Terlampir Opini saya yang dimuat di Majalah Konstitusi Edisi 123 Bulan Mei 2017 yang dapat di download di web MK [http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Publikasi&id=2&pages=1&menu=8
KONSTITUSIONALITAS
ANGKUTAN UMUM ONLINE
Hani Adhani[1]
Kisah
pilu tentang bentrokan antara pengemudi angkutan online dan angkutan konvensional yang terjadi di beberapa kota di
Indonesia jelas sangat mengkhawatirkan kita semua sebagai masyarakat. Fenomena
angkutan online ini jelas menimbulkan
pro dan kontra di kalangan masyarakat. Bagi masyarakat pengguna jasa angkutan
umum, adanya aplikasi angkutan online
ini jelas sangatlah menguntungkan. Dengan rate
harga yang dibawah angkutan umum konvensional dan tingkat trust yang tinggi maka pada akhirnya angkutan online mendominasi dan menyebabkan banyak angkutan konvensional non-online yang tergerus dan gulung
tikar.
Kita
masih ingat bagaimana demonstrasi yang dilakukan oleh para supir taksi dan
angkutan umum non online di Jakarta yang
dilakukan pada bulan Maret 2016 yang pada akhirnya berakhir bentrok yang
menimbulkan korban dan kerugian yang tidak sedikit. Tentunya hal tersebut
menimbulkan kecemasan bagi masyarakat pengguna jasa angkutan umum online. Pasca tragedi bentrok tersebut,
ada perasaan was-was dan takut saat memakai jasa angkutan online baik mobil online
ataupun ojek online.
Kini
perusahaan provider angkutan online
mulai berekspansi ke kota-kota lain di Indonesia. Hal tersebut jelas di satu
sisi akan banyak membuka lapangan kerja bagi masyarakat, tetapi di sisi lain
akan membuat angkutan konvensional seperti angkutan kota, taksi, dan ojek biasa
tergerus dan gulung tikar. Belum lagi adanya peluang bentrokan yang akan terjadi seperti halnya yang terjadi di Kota
Bogor dan Kota Tangerang antara pengemudi ojek online dan pengemudi angkutan kota. Hal tersebut tentu harus segera
di antisipasi oleh negara dalam hal ini Pemerintah baik Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
Peran
Negara Dalam Pengelolaan Angkutan Umum
Lalu
bagaimana sebenarnya peran negara dalam pengaturan angkutan umum, khususnya
pengaturan angkutan umum online?.
Hal
mengenai angkutan umum ini sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22
tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) yang telah diundangkan
pada tanggal 22 Juni 2009. Bila kita membaca secara seksama UU LLAJ, sangat
jelas bahwa negara harus berperan aktif untuk menyediakan angkutan umum yang
layak bagi masyarakat, dan berupaya mewujudkan keamanan, keselamatan,
ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka
mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah serta menuntut
penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan yang sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas
penyelenggaraan negara.
Selain
itu, terkait dengan angkutan umum, negara dalam hal ini Pemerintah berkewajiban
untuk menyediakan kebutuhan angkutan umum yang aman, selamat, nyaman, dan
terjangkau. Dalam UU LLAJ tersebut memang tidak mengatur secara spesifik
tentang bagaimana prosedur angkutan umum secara online, namun bukan berarti UU tersebut sudah out of date sehingga tidak layak digunakan. Untuk lebih memperjelas
dan memperinci perihal pengaturan angkutan online
tersebut maka sudah seharusnya Pemerintah membuat peraturan dibawah undang-undang
yang mengatur secara khusus tentang angkutan umum online ini.
Ditetapkannya
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Orang
dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek pada tanggal 1 April 2016 yang
kemudian di revisi kembali pada tanggal 31 Maret 2017 dengan Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017, sedikit banyak telah membantu menyelesaikan
polemik angkutan umum online ini.
Dalam kedua peraturan menteri tersebut, telah diatur tentang bagaiamana
prosedur teknis angkutan online yaitu
diantaranya adalah adanya kewajiban kerjasama antara perusahaan angkutan umum
dengan perusahaan pengguna aplikasi sistem informasi khususnya terkait hal
teknis seperti mekanisme pembayaran, larangan dan kewajiban bagi kedua
perusahaan, penggunaan fasilitas digital
dashboard yang wajib dilaporkan kepada dirjend, kepala badan, Gubernur,
Bupati dan Walikota sebagai bagian dari upaya melakukan pengawasan terhadap
penggunaan angkutan online tersebut.
Dalam
Peraturan Menteri tersebut memang belum secara rinci mengatur tentang angkutan apa saja yang dapat
bekerjasama dengan perusahaan pengguna aplikasi online. Apakah hanya kendaraan roda empat saja? Lalu bagaiaman
dengan angkutan online roda dua
(ojek) yang notabene tidak bergabung dalam perusahaan angkutan sebagaimana
diwajibkan dan diatur dalam UU LLAJ dan Permenhub 26/2017 yaitu BUMN, BUMD, PT
dan Koperasi.
Bila
kita melihat jumlah angkutan online
yang saat ini ada di Indonesia, maka angkutan dengan menggunakan kendaraan
bermotor roda dua (ojek) online
adalah yang paling banyak dan sebagian besar adalah masyarakat yang
memanfaatkan sepeda motor pribadi mereka untuk meraup rezeki di jalan dengan
jalan menjadi pengemudi ojek online. Banyaknya
bentrokan antara pengemudi angkutan kota (angkot) dengan pengemudi ojek online yang terjadi di beberapa kota
besar seperti Bogor dan Tangerang yang menyebabakan korban jiwa memang menjadi
permasalahan yang harus segera diselesaikan oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian
Perhubungan dan juga Pemerintah Daerah.
Peraturan
Menteri Perhubungan yang masih sederhana dan belum rigid tersebut tentunya harus dapat dirinci dalam bentuk Peraturan
Daerah yang dapat dikeluarkan oleh Gubernur, Bupati dan atau walikota dengan
mengacu kepada UU LLAJ dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 juncto Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 26 Tahun 2017.
Putusan
MK tentang Angkutan Umum Online
Bahwa
terkait dengan permasalahan angkutan online
ini, sudah ada masyarakat yang mengajukan pengujian UU LLAJ yaitu Aries
Rinaldi, dkk., yang berprofesi sebagai pengemudi/driver Grab Online yang mempermasalahkan tentang
konstitusionalitas Pasal 139 ayat (4) UU LLAJ yang mengatur tentang penyediaan jasa angkutan umum yang
dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau
badan hukum lain.
Pengemudi Grab
tersebut beranggapan bahwa Pasal 139 ayat (4) UU LLAJ belum
mengakomodir perorangan untuk menjadi pelaksana dalam penyedia jasa angkutan
yang berpotensi akan merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para
Pemohon. Meskipun
perkara yang diajukan oleh para pengemudi Grab tersebut ditolak oleh MK, namun
MK dalam putusan perkara 78/PUU-XIV/2016 yang dibacakan pada tanggal 7
Februari 2017 telah memberikan pertimbangan yang dapat menjadi guideline
bagi Pemerintah dalam upaya menyelesaikan permasalahan angkutan online
tersebut.
Dalam pertimbangannya,
MK antara lain berpendapat bahwa para Pemohon sebagai
pengemudi jasa angkutan online faktanya
memang berada dalam naungan sebuah perusahaan angkutan online yang juga telah berbadan hukum, meskipun perusahaan tersebut
bukan perusahaan angkutan umum namun hanya perusahaan IT Provider. UU LLAJ secara
jelas mengatur pengertian badan hukum untuk penyedia jasa angkutan umum dimana
yang dimaksud “badan hukum” dalam penjelasan Pasal 220 ayat (1) huruf c
Undang-Undang a quo adalah badan
(perkumpulan dan sebagainya) yang dalam hukum diakui sebagai subjek hukum yang
dapat dilekatkan hak dan kewajiban hukum, seperti perseroan, yayasan, dan
lembaga. Menurut
MK, sebuah perusahaan aplikasi penyedia jasa angkutan umum meskipun hanya
menjual jasa aplikasi online bagi
masyarakat tentunya harus juga didukung oleh Perusahaan Angkutan Umum yang
menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum
yang juga berbadan hukum. Adanya fenomena baru yang saat ini terjadi di seluruh
dunia khususnya terkait dengan penggunaan angkutan jalan yang menggunakan
aplikasi online adalah suatu
keniscayaan. Penggunaan aplikasi berbasis online
yang berada dalam kendali setiap pengguna telepon seluler, yang pada awalnya dianggap mustahil untuk diwujudkan,
seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi, hal tersebut kini telah
menjadi kenyataan.
Menurut
MK, masyarakat selaku pengguna jasa angkutan umum mendapatkan keuntungan dengan
adanya aplikasi tersebut. Begitupun dengan penyedia jasa aplikasi online dan pengemudinya yang langsung
direkrut dari masyarakat juga merasakan keuntungan yang sama. UU LLAJ sebenarnya sudah dapat mengakomodir
adanya fenomena angkutan online ini.
Hal tersebut juga sesuai dengan tujuan dibentuknya Undang-Undang a quo yaitu sebagai upaya mendukung
pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan
kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.
Selain
itu, menurut MK, negara memiliki kewajiban untuk membangun dan memajukan sistem
transportasi nasional yang bertujuan untuk mewujudkan keamanan, keselamatan,
ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka
mendukung pengembangan wilayah dan pembangunan ekonomi. Hal tersebut akan
mengikuti perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional yang
menuntut penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan yang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas
penyelenggaraan negara. Dalam konteks demikian, negara dalam hal ini Pemerintah
harus segera menyelesaikan permasalahan penyedia jasa angkutan umum online ini secara adil, transparan, dan
terkoordinasi dengan melibatkan semua pemangku kepentingan
(stakeholders) guna mengatasi
permasalahan angkutan umum online tersebut
dengan melengkapi secara operasional dan teknis ke dalam peraturan pelaksanaan.
Menurut
MK, dengan diaturnya ketentuan tentang penyedia jasa angkutan online yang harus berbadan hukum, hal
itu justru lebih menjamin hak konstitusional para Pemohon (pengemudi Grab) atas
pekerjaan yang layak serta hak untuk bekerja dan mendapat imbalan yang layak
dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D
ayat (2) UUD 1945. Sebab, dengan adanya keharusan berbadan hukum demikian
apabila terjadi sengketa, mekanisme penyelesaiannya menjadi lebih jelas.
Demikian pula halnya bagi pengguna jasa angkutan online akan menjadi lebih pasti apabila ada keluhan atau tuntutan
yang harus diajukan manakala merasa dirugikan.
Putusan
MK tersebut tentunya dapat menjadi guideline
bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam membuat regulasi yang tepat
dan adil dan pengelolaan angkutan online.
Patut kita tunggu langkah konkrit Pemerintah Pusat dan Pemeritah Daerah dalam mengantisipasi
permasalahan angkutan online ini agar terjadinya bentrok antara pengemudi ojek online dengan supir angkutan kota
(angkot) tidak terjadi lagi seiring adanya ekspansi perusahaan angkutan online yang saat ini sedang
gencar-gencarnya membuka cabang baru di seluruh kota di Indonesia.
Tentunya
kita berharap Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat membuat peraturan
dan regulasi yang benar-benar adil, transparan dan akuntabel bagi masyarakat
khususnya bagi para pengemudi angkutan konvensional dan para pengemudi angkutan
online sehingga hak konstitusional
seluruh warga negara dapat terpenuhi.
*****
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/majalahkonstitusi/pdf/Majalah_126_1.%20Edisi%20Mei%202017%20.pdf
[1] Panitera
Pengganti Mahkamah Konstitusi RI – Gedung Mahkamah Konstitusi Lantai 7 Jalan
Medan Merdeka Barat No.6 Jakarta Pusat 10110, Tlp: 021 23529000 – Email : adhanihani@gmail.com – HP :
0812-83150373
Tidak ada komentar:
Posting Komentar