A. Pandangan Politik Rakyat Kecil
Politik di mata rakyat kecil di Indonesia khususnya sekarang ini (pasca reformasi) tidak lagi seperti pada masa orde baru. Pengalaman politik Indonesia mengalami roda perputaran, hampir sama pada masa orde lama (permulaan kemerdekaan republik Indonesia). Pada masa orde baru, dengan alasan yang berbeda-beda setiap orang akan terpaksa memilih pihak dalam pertarungan besar. “Terserah pada para ahli” berarti memihak golongan yang membabi buta. Pada umumnya orang menerima pendapat bahwa politik adalah soal yang terlalu penting untuk diserahkan kepada para ahli. Isi terpenting dari politik adalah ekonomi, dan isi ekonomi yang terpenting adalah teknologi.
Pada kenyataannya bahwa rakyat kecil sering kali dapat menerima pandangan yang lebih luas dan yang lebih “berkemanusiaan” dibandingkan dengan pandangan yang biasanya ada pada ahli. Kekuatan orang biasa yang cenderung merasa tak berdaya, tidak terletak pada usaha untuk mengambil langkah yang baru, tetapi terletak pada menaruhkan simpati dan dukungan mereka pada golongan minoritas.
Runtuhnya rezim orde baru memang jadi acuan strategis akan semakin dewasanya proses dialektika masyarakat, khususnya dalam bidang politik. Sekarang, politik cenderung menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan rakyat. Mereka dapat lebih santai dalam mengemukakan pendapatnya. Fakta yang paling nyata adalah PEMILU tahun 1999 dipandang sebagai kejadian yang menarik perhatian rakyat kecil dan mereka dengan bangga dan pasti memilih partai sesuai dengan keinginannya. Tentu saja suatu pandangan politik tidak terlepas dari ideologi yang mendasari pemikiran setiap orang. Jika pada masa yang lalu pandangan politik hanya berkisar pada Islam (PPP), nasionalis (PDI) dan GOLKAR, sekarang rakyat lebih memiliki banyak pilihan. Meskipun kadang mereka salah kaprah dalam memilih suatu partai, tapi itulah demokrasi. Mau nggak mau kita harus menerima kenyataan bahwa bangsa ini masih harus banyak belajar, belajar dan belajar, entah sampai kapan......
Keterkejutan rakyat kecil terhadap perubahan ini juga mengakibatkan kebingungan yang memunculkan sikap apatis terhadap politik dan perkembangannya. Bagi kaum miskin di desa atau orang pinggiran di kota , dalam hal ini mereka yang mangalami kegagalan ekonomi setelah melakukan urbanisasi, politik dipandang sebagai sesuatu yang menyebabkan mereka merasa tidak mendapatkan kemajuan apapun, terutama di bidang ekonomi. Mereka berorientasi bahwa kegiatan politik hanya menghasilkan peraturan-peraturan yang semakin mempersempit ruang gerak mereka dalam mencari nafkah di bidang-bidang informal. Seperti penataan tata ruang kota di kota-kota besar, disana dilakukan pelarangan pedagang-pedagang kaki lima, semakin banyaknya retribusi yang tidak jelas, harga BBM yang semakin melonjak, harga harga kebutuhan pokok yang semakin tidak karuan, harga pupuk yang selangit, biaya pendidikan yang semakin tinggi dan masih banyak hal lain yang memang membikin mereka semakin sulit untuk survive. Entah sampai kapan mereka dapat bertahan !!!
Sementara di lain tempat tampak para elit politik yang biasa bersafari pilihan mereka yang jor-joran memperjuangkan kenaikan gaji dan penambahan fasilitas. Sungguh tidak tahu malu !!!
Mungkin patut direnungkan kembali celotehan Iwan Fals tentang wakil rakyat :
“Saudara dipilih bukan di lotere, meski kami tak kenal siapa saudara....................
“ wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat. Wakil rakyat bukan paduan suara hanya tau nyanyian lagu setuju”
B. Partisipasi Politik Rakyat Kecil
Meskipun pandangan politik rakyat kecil cenderung meningkat, tetapi orientasi partisipasi mereka masih berkisar mencoblos tanda gambar yang dipengaruhi money politics. Dalam hal ini sesuai dengan tingkat pendidikan mereka, menganalisis berita-berita media massa dengan lugu. Mereka bahkan enggan mengikuti organisasi-organisasi masyarakat yang tersedia seperti organisasi buruh yang biasanya dianggap sebagai para pekerja pabrik. Mereka sebagai pelaku bidang informasi sudah cukup nyaman tertampung dalam wadah-wadah keagamaan dan dakwah, bahkan para ibu merasa cukup dengan mendapatkan pengetahuan hanya dari pengajian dan arisan. Dan yang lebih memprihatinkan lagi sebagian dari mereka tidak berani mengikuti kegiatan semacam itu dengan alasan tidak ada baju yang cukup sesuai dengan kegiatan tersebut.
Tetapi bagi para pemudanya, khususnya laki-laki, mereka akan lebih senang jika mereka dapat mengkuti arak-arakan kampanye dengan memakai atribut partai-partai politik dengan dibayar untuk melakukan hal itu. Mereka merasa bahwa kegiatan tersebut merupakan salah satu hiburan dalam kehidupan mereka yang menyenangkan.
Selain pandangan mereka tentang politik, nilai-nilai agama yang mereka yakini juga cukup mempengaruhi partisipasi politik mereka. Bagi yang merasa mendalami Islam akan memilih partai-partai politik yang berasaskan Islam pada PEMILU tanpa menyadari bahwa penjabaran Islam dalam partai politik itu sendiri masih terlalu dini dan terpecah-pecah hingga jarang mendapatkan kemenangan PEMILU. Dan bagi yang Islam “abangan” akan lebih suka memilih partai-partai politik berasaskan nasionalis yang seringkali menekankan pada perilaku demokrasi yang dangkal. Mereka menganggap bahwa demokrasi itu boleh memperjuangkan kelompoknya dengan segala macam cara termasuk kekerasan. Sehingga sekarang banyak terjadi, rakyat kecil yang tadinya sama sekali impoten dalam kekerasan politik, saat ini lebih brutal dari yang dibayangkan.
C. Dampak Konflik Politik Bagi Rakyat Kecil
Rakyat kecil seringkali menjadi korban yang paling menderita akibat adanya konflik-konflik politik oleh para elit politik. Mereka dijadikan umpan para elit politik dengan low politics untuk membuat kerusuhan-kerusuhan. Mereka juga seringkali tidak dapat mengontrol emosinya hingga mudah terpicu fitnah dan isu politik yang pada akhirnya menyebabkan kerugian bagi mereka sendiri. Bagaimana rakyat dapat merealisasikan demokrasi yang lebih besar di dalam suatu masyarakat yang mengaku mempunyai hukum-hukum dan lembaga-lembaga demokratis, sementara masih dikendalikan oleh kelompok kecil pihak-pihak yang bekerja di belakang layar.
Menjadi jelas bahwa sistem politik di dalam masyarakat terbelakang dan kurang terlembaga kehilangan stabilitas mereka jika kaum elit yang dominan disekularkan tanpa transformasi sosio kultural yang diusahakan pada waktu yang bersamaan ataupun suatu transformasi yang tidak boleh disamakan dengan modernisasi superfisial manapun
Tetapi rakyat kecil sangat diperlukan untuk mendukung terealisasinya program-program politik pemerintah. Tanpa mereka, permainan politik para elit politik hanyalah sebuah refleksi dari teori yang melenceng. Rakyat kecil bagaikan peliharaan, kehidupan mereka seperti sudah ditentukan oleh kebijakan-kebijakan politik yang dibuat. Semua ketidakadilan akibat politik baik dirasakan secara langsung maupun tidak, seolah memberikan imunisasi bagi rakyat kecil sehingga mereka seperti tidak lagi merasakan hempasan-hempasan konflik politik. Itu sebenarnya bisa mereka hindari dengan jalan pensosialisasian pendidikan politik yang matang.
Tidak hanya pergesekan-pergesekan fisik dan non fisik saja yang terjadi akibat dari konflik-konflik politik. Tetapi hal itu lebih jauh lagi dapat menyebabkan perpecahan dan disintegrasi bangsa yang cukup parah. Begitu pula dengan keadaan ekonomi yang tidak menentu akibat turun naiknya kurs dollar terhadap rupiah disebabkan oleh manuver-manuver politik para elit politik yang sudah barang tentu rakyat kecillah yang akan merasakan kerugian paling besar.
Lalu apakah kita hanya akan berapologi : “ wajar saja semua itu terjadi, karena kita masih dalam tahap belajar, kita berada dalam masa transisi,.......................”
Sampai kapankah kita akan belajar ?,.................................................................
Ada baiknya mungkin kita renungkan nyanyian Ebiet G.Ade : “ Coba kita tanyakan pada rumput yang bergoyang “.
D. Rakyat Kecil dan harapan Pemilu 2004
Tahun 2004 besok kembali kita akan dibenturkan dalam suatu pesta demokrasi untuk seluruh rakyat yaitu Pemilu. Mungkin yang jadi pertanyaan dalam benak kita, apa yang akan terjadi dalam pemilu 2004 besok?, apakah prediksi akan banyak terjadinya pertumpahan darah akan terjadi?, apakah rakyat akan tetap eksis untuk memilih Partai-Partai peserta Pemilu?, atau malah mungkin golongan putih yang akan menghiasi fenomena Pemilu 2004 besok?
Bila kita melihat fenomena yang terjadi pasca Pemilu 1999, yang notabene merupakan Pemilu yang boleh dikatakan cukup demokratis karena sangat mencerminkan azas dalam Pemilu itu sendiri yaitu Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia. Ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi pada masa rezim orde baru, dimana Pemilu jelas-jelas dijadikan komoditi untuk melanggengkan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
Rakyat Indonesia telah belajar banyak mengenai Pemilu, dimulai sejak tahun 1955 yang merupakan Pemilu pertama pada masa awal kemerdekaan yang diikuti banyak partai. Banyak pengamat yang mengatakan bahwa Pemilu tersebut benar-benar bisa mencerminkan proses demokrasi di Indonesia.
Ini berbeda dengan apa yang terjadi pada masa orde baru, dimana kita bisa melihat sangat jelas telah terjadi pembodohan terhadap rakyat Indonesia yang dilakukan oleh rezim orde baru dengan tujuan untuk melanggengkan kekuasaan rezim Soeharto. Hal tersebut berlangsung selama 32 tahun dan ini menyebabkan rakyat Indonesia semakin apriori dan apatis, dan memang itu yang diinginkan oleh rezim orde baru.
Pemilu 2004 esok hari akan sangat dimungkinkan kembali akan dijadikan komoditi yang cukup signifikan untuk meraup dan melanggengkan kekuasaan, dimana jelas-jelas kekuasaan cenderung akan melahirkan korupsi, kolusi dan nepotisme. Memang hal itu tidak bisa kita pungkiri, inilah realita yang tejadi di negeri tercinta ini. Ternyata di era Reformasi ini Kolusi, korupsi dan Nepotisme malah semakin menggila, dan itu dilakukan oleh orang-orang yang katanya ingin memajukan bangsa ini. Sementara dibawah rakyat kecil semakin meringis dan sakit, mereka semakin tertindas dan tenggelam. Ada ketidakpercayaan yang amat sangat dari rakyat kecil terhadap pemerintahan di era reformasi sekarang ini. Semakin maraknya anarkisme dan main hakim sendiri dikalangan rakyat kecil, menjadi indikator awal adanya ketimpangan social yang terjadi di masayarakat kita. Ada kesan mereka menaruh ketidak percayaan terhadap pemerintahan sekarang ini. Ya, bagaimana tidak, orde reformasi yang katanya akan melahirkan Good and Clean Government ternyata hanya melahirkan pahlawan kesiangan dan birokrasi yang korup.
Apa yang diingnkan oleh rakyat kecil sebenarnya sangat sederhana. Mereka hanya menginginkan :
- terjangkaunya harga kebutuhan pokok,
- pendidikan yang murah dan
- tidak adanya diskriminasi dalam penegakan hukum.
Sayangnya sampai saat ini ketiganya belum mereka dapatkan. Mereka hanya mendengar janj-janji muluk dan arogansi kekuasaan yang semakin menambah luka di hati rakyat kecil. Mudah-mudahan harapan harapan tersebut esok pada Pemilu 2004 bisa mereka dapatkan.
Yogyakarta, 19 Juni 2003