Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Senin, 05 Oktober 2015

KONSTITUSIONALITAS SUMPAH PROFESI ADVOKAT DALAM UNDANG-UNDANG ADVOKAT



                 
Pada bulan September 2014, para advokat dan konsultan hukum yang terdiri atas Abraham Amos, SH., dkk., mendatangi Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
                  Dalam permohonannya para Pemohon mendalilkan hal sebagai berikut:
·      Pemohon I mendalilkan dirinya sebagai warga negara Indonesia (vide bukti bertanda P-1) yang telah bekerja sebagai konsultan hukum dan magang Advokat di Kantor Hukum Ismet, Subagyo & Partners di Surabaya sejak tahun 2004 sampai sekarang dengan advokat pembimbing Subagyo, S.H., M.H. (vide bukti bertanda P-2). Pemohon I telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) pada 27 Agustus 2005 sampai dengan 30 Oktober 2005 (vide bukti bertanda P-3). Pemohon telah lulus ujian advokat yang diselenggarakan oleh Kongres Advokat Indonesia (KAI) (vide bukti bertanda P-4) dan terdaftar sebagai anggota KAI (vide bukti bertanda P-5). Bahwa Pemohon I mendalilkan mengalami kesulitan berprofesi sebagai advokat untuk beracara di pengadilan karena Mahkamah Agung, oleh Pemohon I, dianggap telah melakukan perbuatan sewenang-wenang dalam menafsirkan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat yaitu sumpah dalam sidang terbuka di Pengadilan Tinggi merupakan kewenangan mutlak Mahkamah Agung yang dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi sehingga Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia tidak bersedia menyelenggarakan Sumpah Advokat untuk Advokat yang bukan anggota PERADI. Padahal, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) berdasarkan Surat Nomor 542/K/PMT/II/2013 bertanggal 11 Februari 2013 (vide bukti bertanda P-6) dan Komisi Yudisial (KY) berdasarkan Surat Nomor 380/P.KY/04/2014 bertanggal 22 April 2014 (vide bukti bertanda P-7) telah meminta Ketua Mahkamah Agung agar memperhatikan hak asasi para Advokat anggota KAI yakni agar para Advokat anggota KAI disumpah dalam sidang Pengadilan Tinggi, namun hingga sekarang Pengadilan Tinggi di Indonesia tetap menolak sumpah para advokat anggota KAI, termasuk Pemohon.  Bahwa Pemohon I juga mendalilkan telah melaksanakan sumpah advokat pada 27 Desember 2012 yang diselenggarakan KAI bekerjasama dengan Rohaniwan Islam Kementerian Agama (vide bukti bertanda P-8) namun Berita Acara Sumpah tersebut tidak diakui para hakim (vide bukti bertanda P-9) yang menjadikan Pemohon sebagai anggota KAI di Surabaya tidak dapat bersumpah di Pengadilan Tinggi Jawa Timur sampai sekarang;
·      Para Pemohon II adalah perseorangan warga negara Indonesia, yang berprofesi sebagai Advokat dari berbagai wadah organisasi Advokat Indonesia sesuai dengan ketentuan dalam UU Advokat namun faktanya para Pemohon II tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai Advokat dengan terbitnya Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 089/KMA/2010, tanggal 25 Juni 2010, yang mana surat keputusan Mahkamah Agung tersebut dipedomani oleh semua jajaran peradilan yang melarang anggota Advokat non-PERADI beracara di seluruh tingkat peradilan, mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, jika tidak dapat menunjukkan Berita Acara Sumpah yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi di wilayah hukumnya. Hal ini, menurut para Pemohon II, adalah tindakan sepihak untuk mendiskriminasi anggota Advokat non-PERADI secara tidak logis dan tidak sesuai dengan ratio legis menurut ketentuan hukum yang berlaku serta tidak diterima oleh akal sehat;
                  Untuk menjawab permasalah tersebut tersebut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:

Jumat, 02 Oktober 2015

MAHKAMAH KONSTITUSI PERJELAS ANJURAN TERTULIS DALAM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL




Pada tanggal 11 Mei 2015, Muhammad Hafidz, dkk., yang merupakan para pekerja di perusahaan di daerah Jakarta dan sekitarnya mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi di registrasi dengan Nomor Perkara 68/PUU-XIII/2015.
              Dalam pokok permohonannya, para Pemohon adalah mengenai pengujian konstitusionalitas frasa “anjuran” dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 13 ayat (2) huruf a:
“Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis.”
Pasal 23 ayat (2) huruf a:
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis”.
Terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Adapun alasan-alasan para Pemohon mengajukan perkara a quo adalah sebagai berikut:
a.  Bahwa tidak ada klausul dalam UU PPHI, mengenai pemberian kewenangan mediator atau konsiliator untuk menerbitkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Akan tetapi sebaliknya, justru mengatur pemberian kewenangan penerbitan anjuran, yang bukan termasuk syarat formil dalam pengajuan gugatan di PHI sehingga tidak memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum bagi para Pemohon dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
b.  Bahwa agar ketentuan Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI, dapat memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 maka para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan pasal a quo konstitusional bersyarat (conditionaly constitutional) sepanjang frasa “anjuran”, dimaknai “sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi”.
Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas perkara a quo, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan hal sebagai berikut:

MAHKAMAH KONSTITUSI BATALKAN SYARAT DUKUNGAN CALON PERSEORANGAN DALAM PEMILUKADA SERENTAK




M. Fadjroel Rachman, dkk., yang juga merupakan Ketua Umum Gerakan Nasional Calon Independen (GNCI) akhirnya mengajukan pengujian konstitusionalitas ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 41 ayat (1), 
Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur jika memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a.    Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen);
b.    Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen);
c.    Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen);
d.    Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan
e.    jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di Provinsi dimaksud.
Pasal 41 ayat (2), 
Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, jika memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a.    Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen);
b. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen);
c.    Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen);
d.    Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan
e.    Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud.
terhadap Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Dalam permohonannya para Pemohon menyampaikan argumentasi sebagai berikut: