Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Kamis, 17 Maret 2011

Cerita tukang Ulen di Pinggiran Istana

Entah kenapa hari ini, ketika melewati trotoar seberang gedung sekretaris negara, ada keinginan yang sangat kuat untuk kembali membeli makanan ringan khas sunda yang bernama ulen, makanan yang dibuat dari beras ketan dan biasanya dibakar kemudian disuguhkan dengan oncom ataupun parutan kelapa goreng. 
Tepat persis di depan gedung BRI depan Gedung Sekneg, abang ulen itu biasanya sudah duduk dengan santainya, ditemani sebatang rokok dji sam soe batangan dan secangkir kopi hitam dengan memakai gelas bekas air mineral. Usia abang tukang tukang ulen ini mungkin sekitar 47 tahun, raut muka yang murah senyum membuat orang sumringah untuk membeli panganan tersebut, meskipun memang ulen tidaklah selaris panganan gorengan tapi tetap saja setiap hari selalu ada orang yang membeli.

Sebulan yang lalu, saya sempat berbincang dengan beliau dan menanyakan tentang pengalaman beliau sebagai penjual ulen dan keuntungan yang didapat setiap hari.
Ulen tersebut dijual dengan harga 2 ribu rupiah, agak mahal memang bila dibandingkan dengan panganan gorengan, karena memang bahan ulen lebih mahal dibanding gorengan.
Abang tersebut bercerita, bahwa setiap hari rata-rata yang membeli ulen nya sekita 5-10 orang saja, dan biasanya membeli dengan jumlah antara 2-4 ulen, bila dihitung rata-rata tiap hari, abang tersebut menjual ulen 20 buah ulen dan bila dikalikan 2 ribu maksimal yang beliau dapat hanya 40 ribu setiap hari, mungkin keuntungan dari ulen itu hanya 10-20 ribu saja dan bila dikalikan 30 hari, maka penghasilan abang tukang ulen tersebut sekitar 600ribu setiap bulannya, dan itu sangat jauh dari UMR Jakarta.

Bisa dibayangkan apa bisa abang tersebut mencukupi kebutuhan hidup keluarganya? jawabannya jelas tidak, pastinya abang tersebut mungkin hanya bisa mencukupi kebutuhan primer saja yaitu makan, dan itupun dengan menu yang sangat sederhana tentunya.
Pagi ini abang ulen tersebut tidak jualan, info dari security Gedung BRI, katanya abang ulen itu dah 2 hari gak jualan dan kayaknya beliau sakit :(

Sedih dan miris saya mendengarnya, bila dia sakit bagaimana dengan anak dan keluarganya? apa mungkin bisa berobat ke dokter?

Kehidupan di Jakarta memang sangatlah keras, bila kita ingin survive maka kita harus siap menghadapi resiko apapun, abang tukang ulen tersebut hanyalah contoh kecil bagaimana susahnya berjuang untuk hidup di Kota Megapolitan ini. Berjuang di Jakarta haruslah dengan menggunakan strategi yang tepat, dan bukan hanya mengandalkan nekad saja, mungkin hidup dikampung atau jadi transmigran akan lebih baik daripada hidup di Jakarta tapi tidak jelas arah dan masa depan.

Negara yang seharusnya menjadi media untuk membuat rakyat sejahtera sudah berpangku tangan, para pemimpin di negeri ini lebih mementingkan isu reshuffle kabinet, daripada memikirkan rakyatnya yang kelaparan.

Itulah sedikit cerita dari tukang ulen di pinggiran istana yang megah :(
Semoga cerita ini menginspirasi kita semua untuk senantiasa membantu sesama dan untuk para pemimpin negeri ini, ya sekali kali tengok lah rakyat mu ini, jangan hanya keluar masuk mobil mewah dan gedung ber AC sementara fasilitas yang anda pakai kami juga yang bayar, betul betul gak tahu malu.

1 komentar:

imsantoso mengatakan...

nice story om...
negara ini selalu berkutat pada hal yg itu2 aja..pilkada, reshufle... dll
lupa pd tugas yg utamnya... membangun bangsa dan rakyat....
semoga masih ada pemimpin yang bisa membawa ke arah yang lebih baik...