Penyerahan Sertifikat oleh Ketua PPI IIUM |
MAHA-SISWA SEBAGAI “AGENT OF CHANGE”[1]
Oleh
Hani Adhani, SH., MH.[2]
Sejarah Indonesia sejak pra-kemerdekaan hingga saat ini di
era reformasi, tidak akan terlepas dari perjuangan para pemuda dan juga
mahasiswa. Kita mugkin sudah sering membaca dalam buku sejarah bagaimana para
pemuda dan juga mahasiswa berjuang membela rakyat. Perjuangan pemuda dan
mahasiswa yang secara konsisten dan terus menerus berjuang membela rakyat,
seolah-olah menjadi bagian wajib yang harus selalu ada dalam upaya untuk terus
menggalang kekuatan bersama rakyat dan berjalan beriringan mengawal tegaknya
keadilan bagi rakyat Indonesia.
Yang paling dekat dan mudah diingat adalah bagaimana
perjuangan mahasiswa sebagai “agent of
change” dalam menegakan keadilan bersama rakyat yaitu pada saat peristiwa
Reformasi Tahun 1998. Pada saat itu kekuatan mahasiswa begitu “dahsyat”
sehingga dapat menumbangkan rezim otoriter yang telah berkuasa selama 32 tahun dan
menghasilkan era reformasi yang saat ini kita nikmati bersama. Kini setelah
masuk era reformasi, maka perjuangan mahasiswa pastinya akan terus berlanjut
dan tongkat kepemimpinan pergerakan mahasiswa akan selalu berlanjut pula dari
satu mahasiswa ke mahasiswa yang lain. Mahasiswa sebagai agen perubahan akan
selalu dinantikan oleh rakyat Indonesia untuk selalu membantu dan menjadi garda
terdepan dalam hal membela dan menegakan keadilan bagi rakyat Indonesia.
Mahasiswa sebagai “mahluk yang paling diuntungkan” tentu akan
terus melakukan transformasi mengikuti trend
perkembangan zaman. Tentu kita tidak bisa menyamakan pola perjuangan
teman-teman mahasiswa di era pergerakan kemerdekaan, era orde lama, era orde
baru, era reformasi dan sekarang di era digitalisasi. Style mahasiswa di awal era reformasi (1997/1998) tentu tidak bisa
disamakan dengan style mahasiswa saat
ini di tahun 2017, namun yang masih tetap bisa kita samakan adalah harapan bahwa
mahasiswa akan selalu akan mempunyai visi dan misi yang sama dan akan selalu
abadi yaitu sebagai agen perubahan dalam upaya untuk menegakan keadilan dan
akan selalu siap untuk membantu masyarakat, bangsa dan negara.
Mahasiswa S1 yang rata-rata berusia antara 19 s.d. 23 tahun
menjadi palang pintu terakhir dalam upaya membangun karakter bangsa ke depan,
karena merekalah yang akan meneruskan estafet kepemimpinan bangsa Indonesia. Kita
bisa melihat para pemimpin sekarang rata-rata usia mereka antara 40 s.d. 45
tahun dan kalo kita coba menghitung mundur ke belakang, maka mereka pada saat
menjadi mahasiswa adalah pada saat tahun 1993 s.d. tahun 1998. Mereka adalah “generasi
emas reformasi” yang pada saat mereka menjadi mahasiswa pergerakan mahasiswa
berada di titik paling tinggi atau puncak sehingga pada saat itu mereka
bersama-sama bergerak untuk menumbangkan orde baru dan memunculkan era
reformasi.
Organisasi Mahasiswa
Organisasi mahasiswa termasuk organisasi yang sangat unik dan
penuh dengan tantangan. Organisasi mahasiswa tidak bisa disamakan dengan
organisasi siswa intra sekolah (OSIS) pada saat kita sekolah di SMA ataupun
SMP. Organisasi mahasiswa adalah organisasi yang mandiri dan syarat dengan
tantangan. Pada saat kita masuk kampus, maka kita akan dipertemukan dengan
berbagai organisasi mahasiswa yang sangat beragam, mulai dari organisasi yang
hanya sekedar menyalurkan hobi sampai dengan organisasi kader yang katanya
menjadi bagian dari underground nya partai
politik tertentu.
Biasanya dari begitu banyaknya berbagai organisasi yang ada
di dalam kampus, kecenderungan mahasiswa akan memilih atau ikut aktif dalam 1
(satu) sampai 4 (empat) organisasi dan biasanya yang akan aktif sampai nanti lulus
kuliah hanya tersisa 1 (satu)
organisasi. Contohnya kalo di Indonesia, mahasiswa akan memilih organisasi
kader (HMI, IMM, PMII, PII, GMNI, KAMMI), organisasi hobi (UKM Musik, English,
Olahraga, Drumband, Bela Diri, Mapala), organisasi student goverment (BEM, Presiden mahasiswa, Senat Mahasiswa) dan
organisasi kedaerahan (KPM, IKPM, dll.).
Mahasiswa yang “pencinta” ataupun “penggila” organisasi pasti
akan berupaya masuk dan aktif ke dalam 4 (empat) organisasi tersebut dan
berupaya untuk memimpin organisasi tersebut. Bisa dibayangkan bagaiman mereka
membagi waktu antara kuliah dan organisasi, bisa dikatakan “mudah-mudah susah”
ataupun “susah-susah mudah”. Biasanya mahasiswa yang aktif organisasi akan
mengorbankan waktu belajarnya dan lebih fokus ke organisasi sehingga pada
akhirnya mereka akan lulus tidak tepat waktu dan malah mendapatkan gelar
tambahan yaitu MA (“Mahasiswa Abadi”). Rata-rata mereka akan lulus dalam kurun
waktu 5 s.d. 6 tahun.
Tentunya harapan kita sebagai mahasiswa pasti akan selalu
berupaya untuk lulus tepat waktu, namun dengan pola pendidikan yang ada saat
ini di Indonesia, kecenderungan untuk lulus tepat waktu hanya diperuntukan
untuk mahasiswa yang minimalis yaitu mahasiswa yang tidak aktif sama sekali di
organisasi karena mereka hanya fokus ke study saja. Ini berbeda dengan
mahasiswa plus yang aktif di berbagai organisasi yang terkadang mengorbankan
masa study nya demi organisasi. Padahal seharusnya mahasiswa yang paling ideal
adalah mahasiswa yang menjadi aktifis dan juga mempunyai IPK 4, mungkin hanya 1
dari 1000 mahasiswa yang ada.
Organisasi mahasiswa adalah merupakan bagian kecil dari
sebuah pembelajaran cara berorganisasi untuk nantinya akan beralih ke
organisasi yang lebih besar. Roda
organisasi akan dijalankan sesuai dengan koridor organisasi dengan mengikuti
aturan yang telah disepakati bersama yang tertuang dalam sebuah aturan baku
yang bernama Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Hampir semua
organisasi mahasiswa mempunyai AD/ART. Seperti yang kita tahu bahwa AD ART
adalah acuan awal bagiamana kita seharusnya menjalankan sebuah organisasi.
Mulai dari penentuan struktur organisasi sampai dengan pola pergantian
kepemimpinan. Ini tentunya tidaklah jauh berbeda dengan pola pengaturan
organisasi yang bernama Negara, dimana semua negara memiliki acuan baku yang
harus dijalankan yang termuat dalam konstitusi negara (UUD 1945).
Semua mahasiswa yang aktif dalam organisasi pastinya dapat
menjalan roda organisasi dengan baik apabila semuanya mengikuti alur atau
berpatokan kepada AD/ART yang ada. Setiap mahasiswa yang aktif dan mendapatkan
amanah menjadi pemimpin dalam organisasi akan berupaya maksimal menjalankan
roda organisasi dengan baik dan pada akhir masa jabatan/kepengurusan akan
mempertanggung jawabkan hasil kinerjanya dalam sebuah laporan pertanggung jawaban
(LPJ) dalam rapat permusyawaratan anggota atau dalam sebuah event besar yang
bernama musyawarah nasional atau musyawarah tertinggi ataupun nama lainnya.
Tentunya untuk menjalankan roda organisasi dibutuhkan
kemampuan lebih dari pimpinan atau pemimpin organisasi tersebut. Pemimpin
organisasi harus bisa me-manage seluruh supporting organisasinya mulai dari
wakil ketua, sekjen, bendahara, kordinator hingga anggota. Dibutuhkan tenaga
ekstra dari pemimpin organisasi untuk dapat menjalankan roda organisasinya
dengan baik sehingga pada saat akhir masa kepengurusan organisasi, LPJ mereka
dapat diterima dan dijadikan contoh bagi penerus organisasi selanjutnya.
Tentunya dalam organisasi mahasiswa, juga syarat dengan berbagai intrik dan
kepentingan yang terkadang dapat memecah belah organisasi itu sendiri.
Oleh karena itu untuk meminimalisir terjadinya perpecahan,
maka harus dibangun pola manajerial organisasi yang baik dengan melibatkan
seluruh pengurus. Pola “checks and
balances” yang juga dipakai dalam pola struktur negara tentunya bisa juga
dijadikan pegangan bagi ketua atau pemimpin organiasi mahasiswa. Setiap kepala
bidang ataupun kordinator mempunyai kewajiban yang sama untuk me-manage
anggotanya agar bisa bekerja maksimal menjalankan semua program yang ada yang
telah disepakati dalam rapat kerja.
Biasanya yang menjadi kelemahan dalam organisasi mahasiswa
yang notabene tidak memiliki dana khusus (bukan organisai intra kampus) adalah
kurang adanya support dana untuk menjalankan program kerja, ditambah lagi
dengan adanya upaya untuk membuat program kerja yang terkadang agak sulit
dicapai alias “bombastis” padahal apabila melihat dari sisi kepentingan organisasi
maka program tersebut boleh dikatakan tidak penting-penting amat. Hal lain
yanng juga menjadi titik lemah organisasi mahasiswa yang independent adalah lemahnya kontrol dari penasehat, padahal dalam
sebuah organiasi independent yang
notabene tidak ada lembaga pengawas, maka peran penasehat menjadi sangat
penting untuk mengawasi dan memberi masukan kepada pengurus.
Tentunya apabila pola pengawasan atau kotrol dari penasehat
sulit diwujudkan, maka mau tidak mau dalam forum musyawarah tertimggi harus
dicetuskan lembaga pengawas yang ditugaskan secara khusus menjadi partner
kepengurusan yang bertugas mengawasi dan dicantumkan dalam AD ART organisasi.
Apabila semua koridor organisasi dalam hal ini AD/ART, GBHO
ataupun rekomendasi hasil musyawarah telah dijalankan dengan baik dan program
kerja dijalankan dengan berpatokan kepada hasil rapat kerja, maka secara otomatis
organisasi tersebut akan berjalan dengan baik pula.
Perbedaan Organisasi
Mahasiswa Dalam dan Luar Negeri
Tentunya ada perbedaan yang sangat mencolok antara organiasai
mahasiswa Indonesia yang melakukan study di dalam dan luar negeri. Teman-teman
mahasiswa yang study di luar negeri lebih cenderung fokus ke study-nya
dibandingkan ke organisasi, tentu dengan berbagai alasan yang logis yang semua
memahami dan memaklumi. Namun hal tersebut tidak bisa juga menjadi patokan
bahwa mahasiswa yang kuliah di dalam negeri dan aktif di organisai lebih baik
dan lebih unggul.
Pada dasarnya organisasi adalah media untuk menyalurkan ide
dan gagasan yang terkadang tidak kita dapatkan pada saat belajar di bangku
kuliah. “Maha-siswa” tentu membutuhkan media lain untuk menyalurkan ide dan
gagasannya. Masyarakat kita selalu berpandaangan bahwa mahasiswa akan selalu “kritis”
dan memiliki kepedulian lebih terhadap masyarakat, lebih unggul dan lebih bisa
diandalkan. Hal tersebut tentunya menjadi acuan dasar agar kita selaku
mahasiswa bisa memberikan nilai yang lebih pula terhadap masyarakat. Jangan
sampai kita saebagai mahasiswa “tidak pede” bicara di depan publik ataupun
tidak bisa membuat proposal atapun surat formil, padahal harapan masyarakat
pastinya akan selalu berpandangan bahwa mahasiswa adalah siswa yang “serba
maha” dan “serba bisa”.
Apabila melihat sekilas organisasi mahasiswa yang ada di IIUM,
pada dasarnya hampir mirip dengan organisasi mahasiswa di Indonesia,
diantaranya adalah adanya “student
goverment” atau pemerintahan mahasiswa, dimana calon pemimpin dalam
organisasi dipilih secara langsung oleh masyarakat mahasiswa, begitupun di
Indonesia.
Pengalaman saya pada saat kuliah S1 di UMY dan aktif serta
ikut terlibat di BEM Universitas, pada
tahun 1999 mengadakan Pemilu Raya Mahasiswa untuk membentuk pemerintahan
mahasiswa. BEM UMY pada saat itu adalah BEM UMY transisi yang diberikan tugas
untuk menyelenggarakan Pemilu Raya. Mekanisme Pemilu Raya pada saat itu mengacu
kepada pemilu NK-RI dimana mahasiswa wajib membentuk partai dan kemudian
mendaftarkan ke Komisi Pemilu Raya Mahasiswa yang dibentuk ad hoc oleh BEM UMY. Pada saat itu saya menjadi kordinator bidang
advokasi dan kesejahteraan mahasiswa dan dalam Pemilu Raya menjadi bagian dari
BEM untuk mengawasi pelaksanaan Pemilu Raya tersebut.
Selain studen goverment,
di IIUM juga banyak unit kegiatan mahasiswa yang dibentuk berdasarkan hobi
mahasiswa seperti UKM accoustic, sepakbola, pencak silat dan UKM lainnya. Satu
hal yang belum saya temukan adalah organisasi kader seperti IMM, HMI, PMII,
GMNI di Indonesia. Organisasi pengkaderan yang sangat banyak di Indonesia tentu
menjadi nilai plus tersendiri bagi kita mahasiswa Indonesia karena pergerakan
organisasi kader lebih progresif dibandingkan organisasi non kader, meskipun
terkadang juga di Indonesia organisai kader ini seringkali katanya dijadikan “sayap”
dari organisasi politik besar yang ada di Indonesia.
Majelis Musyawarah
Tertinggi (MMT) PPI IIUM
Pada dasarnya proses pelaksanaan musyawarah organisasi, baik
organisasi mahasiswa ataupun organisasi lainnya, baik itu bernama Musyawah Nasional, Musyawarah Tertinggi,
Musyawarah Daerah, Musayawah Regional, ataupun sebutan lainnya, akan selalu
mengacu kepada AD/ART organisasi.
Dalam AD ART akan selalu dijelaskan hal mengenai mekanisme
musyawarah, tahapan dan agenda musyawarah yang harus dipatuhi oleh semua
peserta musyawarah. Selain AD/ART, penyelenggara (OC) juga harus menyiapakan
draft tata tertib musyawarah atau tata tertib sidang yang mengatur mengenai hal
teknis pengaturan sidang, mulai dari cara memilih pimpinan musyawarah, notulensi,
cara membuka dan menutup rapat dan pengaturan lain yang dianggap penting dalam
pelaksanaan musyawarah.
Kecenderungan musyawarah yang gagal ataupun “molor” adalah
dikarenakan peserta musyawarah tidak memahami AD/ART ataupun pimpinan rapat
tidak juga memahami AD/ART dan tata tertib sidang.
Oleh karena itu sudah sepatutnya pimpinan rapat/sidang
sementara haruslah orang yang benar-benar paham AD/ART dan tata tertib sidang
dan setelah itu untuk pimpinan rapat yang dipilih dari peserta rapat juga harus
yang benar-benar paham AD/ART dan tata tertib sidang, karena tekanan peserta
musyawarah dalam Munas ataupun MMT kepada pimpinan rapat biasanya sangat besar,
oleh karenanya memilih pimpinan rapat yang capable
adalah menjadi bagian dari suksesnya penyelenggaraan musyawarah.
Selain itu, kesiapan panitia penyelenggara juga menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam penyelenggaraan musyawarah. SC dan OC harus
selalu siap membantu jalannya musyawarah, mulai dari verifikasi peserta sampai
dengan menyiapakn draft berita acara berbagai keputusan yang dibuat dalam musyawarah
tersebut. Hal-hal teknis juga menjadi bagian vital yang selalu harus dijaga
oleh OC, misalnya penyiapan AD/ART, LPJ, tatib dan berkas yang penting yang
harus ada dalam musyawarah. Jangan sampai ada peserta yang melakukan interupsi
dan mengatakan bahwa penyelenggara musyawarah tidak capable sehingga musyawarah minta ditunda.
SC dan OC harus beriringan bahu-membahu menjaga situasi
kondusif penyelenggaraan musyawarah, karena musyawarah adalah program terakhir
yang wajib dilaksanakan oleh ketua atau pengurus yang akan demisioner.
Hal lain yang juga sangat urgent
dalam pelasanaan musyawarah adalah terkait dengan pembentukan tim khusus atau
tim ad hoc yang bertugas
mempersiapkan draft perubahan AD/ART, GBHO dan rekomendasi. Biasanya ada
kecenderunagn rapat komisi akan berjalan “molor” oleh karena peserta rapat
tidak memilik acuan yang jelas terkait perubahan apa saja yang urgent
dilakukan, padahal seharusnya tim khusus inilah yang nantinya akan memandu
peserta rapat komisi dalam membuat draft perubahan tersebut.
AD/ART PPI IIUM yang saat ini ada pasti memiliki kelemahan
yang harus senantiasa di update dan
di upgrade. Kita tidak usah terlalu
alergi dengan berbagai perubahan karena organisasi yang survive pasti akan selalu berupaya mengikuti perkembangan zaman.
Tim khusus AD/ART pastinya harus juga membandingkan AD/ART yang ada dengan AD/ART
organisasi lain yang sekiranya relevan untuk kemudian diusulkan untuk dimasukan
dalam AD/ART perubahan. Begitupun dengan GBHO dan rekomendasi.
Berikut saya gambarkan terkait tahapan musyawarah yang
menurut saya paling ideal :
Registrasi dan verifikasi peserta >> pembukaan >>
pimpinan musyawarah sementara memimpin jalannya sidang dengan agenda utama
pemilihan pimpina sidang >> Pimpinan sidang terpilih memimpin jalannnya
sidang dengan agenda 1. Pembahasan tata tertib sidang, 2. LPJ dan
pembahasan/tanya jawab LPJ oleh peserta, 3. Pembagian komisi dan Rapat Komisi,
4. Sidang pleno pembahasan AD/ART, GBHO dan rekoemndasi, 5. Pengesahan hasil
pembahaasan sidang pleno dalam berita acara, 6. Pemilihan Ketua, 7. Pengesahan
berita acara pemilihan ketua, 8. Doa, 9. Tutup.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar