Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh UUD 1945 adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan "Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.***)
Selain itu dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum "
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum "
Lalu siapa saja yang dapat mengajukan sengketa kewenangan lembaga negara tersebut?
Pasal 61 ayat (1) UU 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan, "Pemohon
adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan
langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan".
Bila
merujuk pada pasal tersebut maka kita dapat menyimpulkan lembaga negara
mana saja yang dapat mengajukan sengketa kewenangan lembaga negara ke
Mahkamah Konstiutusi. Bila kita telaah secara seksama maka ada batasan
lembaga negara yang dapat mengajukan sengketa yaitu lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Apabila
kita membaca UUD 1945 ada banyak lembaga negara yang disebutkan dalam
UUD 1945 mulai dari lembaga Legislatif (MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi,
DPRD Kabupaten/Kota), lembaga Eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati,
Walikota), lembaga yudikatif (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Komisi Yudisial), BPK, Polri, TNI, KPU, dan Bank Sentral.
Itulah
lembaga negara yang secara ekplisit disebutkan dalam UUD 1945 dan
memiliki kewenangan yang kewenangannya diberikan UUD 1945.
Lalu
yang menjadi pertanyaan kita adalah bagaimana menentukan apakah lembaga
negara tersebut memiliki kualifikasi sebagai lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut kita harus membaca putusan Mahkamah
Konstitusi tentang sengketa kewenangan lembaga negara khususnya dalam
pertimbangan hukum terkait kedudukan hukum (legal standing) Pemohon/lembaga negara.
Sebagai contoh salah satu putusan MK tentang SKLN, sebagai berikut:
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 1/SKLN-VIII/2010
" KEWENANGAN MAHKAMAH DAN KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
[3.6] Menimbang bahwa
salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah berdasarkan Pasal 24C ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut
UUD 1945) adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara (selanjutnya
disebut SKLN) yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
[3.7] Menimbang bahwa
Pasal 61 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK) telah
menentukan hal-hal yang berkaitan dengan SKLN tersebut sebagai berikut:
a.
Bahwa Pemohon dalam SKLN adalah lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
b.
Bahwa Pemohon mempunyai kepentingan langsung terhadap
kewenangan yang dipersengketakan dan menguraikan dengan jelas dalam
permohonannya;
c.
Bahwa Pemohon harus menguraikan kewenangan yang
dipersengketakan;
d.
Bahwa Pemohon harus menyebutkan dengan jelas lembaga
negara yang menjadi Termohon;
[3.8]
Menimbang bahwa dalam pelaksanaan kewenangan
Mahkamah sebagaimana dimaksud dalam paragraf [3.6] dan [3.7] di atas, Mahkamah telah menegaskan pendiriannya dalam Putusan Mahkamah Nomor
004/SKLN-IV/2006 tanggal 12 Juli 2006 junctis Putusan Nomor
027/SKLN-IV/2006 tanggal 12 Maret 2007, Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006 tanggal
17 April 2007 dan Putusan Nomor 26/SKLN-V/2007 tanggal 11 Maret 2008. Dalam
putusan-putusan tersebut ditegaskan bahwa Mahkamah dalam memutus sengketa
kewenangan lembaga negara harus mengaitkan secara langsung pokok yang
disengketakan (objectum litis) dengan
kedudukan lembaga negara yang mengajukan permohonan, yaitu apakah kewenangan
tersebut diberikan kepada lembaga negara yang mengajukan permohonan, sehingga
dengan demikian masalah kewenangan dimaksud terkait erat dengan kedudukan hukum
(legal standing) Pemohon yang akan
menentukan berwenang atau tidaknya Mahkamah dalam memeriksa, mengadili dan
memutus permohonan a quo;
[3.9] Menimbang
bahwa oleh karena antara kewenangan Mahkamah
dan kedudukan hukum Pemohon dalam perkara ini tidak dapat dipisahkan
maka sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan kewenangan Mahkamah dan
kedudukan
hukum (legal standing) Pemohon untuk
mengajukan permohonan ini. Untuk menilai ada atau tidak adanya
kewenangan
Mahkamah dan kedudukan hukum Pemohon dalam permohonan a quo, Mahkamah
perlu terlebih dahulu menilai apakah Pemohon merupakan
lembaga negara yang memiliki kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945
(subjectum litis) dan apakah kewenangan yang dipersengketakan (objectum
litis) oleh Pemohon merupakan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945;
[3.10] Menimbang bahwa untuk menilai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan
a quo, Mahkamah lebih dahulu menilai
apakah Pemohon adalah lembaga negara yang dapat mengajukan permohonan SKLN. Pasal
18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UUD 1945, menyatakan sebagai
berikut:
1)
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah,
yang diatur dengan undang-undang.
2)
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan.
3)
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum.
4)
Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.
Pemerintahan Daerah menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 adalah “Penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Oleh
karena itu, berdasarkan Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) UUD 1945 dihubungkan dengan Pasal
1 angka 2 UU 32/2004, Bupati sebagai Kepala Pemerintah Daerah di tingkat
kabupaten bersama-sama dengan DPRD Kabupaten sebagai satu kesatuan mewakili
pemerintahan daerah sehingga dianggap sebagai
lembaga negara yang mempunyai kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 yaitu
kewenangan untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan di daerahnya menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Dengan
demikian, menurut Mahkamah, dari sudut subjectum
litis, Pemohon, yaitu Bupati Kabupaten Maluku Tengah dan Ketua DPRD
Kabupaten Maluku Tengah, adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud UUD 1945
dan memiliki kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Namun demikian, Mahkamah
perlu menilai apakah kewenangan yang dipersengketakan oleh Pemohon dalam
permohonan a quo, merupakan
kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945.
[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil permohonan
Pemohon, objectum litis permohonan
Pemohon adalah adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2010 tentang Batas Daerah Kabupaten Seram
Bagian Barat Dengan Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku, tanggal 13 April
2010 yang dalam konsiderans mengingatnya bertolak belakang dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 123/PUU-VII/2009, tanggal 2 Februari 2010, karena
masih tetap merujuk pada lampiran II Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2003 tentang
Pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat, dan
Kabupaten Kepulauan Aru di Provinsi Maluku, padahal Putusan Mahkamah Kontitusi a quo telah mengubah norma yang
terkandung dalam Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2003 tentang
Pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat, dan
Kabupaten Kepulauan Aru di Provinsi Maluku berikut penjelasannya dan Lampiran II
tentang batas wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat sepanjang menyangkut Pasal 7
ayat (2) huruf b. Hal itu, menyebabkan batas wilayah Pemohon yang ditetapkan
oleh Menteri Dalam Negeri tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah a quo, sehingga telah menghilangkan
sebagian wilayah yang seharusnya merupakan wilayah Pemohon yaitu Kabupaten
Maluku Tengah;
[3.12] Bahwa berdasarkan dalil Pemohon tersebut, persoalan yang
dipersengketakan oleh Pemohon adalah penetapan batas wilayah kabupaten yang
ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 29 Tahun 2010 tentang Batas Daerah Kabupaten
Seram Bagian Barat Dengan Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku, tanggal 13
April 2010, yang tidak merupakan kewenangan Pemohon yang diberikan oleh UUD
1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, kewenangan sebagai
objectum litis permohonan Pemohon bukanlah
kewenangan Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga tidak
merupakan objectum litis dalam SKLN sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat
(1) UUD 1945, Pasal 61 UU
MK, dan Pasal 2 PMK Nomor 08/PMK/2006. Persoalan yang diajukan oleh
Pemohon
adalah pertentangan antara Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun
2010 tentang Batas Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat Dengan
Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 123/PUU-VII/2009
tanggal 2 Februari 2010 yang telah mengubah Lampiran Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Seram
Bagian Barat, dan Kabupaten Kepulauan Aru di Provinsi Maluku, yang
bukan merupakan kewenangan Mahkamah;
[3.13] Menimbang bahwa karena subjectum litis dikaitkan dengan objectum litis permohonan Pemohon bukan merupakan subjek maupun
objek SKLN maka menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak memenuhi ketentuan
Pasal 61 UU MK juncto Pasal 2 PMK
Nomor 08/PMK/2006, sehingga pokok permohonan tidak perlu dipertimbangkan lebih
lanjut; "
dari
putusan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa meskipun lembaga negara
tersebut secara ekplisit sudah disebutkan dalam UUD 1945 akan tetapi
yang harus juga ditelaah adalah apa saja kewenangan yang diberikan oleh
UUD 1945 kepada lembaga tersebut .
Dalam
putusannya Mahkamah Konstitusi telah memberikan rambu-rambu atau
batasan tentang objectum litis dan subjectum litis tersebut, sehingga
hal tersebut menyebabkan permohonan yang diajukan Pemohon tidak dapat
diterima karena tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing).
Jadi dapat kita simpulkan bahwa syarat kedudukan hukum (legal standing)
dalam sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) adalah syarat utama
yang harus terpenuhi khususnya terkait dengan objectum litis dan
subjectum litis tersebut. Apabila lembaga negara tersebut tidak dapat
menguraikan atau menjelaskan tentang kualifikasi objectum litis dan subjectum litis tersebut maka secara otomatis permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Cara mengajukan permohonan SKLN
Terkait
mekanisme pengajuan sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) telah
diatur dalam UU 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan juga
Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman
Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara.
Adapun tata cara mengajukan permohonan SKLN adalah sebagai berikut:
Permohonan
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon atau
kuasanya (apabila ada kuasa hukum ) yang ditujukan kepada Ketua Mahkamah
Konstitusi.
Materi permohonan terdiri atas:
- Nama dan alamat Pemohon (lampiran surat resmi yang menuktikan bahwa Pemohon adalah lembaga negara). Apabila Pemohon didampingi oleh kuasa hukum, maka harus dilampirkan juga surat kuasa khusus. Yang dimaksud dengan Pemohon dalam permohonan ini adalah lembaga negara yang kewenangannya disebutkan dalam UUD 1945;
- Identitas Pemohon, meliputi: Nama Lembaga , Alamat LengkapNomor telepon/faksimili/telepon selular/e-mail (bila ada)
- Uraian mengenai permohonan pengujian SKLN (Posita). Dalam posita, Pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang adanya sengketa kewenangan lembaga negara yang telah menyebabkan Pemohon kehilangan kewenangannya.
- Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi: kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai kewenangan Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 dan alasan permohonan mengenai adanya sengketa lembaga negara tersebut. Dalam posita harus diuraikan secara jelas dan rinci.
- Hal-hal yang diminta (Petitum). Berisikan uraian mengenai hal yang diminta oleh Pemohon terkait kewenangan lembaga negara yang dipersengketakan.
- Daftar alat bukti dan lampiran alat bukti tertulis yang terkait dengan SKLN. Setiap bukti tulisan harus dileges dan dibubuhi materai.
- Permohonan tersebut bisa diajukan secara tertulis ataupun secara elektronik melalui media permohonon on line yang ada di web site .
Contoh Permohonan SKLN :
Jakarta, ____ Juni ___
Kepada Yth,
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jalan Medan Merdeka Barat
Jakarta Pusat
Hal : Permohonan Untuk Memutus Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara
Dengan hormat,
Yang bertanda tangan di bawah ini :
________________, advokat dan konsultan hukum
pada ________, beralamat di _________, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal __________, dengan ini bertindak untuk dan atas nama :
- N a m a : _____________________
Jabatan : ______________________
Alamat : ____________________
- N a m a : _________________
Jabatan : _________________
Alamat : _________________
Untuk selanjutnya
disebut Pemohon [Bukti P-___].
Dengan ini
mengajukan permohonan Untuk
Memutus Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara terhadap:
_________________ (sebutkan lembaga negara), beralamat di ____________, selanjutnya disebut sebagai Termohon;
Kewenangan
Mahkamah Konstitusi
1. Pasal 24 C ayat (1) amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa ” Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
Pertama dan Terakhir yang putusannya bersifat Final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar, Memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran Partai
Politik, dan memutus hasil perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ” Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun
1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar negara RI Tahun 1945, Memutus pembubaran Partai
Politik, dan memutus hasil perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
3. _____________ uraian tentanng PMK dan juga Putusan MK tentang SKLN;
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
___________________________________________________________________________________________________________
(uraikan bahwa Pemohon adalah lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945
yang kewenangannya juga ada dan diuraikan dalam UUD 1945, uraikan mengenai
objectum litis dan subjectum litis seperti dalam putusan MK diatas)
Pokok
Permohonan
________________________________________________________________________________
(Uraikan tentang kerugian konstitusional yang dialami Pemohon beserta bukti
tertulis yang menggambarkan bahwa Pemohon mengalami kerugian sehingga Pemohon
mengajukan sengketa tersebut ke MK)_______________________________________________________________
PETITUM
Bahwa berdasarkan
uraian di atas, tindakan-tindakan Termohon yang telah mengambil, mengurangi,
menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan kewenangan konstitusional Para
Pemohon merupakan suatu tindakan inkonstitusional, sehingga Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga yang bertugas dan berwenang dalam menjaga dan menegakkan
konstitusi patut mengoreksi tindakan inkonstitusional Termohon tersebut.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, PEMOHON memohon kepada Majelis
Hakim Konstitusi untuk memutus sebagai berikut:
1.
Mengabulkan Permohonan PEMOHON untuk seluruhnya;
2.
Menyatakan _________________________________________;
3.
Menyatakan _________________ bertentangan
dengan kewenangan Termohon sebagaimana diatur dalam UUD 1945;
4.
Memerintahkan Termohon untuk _______________________________;
5.
Memuat
Putusan dalam Berita Negara sebagaimana mestinya.
Atau, apabila Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia
berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);
Hormat
kami,
Kuasa Hukum/Pemohon,
Untuk melihat berbagai contoh format permohonan sengketa kewenangan lembaga negara dapat dilihat dalam beragai putusan Mahkamah Konstitusi tentang SKLN yang ada diwebsite MK >>>>http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar