KOMISI YUDISIAL SEBAGAI PELENGKAP
KEKUASAAN KEHAKIMAN
Oleh Hani Adhani[1]
“Barang siapa yang menjaga kehormatan orang lain, ia telah
menjaga kehormatan dirinya sendiri” (Umar bin
Khattab)
Kalimat
tersebut dikutip oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna saat menyampaikan
pendapat berbeda (dissenting opinion)
dalam pengucapan putusan perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, UU Nomor
50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara terhadap UUD 1945.
Permohonan
tersebut diajukan oleh 5 Hakim Agung dan Panitera MA yang mengujia Pasal 14A
ayat (2), dan ayat (3) UU tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2), dan ayat
(3) UU tentang Peradilan Agama, Pasal
14A ayat (2), dan ayat (3) UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menurut para
Pemohon (5 Hakim Agung dan Panitera MA) bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1),
Pasal 24B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan bahwa adanya
keterlibatan KY dalam proses seleksi pengangkatan hakim pada Peradilan Umum,
Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara adalah inkonstitusional dan “kekuasaan kehakiman yang merdeka” tidak
hanya dalam konteks pelaksanaan kewenangan hakim dalam memeriksa, mengadili dan
memutus perkara, melainkan juga untuk melakukan proses seleksi dan perekrutan
hakim yang berkualitas secara independen dan mandiri. Adanya keterlibatan KY
dalam seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, pengadilan agama, dan
pengadilan tata usaha negara akan merusak sistem kekuasaan kehakiman yang
dijamin oleh konstitusi karena adanya “segala campur tangan dalam urusan
peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam
hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945”.