Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Senin, 22 Juni 2015

Konstitusionalitas frasa “bagi bank” dalam Undang-Undang Perbankan



Pada tanggal 16 September 2014,  H. Suhaemi Zakir yang berprofesi sebagai Pedagang mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas sepanjang frasa “bagi bank” dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan  terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai berikut:
Pasal 49 ayat (2) huruf b menyatakan, “Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja”
a.  ...;
b.  Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya      Rp. 5.000.000.000., (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000.000., (seratus miliar rupiah)”.
Permohonan tersebut diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan diregistrasi dengan Nomor 109/PUU-XII/2014 pada tanggal 14 Oktober 2014.
Dalam posita permohonannya Pemohon yang merupakan perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai Pedagang yang juga Pemohon eksekusi pencairan sesuai dengan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 07/Del/2013/PN.JKT.PST juncto Nomor 1485/PDT.G/2008/PN.JKT.SEL, bertanggal 3 Maret 2014.
Bahwa pada tanggal 7 Maret 2014 dan 27 Maret 2014, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah melaksanakan eksekusi pencairan namun belum berhasil karena digagalkan dan dihalang-halangi oleh Bank DKI, yang sejatinya Bank DKI tidak mau taat atau patuh pada perintah hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga frasa “bagi bank”  Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan supaya dihapus.
Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas norma tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:

Jumat, 19 Juni 2015

Konstitusionalitas Batas Usia Minimal Kawin dalam Undang-Undang Perkawinan




Pada tanggal tanggal 5 Maret 2014 para Pemohon yang terdiri atas Zumrotin (Ketua Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan), Indry Oktaviani (Direktur Organisasi Semerlak Cerlang Nusantara),  Fr. Yohana Tantria W (Koordinator Eksekutif Masyarakat untuk Keadilan Gender dan Antar Generasi), Hadiyatut Thoyyibah (Staf Sistem Manajemen Informasi pada Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia), Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA) yang dalam hal ini diwakili oleh Agus Hartono, mengajukan permohonan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai frasa “16 (enam belas) tahunyang selengkapnya menyatakan “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.” dengan menggunakan batu uji atau dasar pengujian Pasal 28A;  Pasal 28B ayat (1) dan (2); Pasal 28C ayat (1); Pasal 28D ayat (1); Pasal 28G ayat (1); Pasal 28H ayat (1), dan (2); serta Pasal 28I ayat (1) dan (2) UUD 1945;
              Dalam posita permohonannya, para Pemohon menyatakan bahwa Pemohon I adalah sebagai badan hukum privat yaitu Yayasan Kesehatan Perempuan  yang berkedudukan hukum di Indonesia yang memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD 1945;
                   Bahwa, menurut Pemohon I, Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menjadi landasan dan dasar hukum dibenarkannya perkawinan anak yang hal ini secara jelas dan tegas menunjukkan kontradiksi atau tidak konsisten dengan segala peraturan yang ada dalam rangka melindungi hak-hak anak, khususnya hak-hak anak perempuan, yang diatur dalam Pasal 28A, Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28I ayat (1) dan (2) UUD 1945, sehingga menimbulkan ketidakpastian, ketidakserasian, dan ketidakseimbangan hukum yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan;

Konstitusionalitas Kawin Beda Agama




Pada tanggal 4 Juli 2014, Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Anbar Jayadi, dan Luthfi Sahputra mengajukan permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”. Permohonan tersebut kemudian di registrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Juli 2014 dengan Nomor 68/PUU-XII/2014 pada tanggal 16 Juli 2014.

Dalam permohonannya para Pemohon menyatakan bahwa para Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang menganggap Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 merugikan hak konstitusional para Pemohon yang ditentukan dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:
1)    Penghakiman yang dilakukan oleh negara terhadap warga negara yang melangsungkan perkawinan melalui Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 merupakan pelanggaran terhadap hak beragama yang diakui melalui Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945;
2)    Pembatasan dalam Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 melanggar hak untuk melangsungkan perkawinan yang sah dan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945;
3)    Norma dalam Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 membuka ruang penafsiran yang amat luas dan menimbulkan pertentangan antar norma sehingga tidak dapat menjamin terpenuhinya hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
4)    Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengenai hak atas persamaan di hadapan hukum dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 mengenai kebebasan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif karena menyebabkan negara melalui aparaturnya memperlakukan warga negaranya secara berbeda;
5)    Pembatasan yang ditentukan melalui Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 tidak sesuai dengan konsep pembatasan terhadap hak dan kebebasan yang ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas norma tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:

Kamis, 11 Juni 2015

KONSTITUSIONALITAS PIMPINAN MPR DALAM UU MD3 2009




Pada tanggal 1 September 2009, 5 orang anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) yaitu WAHIDIN ISMAIL,MARHANY VICTOR POLY PUA,SRI KADARWATI,K. H. SOFYAN YAHYA, dan INTSIAWATI AYUS, dengan dibantu kuasa hukum Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M, dkk., mengajukan permohonan pengujian Pasal 14 ayat (1)Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan, “Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR”, sepanjang menyangkut frasa “yang berasal dari anggota DPR” yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Selanjutnya perkara a quo di registrasi dengan Nomor Perkara  117/PUU-VII/2009;

Dalam positanya para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009 yang berbunyi, “Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR”, karena ketentuan tersebut, sepanjang yang menyangkut frasa “yang berasal dari anggota DPR” telah menutup kesempatan bagi para Pemohon sebagai anggota MPR yang berasal dari anggota DPD untuk menjadi Ketua MPR;

Kerugian hak konstitusional Pemohon tersebut bersifat spesifik dan potensial akan terjadi dengan berlakunya ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009, sehingga juga mempunyai hubungan sebab akibat dengan UU 27/2009 yang dimohonkan pengujian dan dipastikan tidak akan terjadi apabila permohonan para Pemohon dikabulkan;
Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas pasal a quo, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:

Senin, 08 Juni 2015

Yusril Gugat Masa Jabatan Jaksa Agung ke Mahkamah Konstitusi




Pada tanggal 6 Juli 2010 Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH., mengajukan permohonan pengujian  Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi yang kemudian diregistrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dengan registrasi Perkara Nomor 49/PUU-VIII/2010
Dalam permohonannya Prof. Yusril Ihza Mahendra mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan yang mennyatakan, ”Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:... d. berakhir masa jabatannya”;
Menurut Pemohon, Pemohon yang merupakan warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak konstitusional yang dijamin konstitusi untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dalam naungan negara hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pada saat mengajukan permohonan a quo, Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi oleh Jaksa Agung Republik Indonesia, dan kemudian dipanggil menghadap untuk diperiksa berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan atas nama Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor Print-79/F.2/Fd.1/06/2010 tanggal 24 Juni 2010, melanggar Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 12 huruf i Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;
Berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor Print-79/F.2/Fd.1/06/2010 tanggal 24 Juni 2010, Pemohon telah dipanggil sebagai Tersangka sesuai dengan Surat Panggilan Nomor SPT-1170/F.2/Fd.1/06/2010 dan berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-212/D/Dsp.3/06/2010 tanggal 25 Juni 2010, Pemohon telah dicegah untuk meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia selama 1 (satu) tahun;