Indonesia yang
mayoritas penduduknya adalah muslim tentunya banyak menggunakan jasa perbankan
syariah dalam pola penataan ekonominya. Pembentuk UU akhirnya berhasil
merampung UU Perbankan Syariah yang memang sangat diperlukan untuk menata
perekonmian syariah khususnya perbankan syariah.
Namun meskipun
begitu, adanya berbagai permasalahan dalam perbankan syariah ternyata tidak
serta merta dapat segera diselesaikan dengan mengacu kepada UU tersebut karena
ternyata dalam hal penyelesian sengketa perbankan syariah dalam UU perbankan
syariah tidak diatur secara pasti hal mengenai kewenangan mengadili.
Hal tersebut dialami
oleh salah seorang warga negara asal bogor yang bernama Dadang Achmad merupakan nasabah Bank Mualamat
Cabang Bogor yang telah melakukan akad dengan Bank Mualamat dan merasa
dirugikan hak konstitusionalnya, karena berlakunya Pasal 55 ayat (2) dan ayat
(3) UU Perbankan Syariah yang akhirnya mengajukan permohonan pengujian UU ke
Mahkamah Konstitusi.
Dalam permohonannya, Pemohon merasa
dirugikan hak konstitusionalnya untuk memperoleh perlindungan dan kepastian hukum,
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945. Secara konkret kerugian tersebut diakibatkan Pemohon sebagai nasabah dari Bank
Muamalat Indonesia, Tbk. Cabang Bogor yang telah melakukan ikatan berupa akad
sebagaimana Akta Notaris Nomor 34 bertanggal 9 Juli 2009 dan telah diperbaharui dengan akad
pembiayaan Al-Musyarakah (tentang
perpanjangan jangka waktu dan perubahan jaminan) Nomor
14 bertanggal 8 Maret 2010, yang kemudian
terjadi sengketa dengan Bank Mualamat, tetapi proses penyelesaian sengketa
tersebut tidak secara
tegas menentukan peradilan yang ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
Menurut Pemohon adanya
klausa kebebasan
untuk
memilih dalam UU
tersebut, telah
menimbulkan berbagai penafsiran khususnya berkaitan dengan apakah peradilan yang dipilih atau yang
diperjanjikan oleh masing-masing pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Perbankan Syariah telah memenuhi prinsip
syariah seperti yang diisyaratkan oleh Pasal 55 ayat (3) UU Perbankan Syariah. Hal tersebut
menurut Pemohon telah menimbulkan adanya ketidakpastian hukum, karena dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang a quo
mengatur secara tegas
bahwa jika
terjadi perselisihan maka harus dilaksanakan di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama
Untuk menjawab persoalan
konstitutionalitas tersebut, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa
timbulnya sengketa dalam perbankan syariah yang terjadi antara nasabah dan Unit
Usaha Syariah, disebabkan adanya salah satu pihak yang merasa tidak puas atau
merasa dirugikan. Pada prinsipnya pihak-pihak yang bersengketa diberi kebebasan
untuk menentukan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa yang dikehendaki
sesuai dengan prinsip syariah yaitu prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah;
Unit
Usaha Syariah dalam perbankan syariah sebelum menyalurkan pembiayaan dari Bank
Syariah ke nasabah diwajibkan untuk membuat kesepakatan tertulis antara Bank
Syariah atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah yang
selanjutnya disebut akad;
Proses
penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 55
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah telah memberikan tugas
dan kewenangan kepada pengadilan di lingkungan peradilan agama. Hal tersebut
juga diatur lebih lanjut dalam Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Peradilan Agama dimana penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi
di bidang perbankan syari'ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari'ah lainnya;
Dalam
pertimbangan lainnya Mahkamah menyatakan bahwa secara sistematis, pilihan forum
hukum untuk penyelesaian sengketa sesuai dengan akad adalah pilihan kedua
bilamana para pihak
tidak bersepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan agama. Dengan demikian pilihan
forum hukum untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah harus tertera secara
jelas dalam akad (perjanjian). Para
pihak harus bersepakat untuk memilih salah satu forum hukum dalam penyelesaian
sengketa bilamana para pihak tidak ingin menyelesaikannya melalui pengadilan
agama. Persoalannya
muncul bilamana dalam akad tidak tertera secara jelas forum hukum yang dipilih;
Persoalan tidak jelasnya
pilihan forum hukum tidak hanya dialami oleh Pemohon, tetapi terdapat beberapa kasus serupa
yang terjadi, hingga akhirnya timbul konflik hukum dan terdapat beberapa putusan
pada tingkat arbitrase atau pengadilan yang mengadili perkara yang sama. Akad (perjanjian) merupakan Undang-Undang
bagi mereka yang membuatnya sebagaimana ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, namun
suatu akad tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, terlebih lagi
Undang-Undang yang telah menetapkan adanya kekuasaan mutlak bagi suatu badan
peradilan yang
mengikat para pihak yang melakukan perjanjian. Oleh sebab itu, kejelasan dalam
penyusunan perjanjian merupakan suatu keharusan. Para pihak seharusnya
secara jelas menyebutkan salah satu forum hukum yang dipilih bilamana terjadi
sengketa. Pada
dasarnya, Undang-Undang telah mengatur secara
normatif dengan memberikan contoh forum hukum yang dapat dipilih oleh para
pihak yang membuat perjanjian;
Menurut
Mahkamah, pilihan
forum hukum sebagaimana diatur dalam Penjelasan
Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah dalam beberapa kasus konkret telah membuka
ruang adanya pilihan forum penyelesaian yang juga telah menimbulkan adanya
persoalan konstitusionalitas yang pada akhirnya dapat memunculkan adanya
ketidakpastian hukum yang dapat menyebabkan kerugian bukan hanya bagi nasabah
tetapi juga pihak Unit Usaha Syariah. Adanya pilihan penyelesaian sengketa (choice of forum) untuk menyelesaikan
sengketa dalam perbankan syariah sebagaimana tersebut dalam Penjelasan Pasal 55
ayat (2) UU a quo pada akhirnya akan
menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili oleh karena ada
dua peradilan yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan
syariah sedangkan dalam Undang-Undang yang lain (UU Peradilan Agama) secara
tegas dinyatakan bahwa peradilan agama diberikan kewenangan untuk menyelesaikan
sengketa perbankan syariah termasuk juga sengketa ekonomi syariah;
Selain itu, dengan merujuk sengketa yang dialami oleh
Pemohon dan praktik dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebagaimana
diuraikan di atas, menurut Mahkamah, hukum sudah seharusnya memberikan
kepastian bagi nasabah dan juga unit usaha syariah dalam penyelesaian sengketa
perbankan syariah. Apabila kepastian dalam penyelesaian sengketa perbankan
syariah tidak dapat diwujudkan oleh lembaga yang benar-benar kompeten menangani
sengketa perbankan syariah, maka pada akhirnya kepastian hukum sebagaimana
dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juga tidak akan pernah terwujud;
Menurut
Mahkamah, adalah hak nasabah dan juga unit usaha syariah untuk mendapatkan
kepastian hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Mahkamah menilai ketentuan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang a quo tidak memberi kepastian hukum. Berdasarkan kenyataan yang
demikian, walaupun Mahkamah tidak mengadili perkara konkrit, telah cukup bukti
bahwa ketentuan Penjelasan pasal a quo
telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan hilangnya hak
konstitusional nasabah untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam penyelesaian
sengketa perbankan syariah [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945] yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip konstitusi;
Adapun
amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 93/PUU-X/2012 adalah
sebagai berikut :
5. AMAR
PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.1
Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4867) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
1.2
Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4867) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
2.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
3.
Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Link Putusan Mahkamah Konstitusi >>>>
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_93%20PUU%202012-perbankan%20syariah-telah%20ucap%2029%20Agustus%202013.pdf
============
Link Putusan Mahkamah Konstitusi >>>>
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_93%20PUU%202012-perbankan%20syariah-telah%20ucap%2029%20Agustus%202013.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar