Tujuh perusahaan
yang terdiri atas PT. Sarana Aspalindo Padang, PT. Bumi Aspalindo Aceh, PT.
Medan Aspalindo Utama, PT. Citra Aspalindo Sriwijaya, PT. Perintis Aspalindo
Curah, PT. Karya Aspalindo Cirebon, PT. Sentra Aspalindo Riau (selaku para Pemohon), yang juga selaku Debitur PT. Bank Negara Indonesia Tbk., pada saat terjadi
suatu keadaan yang merupakan peristiwa di luar kekuasaan (force majeure), yaitu terjadinya krisis moneter tidak mendapatkan fasilitas berupa pemberian keringanan kewajiban pembayaran
termasuk pemotongan utang (hair cut).
Faktanya,
debitur-debitur bermasalah yang tidak kooperatif, yang
menyelesaikan kreditnya melalui Lembaga BPPN dan debitur Bank Swasta (Non BUMN) ternyata
telah menikmati pengurangan utang pokok (hair
cut) hingga mencapai di atas 50% dari utang pokoknya, sedangkan para
Pemohon yang direstrukturisasi kreditnya melalui Panitia Urusan Piutang Negara
ternyata utang pokoknya semakin bertambah besar. Adanya
perbedaan perlakuan tersebut karena masih diberlakukannya pasal-pasal UU 49/1960 terhadap Bankir para
Pemohon selaku Bank BUMN. Oleh karena itu, menurut para Pemohon pasal-pasal a quo bertentangan dengan prinsip
kepastian hukum yang adil dan prinsip ekonomi yang dijamin oleh konstitusi;
Adapun pokok permohonan para Pemohon tersebut adalah
pengujian materiil Pasal 4, Pasal 8, Pasal 10 dan Pasal 12 ayat (1) UU
49/1960 terhadap Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yaitu :
Pasal 4:
“Panitya Urusan Piutang Negara bertugas:
1. Mengurus piutang Negara yang
berdasarkan Peraturan telah diserahkan pengurusannya kepadanya oleh Pemerintah
atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam pasal 8 Peraturan ini;
2. Piutang Negara yang diserahkan
sebagai tersebut dalam angka 1 di atas, ialah piutang yang adanya dan besarnya
telah pasti menurut hukum, akan tetapi yang penanggung hutangnya tidak
melunasinya sebagaimana mestinya;
3. Menyimpang dari ketentuan yang
dimaksudkan dalam angka 1 di atas, mengurus piutang-piutang Negara dengan tidak
usah menunggu penyerahannya, apabila menurut pendapatnya ada cukup alasan yang
kuat, bahwa Piutang-piutang Negara tersebut harus segera diurus;
4. Melakukan pengawasan terhadap
piutang-piutang/kredit-kredit yang telah dikeluarkan oleh Negara/Badan-badan
Negara apakah kredit itu benar-benar dipergunakan sesuai dengan permohonan dan/atau
syarat-syarat pemberian kredit dan menanyakan keterangan-keterangan yang
berhubungan dengan itu kepada Bank-bank dengan menyimpang dari
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 23
tahun 1960 tentang Rahasia Bank”.
Pasal 8:
“Yang dimaksud dengan piutang Negara atau hutang kepada Negara oleh
Peraturan ini, ialah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau
Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara
berdasarkan suatu Peraturan, perjanjian atau sebab apapun”.
Pasal 10 ayat (1) dan ayat
(2):
(1) Setelah dirundingkan oleh Panitya
dengan penanggung hutang dan diperoleh kata sepakat tentang jumlah hutangnya
yang masih harus dibayar, termasuk bunga uang, denda yang tidak bersifat
pidana, serta biaya-biaya yang bersangkutan dengan piutang ini, maka oleh Ketua
Panitya dan penanggung hutang dibuat suatu pernyataan bersama yang memuat
jumlah tersebut dan memuat kewajiban penanggung hutang untuk melunasinya.
(2) Pernyataan bersama ini mempunyai
kekuatan pelaksanaan seperti suatu keputusan hakim dalam perkara perdata yang
berkekuatan pasti, untuk mana pernyataan bersama itu berkepala "Atas Nama
Keadilan ".
Pasal 12 ayat (1):
(1) Instansi-instansi Pemerintah dan
Badan-badan Negara yang dimaksudkan dalam pasal 8 Peraturan ini diwajibkan
menyerahkan piutang-piutangnya yang adanya dan besarnya telah pasti menurut
hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya
kepada Panitya Urusan Piutang Negara.
Adapun
pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan batu uji adalah:
Pasal 28D ayat (1):
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum;
Pasal 33 ayat (4):
(4) Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
Dalam
pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa isu konstitusional dalam permohonan a quo adalah apakah kewenangan Panitia Urusan
Piutang Negara (selanjutnya disebut PUPN)
untuk mengurus piutang Bank BUMN yang tidak dapat melakukan restrukturisasi hutang atas
piutang para debitur Bank BUMN
dalam
pasal-pasal yang dimohonkan pengujian sebagaimana tersebut di atas adalah bertentangan dengan
konstitusi?
Mahkamah dalam
pertimbangan menyatakan bahwa bahwa
menurut UU 49/1960,
piutang negara atau piutang badan-badan swasta yang dibentuk negara yang adanya
dan besarnya telah pasti menurut hukum yang tidak tertagih, dilimpahkan
penyelesaiannya kepada PUPN [vide Pasal 4 angka 1 dan 2 UU
49/1960]. Oleh
karena utang yang dilimpahkan kepada PUPN untuk diselesaikan adalah utang yang
adanya dan besarnya
telah pasti, PUPN tidak memiliki keleluasaan untuk melakukan kebijakan
restrukturisasi utang termasuk pemberian hair
cut kepada penanggung utang (debitur). Piutang negara
menurut UU 49/1960 adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau
badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara
berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apa pun (vide Pasal 8 UU 49/1960). Dengan
demikian terdapat dua jenis piutang negara yang dimaksud dalam undang-undang a quo, yaitu piutang negara dan piutang badan-badan yang baik
secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara dalam hal ini termasuk
piutang
Bank-Bank BUMN yang langsung atau
tidak langsung dikuasai oleh negara. Dalam pengertian ini, piutang-piutang Bank BUMN yang
adanya dan jumlahnya telah pasti menurut hukum dilimpahkan penyelesaiannya
kepada PUPN, yang tidak memiliki kebebasan untuk melakukan restrukturisasi utang termasuk pemberian hair cut. Pada sisi lain, terdapat kenyataan
bahwa debitur pada Bank non-BUMN mendapatkan
fasilitas restrukturisasi utang termasuk pemberian hair cut kepada debiturnya oleh masing-masing manajemen Bank yang
bersangkutan;
Bahwa berdasarkan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
(selanjutnya disebut UU BUMN),
Pasal
1 angka 1 dan angka 10 menyatakan bahwa Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung
yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yaitu kekayaan negara yang
berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan
penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas
lainnya. Dengan demikian BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari
kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum
perseroan terbatas berdasarkan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya
disebut UU PT);
Menurut Mahkamah dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (selanjutnya disebut UU 1/2004), pengertian piutang
negara adalah sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 1
angka 6 UU 1/2004 yang menyatakan, “Piutang
Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau
hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian
atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
akibat lainnya yang sah”. Dengan demikian, piutang negara hanyalah piutang
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah, sehingga tidak termasuk piutang
badan-badan usaha yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara
termasuk dalam hal ini piutang Bank BUMN. Hal ini sejalan dengan pendapat ahli
Pemerintah yaitu Mariam Darus yang menyatakan
bahwa dengan adanya UU 1/2004
telah
terjadi perubahan pengertian tentang piutang negara yaitu piutang negara adalah jumlah
uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang
dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang
sah, sehingga piutang
badan atau BUMN telah dikeluarkan dari lingkup piutang negara. Hal yang sama dikemukakan
oleh ahli Pemerintah yaitu Darminto
Hartono yang pada pokoknya menyatakan bahwa yang disebut piutang BUMN yang dalam hal
ini Bank Negara Indonesia adalah piutang perseroan
terbatas BUMN atau piutang swasta yang dibedakan dengan piutang negara atau
piutang publik. Menurut ahli tersebut, klasifikasi
utang atau piutang BUMN adalah piutang dari perseroan, sehingga mekanisme penyelesaiannya mengikuti mekanisme
perseroan dalam hal ini dapat melakukan restrukturisasi baik dalam bentuk pola hair
cut, konversi, maupun rescheduling;
Menurut Mahkamah, piutang Bank BUMN setelah
berlakunya UU 1/2004, UU BUMN serta UU PT adalah bukan lagi piutang negara yang
harus dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN. Piutang Bank-Bank BUMN dapat
diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing Bank BUMN berdasarkan
prinsip-prinsip yang sehat di masing-masing Bank BUMN. Bank BUMN sebagai perseroan terbatas telah
dipisahkan kekayaannya dari kekayaan negara yang dalam menjalankan segala
tindakan bisnisnya termasuk manajemen dan pengurusan piutang masing-masing Bank
bersangkutan dilakukan oleh manajemen Bank yang bersangkutan dan tidak
dilimpahkan kepada PUPN. Dengan demikian menurut Mahkamah Pasal II ayat (1) huruf
b Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah adalah tidak sejalan dengan ketentuan UU 1/2004, UU BUMN, dan UU PT;
Bahwa berdasarkan uraian diatas, dalam penyelesaian
piutang Bank BUMN, masih terdapat dua aturan yang berlaku yaitu UU 49/1960 dan
UU 1/2004 juncto UU BUMN dan UU PT
sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip konstitusi. Demikian juga dengan adanya ketentuan penyerahan
piutang Bank BUMN untuk dilimpahkan dan diserahkan ke PUPN telah menimbulkan
perlakuan yang berbeda antara debitur Bank BUMN dan debitur Bank selain BUMN
sehingga bertentangan dengan prinsip konstitusi yang terkandung dalam Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945. Selain itu, berdasarkan
prinsip bahwa undang-undang yang terbaru mengesampingkan undang-undang yang
lama (lex posterior derogat legi priori)
dan peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah (lex superior derogat legi inferiori),
maka UU 49/1960 sepanjang mengenai piutang badan-badan usaha yang sudah diatur
dalam UU 1/2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Penghapusan Piutang Negara/Daerah sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah sepanjang menunjuk pelaksanaan UU 49/1960 adalah bertentangan
dengan prinsip-prinsip konstitusi dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku umum.
Dengan demikian permohonan para Pemohon sepanjang mengenai piutang Negara yang
berkaitan dengan piutang badan-badan usaha yang baik secara langsung atau tidak
langsung dikuasai oleh negara dalam UU 49/1960 adalah beralasan menurut hukum
untuk sebagian.
Adapun amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 77/PUU-IX/2011 adalah sebagai berikut :
AMAR
PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1.
Frasa “atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini” dalam
Pasal
4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2124) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
1.2.
Frasa “atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini” dalam
Pasal
4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2124) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
1.3.
Frasa “/Badan-badan Negara” dalam Pasal
4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124)
adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
1.4.
Frasa “/Badan-badan Negara” dalam Pasal
4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.5.
Frasa “atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung
dikuasai oleh negara” dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2124) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
1.6.
Frasa “atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung
dikuasai oleh negara” dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.7.
Frasa “dan Badan-badan Negara” dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124) adalah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
1.8.
Frasa “dan Badan-badan Negara” dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan
selebihnya;
3. Memerintahkan
pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana
mestinya;
Link Putusan Mahkamah Konstitusi >>>
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/77%20PUU%202011-telah%20baca%2025%20Sept%202012%20-%20fin.pdf
Link Putusan Mahkamah Konstitusi >>>
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/77%20PUU%202011-telah%20baca%2025%20Sept%202012%20-%20fin.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar