Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Rabu, 04 November 2015

SENGKETA PILKADA PASANGAN CALON TUNGGAL



SENGKETA PILKADA PASANGAN CALON TUNGGAL
Oleh Hani Adhani[1]

9 Desember 2015 merupakan hari bersejarah dalam proses demokrasi di Indonesia dimana pada tanggal tersebut akan dilaksanakan Pilkada secara serentak di beberapa daerah provinsi, kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Tahapan ini mengawali ide Pilkada serentak yang nantinya akan dilakukan bertahap yaitu gelombang pertama pada tahun 2015, gelombamg kedua pada tahun 2017, gelombang ketiga pada tahun 2018, gelombang keempat pada tahun 2020, gelombang kelima pada tahun 2022, gelombang keenam pada tahun 2023 dan Pilkada serentak secara nasional pada tahun 2027.
Beberapa permasalahan ternyata muncul pada saat proses awal penyelengaraan Pilkada serentak gelombang pertama tahun 2015 ini. Salah satu isu yang cukup menjadi perbincangan nasional adalah adanya beberapa daerah yang ternyata hanya mencalonkan 1 (satu) pasangan calon atau lebih dikenal dengan calon tunggal. Kelima daerah tersebut adalah Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat; Kabupaten Blitar, Jawa Timur; Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat; Kota Samarinda, Kalimantan Timur dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Namun setelah masa perpanjangan pendaftaran calon akhirnya dipastikan hanya 3 (tiga) daerah yang hanya mempunyai calon tunggal dan dipastikan tidak dapat mengelar Pilkada Tahun 2015 yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat; Kabupaten Blitar, Jawa Timur dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.
Adanya fakta bahwa ternyata di beberapa daerah yang akan mengikuti Pilkada hanya diikuti oleh satu pasangan calon (calon tunggal) pada akhirnya memunculkan wacana agar calon tunggal juga diakomodir dan dimasukan dalam undang-undang Pilkada karena apabila mengacu kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang perihal tentang calon tunggal memang belum diatur.

Putusan MK
Mengingat waktu yang sangat pendek dan mepet, ada juga yang mengusulkan agar Presiden mengeluarkan Perppu tentang calon tunggal karena apabila menggunaka jalur perubahan atau revisi undang-undang pilkada yang salah satu klausanya adalah mengakomodir adanya calon tunggal prosesnya akan memakan waktu yang lama. Pada akhirnya wacana agar calon tunggal yang saat ini ada juga agar dapat diakomodir dalam pelaksanaan Pilkada Serentak tahun 2015,  pada akhirnya masuk menjadi perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Pada tanggal 6 Agustus 2015, Efendi Ghazali mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), serta Pasal 54 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang kemudian diregistrasi dengan Nomor Perkara 100/PUU-XIII/2015.
Adapun yang menjadi pokok argumentasi permohonan Pemohon dalam pengujian undang-undang tersebut adalah berpusat pada masalah terganggunya atau bahkan tidak dapat diselenggarakannya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dijadwalkan disebabkan oleh adanya ketentuan dalam norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian yang mempersyaratkan paling sedikit ada dua pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Mahkamah Konstitusi akhirnya pada tanggal 29 September 2015 membacakan putusan perkara 100/PUU-XIII/2015 dan menyatakan mengabulkan sebagian permohonan Pemohon dan menyatakan Pasal 49 ayat (9), Pasal 50 ayat (9),  Pasal 51 ayat (2), 52 ayat (2), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai mencakup pengertian “termasuk menetapkan 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3 (tiga) hari dimaksud terlampaui namun tetap hanya ada 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur”;
             Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya juga memperjelas tentang teknis mekanisme penyelenggaraan Pilkada dengan calon tunggal yaitu dipadankan dengan plebisit dengan cara meminta rakyat (pemilih) untuk menentukan pilihannya apakah “Setuju” atau “Tidak Setuju” dengan pasangan calon tersebut.  Menurut MK, apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “Setuju” maka pasangan calon tersebut ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih dan sebaliknya, apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “Tidak Setuju” maka pemilihan ditunda sampai Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya. MK menyatakan, penundaan demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara “Tidak Setuju” tersebut.
Kesiapan KPU
          Pasca putusan tersebut, KPU Pusat sebagai penyelenggara Pilkada menindaklanjuti segera putusan MK tersebut dengan memerintahkan kepada KPU Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Timur Tengah Utara untuk segera melanjutkan proses tahapan pemilihan yang sempat tertunda karena adanya calon tunggal tersebut. Secara teknis penyelengaraan, tahapan Pilkada calon tunggal dengan mekanisme Plebisit sebenarnya sama dengan tahapan pemilihan dengan mekanisme Pilkada dengan calon lebih dari satu, yang berbeda adalah surat suara yang yang memang hanya mencantumkan calon tunggal dan tulisan dalam surat suara dibawah pasangan calon yang tertera setuju atau tidak setuju.
          KPU terus melakukan rapat kordinasi untuk mempersiapkan Pilkada untuk  3 (tiga) daerah yang memiliki calon tunggal tersebut khususnya terkait waktu tahapan yang memang harus dilaksanakan bersamaan dengan daerah lainnya yaitu pada tanggal 9 Desember 2015. Apabila dilihat dari sisi teknis pelaksanaan sebenarnya tidak ada yang sulit bagi KPU untuk melaksanakan tahapan Pilkada dengan mekanisme plebisit ini karena secara kasat mata dengan satu pasangan calon (calon tunggal) maka pelaksanaannya pun menjadi tidak rumit seperti layaknya pilkada yang diikuti oleh pasangan calon lebih dari satu. KPU pastinya juga akan melakukan rapat kordinasi dengan Bawaslu dan DKPP guna nantinya mempersiapkan draft Peraturan KPU tentang tahapan Pilkada Calon Tunggal yang nantinya akan di konsultasikan ke DPR dan Pemerintah.
Sengketa di MK  
Mahkamah Konstitusi yang diberikan kewenangan sementara untuk memutus sengketa hasil Pilkada dalam dataran teknis peraturan telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tahapan, Kegiatan dan  Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, serta Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan Permohonan Pemohon, Jawaban Termohon dan Keterangan Pihak Terkait.
Secara garis besar Peraturan Mahkamah Konstitusi tersebut memang dibuat dalam kondisi normal dengan pengertian Pilkada yang diikuti oleh pasangan calon lebih dari satu sehingga apabila ada sengketa maka pihak yang bersengketa jelas terbagi sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi yaitu Pemohon (pasangan calon peserta Pilkada), Termohon (KPU) dan Pihak Terkait (Pasangan Calon yang memiliki suara terbanyak yang ditetapkan Termohon yang memiliki kepentingan langsung terhadap permohonan yang diajuakan Pemohon).
Dalam ketiga peraturan Mahkamah Konstitusi tersebut memang tidak diatur tentang sengketa calon tunggal dengan mekanisme Plebisit seperti yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi dalam perkara 100/PUU-XIII/2015 karena ketiga Peraturan tersebut ditetapkan pada tanggal 24 Agustus 2015 sebelum putusan perkara 100/PUU-XIII/2015. Adanya usulan agar MK juga membuat aturan khusus mengenai Pilkada dengan mekanisme Plebisit ini memang harus dipertimbangkan secara seksama yang nantinya juga harus disinkronkan dengan Peraturan KPU dan juga peraturan Bawaslu yang mungkin juga akan dibuat untuk mengakomodir mekanisme Plebisit tersebut.
Apabila kita mengacu kepada PMK 1 Tahun 2015 maka Pemohon yang dapat mengajukan permohonan sengketa ke MK adalah pasangan calon Gubernur, Bupati dan Walikota sedangkan Pihak Terkait adalah Pasangan Calon Pemenang Pilkada yang memperoleh suara terbanyak. Dalam Pilkada yang diikuti oleh lebih dari satu pasangan calon proses pengajuan sengketa ke MK sudah jelas, namun hal tersebut akan berbeda apabila hanya dikuti oleh satu pasangan calon (calon tunggal). Sengketa calon tunggal di MK banyak menimbulkan pertanyaan yang harus dijawab bukan hanya oleh KPU, Bawaslu dan DKPP tetapi pastinya harus dijawab oleh MK sebagai lembaga pengawal demokrasi untuk menjaga adanya kepastian hukum dalam proses Pilkada Calon Tunggal tersebut.
Permasalahan tentang apakah calon tunggal yang kalah suara pada saat pelaksanaan Plebisit dapat menjadi Pemohon ke MK?, atau apakah masyarakat pemilih yang memilih tidak setuju dapat menjadi Pihak Terkait dalam sengketa tersebut? begitupun sebaliknya apakah masyarakat pemilih yang kalah suara pada saat pelaksanaan Plebisit dapat menjadi Pemohon ke MK?, berapa persentase batas perolehan suara bagi calon tunggal yang akan ditetapkan menjadi pasangan calon terpilih bila seandainya menang dalam Plebisit tersebut?. Tentunya berbagai pertanyaan dan permasalahan tersebut harus segera dijawab bukan hanya oleh KPU, Bawaslu, dan DKPP tetapi juga oleh MK sebagai penafsir tunggal konstitusi dan penjaga demokrasi. Patut kita tunggu langkah yang akan dilakukan oleh KPU, Bawaslu, DKPP dan MK dalam menyikapi sengketa calon tunggal ini dalam upaya menjaga marwah demokratisasi di Negara yang kita cintai ini.
*****




[1] Panitera Pengganti Mahkamah Konstitusi. Alamat Kantor :Gedung MK Lantai 7 Jl. Medan Merdeka Barat Nomor 6 Jakarta Pusat.Tlp; 021 23529000 - HP: 0812 831 50373 – email : adhanihani@gmail.com

Tidak ada komentar: