BATASAN SYARAT TERPIDANA BAGI CALON PESERTA
PILKADA
Oleh
Hani
Adhani [1]
Perjalanan Pemilihan Kepada Daerah
(Pilkada) yang saat ini dilaksanakan secara serentak sepertinya terus
menimbulkan banyak permasalahan baru yang berujung di Mahkamah Konstitusi.
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sudah banyak
warga masyarakat Indonesia yang melakukan pengujian undang-undang (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi
dan UU Pilkada termasuk salah satu undang-undang yang paling banyak di uji di
Mahkamah Konstitusi.
Salah satu isu konstitusional yang
kembali di uji di Mahkamah Konstitusi adalah terkait dengan norma persyaratan
calon peserta Pilkada yang diatur dalam Pasal
7 ayat (2) huruf g yang menyatakan : “tidak
pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur
mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” serta
terkait norma pelantikan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagaimana diatur
dalam Pasal 163 ayat (7) yang menyatakan “Dalam hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur terpilih
ditetapkan menjadi terdakwa pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap
dilantik menjadi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dan saat itu juga
diberhentikan sementara sebagai Gubernur dan/atau Wakil Gubernur”, yang
diajukan oleh Gubernur Gorontalo Rusli Habibie.
Dalam petitum permohonannya, Pemohon (Rusli Habibie) beranggapan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf g dan Pasal 163 ayat (7) UU Pilkada telah
merugikan hak konstitusionalnya sebagai peserta Pilkada dalam Pemilihan
Gubernur Provinsi Gorontalo Tahun 2017, dikarenakan menimbulkan ketidakpastian
hukum oleh karena ternyata telah ada putusan MK yang juga telah mengatur isu norma
yang sama. Pemohon yang berdasarkan putusan
kasasi Mahkamah Agung dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun, dengan
masa percobaan selama 2 (dua) tahun, apabila mengacu kepada Pasal 7 ayat (2)
huruf g maka secara otomatis tidak dapat mencalonkan diri menjadi peserta
Pilkada, sementara terkait isu norma yang sama MK juga telah mengeluarkan
Putusan dalam perkara Nomor 42/PUU-XIII/2015, bertanggal 9 Juli 2015, yang
menyatakan ketentuan Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
inkonstitusional bersyarat. Menurut Rusli Habibie, dengan diberlakukannya norma
Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada, hak konstitusionalnya untuk mencalonkan
diri kembali sebagai Gubernur berpotensi terhalang. Sebab, frasa “….karena melakukan tindak pidana yang
diancam Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dengan pidana penjara
5 (lima) tahun atau lebih” yang semula terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf
g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 telah dihapus atau ditiadakan oleh Pasal 7
ayat (2) huruf g UU Pilkada sehingga cakupan tindak pidana yang terdapat dalam
Pasal 7 ayat (2)huruf g UU Pilkada menjadi mencakup seluruh tindak pidana,
sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan menimbulkan
ketidakadilan bagi Pemohon.