Enam perseorangan
warga negara Indonesia yang bernama
Dr. Bambang Supriyanto,
SH., MH., Dr.
Max Boli Sabon, SH., M.Hum., Eddie I.
Doloksaribu, SH., MH., Ari Lazuardi
Pratama, SH., Muhammad Anshori, SH.,
Andriko Sugianto Otang, SH., mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Dalam permohonannya para
Pemohon menyatakan bahwa Pasal 15 ayat
(2) huruf b UU 8/2011 yang menyatakan, ”Untuk dapat diangkat menjadi hakim
konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus
memenuhi syarat: ... b. berijazah doktor dan magister
dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan,
“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”, dan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
Menurut para Pemohon Pasal 15 ayat (2) huruf b UU 8/2011 sepanjang frasa “berijazah doktor dan magister” telah
menyebabkan dirugikannya hak konstitusional para Pemohon untuk memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara, memperoleh perlindungan dan kepastian hukum,
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28C ayat (2) dan 28D
ayat (1) UUD 1945. Secara konkrit kerugian tersebut diakibatkan adanya frasa “berijazah doktor dan magister” dalam Pasal
15 ayat (2) huruf b UU 8/2011 yang secara langsung mengurangi kesempatan para
Pemohon untuk menjadi hakim konstitusi dan berpotensi melemahkan Mahkamah
Konstitusi sebagai akibat adanya syarat latar belakang pendidikan hakim
konstitusi yang tidak linier yaitu S3, S2, dan S1 dalam bidang hukum. Selain
itu, menurut para Pemohon pasal a quo tidak mendukung untuk dapat diperolehnya hakim konstitusi
yang mempunyai bobot dan kualitas sebagai “pengawal konstitusi” yang handal. Hal tersebut disebabkan dengan meningkatnya syarat pendidikan hakim konstitusi yang tidak hanya sebatas sarjana hukum,
yaitu magister bidang hukum dan doktor ilmu hukum yang tidak linier. Menurut para Pemohon, jabatan hakim konstitusi haruslah diduduki oleh
“seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan” sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 24C ayat (5) UUD 1945, sehingga latar belakang pendidikan hakim konstitusi haruslah linier di
bidang hukum;
Untuk menjawa persoalan konstitusionalitas tersebut
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya menyatakan bahwa yang
menjadi isu konstitusional
dalam permohonan a quo adalah “Apakah penetapan syarat ‘berijazah
doktor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan
tinggi hukum’ bagi calon hakim konstitusi
melanggar hak untuk memajukan diri, hak kolektif untuk membangun masyarakat,
bangsa dan negara, hak untuk mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum?”;
Menurut
Mahkamah bahwa materi konstitusi adalah mengatur mengenai perlindungan hak
asasi manusia dan pengaturan sistem penyelenggaraan negara. Dalam hal
pengaturan sistem penyelenggaraan negara, Konstitusi mengatur tentang pemberian
tugas dan kewenangan lembaga negara, hubungan antar lembaga negara serta
pengisian jabatan pada lembaga-lembaga negara tersebut. Jabatan pada
lembaga-lembaga negara merupakan public
office, yang diisi melalui mekanisme pemilihan (election) atau melalui mekanisme penunjukan atau pengangkatan (appointment). Terhadap pengisian
jabatan-jabatan tertentu, Konstitusi mengatur secara tegas
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Untuk mengisi jabatan Presiden dan
Wakil Presiden, para calon harus memenuhi syarat konstitusional tertentu [vide Pasal 6 ayat (1) UUD 1945], begitu
juga untuk menjadi Hakim Agung [vide
Pasal 24A ayat (2) UUD 1945], anggota Komisi Yudisial [vide Pasal 24B ayat (2) UUD 1945] dan Hakim Konstitusi [vide Pasal 24C ayat (5) UUD 1945];
Menurut Mahkamah persyaratan
konstitusional yang ditetapkan oleh UUD 1945 untuk pengisian jabatan-jabatan
negara tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Penetapan persyaratan atas jabatan negara tertentu merupakan mekanisme
konstitusional untuk memberikan jaminan bahwa para calon yang akan mengisi
jabatan tersebut memenuhi standar yang telah diatur dalam UUD 1945. Dengan
demikian, marwah lembaga negara akan terjaga karena diisi oleh orang yang
memenuhi standar konstitusional;
Bahwa
setiap Undang-Undang yang menjadi peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar mengenai
lembaga negara juga menegaskan persyaratan konstitusional tersebut untuk
dipenuhi oleh setiap calon yang mengajukan diri atau yang akan ditunjuk atau
diangkat. Selain itu, Undang-Undang juga menetapkan syarat-syarat tambahan
untuk mengisi jabatan-jabatan tersebut. Sebagai contoh, beberapa syarat lain
selain yang ditetapkan oleh UUD 1945 untuk menjadi calon Presiden dan Wakil
Presiden [vide Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden], untuk
menjadi Hakim Agung [vide Pasal 7
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung], untuk menjadi anggota Komisi Yudisial [vide Pasal 26 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial], dan untuk menjadi
Hakim Konstitusi [vide Pasal 15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah berubah dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, tanggal 18 Oktober 2011];
Menurut
Mahkamah bahwa syarat-syarat tambahan yang ditetapkan dalam Undang-Undang
sebagai peraturan pelaksana UUD 1945 memiliki derajat sebagai kebijakan hukum
yang ditetapkan oleh pembentuk Undang-Undang. Akan tetapi, syarat tambahan yang
ditetapkan oleh pembentuk Undang-Undang bisa menjadi permasalahan
konstitusional apabila penetapan syarat tersebut terbukti secara nyata
berpotensi melanggar hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945;
Bahwa
syarat yang ditetapkan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b UU 8/2011, yaitu “berijazah doktor dan
magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” merupakan syarat untuk menjadi
hakim konstitusi yang dielaborasi dari ketentuan konstitusional frasa “yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan” dalam Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 yang selengkapnya
menyatakan, “Hakim konstitusi harus
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang
menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat
negara”. Yang menjadi pertanyaan konstitusionalitasnya adalah apakah
penetapan syarat untuk menjadi hakim konstitusi yang demikian itu berpotensi
atau bahkan terbukti melanggar penerapan hak asasi manusia dalam Pasal 28C ayat
(2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Bahwa menurut
Mahkamah, syarat yang ditetapkan oleh pembentuk Undang-Undang berkaitan dengan
jenjang pendidikan yang pernah ditempuh oleh calon hakim konstitusi sebagai
syarat untuk menduduki jabatan publik (public
office) merupakan cara yang diambil oleh pembentuk Undang-Undang untuk
melihat kemampuan seorang calon dengan standar yang dapat diukur (feasible). Ukuran jenjang pendidikan
yang pernah ditempuh oleh calon hakim konstitusi yang ditetapkan oleh pembentuk
Undang-Undang merupakan syarat yang bebas dari kepentingan, obyektif dan tidak
diskriminatif;
Bahwa masalah
persyaratan jenjang pendidikan yang pernah ditempuh oleh seorang calon Hakim Konstitusi berkaitan dengan
pengelompokan jenjang pendidikan tinggi di Indonesia dengan pendekatan tingkat
pendidikan tinggi, dikelompokkan dalam tiga tingkat, yaitu strata satu (S-1/ Sarjana), strata
dua (S-2/Magister), strata tiga
(S-3/Doktor). Dengan adanya pendekatan program dikenal dengan dua program,
yaitu Program Sarjana dan Program Pasca Sarjana. Program Pasca Sarjana dibagi
menjadi Program Magister dan Program Doktoral. Program Magister dianggap
sebagai pintu masuk untuk menempuh jenjang kualifikasi yang lebih tinggi dengan
pengetahuan yang lebih khusus (spesialisasi) yaitu Doktor. Sebagai program
pintu masuk, maka program magister berisikan materi-materi pengajaran yang umum
sebagai pembekalan menuju pengkhususan (spesialisasi), akan tetapi, hal yang
berbeda dapat dilihat pada sistem pendidikan di luar negeri. Program pendidikan
sarjana (bachelor) disebut dengan
istilah lain yaitu undergraduate,
sedangkan program magister (master)
disebut dengan istilah graduate. Oleh
karena itu, bagi mahasiswa yang menempuh program doktoral di universitas luar
negeri terkadang menemui masalah karena program magister yang telah ditempuhnya
di universitas dalam negeri tidak diakui. Untuk mengatasi masalah tersebut,
bagi mahasiswa yang akan mengambil program doktoral di universitas luar negeri
disediakan program yang disetarakan dengan program magister. Hal tersebut perlu
dilakukan agar ada keselarasan pemahaman dan kesetaraan tingkat pengetahuan
bagi mahasiswa yang akan mengambil program doktoral di universitas luar negeri;
Bahwa faktanya
ada beberapa program pascasarjana yang langsung menerima program pendidikan
doktor tanpa melalui program magister. Selain itu, sampai sekarang masih banyak
lulusan program doktor di masa lalu yang tidak melalui program magister.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut maka ketentuan adanya persyaratan “berijazah
magister” akan melanggar hak-hak konstitusional para penyandang gelar doktor
yang tidak mempunyai ijazah magister;
Bahwa berdasarkan
fakta hukum tersebut di atas, untuk mengatasi adanya permasalahan jenjang
pendidikan sebagai syarat menjadi hakim konstitusi dan untuk memberikan kesempatan yang
sama bagi setiap warga
negara Indonesia yang berpendidikan tinggi hukum yang ingin menjadi hakim konstitusi, menurut
Mahkamah frasa “dan magister” sebagai
syarat hakim konstitusi harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat karena berpotensi
menimbulkan ketidakpastian
hukum dan ketidakadilan sehingga bertentangan dengan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945;
Bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut, Mahkamah tidak sependapat dengan para Pemohon bahwa
salah satu syarat untuk menjadi hakim konstitusi haruslah berijazah doktor dan
magister dalam ilmu hukum. Menurut Mahkamah, yang lebih rasional adalah
penghapusan frasa “dan magister” saja
sebagaimana pertimbangan di
atas. Hal yang paling utama menurut Mahkamah adalah seorang calon hakim
konstitusi haruslah sarjana (Strata-1) yang berlatar belakang hukum dan
memiliki pengalaman dalam bidang hukum sebagaimana disyaratkan dalam
Undang-Undang a quo. Berdasarkan
seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah menilai, Pasal 15 ayat (2) huruf b
UU 8/2011 sepanjang frasa “dan magister” bertentangan dengan UUD 1945. Dengan
demikian permohonan para Pemohon beralasan hukum untuk sebagian.
Adapun amar putusan dalam perkara Nomor 68/PUU-IX/2011 adalah sebagai berikut:
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1.
Pasal 15 ayat (2) huruf b
sepanjang frasa “dan magister” Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2.
Pasal 15 ayat (2) huruf b
sepanjang frasa “dan magister”
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Link Putusan Mahkamah Konstitusi >>>
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_68%20PUU%202011-TELAH%20BACA%2013%20sept%202012.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar