Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Senin, 20 April 2015

Konstitusionalitas Kewenangan PUPN Dalam Melakukan Restrukturisasi Hutang

 
Tujuh perusahaan yang terdiri atas PT. Sarana Aspalindo Padang, PT. Bumi Aspalindo Aceh, PT. Medan Aspalindo Utama, PT. Citra Aspalindo Sriwijaya, PT. Perintis Aspalindo Curah, PT. Karya Aspalindo Cirebon, PT. Sentra Aspalindo Riau (selaku para Pemohon), yang juga selaku Debitur PT. Bank Negara Indonesia Tbk., pada saat terjadi suatu keadaan yang merupakan peristiwa di luar kekuasaan (force majeure), yaitu terjadinya krisis moneter tidak mendapatkan fasilitas berupa pemberian keringanan kewajiban pembayaran termasuk pemotongan utang (hair cut)
Faktanya, debitur-debitur bermasalah yang tidak kooperatif, yang menyelesaikan kreditnya melalui Lembaga BPPN dan debitur Bank Swasta (Non BUMN) ternyata telah menikmati pengurangan utang pokok (hair cut) hingga mencapai di atas 50% dari utang pokoknya, sedangkan para Pemohon yang direstrukturisasi kreditnya melalui Panitia Urusan Piutang Negara ternyata utang pokoknya semakin bertambah besar. Adanya perbedaan perlakuan tersebut karena masih diberlakukannya pasal-pasal UU 49/1960 terhadap Bankir para Pemohon selaku Bank BUMN. Oleh karena itu, menurut para Pemohon pasal-pasal a quo bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil dan prinsip ekonomi yang dijamin oleh konstitusi;


                  Adapun pokok permohonan para Pemohon tersebut adalah pengujian materiil Pasal 4, Pasal 8, Pasal 10 dan Pasal 12 ayat (1) UU 49/1960 terhadap Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yaitu :
Pasal 4:
“Panitya Urusan Piutang Negara bertugas:
1.  Mengurus piutang Negara yang berdasarkan Peraturan telah diserahkan pengurusannya kepadanya oleh Pemerintah atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam pasal 8 Peraturan ini;
2.  Piutang Negara yang diserahkan sebagai tersebut dalam angka 1 di atas, ialah piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum, akan tetapi yang penanggung hutangnya tidak melunasinya sebagaimana mestinya;
3.  Menyimpang dari ketentuan yang dimaksudkan dalam angka 1 di atas, mengurus piutang-piutang Negara dengan tidak usah menunggu penyerahannya, apabila menurut pendapatnya ada cukup alasan yang kuat, bahwa Piutang-piutang Negara tersebut harus segera diurus;
4.  Melakukan pengawasan terhadap piutang-piutang/kredit-kredit yang telah dikeluarkan oleh Negara/Badan-badan Negara apakah kredit itu benar-benar dipergunakan sesuai dengan permohonan dan/atau syarat-syarat pemberian kredit dan menanyakan keterangan-keterangan yang berhubungan dengan itu kepada Bank-bank dengan menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 23 tahun 1960 tentang Rahasia Bank”.
Pasal 8:
“Yang dimaksud dengan piutang Negara atau hutang kepada Negara oleh Peraturan ini, ialah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu Peraturan, perjanjian atau sebab apapun”.
Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2):
(1)  Setelah dirundingkan oleh Panitya dengan penanggung hutang dan diperoleh kata sepakat tentang jumlah hutangnya yang masih harus dibayar, termasuk bunga uang, denda yang tidak bersifat pidana, serta biaya-biaya yang bersangkutan dengan piutang ini, maka oleh Ketua Panitya dan penanggung hutang dibuat suatu pernyataan bersama yang memuat jumlah tersebut dan memuat kewajiban penanggung hutang untuk melunasinya.
(2)   Pernyataan bersama ini mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti suatu keputusan hakim dalam perkara perdata yang berkekuatan pasti, untuk mana pernyataan bersama itu berkepala "Atas Nama Keadilan ".
Pasal 12 ayat (1):
(1)  Instansi-instansi Pemerintah dan Badan-badan Negara yang dimaksudkan dalam pasal 8 Peraturan ini diwajibkan menyerahkan piutang-piutangnya yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitya Urusan Piutang Negara.
Adapun pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan batu uji adalah:
Pasal 28D ayat (1):
(1)  Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
Pasal 33 ayat (4):
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

                  Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa isu konstitusional dalam permohonan a quo adalah apakah kewenangan Panitia Urusan Piutang Negara (selanjutnya disebut PUPN) untuk mengurus piutang Bank BUMN yang tidak dapat melakukan restrukturisasi hutang atas piutang para debitur Bank BUMN dalam pasal-pasal yang dimohonkan pengujian sebagaimana tersebut di atas adalah bertentangan dengan konstitusi?
              Mahkamah dalam pertimbangan menyatakan bahwa bahwa menurut UU 49/1960, piutang negara atau piutang badan-badan swasta yang dibentuk negara yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum yang tidak tertagih, dilimpahkan penyelesaiannya kepada PUPN [vide Pasal 4 angka 1 dan 2 UU 49/1960]. Oleh karena utang yang dilimpahkan kepada PUPN untuk diselesaikan adalah utang yang adanya dan besarnya telah pasti, PUPN tidak memiliki keleluasaan untuk melakukan kebijakan restrukturisasi utang termasuk pemberian hair cut kepada penanggung utang (debitur).  Piutang negara menurut UU 49/1960 adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apa pun (vide Pasal 8 UU 49/1960). Dengan demikian terdapat dua jenis piutang negara yang dimaksud dalam undang-undang a quo, yaitu piutang negara dan piutang badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara dalam hal ini termasuk piutang Bank-Bank BUMN yang langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara. Dalam pengertian ini, piutang-piutang Bank BUMN yang adanya dan jumlahnya telah pasti menurut hukum dilimpahkan penyelesaiannya kepada PUPN, yang tidak memiliki kebebasan untuk melakukan restrukturisasi utang termasuk pemberian hair cut. Pada sisi lain, terdapat kenyataan bahwa debitur pada Bank non-BUMN mendapatkan fasilitas restrukturisasi utang termasuk pemberian hair cut kepada debiturnya oleh masing-masing manajemen Bank yang bersangkutan;
              Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN), Pasal 1 angka 1 dan angka 10 menyatakan bahwa Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yaitu kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya. Dengan demikian BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum perseroan terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang  Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT);
              Menurut Mahkamah dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (selanjutnya disebut UU 1/2004), pengertian piutang negara adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 UU 1/2004 yang menyatakan, “Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah”. Dengan demikian, piutang negara hanyalah piutang Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah, sehingga tidak termasuk piutang badan-badan usaha yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara termasuk dalam hal ini piutang Bank BUMN. Hal ini sejalan dengan pendapat ahli Pemerintah yaitu Mariam Darus yang menyatakan bahwa dengan adanya UU 1/2004 telah terjadi perubahan pengertian tentang piutang negara yaitu piutang negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah, sehingga piutang badan atau BUMN telah dikeluarkan dari lingkup piutang negara. Hal yang sama dikemukakan oleh ahli Pemerintah yaitu Darminto Hartono yang pada pokoknya menyatakan bahwa yang disebut piutang BUMN yang dalam hal ini Bank Negara Indonesia adalah piutang perseroan terbatas BUMN atau piutang swasta yang dibedakan dengan piutang negara atau piutang publik. Menurut ahli tersebut, klasifikasi utang atau piutang BUMN adalah piutang dari perseroan, sehingga mekanisme penyelesaiannya mengikuti mekanisme perseroan dalam hal ini dapat melakukan restrukturisasi baik dalam bentuk pola hair cut, konversi, maupun rescheduling;
                  Menurut Mahkamah, piutang Bank BUMN setelah berlakunya UU 1/2004, UU BUMN serta UU PT adalah bukan lagi piutang negara yang harus dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN. Piutang Bank-Bank BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing Bank BUMN berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat di masing-masing Bank BUMN.  Bank BUMN sebagai perseroan terbatas telah dipisahkan kekayaannya dari kekayaan negara yang dalam menjalankan segala tindakan bisnisnya termasuk manajemen dan pengurusan piutang masing-masing Bank bersangkutan dilakukan oleh manajemen Bank yang bersangkutan dan tidak dilimpahkan kepada PUPN. Dengan demikian menurut Mahkamah Pasal II ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah adalah tidak sejalan dengan ketentuan UU 1/2004, UU BUMN, dan UU PT;
Bahwa berdasarkan uraian diatas, dalam penyelesaian piutang Bank BUMN, masih terdapat dua aturan yang berlaku yaitu UU 49/1960 dan UU 1/2004 juncto UU BUMN dan UU PT sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi. Demikian juga dengan adanya ketentuan penyerahan piutang Bank BUMN untuk dilimpahkan dan diserahkan ke PUPN telah menimbulkan perlakuan yang berbeda antara debitur Bank BUMN dan debitur Bank selain BUMN sehingga bertentangan dengan prinsip konstitusi yang terkandung dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, berdasarkan prinsip bahwa undang-undang yang terbaru mengesampingkan undang-undang yang lama (lex posterior derogat legi priori) dan peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah (lex superior derogat legi inferiori), maka UU 49/1960 sepanjang mengenai piutang badan-badan usaha yang sudah diatur dalam UU 1/2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah sepanjang menunjuk pelaksanaan UU 49/1960 adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku umum. Dengan demikian permohonan para Pemohon sepanjang mengenai piutang Negara yang berkaitan dengan piutang badan-badan usaha yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara dalam UU 49/1960 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Adapun amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 77/PUU-IX/2011 adalah sebagai berikut :
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.    Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1.        Frasa “atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini” dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2.        Frasa “atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini” dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.3.        Frasa “/Badan-badan Negara”  dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun  1945;
1.4.        Frasa “/Badan-badan Negara”  dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.5.        Frasa “atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara” dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.6.        Frasa “atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara” dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.7.        Frasa “dan Badan-badan Negara” dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.8.        Frasa “dan Badan-badan Negara” dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2.  Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3.  Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

Link Putusan Mahkamah Konstitusi >>>
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/77%20PUU%202011-telah%20baca%2025%20Sept%202012%20-%20fin.pdf

Tidak ada komentar: