Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Jumat, 29 Mei 2015

Pajak Menara Telekomunkasi di Gugat ke Mahkamah Konstitusi




Pada tanggal 23 April 2014 Sdr. Nabil Yusuf yang juga menjabat Direktur PT. Kame Komunikasi Indonesia mendatangi Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap UUD 1945.
Dalam permohonannya Nabil Yusuf yang dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Donny Tri Istiqomah, S.H., M.H., menyampaikan tentang adanya kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon khususnya terkait penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menyatakan : "Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut."
menurut Pemohon penjelasan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan:

Kamis, 21 Mei 2015

Bermimpi Memiliki Ponsel Terbaik di Dunia


http://www.samsung.com/id/promotions/galaxy/


Ada perasaan iri dan ingin memiliki sesaat setelah saya melihat sebuah iklan samsung Galaxy S6 dan S6 edge di media televisi. Iklan sederhana tersebut sudah sangat jelas menggambarkan teknologi terbaik telah disematkan oleh samsung ke dalam handphone tersebut.  


Dua hal yang terlihat jelas dalam iklan tersebut adalah teknologi kamera samsung Galaxy S6 yang memiliki resolusi kamera yang tajam, handal dan cepat. Dengan lensa F1.9 dan sensor beresolusi tinggi pada kamera depan (5 MP) dan rear (16 MP) memberikan tampilan gambar superior berkualitas tinggi dari smartphone, bahkan pada kondisi gelap sekalipun. Hal tersebut menjadikan Samsung Galaxy S6 dikategorikan sebagai ponsel dengan kamera ponsel terbaik. 

Hasil foto samsung Galaxy S6 dalam iklan tersebut menggambarkan hasil kamera samsung galaxy S6 yang juga membidik fokus handphone samsung Galaxy S6 edge yang kemudian hasil jepretannya diperlihatkan kepada kita dengan warna yang sungguh sangat menggairkan. Hasil kamera yang terlihat seperti layaknya kita menggunakan kamera DSRL yang sering dipakai oleh para fotografer profesional. Tentunya apabila kita memiliki handphone tersebut minimal kita tidak perlu susah payah membawa kamera yang besar seperti DSRL karena kualitas yang dihasilkan oleh kamera samsung Galaxy S6 juga sebanding dengan kamera DSLR.

Senin, 18 Mei 2015

Konstitusionalitas Bantuan Hukum oleh LBH/LKBH dalam UU Advokat




Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang juga menjabat direktur LKBH UMM yang dipimpin oleh Tongat, SH., dan Sumali, SH., pada tangga 25 Maret 2004 mengajukan permohonan pengujian UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 31 yang menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat, tetapi bukan advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000 000,00 (lima puluh juta) rupiah”;
                Dalam permohonannya para Pemohon menyatakan bahwa pasal a quo telah merugikan hak konstitusional para Pemohon sebagai dosen dan juga pengacara yang sering memberikan bantuan hukum kepada masyarakat. Pasal dalam Undang-undang Advokat tersebut hanya mengakui profesi Advokat an-sich yang memiliki otoritas di dalam pelayanan hukum baik di dalam dan di luar pengadilan. Padahal faktanya bahwa pada saat sebelum lahirnya UU No. 18 Tahun 2003, Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM sebagai institusi nirlaba (non profit oriented) telah memainkan peran penting di dalam advokasi hukum kepada masyarakat yang tidak mampu, baik dalam bentuk litigasi maupun non litigasi.

Konstitusionalitas Organisasi Serikat Pekerja/Buruh Dalam UU Ketenagakerjaan





Pada tanggal 15 Oktober 2003 para pekerja yang tergabung dalam berbagai organisasi pekerja di Jabotabek yaitu Saepul Tavip, dkk., mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam permohonannya para Pemohon menyatakan bahwa para Pemohon yaitu sebanyak 37 orang adalah para pemimpin dan aktivis organisasi serikat buruh/pekerja yang tumbuh dan berkembang secara swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang bergerak dan didirikan atas kepedulian untuk dapat memberikan perlindungan dan penegakan keadilan, hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya bagi buruh/pekerja yang selama ini seringkali dipinggirkan nasibnya;

Rabu, 13 Mei 2015

Oli Mobil Terbaik di Indonesia – Total Quartz



http://www.total.id/en-us


Kendaraan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Teknologi kendaraan juga berkembang dengan pesat seiring dengan kemajuan zaman. Teknologi mesin juga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kini kita bisa melihat banyak sekali pameran kendaraan, baik roda dua atau roda empat yang memamerkan kendaraan yang bermesin canggih, interior ekslusif dan tentuany ramah lingkungan.

Biasanya mobil adalah termasuk jenis kendaraan yang boleh dikatakan agak sedikit mewah dibandingkan motor, karena biasanya pembelian mobil dilakukan karena alasan mencari kenyaman atau karena sudah lelah naik motor atau bosen naik angkutan umum.

Senin, 11 Mei 2015

Konstitusionalitas KONI dan KOI



Pada tanggal 21 Februari 2014 Ketua KONI Pusat Bapak MAYJEND TNI (PURN) TONO SURATMAN secara resmi mengajukan permohonan pengujian
UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG SISTEM KEOLAHRAGAAN NASIONAL TERHADAP UUD 1945 dan telah diregistrasi oleh Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara 19/PUU-XII/2014.

Dalam permohonannya, KONI yang diwakili oleh kuasa hukumnya PROF. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA, SH., DKK., menyatakan bahwa UU a quo telah merugikan hak konstitusional lembaga olahraga KONI sehingga telah menyebabkan KONI tidak dapat maksimal memajukan olahraga Indonesia.

Bahwa dalam putusan perkara a quo, Mahkamah Konstitusi pada pokoknya menolak permohonan Pemohon secara keseluruhan dan Mahkamah Konstitusi juga memberikan penafsiran khusus terkait frasa “komite olahraga” yang dinyatakan dalam amar putusannya yaitu frasa “komite olahraga” yang tercantum dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 46 UU SKN bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Komite Olahraga Nasional Indonesia dan komite olahraga lainnya”
 
Adapun pendapat mahkamah konstitusi dalam putusan a quo yang dijadikan isu hukum utama dan yang dijadikan acuan dalam memberikan pendapat adalah sebagai berikut:
1.      Bahwa terkait frasa “komite olahraga“ yang menurut Pemohon penyebutannya dalam UU a quo tidak tegas, menurut Mahkamah semangat pembentukan komite olahraga dalam beberapa keputusan presiden yang telah dikeluarkan sebelum dibentuknya UU SKN memang berbeda dengan semangat yang ada dalam UU SKN.
Adanya penyebutan nama komite yang tidak tegas disebutkan dalam Pasal 36 ayat (1) dan pasal lainnya dalam UU SKN dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada induk organisasi cabang olahraga untuk memberikan nama sendiri komite olahraga nasional yang dibentuknya tersebut. Sedangkan Komite Olahraga Indonesia (KOI) disebutkan secara tegas karena nama KOI merupakan nama yang sudah baku dan diakui oleh International Olympic Commite (IOC).
Menurut Mahkamah frasa “komite olahraga” dalam Pasal 36 ayat (1)dan pasal lainnya dalam UU SKN tidak menimbulkan multitafsir karena pembentukan UU SKN tidak dimaksudkan untuk hanya membentuk satu organisasi keolahragaan nasional sebagai wadah tunggal dari cabang olahraga tetapi justru dimungkinkan adanya beberapa organisasi kelohragaan nasional yang dibentuk oleh induk cabang olahraga. [lihat paragraf 3.16.1 hal 136-137]
2.      Bahwa terkait pembatasan rangkap jabatan dalam KONI dan dalam jabatan publik atau jabatan struktural Pemerintahan yang tercantum dalam Pasal 40 UU SKN, Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut merupakan open legal policy dari pembentuk UU dan tidak melanggar konstitusi;
3.      Bahwa terkait KOI mahkamah berpendapat bahwa meskipun pekan olahraga internasional yang dilaksanakan oleh KOI diselenggarakan pada waktu tertentu namun keberadaan KOI bukanlah bersifat ad hoc atau sementara karena pelaksanaan kegiatan olehraga internasional dilaksanakan secara teratur dan berkesinambungan sebagaimana diatur dalam Pasal 6  piagam olimpiade.
Selain itu Mahkamah berpendapat bahwa menurut sejarahnya KOI dan KONI memang lembaga yang berbeda, demikian pula penempatan kedua lembaga tsb dalam UU SKN berada dalam bab yang berbeda yaitu KONI diatur dalam Bab VIII tentang Pengeolaan Keolahragaan sedangkan KOI diatur dalam Bab IX tentang Penyelengaraan Kejuaraan Olahraga.
4.      Bahwa menurut Mahkamah tidak ada tumpang tindih kewenangan dalam UU SKN antara Pemerintah, KONI, KOI dan induk cabang olahraga dan dalam melaksanakan kewenangannya tidak berdiri sendiri namun harus saling berkordinasi sebagaimana dipertegas dalam penjelasan UU SKN.
Selain itu, menurut Mahkamah dalam event Internasional kapasitas KOI hanya sebagai penyelenggara sedangkan terkait SDM atlet harus berkordinasi dan bersinergi dengan KONI dan induk organisasi cabang olahraga yang akan dipertandingkan. Menurut Mahkamah kordinasi dan sinergi hanya mungkin terjadi apabila KONI dan KOI dapat menyatukan visi, misi dan aksi dengan semnagat untuk memajukan olahraga nasional   


Konstitusionalitas Pengawasan Advokat dan Notaris dalam UU Mahkamah Agung




Tiga orang Advokat asal Jakarta masing-masing bernama Dominggus Maurits Luitnan, S.H., L.A . Lada, S.H.,  dan H. Azi Ali Tjasa, S.H., M.H., pada tanggal 26 Agustus 2004 mengajukan Pengujian Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.
Para Advokat tersebut beranggapan bahwa pasal a quo telah menyebabkan terlanggarnya hak konstitusional para Pemohon selaku Advokat sehingga menurut para Pemohon pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
                Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Menimbang bahwa Para Pemohon mendalilkan, Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 (dengan Penjelasannya) tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan (3) UUD 1945. Pasal 36 a quo berbunyi, “Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris”. Dalam penjelasan Pasal 36 tersebut selanjutnya dinyatakan, “Pada umumnya pembinaan dan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris adalah tanggung jawab Pemerintah. Khusus dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya yang menyangkut peradilan, para Penasihat Hukum dan Notaris berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung. Dalam melakukan pengawasan itu Mahkamah Agung dan Pemerintah menghormati dan menjaga kemandirian Penasihat Hukum dan Notaris dalam melaksanakan tugas jabatan masing-masing. Dalam hal diperlukan penindakan terhadap diri seorang Penasihat Hukum atau seorang Notaris yang berupa pemecatan dan pemberhentian, termasuk pemberhentian sementara, organisasi profesi masing-masing terlebih dahulu didengar pendapatnya”.
Para Pemohon mendalilkan, pengawasan terhadap Penasihat Hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Pemerintah, sebagaimana tertuang dalam Pasal 36 dan penjelasannya di atas, telah merugikan hak konstitusional mereka karena menurut Para Pemohon hal itu bertentangan dengan Pasal 12 Undang-undang Advokat (Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003), yang menyatakan bahwa pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat. Oleh karena Undang-undang Advokat dimaksud, dalam pandangan Para Pemohon, didasari oleh semangat dan dijiwai oleh makna Pasal 24 UUD 1945, maka Pasal 36 dimaksud juga berarti bertentangan dengan UUD 1945.
Menimbang bahwa pengawasan terhadap suatu profesi, lebih-lebih yang fungsinya melayani kepentingan publik, adalah suatu keniscayaan, bahkan dapat dikatakan merupakan hal yang bersifat melekat (inherent) pada profesi itu sendiri. Sehingga, pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi suatu profesi yang melayani kepentingan publik dimaksud merupakan kebutuhan sekaligus keharusan agar publik yang dilayani oleh profesi itu tidak dirugikan. Oleh karena itu, independensi atau kemandirian suatu profesi tidak boleh diartikan bebas dari pengawasan. Namun, pengawasan juga tidak boleh diartikan sedemikian rupa sehingga sulit untuk dibedakan dengan campur tangan yang terlalu jauh yang mengakibatkan seseorang yang menjalankan suatu profesi, dalam hal ini profesi advokat, menjadi terhambat dalam melaksanakan fungsinya secara independen.
Menimbang bahwa, meskipun telah dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 (tentang Mahkamah Agung) dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, Pasal 36 ternyata tidak termasuk ketentuan yang mengalami perubahan, sehingga masih tetap sebagaimana rumusan aslinya. Kenyataan ini diperkuat oleh fakta lain yaitu tidak dimasukkannya substansi Pasal 36 tersebut sebagai agenda yang akan dibicarakan dalam rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah selama berlangsungnya proses perubahan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, sebagaimana diterangkan oleh kuasa hukum DPR dalam persidangan Mahkamah tanggal 2 Februari 2005, hal mana diperkuat oleh risalah yang memuat DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) Persandingan RUU Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang dikeluarkan oleh Sekretariat Badan Legislasi DPR RI, dalam risalah mana memang tidak tercantum materi Pasal 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagai agenda yang akan dilakukan perubahan. Sebagai akibatnya, Pasal 36 a quo telah menimbulkan tidak terdapatnya persesuaian dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan sejumlah undang-undang lain;
Menimbang bahwa keberadaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dimaksud adalah berkait erat dengan perubahan pada sejumlah undang-undang lain yang disebabkan oleh adanya perubahan cara pandang dalam menilai keberadaan rejim hukum yang berkait dengan pengawasan, maka guna memahami esensi permohonan Para Pemohon dan alur pikir dalam menilai permohonan a quo, Mahkamah memandang perlu untuk terlebih dahulu memeriksa ketentuan terkait yang terdapat dalam sejumlah undang-undang tersebut, yaitu:
1. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985;
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004;
4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986;
5. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004;
6. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004:
a. Bahwa Pasal 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan, “Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris”. Selanjutnya, dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan, “Pada umumnya pembinaan dan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris adalah tanggung jawab Pemerintah. Khusus dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya yang menyangkut peradilan, para Penasihat Hukum dan Notaris berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung. Dalam melakukan pengawasan itu Mahkamah Agung dan Pemerintah menghormati dan menjaga kemandirian Penasehat Hukum dan Notaris dalam melaksanakan tugas jabatan masing-masing. Dalam hal diperlukan penindakan terhadap diri seorang Penasehat Hukum atau seorang Notaris yang berupa pemecatan dan pemberhentian, termasuk pemberhentian sementara, organisasi profesi masing-masing terlebih dahulu didengar pendapatnya”.
b. Bahwa, sebagaimana telah diuraikan di atas, ketentuan Pasal 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tersebut pada huruf a, tidak diubah oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
c. Bahwa, Pasal 54 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyatakan:
(1) Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pekerjaan penasihat hukum dan notaris di daerah hukumnya, dan melaporkan hasil pengawasannya kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman;
(2) Berdasarkan hasil laporan tersebut dalam ayat (1), Menteri Kehakiman dapat melakukan penindakan terhadap penasihat hukum dan notaris yang melanggar peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan yang bersangkutan, setelah mendengar usul/pendapat Ketua Mahkamah Agung dan organisasi profesi yang bersangkutan;
(3) Sebelum Menteri Kehakiman melakukan penindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), kepada yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk mengadakan pembelaan diri;
(4) Tata cara pengawasan dan penindakan serta pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur lebih lanjut oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman berdasarkan undang-undang;
d. Bahwa Pasal 54 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 di atas kemudian diubah oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 (butir 35) sehingga menjadi berbunyi:
(1) Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pekerjaan notaris di daerah hukumnya, dan melaporkan hasil pengawasannya kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung, dan Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi jabatan notaris;
(2) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi jabatan notaris dapat melakukan penindakan terhadap notaris yang melanggar peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan yang bersangkutan, setelah mendengar pendapat organisasi profesi yang bersangkutan;
(3) Sebelum Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengadakan pembelaan diri;
(4) Tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung;
(5) Ketentuan mengenai tata cara penindakan dan pembelaan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Kata “penasihat hukum” dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986, yang diubah oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tersebut, dihapus. Dengan demikian, penasihat hukum (yang setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 disebut Advokat) sejak saat itu telah tidak lagi berada di bawah pengawasan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi (sebagai bagian dari pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum di bawah Mahkamah Agung);
e. Bab XIII Ketentuan Penutup, Pasal 91, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan,
Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku:
1. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb. 1860:3) sebagaimana telah diubah, terakhir dalam Lembaran Negara 1945 Nomor 101;
2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;
3. Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara 1954 Nomor 101);
4. Pasal 54 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan
5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Menimbang bahwa berdasarkan rangkaian ketentuan dalam sejumlah undang-undang di atas, dengan menggunakan penafsiran gramatikal dan sistematis, sesungguhnya Pasal 54 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 (yang telah diubah oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004) telah dicabut secara menyeluruh oleh Undang-undang Jabatan Notaris yang dengan demikian secara tidak langsung juga berarti telah mengubah ketentuan Pasal 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 juncto Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 sehingga membawa implikasi yuridis bahwa pengawasan terhadap advokat (yang sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 disebut “penasihat hukum”) yang sebelumnya dilakukan oleh Mahkamah Agung dan pengadilan-pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang berada di bawahnya, yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, sudah tidak berlaku lagi dan yang berlaku adalah ketentuan Pasal 12 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang ayat (1)-nya menyatakan, “Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh organisasi Advokat”, sementara pada ayat (2)-nya dikatakan, “Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar Advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundang-undangan”;
Menimbang bahwa berdasarkan analisis dan alur pikir sebagaimana diuraikan di atas, ternyata di satu pihak, Mahkamah tidak menemukan adanya hak konstitusional sebagaimana didalilkan oleh Para Pemohon yang dilanggar dengan tidak diubahnya ketentuan Pasal 36. Namun di pihak lain, telah nyata bagi Mahkamah bahwa pembentuk undang-undang tidak cermat dalam melaksanakan kewenangannya yang berakibat pada timbulnya inkonsistensi antara satu undang-undang dan undang-undang lainnya. Inkonsistensi demikian telah menimbulkan keragu-raguan dalam implementasi undang-undang bersangkutan yang bermuara pada timbulnya ketidakpastian hukum, keadaan mana potensial menimbulkan pelanggaran terhadap hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Ketidakpastian hukum demikian juga inkonsisten dengan semangat untuk menegakkan prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum di mana kepastian hukum merupakan prasyarat yang tak dapat ditiadakan;
Menimbang bahwa kendatipun Mahkamah menerima prinsip universal lex specialis derogat lex generalis sebagai salah satu asas dalam melakukan penafsiran hukum dan penafsiran konstitusi (constitutional interpretation), Mahkamah tidak sependapat dengan pandangan Pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam keterangan tertulis Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia bertanggal 17 Januari 2005 yang menyatakan bahwa permohonan a quo bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, tetapi merupakan kewenangan pembentuk undang-undang (legislative review). Di samping itu pertentangan di antara kedua undang-undang tersebut tidaklah berkaitan dengan asas lex specialis derogat lex generalis sebagaimana dikemukakan oleh Pemerintah, karena kedua undang-undang dimaksud ternyata mengatur dua hal yang berbeda, sehingga yang satu bukan merupakan lex specialis dari yang lain;
Menimbang bahwa Mahkamah juga tidak sependapat dengan Para Pemohon yang dalam permohonannya menganggap dirinya memiliki hak konstitusional berdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, yang digunakan Para Pemohon untuk mendalilkan bahwa Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 bertentangan dengan prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman karena Pasal 36 dimaksud memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung dan Pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap advokat. Pengawasan terhadap Advokat yang menurut Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Advokat (Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003) kewenangannya diberikan kepada Organisasi Advokat, adalah dengan maksud agar dalam menjalankan profesinya, Advokat selalu menjunjung tinggi kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-undang Advokat;
Menimbang bahwa terlepas dari kekurangan Para Pemohon dalam membangun argumentasi guna mendukung dalil-dalilnya, Mahkamah berkesimpulan bahwa ketidakcermatan dalam proses perubahan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 menjadi Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, yang tidak mengubah Pasal 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 dimaksud, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya, sehingga setelah berlakunya Pasal 12 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka keberadaan dan keberlakuan Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan oleh karenanya permohonan Para Pemohon harus dikabulkan;
Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berpendirian Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945, pendirian Mahkamah tersebut tidak dimaksudkan untuk diartikan bahwa Advokat sama sekali terlepas dari pengawasan oleh pihak-pihak lain di luar organisasi advokat. Pemerintah, begitu pun lembaga peradilan, dengan sendirinya tetap memiliki kewenangan yang bersifat melekat (inherent power) untuk melakukan pengawasan di luar pengawasan profesional sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Advokat, seperti halnya pengawasan terhadap organisasi Advokat dan pengawasan terhadap Advokat dalam beracara di persidangan pengadilan.
M E N G A D I L I:
Mengabulkan permohonan Para Pemohon;
Menyatakan Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

===============

Konstitusionalitas Pihak Ketiga dalam KUHAP




Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi (MAKI), yang diwakili ole Boyamin dan Supriyadi pada tanggal 26 September 2012 mengajukan pengujian  Pasal 80 UU 8/1981 sepanjang frasa “pihak ketiga yang berkepentingan”, sebagai berikut: “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan dengan menyebutkan alasannya” terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945
Adapun alasan para Pemohon mengajukan pengujian pasa tersebut adalah karena Pemohon selaku perkumpulan mendalilkan memiliki hak konstitusional yang dilindungi oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Menurut Pemohon, hak konstitusionalnya tersebut telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 80 UU 8/1981 dikarenakan adanya penafsiran yang sempit mengenai frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” yaitu saksi korban tindak pidana atau pelapor dan bukan pihak ketiga dalam arti luas yang meliputi masyarakat luas yang diwakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dan diatur dalam Undang-Undang. Dengan adanya penafsiran yang sempit tersebut, mengakibatkan Pemohon tidak serta merta dapat mengajukan praperadilan atas perkara-perkara korupsi sehingga proses pencegahan dan pemberantasan korupsi berjalan tidak seimbang dan meniadakan prinsip keadilan yang diatur dalam UUD 1945;
            Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas tersebut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Bahwa terhadap penafsiran frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 UU 8/1981, Mahkamah telah menjatuhkan putusan dalam perkara Nomor 76/PUU-X/2012 pada tanggal 8 Januari 2013, yang dalam pertimbangannya, antara lain:
paragraf [3.15] menyatakan, “...walaupun KUHAP tidak memberikan interpretasi yang jelas mengenai siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, namun menurut Mahkamah, yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan bukan hanya saksi korban tindak pidana atau pelapor tetapi harus juga diinterpretasikan secara luas. Dengan demikian, interpretasi mengenai pihak ketiga dalam pasal a quo tidak hanya terbatas pada saksi korban atau pelapor saja tetapi juga harus mencakup masyarakat luas yang dalam hal ini bisa diwakili oleh perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama yaitu untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy) seperti Lembaga Swadaya Masyarakat atau Organisasi Masyarakat lainnya karena pada hakikatnya KUHAP adalah instrumen hukum untuk menegakkan hukum pidana. Hukum pidana adalah hukum yang ditujukan untuk melindungi kepentingan umum”;
paragraf [3.16] menyatakan, “...peran serta masyarakat baik perorangan warga negara ataupun perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy) sangat diperlukan dalam pengawasan penegakan hukum. Mahkamah sebagai pengawal konstitusi dalam beberapa putusannya juga telah menguraikan mengenai kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang yang bukan hanya kepada perseorangan warga negara Indonesia tetapi juga perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy) yaitu berbagai asosiasi dan Non-Governmental Organization (NGO) atau LSM yang concern terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan publik ...”;
Bahwa norma yang dimohonkan oleh Pemohon dalam perkara a quo adalah sama dengan norma yang dimohonkan dalam permohonan Nomor 76/PUU-X/2012, namun maksud permohonan dalam perkara Nomor 76/PUUX/ 2012 adalah untuk mempersempit penafsiran frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 UU 8/1981 sehingga permohonannya ditolak, sedangkan maksud permohonan Pemohon a quo adalah sebaliknya, yaitu untuk memperluas penafsiran frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 UU 8/1981. Oleh karena maksud permohonan dalam permohonan a quo sudah sejalan dengan pertimbangan Mahkamah dalam perkara Nomor 76/PUU-X/2012 tersebut di atas maka pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitus Nomor 76/PUU-X/2012 tersebut mutatis mutandis menjadi pertimbangan pula dalam permohonan a quo;
Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Mahkamah menilai dalil-dalil Pemohon beralasan menurut hukum;
AMAR PUTUSAN,
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
1.1. Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) adalah bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”;
1.2. Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

=======================

Jumat, 08 Mei 2015

Konstitusionalitas Peninjaun Kembali (PK) Boleh Berkali-kali




Pada tanggal 8 Maret 2013, mantan Ketua KPK Antasari Azhar, S.H., M.H., beserta istri dan anaknya mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan, “Permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja” terhadap UUD 1945, khususnya Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan:
Pasal 1 ayat (3) : “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”;
Pasal 24 ayat (1) : “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”;
Pasal 28C ayat (1): “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”;
Pasal 28D ayat (1) : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
          Para Pemohon dalam uraian positanya menyampaikan kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon sebagai berikut:
§  Bahwa Pemohon Antasari Azhar, S.H., M.H., sebagai perseorangan warga negara Indonesia selaku terpidana pada perkara pidana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel yang telah diputus pada tanggal 11 Februari 2010. Terhadap putusan tersebut Pemohon Antasari Azhar, S.H., M.H., mengajukan upaya hukum biasa yaitu permohonan kasasi yang diputus oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor 1429K/Pid/2010, tanggal 21 September 2010 dan terhadap putusan tersebut, Pemohon Antasari Azhar, S.H., M.H., mengajukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK) dan telah diputus oleh Mahkamah Agung Nomor 117PK/Pid/2011, tanggal 13 Pebruari 2012, yang amarnya menyatakan menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Pemohon Antasari Azhar, S.H., M.H. Pemohon bermaksud mengajukan PK terhadap perkara tersebut, namun karena berlakunya Pasal 268 ayat (3) KUHAP, Pemohon Antasari Azhar, S.H., M.H., tidak dapat mengajukan upaya hukum PK lagi untuk membersihkan namanya, jika suatu saat terdapat keadaan baru yang dapat memberikan putusan berbeda dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel, tanggal 11 Februari 2010 juncto putusan Mahkamah Agung Nomor 1429K/Pid/2010, tanggal 21 September 2010. Atas dasar dalil tersebut yang dihubungkan dengan hak konstitusional yang ditentukan dalam UUD 1945, khususnya Pasal 28D ayat (1), menurut Mahkamah, Pemohon telah mengalami kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi serta terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian yang apabila dikabulkan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, Pemohon  Antasari Azhar, S.H., M.H., memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
§  Pemohon Ida Laksmiwaty S.H., dan Ajeng Oktarifka Antasariputri sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang merupakan isteri dan anak dari Pemohon Antasari Azhar, S.H., M.H., oleh karenanya memiliki hubungan sebagai keluarga yang dapat mengajukan peninjauan kembali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Dengan demikian, secara potensial dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP sehingga terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian yang apabila dikabulkan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
          Setelah melalui persidangan yang panjang, akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan permohonan perkara a quo  pada tangga 6 Maret 2014 dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Pendapat Mahkamah
Tentang Ne bis in idem
[3.13] Menimbang bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP, pernah dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010, tanggal 15 Desember 2010 (vide keterangan tertulis Presiden dan DPR). Oleh karena itu, Mahkamah akan mempertimbangkan terlebih dulu apakah permohonan para Pemohon tersebut ne bis in idem?
Untuk mempertimbangkan hal tersebut, Mahkamah perlu merujuk Pasal 60 ayat (2) UU MK yang menyatakan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka terhadap pasal yang telah diajukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah dapat diujikembali apabila terdapat dasar pengujian yang berbeda. Menurut Mahkamah, setelah memperhatikan secara saksama permohonan para Pemohon, ternyata dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan Nomor 16/PUU-VIII/2010 yang diputus Mahkamah Konstitusi pada tanggal 15 Desember 2010, adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Selain itu, Pemohon dalam permohonan Nomor 16/PUU-VIII/2010 adalah badan hukum privat (PT. Harangganjang), sedangkan dalam perkara a quo terdapat pasal lain dari UUD 1945 yang menjadi dasar pengujian berbeda, yaitu Pasal 24 ayat (1): “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” serta Pasal 28C ayat (1) khususnya mengenai hak untuk memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kaitannya dengan keadaan baru dalam rangka mengajukan peninjauan kembali atas perkara yang telah diputus oleh Mahkamah Agung. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon tidak ne bis in idem, sehingga Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan;
[3.14] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai isu konstitusional yang dipermasalahkan oleh para Pemohon yaitu apakah pembatasan pengajuan peninjauan kembali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945?
[3.15] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan isu konstitusional tersebut, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Alasan untuk dapat mengajukan PK sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP yang menyatakan, “Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Alasan tersebut pada umumnya terkait dengan hakikat dalam proses peradilan perkara pidana yang benar-benar pembuktiannya harus meyakinkan hakim mengenai kebenaran terjadinya suatu peristiwa (kebenaran materiil), yaitu suatu kebenaran yang di dalamnya tidak terdapat lagi keraguan. Pencarian kebenaran yang demikian dilatarbelakangi oleh sifat hukum pidana seperti dalam ungkapan, “bak pedang bermata dua”. Artinya, hukum pidana dimaksudkan untuk melindungi manusia, tetapi dengan cara mengenakan pidana pada hakikatnya menyerang apa yang dilindungi dari manusia;
2. Prinsip negara hukum yang telah diadopsi dalam UUD 1945 meletakkan suatu prinsip bahwa setiap orang memiliki hak asasi (HAM), yang dengan demikian mewajibkan orang lain, termasuk di dalamnya negara, untuk menghormatinya.
Bahkan secara konstitusional, ketentuan konstitusional tentang HAM tersebut dalam perspektif historis-filosofis dalam pembentukan negara dimaksudkan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab (vide Pembukaan UUD 1945). Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan terhadap HAM. [vide Pasal 28I ayat (4) UUD 1945]. Prinsip sebagaimana diuraikan di atas, terutama yang terakhir, melahirkan suatu prinsip yang lain bahwa proses peradilan dalam perkara pidana harus sampai pada kebenaran materiil, suatu kebenaran yang di dalamnya tidak terdapat lagi keraguan. Dari prinsip yang demikian lahir pula prinsip dalam proses peradilan pidana yaitu “lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada menjatuhkan pidana kepada seseorang yang tidak bersalah”. Di dalam ungkapan tersebut terdapat makna yang dalam, bahwa ketika pengadilan menjatuhkan putusan yang menyatakan seseorang bersalah dan karena itu dijatuhi pidana haruslah benar-benar didasarkan pada suatu fakta hukum yang diyakini sebagai suatu kebenaran. Kalau tidak demikian maka akan terjadi bahwa negara melalui pengadilan pidana telah melanggar HAM, padahal secara konstitusional negara melalui proses peradilan justru harus melindungi HAM [vide Pasal 24 ayat (1) UUD 1945];
3. Kewajiban negara untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai prinsip negara hukum yang demokratis mengharuskan pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (5) UUD 1945]. Hukum acara pidana merupakan implementasi dari penegakan dan perlindungan HAM sebagai ketentuan konstitusional dalam UUD 1945. Hal demikian sesuai pula dengan prinsip negara hukum yang demokratis, yaitu due process of law;
4. Terkait dengan penegakan dan perlindungan HAM yang juga merupakan hak konstitusional berdasarkan UUD 1945 maka dalam proses peradilan pidana yang dialami seseorang haruslah mendapatkan kepastian hukum yang adil [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945]. Dalam hal ini ditekankan bahwa kepastian hukum yang acapkali mendominasi suatu proses peradilan diberikan syarat yang fundamental, yaitu keadilan yang menjadi kebutuhan dasar bagi setiap insan, termasuk ketika menjalani proses peradilan. Karena itulah pentingnya diatur peninjauan kembali supaya setiap orang dalam proses peradilan pidana yang dijalaninya tetap dapat memperoleh keadilan, bahkan ketika putusan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dengan alasan tertentu yang secara umum terkait dengan keadilan;
Berdasarkan ketiga alasan PK sebagaimana diuraikan di atas, terdapat satu alasan terkait dengan terpidana, sedangkan kedua alasan lainnya terkait dengan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Alasan satu-satunya yang terkait dengan terpidana yaitu menyangkut peristiwa yang menguntungkan terpidana berupa keadaan baru (novum) yang manakala ditemukan ketika proses peradilan berlangsung putusan hakim diyakini akan lain [vide Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP]. Oleh karena itu dan karena terkait dengan keadilan yang merupakan hak konstitusional atau HAM bagi seseorang yang dijatuhi pidana, selain itu pula karena kemungkinan keadaan baru (novum) dapat ditemukan kapan saja, tidak dapat ditentukan secara pasti kapan waktunya maka adilkah manakala PK dibatasi hanya satu kali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Apa sesungguhnya makna keadilan sebagai hak konstitusional bagi seseorang yang terpenuhinya merupakan kewajiban negara, jika negara justru menutupnya dengan ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP;
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan apakah dalil para Pemohon bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang menyatakan, “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja” bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap hal tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa upaya hukum luar biasa PK secara historis-filosofis merupakan upaya hukum yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana. Menurut Mahkamah, upaya hukum PK berbeda dengan banding atau kasasi sebagai upaya hukum biasa. Upaya hukum biasa harus dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum karena tanpa kepastian hukum, yaitu dengan menentukan limitasi waktu dalam pengajuan upaya hukum biasa, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tentu akan melahirkan ketidakadilan dan proses hukum yang tidak selesai.
Dengan demikian, ketentuan yang menjadi syarat dapat ditempuhnya upaya hukum biasa di samping terkait dengan kebenaran materiil yang hendak dicapai, juga terkait pada persyaratan formal yaitu terkait dengan tenggang waktu tertentu setelah diketahuinya suatu putusan hakim oleh para pihak secara formal pula.
Adapun upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil. Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi bahwa upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali) hanya dapat diajukan satu kali, karena mungkin saja setelah diajukannya PK dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial baru ditemukan yang pada saat PK sebelumnya belum ditemukan. Adapun penilaian mengenai sesuatu itu novum atau bukan novum, merupakan kewenangan Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan mengadili pada tingkat PK. Oleh karena itu, yang menjadi syarat dapat ditempuhnya upaya hukum luar biasa adalah sangat materiil atau substansial dan syarat yang sangat mendasar adalah terkait dengan kebenaran dan keadilan dalam proses peradilan pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP, yang menyatakan “Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. .... dst”;
Karakter kebenaran mengenai peristiwa yang menjadi dasar dalam putusan perkara pidana adalah kebenaran materiil berdasarkan pada bukti yang dengan bukti-bukti tersebut meyakinkan hakim, yaitu kebenaran yang secara rasional tidak terdapat lagi keraguan di dalamnya karena didasarkan pada bukti yang sah dan meyakinkan. Oleh karena itu, dalam perkara pidana bukti yang dapat diajukan hanya ditentukan batas minimalnya, tidak maksimalnya. Dengan demikian, untuk memperoleh keyakinan dimaksud hukum harus memberikan kemungkinan bagi hakim untuk membuka kesempatan diajukannya bukti yang lain, sampai dicapainya keyakinan dimaksud;
Sejalan dengan karakter kebenaran tersebut di atas, karena secara umum, KUHAP bertujuan untuk melindungi HAM dari kesewenang-wenangan negara, terutama yang terkait dengan hak hidup dan kebebasan sebagai hak yang sangat fundamental bagi manusia sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 maka dalam mempertimbangkan PK sebagai upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP haruslah dalam kerangka yang demikian, yakni untuk mencapai dan menegakkan hukum dan keadilan. Upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak untuk diadakan pembatasan, namun upaya pencapaian keadilan hukum tidaklah demikian, karena keadilan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar, lebih mendasar dari kebutuhan manusia tentang kepastian hukum;
Kebenaran materiil mengandung semangat keadilan sedangkan norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas keadilan. Oleh karena itu, upaya hukum untuk menemukan kebenaran materiil dengan tujuan untuk memenuhi kepastian hukum telah selesai dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan menempatkan status hukum terdakwa menjadi terpidana. Hal tersebut dipertegas dengan ketentuan Pasal 268 ayat (1) KUHAP yang menyatakan, “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut”.
[3.16.2] Menimbang bahwa Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”, menurut Mahkamah, pembatasan yang dimaksud oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tersebut tidak dapat diterapkan untuk membatasi pengajuan PK hanya satu kali karena pengajuan PK dalam perkara pidana sangat terkait dengan hak asasi manusia yang paling mendasar yaitu menyangkut kebebasan dan kehidupan manusia. Lagi pula, pengajuan PK tidak terkait dengan jaminan pengakuan, serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan tidak terkait pula dengan pemenuhan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis;
[3.16.3] Menimbang bahwa benar dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet yakni setiap perkara harus ada akhirnya, namun menurut Mahkamah, hal itu berkait dengan kepastian hukum, sedangkan untuk keadilan dalam perkara pidana asas tersebut tidak secara rigid dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum). Hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan [vide Pasal 24 ayat (1) UUD 1945] serta sebagai konsekuensi dari asas negara hukum;
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 268 ayat (3) KUHAP adalah beralasan menurut hukum;
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon:
1.1.Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2.Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
================