SENGKETA PILKADA PASANGAN CALON TUNGGAL
Oleh Hani Adhani[1]
9
Desember 2015 merupakan hari bersejarah dalam proses demokrasi di Indonesia
dimana pada tanggal tersebut akan dilaksanakan Pilkada secara serentak di
beberapa daerah provinsi, kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Tahapan ini
mengawali ide Pilkada serentak yang nantinya akan dilakukan bertahap yaitu
gelombang pertama pada tahun 2015, gelombamg kedua pada tahun 2017, gelombang
ketiga pada tahun 2018, gelombang keempat pada tahun 2020, gelombang kelima pada
tahun 2022, gelombang keenam pada tahun 2023 dan Pilkada serentak secara
nasional pada tahun 2027.
Beberapa
permasalahan ternyata muncul pada saat proses awal penyelengaraan Pilkada serentak
gelombang pertama tahun 2015 ini. Salah satu isu yang cukup menjadi
perbincangan nasional adalah adanya beberapa daerah yang ternyata hanya
mencalonkan 1 (satu) pasangan calon atau lebih dikenal dengan calon tunggal.
Kelima daerah tersebut adalah Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat; Kabupaten
Blitar, Jawa Timur; Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat; Kota Samarinda,
Kalimantan Timur dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Namun
setelah masa perpanjangan pendaftaran calon akhirnya dipastikan hanya 3 (tiga)
daerah yang hanya mempunyai calon tunggal dan dipastikan tidak dapat mengelar Pilkada
Tahun 2015 yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat; Kabupaten Blitar, Jawa
Timur dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.
Adanya
fakta bahwa ternyata di beberapa daerah yang akan mengikuti Pilkada hanya
diikuti oleh satu pasangan calon (calon tunggal) pada akhirnya memunculkan wacana
agar calon tunggal juga diakomodir dan dimasukan dalam undang-undang Pilkada
karena apabila mengacu kepada Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
perihal
tentang calon tunggal memang belum diatur.