Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Rabu, 25 Oktober 2017

MAHA-SISWA SEBAGAI “AGENT OF CHANGE”



Penyerahan Sertifikat oleh Ketua PPI IIUM

MAHA-SISWA SEBAGAI “AGENT OF CHANGE”[1]
Oleh
Hani Adhani, SH., MH.[2]

Sejarah Indonesia sejak pra-kemerdekaan hingga saat ini di era reformasi, tidak akan terlepas dari perjuangan para pemuda dan juga mahasiswa. Kita mugkin sudah sering membaca dalam buku sejarah bagaimana para pemuda dan juga mahasiswa berjuang membela rakyat. Perjuangan pemuda dan mahasiswa yang secara konsisten dan terus menerus berjuang membela rakyat, seolah-olah menjadi bagian wajib yang harus selalu ada dalam upaya untuk terus menggalang kekuatan bersama rakyat dan berjalan beriringan mengawal tegaknya keadilan bagi rakyat Indonesia.

Yang paling dekat dan mudah diingat adalah bagaimana perjuangan mahasiswa sebagai “agent of change” dalam menegakan keadilan bersama rakyat yaitu pada saat peristiwa Reformasi Tahun 1998. Pada saat itu kekuatan mahasiswa begitu “dahsyat” sehingga dapat menumbangkan rezim otoriter yang telah berkuasa selama 32 tahun dan menghasilkan era reformasi yang saat ini kita nikmati bersama. Kini setelah masuk era reformasi, maka perjuangan mahasiswa pastinya akan terus berlanjut dan tongkat kepemimpinan pergerakan mahasiswa akan selalu berlanjut pula dari satu mahasiswa ke mahasiswa yang lain. Mahasiswa sebagai agen perubahan akan selalu dinantikan oleh rakyat Indonesia untuk selalu membantu dan menjadi garda terdepan dalam hal membela dan menegakan keadilan bagi rakyat Indonesia.

Mahasiswa sebagai “mahluk yang paling diuntungkan” tentu akan terus melakukan transformasi mengikuti trend perkembangan zaman. Tentu kita tidak bisa menyamakan pola perjuangan teman-teman mahasiswa di era pergerakan kemerdekaan, era orde lama, era orde baru, era reformasi dan sekarang di era digitalisasi. Style mahasiswa di awal era reformasi (1997/1998) tentu tidak bisa disamakan dengan style mahasiswa saat ini di tahun 2017, namun yang masih tetap bisa kita samakan adalah harapan bahwa mahasiswa akan selalu akan mempunyai visi dan misi yang sama dan akan selalu abadi yaitu sebagai agen perubahan dalam upaya untuk menegakan keadilan dan akan selalu siap untuk membantu masyarakat, bangsa dan negara.

Mahasiswa S1 yang rata-rata berusia antara 19 s.d. 23 tahun menjadi palang pintu terakhir dalam upaya membangun karakter bangsa ke depan, karena merekalah yang akan meneruskan estafet kepemimpinan bangsa Indonesia. Kita bisa melihat para pemimpin sekarang rata-rata usia mereka antara 40 s.d. 45 tahun dan kalo kita coba menghitung mundur ke belakang, maka mereka pada saat menjadi mahasiswa adalah pada saat tahun 1993 s.d. tahun 1998. Mereka adalah “generasi emas reformasi” yang pada saat mereka menjadi mahasiswa pergerakan mahasiswa berada di titik paling tinggi atau puncak sehingga pada saat itu mereka bersama-sama bergerak untuk menumbangkan orde baru dan memunculkan era reformasi.

Organisasi Mahasiswa
Organisasi mahasiswa termasuk organisasi yang sangat unik dan penuh dengan tantangan. Organisasi mahasiswa tidak bisa disamakan dengan organisasi siswa intra sekolah (OSIS) pada saat kita sekolah di SMA ataupun SMP. Organisasi mahasiswa adalah organisasi yang mandiri dan syarat dengan tantangan. Pada saat kita masuk kampus, maka kita akan dipertemukan dengan berbagai organisasi mahasiswa yang sangat beragam, mulai dari organisasi yang hanya sekedar menyalurkan hobi sampai dengan organisasi kader yang katanya menjadi bagian dari underground nya partai politik tertentu.
Biasanya dari begitu banyaknya berbagai organisasi yang ada di dalam kampus, kecenderungan mahasiswa akan memilih atau ikut aktif dalam 1 (satu) sampai 4 (empat) organisasi dan biasanya yang akan aktif sampai nanti lulus kuliah hanya tersisa  1 (satu) organisasi. Contohnya kalo di Indonesia, mahasiswa akan memilih organisasi kader (HMI, IMM, PMII, PII, GMNI, KAMMI), organisasi hobi (UKM Musik, English, Olahraga, Drumband, Bela Diri, Mapala), organisasi student goverment (BEM, Presiden mahasiswa, Senat Mahasiswa) dan organisasi kedaerahan (KPM, IKPM, dll.).  

Mahasiswa yang “pencinta” ataupun “penggila” organisasi pasti akan berupaya masuk dan aktif ke dalam 4 (empat) organisasi tersebut dan berupaya untuk memimpin organisasi tersebut. Bisa dibayangkan bagaiman mereka membagi waktu antara kuliah dan organisasi, bisa dikatakan “mudah-mudah susah” ataupun “susah-susah mudah”. Biasanya mahasiswa yang aktif organisasi akan mengorbankan waktu belajarnya dan lebih fokus ke organisasi sehingga pada akhirnya mereka akan lulus tidak tepat waktu dan malah mendapatkan gelar tambahan yaitu MA (“Mahasiswa Abadi”). Rata-rata mereka akan lulus dalam kurun waktu 5 s.d. 6 tahun.

Tentunya harapan kita sebagai mahasiswa pasti akan selalu berupaya untuk lulus tepat waktu, namun dengan pola pendidikan yang ada saat ini di Indonesia, kecenderungan untuk lulus tepat waktu hanya diperuntukan untuk mahasiswa yang minimalis yaitu mahasiswa yang tidak aktif sama sekali di organisasi karena mereka hanya fokus ke study saja. Ini berbeda dengan mahasiswa plus yang aktif di berbagai organisasi yang terkadang mengorbankan masa study nya demi organisasi. Padahal seharusnya mahasiswa yang paling ideal adalah mahasiswa yang menjadi aktifis dan juga mempunyai IPK 4, mungkin hanya 1 dari 1000 mahasiswa yang ada.

Organisasi mahasiswa adalah merupakan bagian kecil dari sebuah pembelajaran cara berorganisasi untuk nantinya akan beralih ke organisasi yang lebih besar.  Roda organisasi akan dijalankan sesuai dengan koridor organisasi dengan mengikuti aturan yang telah disepakati bersama yang tertuang dalam sebuah aturan baku yang bernama Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Hampir semua organisasi mahasiswa mempunyai AD/ART. Seperti yang kita tahu bahwa AD ART adalah acuan awal bagiamana kita seharusnya menjalankan sebuah organisasi. Mulai dari penentuan struktur organisasi sampai dengan pola pergantian kepemimpinan. Ini tentunya tidaklah jauh berbeda dengan pola pengaturan organisasi yang bernama Negara, dimana semua negara memiliki acuan baku yang harus dijalankan yang termuat dalam konstitusi negara (UUD 1945).

Semua mahasiswa yang aktif dalam organisasi pastinya dapat menjalan roda organisasi dengan baik apabila semuanya mengikuti alur atau berpatokan kepada AD/ART yang ada. Setiap mahasiswa yang aktif dan mendapatkan amanah menjadi pemimpin dalam organisasi akan berupaya maksimal menjalankan roda organisasi dengan baik dan pada akhir masa jabatan/kepengurusan akan mempertanggung jawabkan hasil kinerjanya dalam sebuah laporan pertanggung jawaban (LPJ) dalam rapat permusyawaratan anggota atau dalam sebuah event besar yang bernama musyawarah nasional atau musyawarah tertinggi ataupun nama lainnya.

Tentunya untuk menjalankan roda organisasi dibutuhkan kemampuan lebih dari pimpinan atau pemimpin organisasi tersebut. Pemimpin organisasi harus bisa me-manage seluruh supporting organisasinya mulai dari wakil ketua, sekjen, bendahara, kordinator hingga anggota. Dibutuhkan tenaga ekstra dari pemimpin organisasi untuk dapat menjalankan roda organisasinya dengan baik sehingga pada saat akhir masa kepengurusan organisasi, LPJ mereka dapat diterima dan dijadikan contoh bagi penerus organisasi selanjutnya. Tentunya dalam organisasi mahasiswa, juga syarat dengan berbagai intrik dan kepentingan yang terkadang dapat memecah belah organisasi itu sendiri.
Oleh karena itu untuk meminimalisir terjadinya perpecahan, maka harus dibangun pola manajerial organisasi yang baik dengan melibatkan seluruh pengurus. Pola “checks and balances” yang juga dipakai dalam pola struktur negara tentunya bisa juga dijadikan pegangan bagi ketua atau pemimpin organiasi mahasiswa. Setiap kepala bidang ataupun kordinator mempunyai kewajiban yang sama untuk me-manage anggotanya agar bisa bekerja maksimal menjalankan semua program yang ada yang telah disepakati dalam rapat kerja.

Biasanya yang menjadi kelemahan dalam organisasi mahasiswa yang notabene tidak memiliki dana khusus (bukan organisai intra kampus) adalah kurang adanya support dana untuk menjalankan program kerja, ditambah lagi dengan adanya upaya untuk membuat program kerja yang terkadang agak sulit dicapai alias “bombastis” padahal apabila melihat dari sisi kepentingan organisasi maka program tersebut boleh dikatakan tidak penting-penting amat. Hal lain yanng juga menjadi titik lemah organisasi mahasiswa yang independent adalah lemahnya kontrol dari penasehat, padahal dalam sebuah organiasi independent yang notabene tidak ada lembaga pengawas, maka peran penasehat menjadi sangat penting untuk mengawasi dan memberi masukan kepada pengurus.

Tentunya apabila pola pengawasan atau kotrol dari penasehat sulit diwujudkan, maka mau tidak mau dalam forum musyawarah tertimggi harus dicetuskan lembaga pengawas yang ditugaskan secara khusus menjadi partner kepengurusan yang bertugas mengawasi dan dicantumkan dalam AD ART organisasi.
Apabila semua koridor organisasi dalam hal ini AD/ART, GBHO ataupun rekomendasi hasil musyawarah telah dijalankan dengan baik dan program kerja dijalankan dengan berpatokan kepada hasil rapat kerja, maka secara otomatis organisasi tersebut akan berjalan dengan baik pula.

Perbedaan Organisasi Mahasiswa Dalam dan Luar Negeri
Tentunya ada perbedaan yang sangat mencolok antara organiasai mahasiswa Indonesia yang melakukan study di dalam dan luar negeri. Teman-teman mahasiswa yang study di luar negeri lebih cenderung fokus ke study-nya dibandingkan ke organisasi, tentu dengan berbagai alasan yang logis yang semua memahami dan memaklumi. Namun hal tersebut tidak bisa juga menjadi patokan bahwa mahasiswa yang kuliah di dalam negeri dan aktif di organisai lebih baik dan lebih unggul.

Pada dasarnya organisasi adalah media untuk menyalurkan ide dan gagasan yang terkadang tidak kita dapatkan pada saat belajar di bangku kuliah. “Maha-siswa” tentu membutuhkan media lain untuk menyalurkan ide dan gagasannya. Masyarakat kita selalu berpandaangan bahwa mahasiswa akan selalu “kritis” dan memiliki kepedulian lebih terhadap masyarakat, lebih unggul dan lebih bisa diandalkan. Hal tersebut tentunya menjadi acuan dasar agar kita selaku mahasiswa bisa memberikan nilai yang lebih pula terhadap masyarakat. Jangan sampai kita saebagai mahasiswa “tidak pede” bicara di depan publik ataupun tidak bisa membuat proposal atapun surat formil, padahal harapan masyarakat pastinya akan selalu berpandangan bahwa mahasiswa adalah siswa yang “serba maha” dan “serba bisa”.

Apabila melihat sekilas organisasi mahasiswa yang ada di IIUM, pada dasarnya hampir mirip dengan organisasi mahasiswa di Indonesia, diantaranya adalah adanya “student goverment” atau pemerintahan mahasiswa, dimana calon pemimpin dalam organisasi dipilih secara langsung oleh masyarakat mahasiswa, begitupun di Indonesia.

Pengalaman saya pada saat kuliah S1 di UMY dan aktif serta ikut terlibat  di BEM Universitas, pada tahun 1999 mengadakan Pemilu Raya Mahasiswa untuk membentuk pemerintahan mahasiswa. BEM UMY pada saat itu adalah BEM UMY transisi yang diberikan tugas untuk menyelenggarakan Pemilu Raya. Mekanisme Pemilu Raya pada saat itu mengacu kepada pemilu NK-RI dimana mahasiswa wajib membentuk partai dan kemudian mendaftarkan ke Komisi Pemilu Raya Mahasiswa yang dibentuk ad hoc oleh BEM UMY. Pada saat itu saya menjadi kordinator bidang advokasi dan kesejahteraan mahasiswa dan dalam Pemilu Raya menjadi bagian dari BEM untuk mengawasi pelaksanaan Pemilu Raya tersebut.

Selain studen goverment, di IIUM juga banyak unit kegiatan mahasiswa yang dibentuk berdasarkan hobi mahasiswa seperti UKM accoustic, sepakbola, pencak silat dan UKM lainnya. Satu hal yang belum saya temukan adalah organisasi kader seperti IMM, HMI, PMII, GMNI di Indonesia. Organisasi pengkaderan yang sangat banyak di Indonesia tentu menjadi nilai plus tersendiri bagi kita mahasiswa Indonesia karena pergerakan organisasi kader lebih progresif dibandingkan organisasi non kader, meskipun terkadang juga di Indonesia organisai kader ini seringkali katanya dijadikan “sayap” dari organisasi politik besar yang ada di Indonesia.

Majelis Musyawarah Tertinggi (MMT) PPI IIUM
Pada dasarnya proses pelaksanaan musyawarah organisasi, baik organisasi mahasiswa ataupun organisasi lainnya,  baik itu bernama  Musyawah Nasional, Musyawarah Tertinggi, Musyawarah Daerah, Musayawah Regional, ataupun sebutan lainnya, akan selalu mengacu kepada AD/ART organisasi.
Dalam AD ART akan selalu dijelaskan hal mengenai mekanisme musyawarah, tahapan dan agenda musyawarah yang harus dipatuhi oleh semua peserta musyawarah. Selain AD/ART, penyelenggara (OC) juga harus menyiapakan draft tata tertib musyawarah atau tata tertib sidang yang mengatur mengenai hal teknis pengaturan sidang, mulai dari cara memilih pimpinan musyawarah, notulensi, cara membuka dan menutup rapat dan pengaturan lain yang dianggap penting dalam pelaksanaan musyawarah.

Kecenderungan musyawarah yang gagal ataupun “molor” adalah dikarenakan peserta musyawarah tidak memahami AD/ART ataupun pimpinan rapat tidak juga memahami AD/ART dan tata tertib sidang.
Oleh karena itu sudah sepatutnya pimpinan rapat/sidang sementara haruslah orang yang benar-benar paham AD/ART dan tata tertib sidang dan setelah itu untuk pimpinan rapat yang dipilih dari peserta rapat juga harus yang benar-benar paham AD/ART dan tata tertib sidang, karena tekanan peserta musyawarah dalam Munas ataupun MMT kepada pimpinan rapat biasanya sangat besar, oleh karenanya memilih pimpinan rapat yang capable adalah menjadi bagian dari suksesnya penyelenggaraan musyawarah.

Selain itu, kesiapan panitia penyelenggara juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam penyelenggaraan musyawarah. SC dan OC harus selalu siap membantu jalannya musyawarah, mulai dari verifikasi peserta sampai dengan menyiapakn draft berita acara berbagai keputusan yang dibuat dalam musyawarah tersebut. Hal-hal teknis juga menjadi bagian vital yang selalu harus dijaga oleh OC, misalnya penyiapan AD/ART, LPJ, tatib dan berkas yang penting yang harus ada dalam musyawarah. Jangan sampai ada peserta yang melakukan interupsi dan mengatakan bahwa penyelenggara musyawarah tidak capable sehingga musyawarah minta ditunda.

SC dan OC harus beriringan bahu-membahu menjaga situasi kondusif penyelenggaraan musyawarah, karena musyawarah adalah program terakhir yang wajib dilaksanakan oleh ketua atau pengurus yang akan demisioner.
Hal lain yang juga sangat urgent dalam pelasanaan musyawarah adalah terkait dengan pembentukan tim khusus atau tim ad hoc yang bertugas mempersiapkan draft perubahan AD/ART, GBHO dan rekomendasi. Biasanya ada kecenderunagn rapat komisi akan berjalan “molor” oleh karena peserta rapat tidak memilik acuan yang jelas terkait perubahan apa saja yang urgent dilakukan, padahal seharusnya tim khusus inilah yang nantinya akan memandu peserta rapat komisi dalam membuat draft perubahan tersebut.

AD/ART PPI IIUM yang saat ini ada pasti memiliki kelemahan yang harus senantiasa di update dan di upgrade. Kita tidak usah terlalu alergi dengan berbagai perubahan karena organisasi yang survive pasti akan selalu berupaya mengikuti perkembangan zaman. Tim khusus AD/ART pastinya harus juga membandingkan AD/ART yang ada dengan AD/ART organisasi lain yang sekiranya relevan untuk kemudian diusulkan untuk dimasukan dalam AD/ART perubahan. Begitupun dengan GBHO dan rekomendasi.

Berikut saya gambarkan terkait tahapan musyawarah yang menurut saya paling ideal :
Registrasi dan verifikasi peserta >> pembukaan >> pimpinan musyawarah sementara memimpin jalannya sidang dengan agenda utama pemilihan pimpina sidang >> Pimpinan sidang terpilih memimpin jalannnya sidang dengan agenda 1. Pembahasan tata tertib sidang, 2. LPJ dan pembahasan/tanya jawab LPJ oleh peserta, 3. Pembagian komisi dan Rapat Komisi, 4. Sidang pleno pembahasan AD/ART, GBHO dan rekoemndasi, 5. Pengesahan hasil pembahaasan sidang pleno dalam berita acara, 6. Pemilihan Ketua, 7. Pengesahan berita acara pemilihan ketua, 8. Doa, 9. Tutup.
*****
 
     
        



[1] Disampaikan dalam acara Organization Training (Pelatihan MMT) PPI IIUM 2016-2017 pada tanggal 24 Oktober 2017 di kampus IIUM Gombak, Malaysia.
[2] Panitera Pengganti Mahkamah Konstitusi dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum IIUM

Tidak ada komentar: