Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Senin, 14 Desember 2015

KONSTITUSIONALITAS DELIK PENGHINAAN TERHADAP PEJABAT NEGARA DALAM KUHP




                 Pada tanggal 13 Februari 2015, dua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari Kota Tegal yaitu LSM Humanis Kota Tegal dan LSM Amuk Kota Tegal mengajukan permohoan pengujian Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu
Pasal 319               :  Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali berdasarkan pasal 316.
Adapun yang diminta untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah sepanjang frasa kecuali berdasarkan Pasal 316.
                 Dalam permohonannya para Pemohon yang masing-masing diwakili oleh Ketua LSM tersebut menyatakan bahwa bagian kalimat dalam Pasal 319 KUHP yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon, yaitu kecuali berdasarkan Pasal 316”, berpotensi menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon, yaitu dipidananya para Pemohon karena didakwa melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik seseorang, tanpa adanya laporan langsung oleh orang yang dirugikan akibat tindakan para Pemohon. Potensi kerugian konstitusional tersebut memiliki kemungkinan untuk tidak lagi terjadi seandainya Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon agar menghapuskan bagian kalimat dalam Pasal 319 KUHP dimaksud.
                 Untuk menjawa isu konstitusional norma a quo, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
[3.10]    Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah memohon pengujian konstitusionalitas bagian kalimat “kecuali berdasarkan Pasal 316” dalam Pasal 319 KUHP yang dimaksud selengkapnya menyatakan:
Pasal 319               :  Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali berdasarkan pasal 316.

Jumat, 11 Desember 2015

KONSTITUSIONALITAS TINDAK PIDANA BIDANG KEHUTANAN




Pada tanggal 10 September 2015, beberapa tokoh masyarakat adat dan Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam permohonannya para Pemohon mengajukan dalil yang pada pokoknya sebagai berikut:
                  Pemohon dalam petitumnya memohon agar keseluruhan UU PPPH bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat akan tetapi pada uraian alasan permohonan para Pemohon hanya menguji  Pasal 1 angka 3, Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 11 ayat (4), Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h, huruf k, huruf l, dan huruf m, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 19 huruf a, dan huruf b, Pasal 26, Pasal 46 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 52 ayat (1), Pasal 82 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 83 ayat (1), dan ayat (2), serta ayat (3), Pasal 84 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 87 ayat (1) huruf b dan huruf c, Pasal 87 ayat (2) huruf b dan huruf c, dan Pasal 87 ayat (3), Pasal 88, Pasal 92 ayat (1), Pasal 94 ayat (1), Pasal 98 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 110 huruf b  UU PPPH, serta Penjelasan Pasal 12, Pasal 15 ayat (1) huruf d, Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf e, huruf i, dan huruf k, Pasal 81 UU Kehutanan bertentangan terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dengan alasan:
1.   Pasal 1 angka 3 UU PPPH bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum serta melanggar kepastian hukum;
2.  Pasal 6 ayat (1) huruf d UU PPPH menyebabkan ketidakpastian hukum;

KONSTITUSIONALITAS PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR) DALAM PENGANGKATAN KAPOLRI DAN PANGLIMA TNI




Pada tanggal 26 Januari 2015, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM RI Prof. Denny Indrayana, SH., LLM, Ph.D., dkk., mengajukan permohonan pengujian perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
            Dalam permohonannya para Pemohon menyampaikan kerugian konstitusional yang pada pokoknya sebagai berikut:
a)     Bahwa seharusnya sistem pemerintahan yang dianut negara Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensial, sebagaimana ditegaskan dalam banyak risalah rapat perubahan-perubahan UUD 1945 yang mempertahankan sistem pemerintahan presidensial, dan lebih jauh diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”;
b)    Bahwa UUD 1945 menganut asas kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya didasarkan pada UUD 1945, dengan sistem pemerintahan presidensial. Dalam pemerintahan presidensial, Presiden diserahi mandat untuk memegang kekuasaan tertinggi pemerintahan;
c)    Bahwa mengenai kedaulatan rakyat diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dalam pelaksanaan kedaulatan ini didistribusikan kepada lembaga-lembaga negara, yaitu: Majelis Permusyawaratan Rakyat  (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara RI (Polri);
d)    Bahwa disamping kedudukan dan tugas sebagai Kepala Negara, Presiden juga adalah kepala pemerintahan yang memimpin dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas-tugas eksekutif. Presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan mempunyai kedudukan sebagai pimpinan nasional, dan kepemimpinannya mempunyai jalur perwujudan baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah;