Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Selasa, 04 Agustus 2015

KONSTITUSIONALITAS OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)




Pada tanggal 3 Maret 2014 tiga orang warga negara Indonesia yaitu Salamudin, Ahmad Suryono dan Ahmad Irwandi Lubis melalui kuasa hukumnya Azhar Rahim Rivai, SH., dkk., mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Dalam permohonannya para Pemohon mengajukan pengujian terhadap Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, dan Pasal 37 serta frasa “...tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan...” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011, Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253, selanjutnya disebut UU OJK) yang menyatakan:
Pasal 1 angka 1 UU OJK:
Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Pasal 5 UU OJK:
OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
Pasal 6 UU OJK:
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c.  kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Pasal 7 UU OJK:
Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang:
a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3. sistem informasi debitur;
4. pengujian kredit (credit testing); dan
5. standar akuntansi bank;
c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
1. manajemen risiko;
2. tata kelola bank;
3. prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
4.  pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
d. pemeriksaan bank.
Pasal 34 UU OJK:
          i.          Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggaran OJK.
         ii.          Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
        iii.          Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner.
Pasal 37 UU OJK:
(1)   OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
(2)   Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)   Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK.
(4)   OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri.
(5)   Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara.
(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 55 UU OJK:
(1)   Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.
(2)   Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK.