Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Rabu, 30 September 2015

KONSTITUSIONALITAS CALON TUNGGAL DALAM PEMILUKADA SERENTAK TAHUN 2015



               
  Permasalahan tentang adanya calon tunggal dalam proses Pemilukada serentak tahun 2015 akhirnya dapat diselesaikan melalui proses judicial review di Mahkamah Konstitusi. Efendi Ghazali yang merupakan aktifis dan juga dosen melalui kuasa hukumnya AH Wakil Kamal. SH., dkk., mengajukan permohona pengujian Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian di registrasi oleh Mahkamah Konstitusi dengan Nomor Perkara 100/PUU-XIII/2915.
                 Adapun pasal yang diuji dalam undang-undang tersebut adalah Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), serta Pasal 54 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU 8/2015 terhadap UUD 1945. Pokok argumentasi permohonan Pemohon berpusat pada masalah terganggunya atau bahkan tidak dapat diselenggarakannya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dijadwalkan disebabkan oleh adanya ketentuan dalam norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian yang mempersyaratkan paling sedikit ada dua pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah;

Jumat, 25 September 2015

Konstitusionalitas Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang



              
 Pada tanggal 15 Agustus 2014, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akhirnya mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
               Dalam permohonannya Pemohon menyampaikan bahwa kerugian konstitusional Pemohon dalam permohonan pengujian materiil UU MD3 berupa:
-        dikuranginya kewenangan Pemohon untuk dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang [vide Pasal 22D ayat (1) UUD 1945)] tercantum dalam Pasal 166 ayat (2), Pasal 167 ayat (1), Pasal 276 ayat (1), dan Pasal 277 ayat (1) UU MD3:
-        dikuranginya kewenangan Permohon untuk ikut membahas  Rancangan Undang-Undang [vide Pasal 22D ayat (2) UUD 1945] tercantum dalam Pasal 71 huruf c, Pasal 165 dan Pasal 166, Pasal 170 ayat (5), Pasal 171 ayat (1), dan Pasal 249 huruf b UU MD3;
-        dikuranginya kewenangan Pemohon dalam kedudukannya sebagai lembaga perwakilan daerah (territorial representative) [vide Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945] tercantum dalam Pasal 72, 174 ayat (1), Pasal 174 ayat (4), Pasal 174 ayat (5), Pasal 250 ayat (1), Pasal 245 ayat (1), Pasal 252 ayat (4), Pasal 281, Pasal 238, dan Pasal 239 ayat (2) UU MD3;
               Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas pasal dalam undang-undang a quo, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:  

Rabu, 23 September 2015

Konstitusionalitas Persetujuan Tertulis Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam Penyidikan Anggota DPR






Pada tanggal 5 Agustus 2014, salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang konseun di bidang hukum yaitu Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana  mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam  permohonannya Pemohon beranggapan bahwa  Pasal 245 Undang-Undang MD3, yang menyatakan,
(1)   Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2)   Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:
a.    tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b.  disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c.   disangka melakukan tindak pidana khusus.
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: