Terlampir Opini tentang PKPA yang dimuat di HukumOnline pada tanggal 8 Juni 2017 yang dapat di download di web hukumonline >> http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5938db3148153/pendidkan-khusus-profesi-advokat-pasca-putusan-mk-oleh--hani-adhani
PENDIDIKAN
KHUSUS PROFESI ADVOKAT (PKPA)
PASCA
PUTUSAN MK
Hani Adhani [1]
Profesi Advokat adalah profesi yang
saat ini sangat diminati oleh para lulusan fakultas hukum. Para fresh graduate sarjana hukum biasanya
memiliki ketertarikan untuk menjadi Advokat oleh karena adanya tantangan dalam
upaya untuk membantu masyarakat untuk menegakan hukum dan keadilan. Masih
banyaknya masyarakat yang buta tentang hukum tentu menjadikan profesi Advokat ini
menjadi urgent ada dalam masyarakat. Profesi
Advokat adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam proses penegakan hukum di
Indonesia. Tuntutan Jaksa dan Putusan Hakim tentu tidak akan pernah ada tanpa
ada gugatan dari para Advokat, oleh karenanya sangat wajar apabila profesi
advokat menjadi bagian profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile).
Seseorang yang telah bergelar
sarjana hukum tidak dapat langsung menjadi Advokat. Ada tahapan yang harus dilalui
apabila para sarjana hukum ingin menjadi Advokat yang tahapan tersebut telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Salah satu
tahapan yang harus dilalui oleh para sarjana hukum untuk menjadi Advokat yang
diatur dalam Undang-Undang Advokat adalah adanya keharusan untuk mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat yang
dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
Adanya keharusan untuk mengikuti
Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2
ayat (1) UU Advokat telah dilaksanakan oleh organisasi Advokasi baik itu
Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ataupun Kongres Advokat Indonesia (KAI)
yang biasa dilaksanakan 1 (satu) sampai 3 (tiga) bulan yang diisi dengan
berbagai materi khusus seperti hukum acara, mulai dari pidana, perdata, TUN,
agama, MK, hubungan Industrial, niaga, HAM, persaingan usaha dan arbitrase.
Selain itu, setiap peserta pelatihan juga diberikan materi mengenai kode etik
profesi Advokat, teknik non litigasi serta materi pendukung lainya seperti
teknik wawancara dengan klien, penelusuran hukum, dokumentasi hukum, serta
argumentasi hukum (legal reasoning).
Setelah mengikuti PKPA para calon
Advokat selanjutnya akan mengikuti Ujian Profesi Advokat yang diselenggarakan
oleh organisasi Advokat dan setelah dinyatakan lulus selanjutnya mereka juga
diwajibkan untuk mengikuti magang di kantor hukum selama dua tahun secara terus
menerus. Kewajiban magang ini memang memberikan kematangan bagi para calon
Advokat dalam menangani berbagai kasus yang ada di masyarakat. Apabila diibaratkan
seorang pilot, maka pengalaman jam terbang menangani berbagai kasus atau
perkara menjadikan patokan awal kemahiran dan kematangan seorang Advokat. Hal
tersebut memiliki nilai jual tersendiri bagi karir seorang Advokat yang pada
akhirnya menjadikan mereka Advokat yang mahir dan handal dalam menangani
berbagai kasus.
Setelah memenuhi syarat magang
barulah nantinya para Advokat ini disumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi
di wilayah domisili hukumnya dan setelah itu mereka akan mendapatkan kartu tanda
anggota Advokat dan dapat mulai untuk menangani kasus sendiri dan/atau dapat
pula membuka kantor hukum sendiri. Adanya tahapan yang terbilang cukup sulit
tersebut menjadikan profesi Advokat memiliki nilai prestise tersendiri. Apalagi nantinya para Advokat tersebut
memiliki keahlian khusus yang tidak dimiliki oleh Advokat lain, maka secara
otomatis hal tersebut akan memberikan nilai lebih yang berimbas kepada
banyaknya kasus yang akan ditangani.
Putusan MK tentang PKPA
Pendidikan Khusus Profesi Advokat
(PKPA) yang selama ini dijalankan oleh organisasi Advokat sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 ayat (1) UU Advokat ternyata dalam kenyataannya dianggap
melanggar hak konstitusional khususnya bagi Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi
Hukum Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945.
Pimpinan Pusat Asosiasi Pimpinan
Perguruan Tinggi Hukum Indonesia mengajukan permohonan judicial review Undang-Undang Advokat kepada Mahkamah Konstitusi
terkait dengan pengaturan PKPA sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU
Advokat. Menurut Pimpinan Pusat Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum
Indonesia, seharusnya PKPA yang diselenggarakan oleh organisasi Advokat
dilaksanakan dengan bekerjasama dengan perguruan tinggi atau sekolah tinggi
hukum. Mereka beranggapan bahwa ada
kewajiban dari Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia untuk ikut serta menjaga dan mewujudkan penyelenggaraan
pendidikan yang berkualitas dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana
dinyatakan dalam UUD 1945 yang salah satunya adalah dengan menjadikan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA)
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kompetensi Strata Satu (S1) yang
dihasilkan oleh perguruan tinggi ilmu hukum.