Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Senin, 23 November 2015

PENGELOLAAN SURAT IZIN MENGEMUDI (SIM) DIGUGAT KE MAHKAMAH KONSTITUSI



            
  Pada tanggal 1 Juli 2015, beberapa orang perseorangan warga negara dan lembaga swadaya masyarakat serta organisasi pemuda yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Polri (KOREKSI) mengajukan perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terhadap UUD 1945.
              Dalam permohonannya para Pemohon mendalilkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam pengelolaan lalu lintas yang dilakukan oleh Kepolisian sehingga memunculkan kemacetan di jalan, buruknya pengelolaan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan surat izin mengemudi (SIM), dipersulit mengurus SIM D  bagi penyandang disabilitas, terabaikannya fungsi utama penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian, Kepolisian tidak lagi murni sebagai penjaga keamanan dan ketertiban, sehingga pelaksanaan urusan keamanan dan ketertiban sebagaimana yang dimaksud oleh konstitusi tidak maksimal dijalankan. Selain itu, menurut para Pemohon tidak transparannya pengelolaan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor serta pengelolaan pemberian SIM oleh Kepolisian telah mengakibatkan kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon sehingga melanggar UUD 1945.
              Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas norma a quo, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
[3.6]        Menimbang bahwa Mahkamah telah membaca, mendengar, dan memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, keterangan Presiden, keterangan DPR, keterangan Pihak Terkait Kepolisian Negara Republik Indonesia, bukti yang diajukan oleh para Pemohon dan Pihak Terkait Kepolisian Negara Republik Indonesia, ahli dan saksi yang diajukan oleh para Pemohon, Presiden, dan Pihak Terkait Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta kesimpulan tertulis para Pemohon, Presiden, dan Pihak Terkait Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selengkapnya sebagaimana telah tercantum pada bagian Duduk Perkara, selanjutnya Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Kamis, 19 November 2015

Mekanisme Pengujian Konstitusional di Mahkamah Konstitusi Turki



Mahkamah Konstitusi Turki didirikan oleh Konstitusi Turki Tahun 1961 yang didasarkan atas model praktek hakim konstitusi di Eropa. Mahkamah Konstitusi Turki mulai melakukan kegiatannya sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1962 tentang Pembentukan dan Tata Penghakiman Mahkamah Konstitusi (No 44, 22 April 1962). Salah satu kewenangan yang dimilikinya adalah menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap Konstitusi. Sistem pengujian konstitusi ditetapkan dalam Konstitusi tahun 1961 sampai dengan konstitusi 1982 dengan beberapa perubahan. Pada tahun 1982, dalam perubahan konstitusi 1982, Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu organ konstitusi tertinggi yang setara dengan Majelis Nasional Agung dan kekuasaan Eksekutif serta ditempatkan sebagai organ peradilan pertama di antara "Pengadilan Tinggi" di Turki.[2]
Sejak komposisi dan struktur Mahkamah Konstitusi berubah dengan adanya amandemen konstitusi tahun 2010, akhirnya undang-undang baru juga diberlakukan pada tahun 2011. Undang-undang baru tersebut tentang Pembentukan dan Tata Tertib Mahkamah Konstitusi yang diundangkan pada tanggal 30 Maret 2011, yang kemudian aturan yang lebih rinci tentang Organisasi dan Tata Kerja Mahkamah Konstitusi ditetapkan oleh Peraturan Tata Tertib Mahkamah Konstitusi. Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi Turki adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana diatur dalam konstitusi turki dan undang-undang Mahkamah Konstitusi Turki. Mahkamah Konstitusi Turki akan memeriksa konstitusionalitas sebuah aturan, dalam hal bentuk maupun substansi, hukum, keputusan yang memiliki kekuatan hukum dan Peraturan Tata Tertib Majelis Nasional Agung Turki. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga dapat memeriksa dan melalukan verifikasi terhadap amandemen konstitusi yang berkaitan dengan bentuk amandemen konstitusi. Tidak semua aturan dapat diajukan untuk diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi, khususnya terhadap keputusan yang memiliki kekuatan hukum yang dikeluarkan selama keadaan darurat, darurat militer atau pada saat perang tidak dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi adalah final, mengikat dan tidak ada upaya banding.[3]

Kamis, 05 November 2015

Mahkamah Konstitusi Pertegas Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan






M. Komarudin, dkk., para buruh yang tergabung dalam Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia pada tanggal 8 Januari 2015 mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian di Registrasi dengan Nomor Perkara 7/PUU-XII/2014.
Dalam permohonannya para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003, yang masing-masing menyatakan:
Pasal 59 ayat (7)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu”;
Pasal 65 ayat (8)
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan”;
Pasal 66 ayat (4)
 Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, danhuruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antarapekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerjaantara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan”;
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Dalam permohonanya para Pemohon menyatakan pasal-pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dengan alasan sebagai berikut:
1.  Pegawai pengawas ketenagakerjaan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap tindak penyimpangan/pelanggaran norma UU 13/2003 yang tidak mengandung unsur tindak pidana, dan menerbitkan nota pemeriksaan serta nota penetapan tertulis yang memerintahkan kepada pengusaha/majikan untuk melaksanakan ketentuan norma dalam UU 13/2003;
2.  Pembentuk Undang-Undang hanya mengatur sepanjang tata cara penyelesaian penyimpangan norma yang mengandung unsur tindak pidana ketenagakerjaan dalam UU 13/2003, tetapi tidak mengatur mengenai tata cara pelaksanaan (eksekusi) atas penetapan tertulis dari pegawai pengawas ketenagakerjaan yang tidak dimintakan pemeriksaan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan juga tidak dijalankan secara sukarela oleh pengusaha/majikan. Sehingga terdapat kekosongan hukum.
3.  UU 13/2003 tidak mengatur mengenai sanksi yang dapat diberikan kepada majikan/pengusaha apabila mereka belum atau tidak menjalankan norma dalam UU 13/2003 meskipun kepadanya telah diberikan nota pemeriksaan atau nota penetapan tertulis oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan;
4.  Ketentuan sepanjang frasa “demi hukum” pada Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 mengatur akibat hukum atas tidak terpenuhinya syarat-syarat perjanjian kerja waktu tertentu menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu, yang kewenangan untuk menyatakannya merupakan kewenangan pegawai pengawas ketenagakerjaan melalui hasil pemeriksaan serta penetapan tertulis yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
5.  Apabila penetapan tertulis tersebut tidak dipatuhi/dijalankan oleh pengusaha/majikan maka untuk memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum status hubungan kerja pekerja/buruh, serta untuk tetap menjaga hubungan industrial yang kondusif, dan agar penerbitan penetapan tertulis dimaksud tidak menjadi sia-sia maka seharusnya pelaksanaan penetapan tertulis tersebut dapat dimintakan pelaksanaannya ke Pengadilan Negeri melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
Untuk menjawab isu hukum tersebut, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:

Rabu, 04 November 2015

SENGKETA PILKADA PASANGAN CALON TUNGGAL



SENGKETA PILKADA PASANGAN CALON TUNGGAL
Oleh Hani Adhani[1]

9 Desember 2015 merupakan hari bersejarah dalam proses demokrasi di Indonesia dimana pada tanggal tersebut akan dilaksanakan Pilkada secara serentak di beberapa daerah provinsi, kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Tahapan ini mengawali ide Pilkada serentak yang nantinya akan dilakukan bertahap yaitu gelombang pertama pada tahun 2015, gelombamg kedua pada tahun 2017, gelombang ketiga pada tahun 2018, gelombang keempat pada tahun 2020, gelombang kelima pada tahun 2022, gelombang keenam pada tahun 2023 dan Pilkada serentak secara nasional pada tahun 2027.
Beberapa permasalahan ternyata muncul pada saat proses awal penyelengaraan Pilkada serentak gelombang pertama tahun 2015 ini. Salah satu isu yang cukup menjadi perbincangan nasional adalah adanya beberapa daerah yang ternyata hanya mencalonkan 1 (satu) pasangan calon atau lebih dikenal dengan calon tunggal. Kelima daerah tersebut adalah Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat; Kabupaten Blitar, Jawa Timur; Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat; Kota Samarinda, Kalimantan Timur dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Namun setelah masa perpanjangan pendaftaran calon akhirnya dipastikan hanya 3 (tiga) daerah yang hanya mempunyai calon tunggal dan dipastikan tidak dapat mengelar Pilkada Tahun 2015 yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat; Kabupaten Blitar, Jawa Timur dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.
Adanya fakta bahwa ternyata di beberapa daerah yang akan mengikuti Pilkada hanya diikuti oleh satu pasangan calon (calon tunggal) pada akhirnya memunculkan wacana agar calon tunggal juga diakomodir dan dimasukan dalam undang-undang Pilkada karena apabila mengacu kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang perihal tentang calon tunggal memang belum diatur.

SUMPAH PEMUDA DALAM KONTEKS INDONESIA MASA KINI



SUMPAH PEMUDA DALAM KONTEKS INDONESIA MASA KINI
Oleh Hani Adhani [1]

Sudah sejak lama kita memperingati hari sumpah pemuda yang diperingati setiap tanggal 28 Oktober. Biasanya peringatan sumpah pemuda di acarakan dengan berbagai kegiatan salah satunya adalah upacara bendera dan/atau berbagai acara seremonial lainnya yang kerap dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Gaung peringatan sumpah pemuda memang tidaklah segebyar peringatn hari kemerdekaan padahal apabila dilihat dari sejarah sumpah pemuda justru sumpah pemuda ini adalah cikal bakalnya lahirnya pergerakan kemerdekaan dibawah komando soekarno-hatta. Fanatisme Kedaerahan yang begitu kental pada saat terjadinya kolonialisme di bumi nusantara ini pada akhirnya menjadikan para pemuda diberbagai daerah bersatu guna mendirikan organisasi pemuda yang bersifat nasional dengan satu tujuan yaitu untuk melakukan diplomasi politik guna meredam kolonialisme yang sudah berjalan hampir 3 abad.
Pada saat itu berbagai organisasi pemuda yang masih bersifat kedaerahan seperti Tri Koro Darmo yang kemudian menjadi Jong Java (1915), Jong Soematranen Bond (1917), Jong Islamieten Bond (1924), Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Roekoen dan Pemoeda Kaoem Betawi yang merupakan organisasi bersifat kedaerahan dan kelompok khusus bersatu dalam wadah acara Kongres Pemuda I pada tahun 1926. Adapun Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI) yang berdiri setelah selesai Kongres Pemuda I pada tahun 1926 memiliki perberbedaan, yaitu bersifat lintas primordial. PPPI memprakarsai dilaksanakannya Kongres Pemuda II. Kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat. Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng. Dalam kesempatan itu, Soegondo berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Jamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan sebagaimana termuat dan dibacakan di akhir kongres. Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, sependapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis. Pada sesi berikutnya, Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, sebagai hal yang dibutuhkan dalam perjuangan. Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu “Indonesia Raja” karya Wage Rudolf Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. [2]

KOMISI YUDISIAL SEBAGAI PELENGKAP KEKUASAAN KEHAKIMAN



KOMISI YUDISIAL SEBAGAI PELENGKAP KEKUASAAN KEHAKIMAN
Oleh Hani Adhani[1]
“Barang siapa yang menjaga kehormatan orang lain, ia telah menjaga kehormatan dirinya sendiri” (Umar bin Khattab)
Kalimat tersebut dikutip oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna saat menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam pengucapan putusan perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara terhadap UUD 1945.
Permohonan tersebut diajukan oleh 5 Hakim Agung dan Panitera MA yang mengujia Pasal 14A ayat (2), dan ayat (3) UU tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2), dan ayat (3)  UU tentang Peradilan Agama, Pasal 14A ayat (2), dan ayat (3) UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menurut para Pemohon (5 Hakim Agung dan Panitera MA) bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), Pasal 24B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan bahwa adanya keterlibatan KY dalam proses seleksi pengangkatan hakim pada Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara adalah inkonstitusional dan “kekuasaan kehakiman yang merdeka” tidak hanya dalam konteks pelaksanaan kewenangan hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, melainkan juga untuk melakukan proses seleksi dan perekrutan hakim yang berkualitas secara independen dan mandiri. Adanya keterlibatan KY dalam seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, pengadilan agama, dan pengadilan tata usaha negara akan merusak sistem kekuasaan kehakiman yang dijamin oleh konstitusi karena adanya “segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945”.