SUMPAH PEMUDA DALAM KONTEKS INDONESIA
MASA KINI
Oleh Hani Adhani [1]
Sudah
sejak lama kita memperingati hari sumpah pemuda yang diperingati setiap tanggal
28 Oktober. Biasanya peringatan sumpah pemuda di acarakan dengan berbagai
kegiatan salah satunya adalah upacara bendera dan/atau berbagai acara
seremonial lainnya yang kerap dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Gaung
peringatan sumpah pemuda memang tidaklah segebyar peringatn hari kemerdekaan
padahal apabila dilihat dari sejarah sumpah pemuda justru sumpah pemuda ini
adalah cikal bakalnya lahirnya pergerakan kemerdekaan dibawah komando
soekarno-hatta. Fanatisme Kedaerahan yang begitu kental pada saat terjadinya
kolonialisme di bumi nusantara ini pada akhirnya menjadikan para pemuda
diberbagai daerah bersatu guna mendirikan organisasi pemuda yang bersifat
nasional dengan satu tujuan yaitu untuk melakukan diplomasi politik guna
meredam kolonialisme yang sudah berjalan hampir 3 abad.
Pada
saat itu berbagai organisasi pemuda yang masih bersifat kedaerahan seperti Tri
Koro Darmo yang kemudian menjadi Jong Java (1915), Jong Soematranen Bond
(1917), Jong Islamieten Bond (1924), Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes,
Jong Ambon, Sekar Roekoen dan Pemoeda Kaoem Betawi yang merupakan organisasi
bersifat kedaerahan dan kelompok khusus bersatu dalam wadah acara Kongres
Pemuda I pada tahun 1926. Adapun Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia
(PPPI) yang berdiri setelah selesai Kongres Pemuda I pada tahun 1926 memiliki
perberbedaan, yaitu bersifat lintas primordial. PPPI memprakarsai
dilaksanakannya Kongres Pemuda II. Kongres dilaksanakan di tiga gedung yang
berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat. Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober
1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng. Dalam kesempatan
itu, Soegondo berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam
sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Jamin tentang
arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang
bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat,
pendidikan, dan kemauan sebagaimana termuat dan dibacakan di akhir kongres.
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas
masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro,
sependapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada
keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik
secara demokratis. Pada sesi berikutnya, Soenario menjelaskan pentingnya
nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan
mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional.
Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, sebagai
hal yang dibutuhkan dalam perjuangan. Sebelum kongres ditutup diperdengarkan
lagu “Indonesia Raja” karya Wage Rudolf Supratman. Lagu tersebut disambut
dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan
rumusan hasil kongres. [2]