Tujuh perusahaan
yang terdiri atas PT. Sarana Aspalindo Padang, PT. Bumi Aspalindo Aceh, PT.
Medan Aspalindo Utama, PT. Citra Aspalindo Sriwijaya, PT. Perintis Aspalindo
Curah, PT. Karya Aspalindo Cirebon, PT. Sentra Aspalindo Riau (selaku para Pemohon), yang juga selaku Debitur PT. Bank Negara Indonesia Tbk., pada saat terjadi
suatu keadaan yang merupakan peristiwa di luar kekuasaan (force majeure), yaitu terjadinya krisis moneter tidak mendapatkan fasilitas berupa pemberian keringanan kewajiban pembayaran
termasuk pemotongan utang (hair cut).
Faktanya,
debitur-debitur bermasalah yang tidak kooperatif, yang
menyelesaikan kreditnya melalui Lembaga BPPN dan debitur Bank Swasta (Non BUMN) ternyata
telah menikmati pengurangan utang pokok (hair
cut) hingga mencapai di atas 50% dari utang pokoknya, sedangkan para
Pemohon yang direstrukturisasi kreditnya melalui Panitia Urusan Piutang Negara
ternyata utang pokoknya semakin bertambah besar. Adanya
perbedaan perlakuan tersebut karena masih diberlakukannya pasal-pasal UU 49/1960 terhadap Bankir para
Pemohon selaku Bank BUMN. Oleh karena itu, menurut para Pemohon pasal-pasal a quo bertentangan dengan prinsip
kepastian hukum yang adil dan prinsip ekonomi yang dijamin oleh konstitusi;