Dua orang Pria yang berdandan trendy, dengan rambut klimis, memakai dasi tengah asik ngobrol disebuah tempat ngopi yang sangat ekslusif dan terkesan sangat mewah. Bayangkan hanya untuk secangkir kopi mereka harus mengeluarkan uang ratusan ribu, padahal kalo kita minum di warteg, mungkin kita bisa dapat 30 cangkir kopi. Sambil diselingi deringan suara Handphone mereka sesekali menoleh ke meja sebelah yang notabene nampak sesosok wanita yang facenya tidaj jauh beda dengan model yang sering keluar di iklan TV. Kemudian mereka berusaha untuk mendekati wanita di meja sebelah, lalu setelah bercakap-cakap kurang dari 10 menit akhirnya mereka bertiga keluar meninggalkan tempat tersebut dengan sebuah mobil mewah seri terbaru keluaran jerman.
Sekilas itulah yang dinamakan Laki-laki metroseksual. Yang menarik, kata itu terbatas digunakan untuk laki-laki. Pengertiannya, kurang lebih, metroseksual adalah laki-laki muda yang punya uang (untuk dihambur-hamburkan), hidup di tengah atau setidaknya dalam jangkauan metropolis-di mana terdapat toko-toko terbaik, klub, butik, pusat kebugaran, salon kecantikan, dan lain-lain. Laki-laki dalam kategori ini tidak harus serta-merta kalangan gay atau homoseksual. Ini bukan urusan preferensi seksual. Laki-laki tersebut bisa saja straight-heteroseksual- namun yang menonjol ia menempatkan dirinya sendiri sebagai obyek cintanya sendiri.
Secara Etimologi pengertian Metroseksual berasal dari kata Yunani, metropolis artinya ibu kota plus seksual. Definisi: sosok narsistik dengan penampilan dandy, yang jatuh cinta tidak hanya terhadap diri sendiri, tetapi juga gaya hidup urban. Sosok Pria metroseksual di dunia sekatang ini memang bisa mengalahkan popularitas seorang Presiden.
Sebagai contoh adalah David Beckam notabene termasuk pemain sepak bola termahal di dunia. Dia menjadi icon bagi Pria Metroseksual. Bagaimana tidak, dia yang sekatang beristri seorang artis (Victoria Beckam) memang boleh dikatakan sangat sempurna, tampang oke, kaya, terkenal and of course macho. Sangat wajar bila dia jadi icon kaum metroseksual dunia.
Di dunia film dunia kita mengenal sosok Brad Pitt si Alexis dari Yunani dalam film Troy, yang juga menjadi icon bagi Pria Metroseksual. Brad Pitt dan David Beckham boleh dikatakan mewakili kelompok bintang film dan bintang sepak bola yang metroseksual. Lihat saja penampilan mereka, dandy, klimis, wangi, pakai anting-anting lagi! Mereka—yang bukan gay—ternyata suka belanja barang-barang mewah dan bermerk di butik-butik eksklusif dan merawat diri di pusat kebugaran, spa, dan aroma terapi.
Bagaimana dengan selebritis Indonesia? Saya rasa kita tidak akan sulit menemukan selebritis pria dengan ciri-ciri dan penampilan seperti di atas. Ferry Salim, misalnya. Dalam suatu acara dia mengaku memiliki 5000 botol parfum dan 50 kacamata bermacam model dan warna. Yang menarik, bahkan pembicara seminar top tentang marketing, Hermawan Kartajaya, ternyata mengaku tertular gaya hidup metroseksual. Ketika memberikan ceramah ilmiah di Universitas Kristen Immanuel, Jogja, dia mengaku, “Saya juga sangat memperhatikan penampilan. Saya pun pakai sabun Dove!”
Dalam sebuah artikel di rubrik Fashion & Style di New York Time, metroseksual didefinisikan kurang lebih sebagai lelaki yang menggemari busana bagus dan benda bagus lain pada umumnya, serta tidak begitu berpretensi sebagai macho. Dia atau mereka tidak harus diasosiasikan sebagai gay, melainkan cowok yang-sebutlah-boleh jadi mengencani cewek-cewek yang tampil dalam pose sexy pada majalah-majalah populer khusus pria (di Indonesia seperti Popular, Male Emporium, atau FHM alias For Him Magazine yang baru terbit versi Indonesia).[2]
Memang apa yang terjadi sekarang mungkin sangat berbeda jauh dengan apa yang terjadi di Tahun 70-an atau 80-an. Pada jaman itu cowok yang disebut macho adalah cowok yang berbadan kekar, jagoan dan suka berkelahi, meskipun badannya bau amis, tapi justru disanalah ciri khas cowok. Sementara dijaman sekarang cowok yang berbau amis mungkin hanya bisa kita dapatkan dipasar-pasar tradisional, mikrolet atau terminal. Sementara kalo di kantor-kantor, mall atau tempat gaul lain kita pasti tidak akan pernah menemukan cowok dekil yang berbau amis.
Ketika melihat para penganut metroseksual ini berparade di pusat-pusat mode dunia, di layar perak dan layar kaca, apakah kita lalu begitu saja “mengikuti jejak” mereka? Pertanyaan itu paling pas kita tujukan untuk diri kita sendiri. Apakah kita mau mengikuti arus yang di permukaan atau melakukan ziarah batin ke kedalaman hati kita sendiri?
Sebagai contoh adalah David Beckam notabene termasuk pemain sepak bola termahal di dunia. Dia menjadi icon bagi Pria Metroseksual. Bagaimana tidak, dia yang sekatang beristri seorang artis (Victoria Beckam) memang boleh dikatakan sangat sempurna, tampang oke, kaya, terkenal and of course macho. Sangat wajar bila dia jadi icon kaum metroseksual dunia.
Di dunia film dunia kita mengenal sosok Brad Pitt si Alexis dari Yunani dalam film Troy, yang juga menjadi icon bagi Pria Metroseksual. Brad Pitt dan David Beckham boleh dikatakan mewakili kelompok bintang film dan bintang sepak bola yang metroseksual. Lihat saja penampilan mereka, dandy, klimis, wangi, pakai anting-anting lagi! Mereka—yang bukan gay—ternyata suka belanja barang-barang mewah dan bermerk di butik-butik eksklusif dan merawat diri di pusat kebugaran, spa, dan aroma terapi.
Bagaimana dengan selebritis Indonesia? Saya rasa kita tidak akan sulit menemukan selebritis pria dengan ciri-ciri dan penampilan seperti di atas. Ferry Salim, misalnya. Dalam suatu acara dia mengaku memiliki 5000 botol parfum dan 50 kacamata bermacam model dan warna. Yang menarik, bahkan pembicara seminar top tentang marketing, Hermawan Kartajaya, ternyata mengaku tertular gaya hidup metroseksual. Ketika memberikan ceramah ilmiah di Universitas Kristen Immanuel, Jogja, dia mengaku, “Saya juga sangat memperhatikan penampilan. Saya pun pakai sabun Dove!”
Dalam sebuah artikel di rubrik Fashion & Style di New York Time, metroseksual didefinisikan kurang lebih sebagai lelaki yang menggemari busana bagus dan benda bagus lain pada umumnya, serta tidak begitu berpretensi sebagai macho. Dia atau mereka tidak harus diasosiasikan sebagai gay, melainkan cowok yang-sebutlah-boleh jadi mengencani cewek-cewek yang tampil dalam pose sexy pada majalah-majalah populer khusus pria (di Indonesia seperti Popular, Male Emporium, atau FHM alias For Him Magazine yang baru terbit versi Indonesia).[2]
Memang apa yang terjadi sekarang mungkin sangat berbeda jauh dengan apa yang terjadi di Tahun 70-an atau 80-an. Pada jaman itu cowok yang disebut macho adalah cowok yang berbadan kekar, jagoan dan suka berkelahi, meskipun badannya bau amis, tapi justru disanalah ciri khas cowok. Sementara dijaman sekarang cowok yang berbau amis mungkin hanya bisa kita dapatkan dipasar-pasar tradisional, mikrolet atau terminal. Sementara kalo di kantor-kantor, mall atau tempat gaul lain kita pasti tidak akan pernah menemukan cowok dekil yang berbau amis.
Ketika melihat para penganut metroseksual ini berparade di pusat-pusat mode dunia, di layar perak dan layar kaca, apakah kita lalu begitu saja “mengikuti jejak” mereka? Pertanyaan itu paling pas kita tujukan untuk diri kita sendiri. Apakah kita mau mengikuti arus yang di permukaan atau melakukan ziarah batin ke kedalaman hati kita sendiri?
***
DAVID Beckham tidak lagi hanya terkenal sebagai pemain klub sepakbola Real Madrid yang andal. Kini, ia juga lambang metroseksual. Lambang lelaki yang sangat memperhatikan penampilan sehari-hari. Lelaki yang sangat peduli terhadap kesempurnaan setiap jengkal tubuhnya. Lelaki yang dalam merawat tubuhnya tidak kalah dari perempuan. Memakai parfum, facial, pembersih wajah, pelembap (moisturizer), spa, atau bahkan merawat kuku-kukunya.
"Bumi telah menjadi Venus," kata Hermawan Kartajaya. Kaum lelaki telah berubah menjadi perempuan. Tentu bukan secara anatomis, melainkan dalam sikap dan perilaku. Itulah yang diistilahkan sebagai wo-man, woman oriented man, kaum Adam yang berorientasi Hawa. Kaum lelaki yang konon berasal dari Mars telah berubah seperti perempuan-perempuan yang datang dari Venus.
Metroseksual adalah tren lelaki masa kini. Bukan lagi pria yang macho, yang berotot dan gagah perkasa. Setidak-tidaknya itulah wacana yang berkembang akhir-akhir ini. Tapi jangan dulu salah sangka, metroseksual bukanlah penggambaran laki-laki yang keperempuan-perempuanan alias banci atau waria. Sama sekali bukan! David Beckham tetaplah lelaki tulen, namun kepeduliannya terhadap penampilan seperti wanita.
DAVID Beckham tidak lagi hanya terkenal sebagai pemain klub sepakbola Real Madrid yang andal. Kini, ia juga lambang metroseksual. Lambang lelaki yang sangat memperhatikan penampilan sehari-hari. Lelaki yang sangat peduli terhadap kesempurnaan setiap jengkal tubuhnya. Lelaki yang dalam merawat tubuhnya tidak kalah dari perempuan. Memakai parfum, facial, pembersih wajah, pelembap (moisturizer), spa, atau bahkan merawat kuku-kukunya.
"Bumi telah menjadi Venus," kata Hermawan Kartajaya. Kaum lelaki telah berubah menjadi perempuan. Tentu bukan secara anatomis, melainkan dalam sikap dan perilaku. Itulah yang diistilahkan sebagai wo-man, woman oriented man, kaum Adam yang berorientasi Hawa. Kaum lelaki yang konon berasal dari Mars telah berubah seperti perempuan-perempuan yang datang dari Venus.
Metroseksual adalah tren lelaki masa kini. Bukan lagi pria yang macho, yang berotot dan gagah perkasa. Setidak-tidaknya itulah wacana yang berkembang akhir-akhir ini. Tapi jangan dulu salah sangka, metroseksual bukanlah penggambaran laki-laki yang keperempuan-perempuanan alias banci atau waria. Sama sekali bukan! David Beckham tetaplah lelaki tulen, namun kepeduliannya terhadap penampilan seperti wanita.
Dilihat dari sisi marketing, tren itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh berbagai perusahaan untuk menghasilkan produk perawatan khusus bagi laki-laki. Meskipun masih bisa dipertanyakan, jangan-jangan justru tren itu diciptakan (atau tercipta) oleh iklan dan promosi yang gencar dan canggih, sebagai bagian dari kapitalisme global. Bukankah kekuatan kapitalisme global telah mengubah segala-galanya, seperti yang ditengarai Francis Fukuyama dalam The End of History and the Last Man?
Patut dicurigai, sebenarnya kapitalisme globallah yang menciptakan fenomena metroseksual, bukan metroseksual itu yang muncul lebih dulu kemudian diikuti oleh produk-produk yang mendukungnya. Buktinya, relasi antarmanusia yang makin emosional pun antara lain tercipta oleh kemajuan teknologi telepon selular. Orang menjadi makin emosional dengan short message service (SMS). Bukan sebaliknya, SMS itu muncul karena terdorong oleh relasi antarmanusia yang makin emosional.
OKE! Biarlah tren itu tetap berlangsung, toh suatu saat kelak akan berubah lagi. Begini, kalau saat ini lelaki berorientasi perempuan, bukankah itu sebenarnya hanya merupakan gejala yang tidak jauh berbeda dari perempuan yang berorientasi lelaki? Dua puluhan tahun silam, tidak ada perempuan yang memakai celana panjang dan berkaus oblong, karena tidak patut. Ketika itu muncul tren kaum Hawa memakai celana panjang, berkaus oblong, dan berambut pendek. Perempuan berorientasi laki-laki (man-wo - man oriented woman).
Nah! Kalau sekarang para lelaki berorientasi perempuan, dan perempuan berorientasi lelaki. Di dalam Al Quran sudah dijelaskan bahwa Itu adalah salah satu tanda akhir zaman. Metroseksual hanyalah bagian dari gejala perkembangan peradaban. Hanya bagian dari kecenderungan bahwa dunia ini menjadi makin abu-abu; makin tidak hitam-putih. Abu-abu itu bukan hanya terjadi pada relasi lelaki-perempuan; ketika keduanya sulit dibedakan, ketika lelaki makin feminim dan perempuan makin maskulin.
Abu-abu terjadi hampir di semua aspek kehidupan. Lihat saja, misalnya, orang mulai sulit membedakan antara korupsi dan komisi, uang suap dan tali asih, studi banding dan piknik, dan seterusnya. Pendek kata, terjadi kekaburan antara yang benar dan yang salah, yang patut dan yang tidak patut, yang baik dan yang buruk. Persis kekaburan antara yang lelaki dan yang perempuan dalam konteks metroseksual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar