan politik hanya berkisar pada Islam (PPP), nasionalis (PDI) dan GOLKAR, sekarang rakyat lebih memiliki banyak pilihan. Meskipun kadang mereka salah kaprah dalam memilih suatu partai, tapi itulah demokrasi. Mau nggak mau kita harus menerima kenyataan bahwa bangsa ini masih harus banyak belajar, belajar dan belajar, entah sampai kapan......
              Keterkejutan rakyat kecil terhadap perubahan ini juga mengakibatkan kebingungan yang memunculkan sikap apatis terhadap politik dan perkembangannya. Bagi kaum miskin di desa atau orang pinggiran di kota , dalam hal ini mereka yang mangalami kegagalan ekonomi setelah melakukan urbanisasi, politik dipandang sebagai sesuatu yang menyebabkan mereka merasa tidak mendapatkan kemajuan apapun, terutama di bidang ekonomi. Mereka berorientasi bahwa kegiatan politik hanya menghasilkan peraturan-peraturan yang semakin mempersempit ruang gerak mereka dalam mencari nafkah di bidang-bidang informal. Seperti penataan tata ruang kota di kota-kota besar, disana dilakukan pelarangan pedagang-pedagang kaki lima, semakin banyaknya retribusi yang tidak jelas, harga BBM yang semakin melonjak, harga harga kebutuhan pokok yang semakin tidak karuan, harga pupuk yang selangit, biaya pendidikan yang semakin tinggi dan masih banyak hal lain yang memang membikin mereka semakin sulit untuk survive.  Entah sampai kapan mereka dapat  bertahan !!!
Sementara di lain tempat tampak para elit politik yang biasa bersafari pilihan mereka yang jor-joran memperjuangkan kenaikan gaji dan penambahan fasilitas. Sungguh tidak tahu malu !!!
Mungkin patut direnungkan kembali celotehan Iwan Fals tentang wakil rakyat :
  “Saudara dipilih bukan di lotere, meski kami tak kenal siapa saudara....................
 “ wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat. Wakil rakyat bukan paduan suara hanya tau nyanyian lagu setuju”

B. Partisipasi Politik Rakyat Kecil
              Meskipun pandangan politik rakyat kecil cenderung meningkat, tetapi orientasi partisipasi mereka masih berkisar mencoblos tanda gambar yang dipengaruhi money politics. Dalam hal ini sesuai dengan tingkat pendidikan mereka, menganalisis berita-berita media massa dengan lugu. Mereka bahkan enggan mengikuti organisasi-organisasi masyarakat yang tersedia seperti organisasi buruh yang biasanya dianggap sebagai para pekerja pabrik. Mereka sebagai pelaku bidang informasi sudah cukup nyaman tertampung dalam wadah-wadah keagamaan dan dakwah, bahkan para ibu merasa cukup dengan mendapatkan pengetahuan hanya dari pengajian dan arisan. Dan yang lebih memprihatinkan lagi sebagian dari mereka tidak berani mengikuti kegiatan semacam itu dengan alasan tidak ada baju yang cukup sesuai dengan kegiatan tersebut.
              Tetapi bagi para pemudanya, khususnya laki-laki, mereka akan lebih senang jika mereka dapat mengkuti arak-arakan kampanye dengan memakai atribut partai-partai politik dengan dibayar untuk melakukan hal itu. Mereka merasa bahwa kegiatan tersebut merupakan salah satu hiburan dalam kehidupan mereka yang menyenangkan.
              Selain pandangan mereka tentang politik, nilai-nilai agama yang mereka yakini juga cukup mempengaruhi partisipasi politik mereka. Bagi yang merasa mendalami Islam akan memilih partai-partai politik yang berasaskan Islam pada PEMILU tanpa menyadari bahwa penjabaran Islam dalam partai politik itu sendiri masih terlalu dini dan terpecah-pecah hingga jarang mendapatkan kemenangan PEMILU. Dan bagi yang Islam “abangan” akan lebih suka memilih partai-partai politik berasaskan nasionalis yang seringkali menekankan pada perilaku demokrasi yang dangkal. Mereka menganggap bahwa demokrasi itu boleh memperjuangkan kelompoknya dengan segala macam cara termasuk kekerasan. Sehingga sekarang banyak terjadi, rakyat kecil yang tadinya sama sekali impoten dalam kekerasan politik, saat ini lebih brutal dari yang dibayangkan.
 
C. Dampak Konflik Politik Bagi Rakyat Kecil
              Rakyat kecil seringkali menjadi korban yang paling menderita akibat adanya konflik-konflik politik oleh para elit politik. Mereka dijadikan umpan para elit politik dengan low politics untuk membuat kerusuhan-kerusuhan. Mereka juga seringkali tidak dapat mengontrol emosinya hingga mudah terpicu fitnah dan isu politik yang pada akhirnya menyebabkan kerugian bagi mereka sendiri. Bagaimana rakyat dapat merealisasikan demokrasi yang lebih besar di dalam suatu masyarakat yang mengaku mempunyai hukum-hukum dan lembaga-lembaga demokratis, sementara masih dikendalikan oleh kelompok kecil pihak-pihak yang bekerja di belakang layar.
              Menjadi jelas bahwa sistem politik di dalam masyarakat terbelakang dan kurang terlembaga kehilangan stabilitas mereka jika kaum elit yang dominan disekularkan tanpa transformasi sosio kultural  yang diusahakan pada waktu yang bersamaan ataupun suatu transformasi yang tidak boleh disamakan dengan modernisasi superfisial manapun
              Tetapi rakyat kecil sangat diperlukan untuk mendukung terealisasinya program-program politik pemerintah. Tanpa mereka, permainan politik para elit politik hanyalah sebuah refleksi dari teori yang melenceng. Rakyat kecil bagaikan peliharaan, kehidupan mereka seperti sudah ditentukan oleh kebijakan-kebijakan politik yang dibuat. Semua ketidakadilan akibat politik baik dirasakan secara langsung maupun tidak, seolah memberikan imunisasi bagi rakyat kecil sehingga mereka seperti tidak lagi merasakan hempasan-hempasan konflik politik. Itu sebenarnya bisa mereka hindari dengan jalan pensosialisasian pendidikan politik yang matang.
              Tidak hanya pergesekan-pergesekan fisik dan non fisik saja yang terjadi akibat dari konflik-konflik politik. Tetapi hal itu lebih jauh lagi dapat menyebabkan perpecahan dan disintegrasi bangsa yang cukup parah. Begitu pula dengan keadaan ekonomi yang tidak menentu akibat turun naiknya kurs dollar terhadap rupiah disebabkan oleh manuver-manuver politik para elit politik yang sudah barang tentu rakyat kecillah yang akan merasakan kerugian paling besar.   
Lalu apakah kita hanya akan berapologi : “ wajar saja semua itu terjadi, karena kita masih dalam tahap belajar, kita berada dalam masa transisi,.......................”
Sampai kapankah kita akan belajar ?,.................................................................
Ada baiknya mungkin kita renungkan nyanyian Ebiet G.Ade : “ Coba kita tanyakan pada rumput yang bergoyang “.

D. Rakyat Kecil dan harapan Pemilu 2004
            Tahun 2004 besok kembali kita akan dibenturkan dalam suatu pesta demokrasi untuk seluruh rakyat yaitu Pemilu. Mungkin yang jadi pertanyaan dalam benak kita, apa yang akan terjadi dalam pemilu 2004 besok?, apakah prediksi akan banyak terjadinya pertumpahan darah akan terjadi?, apakah rakyat akan tetap eksis untuk memilih Partai-Partai peserta Pemilu?, atau malah mungkin golongan putih yang akan menghiasi fenomena Pemilu 2004 besok?
Bila kita melihat fenomena yang terjadi pasca Pemilu 1999, yang notabene merupakan Pemilu yang boleh dikatakan cukup demokratis karena sangat mencerminkan azas dalam Pemilu itu sendiri yaitu Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia. Ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi pada masa rezim orde baru, dimana Pemilu jelas-jelas dijadikan komoditi untuk melanggengkan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
  Rakyat Indonesia telah belajar banyak mengenai Pemilu, dimulai sejak tahun 1955 yang merupakan Pemilu pertama pada masa awal kemerdekaan yang diikuti banyak partai. Banyak pengamat yang mengatakan bahwa Pemilu tersebut benar-benar bisa mencerminkan proses demokrasi di Indonesia.
Ini berbeda dengan apa yang terjadi pada masa orde baru, dimana kita bisa melihat sangat jelas telah terjadi pembodohan terhadap rakyat Indonesia yang dilakukan oleh rezim orde baru  dengan tujuan untuk melanggengkan kekuasaan rezim Soeharto. Hal tersebut berlangsung selama 32 tahun dan ini menyebabkan rakyat Indonesia semakin apriori dan apatis, dan memang itu yang diinginkan oleh rezim orde baru.
 Pemilu 2004 esok hari akan sangat dimungkinkan kembali akan dijadikan komoditi yang cukup signifikan untuk meraup dan melanggengkan  kekuasaan, dimana jelas-jelas kekuasaan cenderung akan melahirkan korupsi, kolusi dan nepotisme. Memang hal itu tidak bisa kita pungkiri, inilah realita yang tejadi di negeri tercinta ini. Ternyata di era Reformasi ini Kolusi, korupsi dan Nepotisme malah semakin menggila, dan itu dilakukan oleh orang-orang yang katanya ingin memajukan bangsa ini. Sementara dibawah rakyat kecil semakin meringis dan sakit, mereka semakin tertindas dan tenggelam. Ada ketidakpercayaan yang amat sangat dari rakyat kecil terhadap pemerintahan di era reformasi sekarang ini. Semakin maraknya anarkisme dan main hakim sendiri dikalangan rakyat kecil, menjadi indikator awal adanya ketimpangan social yang terjadi di masayarakat kita. Ada kesan mereka menaruh ketidak percayaan terhadap pemerintahan sekarang ini. Ya, bagaimana tidak, orde reformasi yang katanya akan melahirkan Good and Clean Government ternyata hanya melahirkan pahlawan kesiangan dan birokrasi yang korup.
Apa yang diingnkan oleh rakyat kecil sebenarnya sangat sederhana. Mereka hanya menginginkan :
- terjangkaunya harga kebutuhan pokok,
- pendidikan yang murah dan
- tidak adanya diskriminasi dalam penegakan hukum.
Sayangnya sampai saat ini ketiganya belum mereka dapatkan. Mereka hanya mendengar janj-janji muluk dan arogansi kekuasaan yang semakin menambah luka di hati rakyat kecil. Mudah-mudahan harapan harapan tersebut esok pada Pemilu 2004 bisa mereka dapatkan.

Yogyakarta, 19 Juni 2003



Metroseksual tanda akhir jaman ?


Dua orang Pria yang berdandan trendy, dengan rambut klimis, memakai dasi tengah asik ngobrol disebuah tempat ngopi yang sangat ekslusif dan terkesan sangat mewah. Bayangkan hanya untuk secangkir kopi mereka harus mengeluarkan uang ratusan ribu, padahal kalo kita minum di warteg, mungkin kita bisa dapat 30 cangkir kopi. Sambil diselingi deringan suara Handphone mereka sesekali menoleh ke meja sebelah yang notabene nampak sesosok wanita yang facenya tidaj jauh beda dengan model yang sering keluar di iklan TV. Kemudian mereka berusaha untuk mendekati wanita di meja sebelah, lalu setelah bercakap-cakap kurang dari 10 menit akhirnya mereka bertiga keluar meninggalkan tempat tersebut dengan sebuah mobil mewah seri terbaru keluaran jerman.
Sekilas itulah yang dinamakan Laki-laki metroseksual. Yang menarik, kata itu terbatas digunakan untuk laki-laki. Pengertiannya, kurang lebih, metroseksual adalah laki-laki muda yang punya uang (untuk dihambur-hamburkan), hidup di tengah atau setidaknya dalam jangkauan metropolis-di mana terdapat toko-toko terbaik, klub, butik, pusat kebugaran, salon kecantikan, dan lain-lain. Laki-laki dalam kategori ini tidak harus serta-merta kalangan gay atau homoseksual. Ini bukan urusan preferensi seksual. Laki-laki tersebut bisa saja straight-heteroseksual- namun yang menonjol ia menempatkan dirinya sendiri sebagai obyek cintanya sendiri.
Secara Etimologi pengertian Metroseksual berasal dari kata Yunani, metropolis artinya ibu kota plus seksual. Definisi: sosok narsistik dengan penampilan dandy, yang jatuh cinta tidak hanya terhadap diri sendiri, tetapi juga gaya hidup urban. Sosok Pria metroseksual di dunia sekatang ini memang bisa mengalahkan popularitas seorang Presiden.

Sebagai contoh adalah David Beckam notabene termasuk pemain sepak bola termahal di dunia. Dia menjadi icon bagi Pria Metroseksual. Bagaimana tidak, dia yang sekatang beristri seorang artis (Victoria Beckam) memang boleh dikatakan sangat sempurna, tampang oke, kaya, terkenal and of course macho. Sangat wajar bila dia jadi icon kaum metroseksual dunia. 

Di dunia film dunia kita mengenal sosok Brad Pitt si Alexis dari Yunani dalam film Troy, yang juga menjadi icon bagi Pria Metroseksual. Brad Pitt dan David Beckham boleh dikatakan mewakili kelompok bintang film dan bintang sepak bola yang metroseksual. Lihat saja penampilan mereka, dandy, klimis, wangi, pakai anting-anting lagi! Mereka—yang bukan gay—ternyata suka belanja barang-barang mewah dan bermerk di butik-butik eksklusif dan merawat diri di pusat kebugaran, spa, dan aroma terapi.

Bagaimana dengan selebritis Indonesia? Saya rasa kita tidak akan sulit menemu­kan selebritis pria dengan ciri-ciri dan penam­pilan seperti di atas. Ferry Salim, misalnya. Dalam suatu acara dia menga­ku memiliki 5000 botol parfum dan 50 kacamata bermacam model dan warna. Yang menarik, bahkan pembicara seminar top tentang marketing, Hermawan Kartajaya, ternyata mengaku ter­tular gaya hidup metrose­ksual. Ketika memberikan cera­mah ilmiah di Universitas Kristen Immanuel, Jogja, dia mengaku, “Saya juga sangat memperhatikan penampilan. Saya pun pakai sabun Dove!”

Dalam sebuah artikel di rubrik Fashion & Style di New York Time, metroseksual didefinisikan kurang lebih sebagai lelaki yang menggemari busana bagus dan benda bagus lain pada umumnya, serta tidak begitu berpretensi sebagai macho. Dia atau mereka tidak harus diasosiasikan sebagai gay, melainkan cowok yang-sebutlah-boleh jadi mengencani cewek-cewek yang tampil dalam pose sexy pada majalah-majalah populer khusus pria (di Indonesia seperti Popular, Male Emporium, atau FHM alias For Him Magazine yang baru terbit versi Indonesia).[2] 

Memang apa yang terjadi sekarang mungkin sangat berbeda jauh dengan apa yang terjadi  di Tahun 70-an atau 80-an. Pada jaman itu cowok yang disebut macho adalah cowok yang berbadan kekar, jagoan dan suka berkelahi, meskipun badannya bau amis, tapi justru disanalah ciri khas cowok. Sementara dijaman sekarang cowok yang berbau amis mungkin hanya bisa kita dapatkan dipasar-pasar tradisional, mikrolet atau terminal. Sementara kalo di kantor-kantor, mall atau tempat gaul lain kita pasti tidak akan pernah menemukan cowok dekil yang berbau amis.

Ketika melihat para penganut metroseksual ini berparade di pusat-pusat mode dunia, di layar perak dan layar kaca, apakah kita lalu begitu saja “mengikuti jejak” mereka? Pertanyaan itu paling pas kita tujukan untuk diri kita sendiri. Apakah kita mau mengikuti arus yang di permukaan atau melakukan ziarah batin ke kedalaman hati kita sendiri?
***

DAVID Beckham tidak lagi hanya terkenal sebagai pemain klub sepakbola Real Madrid yang andal. Kini, ia juga lambang metroseksual. Lambang lelaki yang sangat memperhatikan penampilan sehari-hari. Lelaki yang sangat peduli terhadap kesempurnaan setiap jengkal tubuhnya. Lelaki yang dalam merawat tubuhnya tidak kalah dari perempuan. Memakai parfum, facial, pembersih wajah, pelembap (moisturizer), spa, atau bahkan merawat kuku-kukunya.

"Bumi telah menjadi Venus," kata Hermawan Kartajaya. Kaum lelaki telah berubah menjadi perempuan. Tentu bukan secara anatomis, melainkan dalam sikap dan perilaku. Itulah yang diistilahkan sebagai wo-man, woman oriented man, kaum Adam yang berorientasi Hawa. Kaum lelaki yang konon berasal dari Mars telah berubah seperti perempuan-perempuan yang datang dari Venus.

Metroseksual adalah tren lelaki masa kini. Bukan lagi pria yang macho, yang berotot dan gagah perkasa. Setidak-tidaknya itulah wacana yang berkembang akhir-akhir ini. Tapi jangan dulu salah sangka, metroseksual bukanlah penggambaran laki-laki yang keperempuan-perempuanan alias banci atau waria. Sama sekali bukan! David Beckham tetaplah lelaki tulen, namun kepeduliannya terhadap penampilan seperti wanita.

Dilihat dari sisi marketing, tren itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh berbagai perusahaan untuk menghasilkan produk perawatan khusus bagi laki-laki. Meskipun masih bisa dipertanyakan, jangan-jangan justru tren itu diciptakan (atau tercipta) oleh iklan dan promosi yang gencar dan canggih, sebagai bagian dari kapitalisme global. Bukankah kekuatan kapitalisme global telah mengubah segala-galanya, seperti yang ditengarai Francis Fukuyama dalam The End of History and the Last Man?

Patut dicurigai, sebenarnya kapitalisme globallah yang menciptakan fenomena metroseksual, bukan metroseksual itu yang muncul lebih dulu kemudian diikuti oleh produk-produk yang mendukungnya. Buktinya, relasi antarmanusia yang makin emosional pun antara lain tercipta oleh kemajuan teknologi telepon selular. Orang menjadi makin emosional dengan short message service (SMS). Bukan sebaliknya, SMS itu muncul karena terdorong oleh relasi antarmanusia yang makin emosional.

OKE! Biarlah tren itu tetap berlangsung, toh suatu saat kelak akan berubah lagi. Begini, kalau saat ini lelaki berorientasi perempuan, bukankah itu sebenarnya hanya merupakan gejala yang tidak jauh berbeda dari perempuan yang berorientasi lelaki? Dua puluhan tahun silam, tidak ada perempuan yang memakai celana panjang dan berkaus oblong, karena tidak patut. Ketika itu muncul tren kaum Hawa memakai celana panjang, berkaus oblong, dan berambut pendek. Perempuan berorientasi laki-laki (man-wo - man oriented woman).

Nah! Kalau sekarang para lelaki berorientasi perempuan, dan perempuan berorientasi lelaki. Di dalam Al Quran sudah dijelaskan bahwa  Itu adalah salah satu tanda akhir zaman. Metroseksual hanyalah bagian dari gejala perkembangan peradaban. Hanya bagian dari kecenderungan bahwa dunia ini menjadi makin abu-abu; makin tidak hitam-putih. Abu-abu itu bukan hanya terjadi pada relasi lelaki-perempuan; ketika keduanya sulit dibedakan, ketika lelaki makin feminim dan perempuan makin maskulin.

Abu-abu terjadi hampir di semua aspek kehidupan. Lihat saja, misalnya, orang mulai sulit membedakan antara korupsi dan komisi, uang suap dan tali asih, studi banding dan piknik, dan seterusnya. Pendek kata, terjadi kekaburan antara yang benar dan yang salah, yang patut dan yang tidak patut, yang baik dan yang buruk. Persis kekaburan antara yang lelaki dan yang perempuan dalam konteks metroseksual.

[1] Ketua Kelas SII kelas E Yisc Al Azhar – Angkatan Juli Tahun 2004
[2] Kompas, 31 Agustus 2003