Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Rabu, 01 April 2015

Konstitusionalitas Syarat Pendidikan Calon Hakim Konstitusi



Enam perseorangan warga negara Indonesia yang bernama           Dr. Bambang Supriyanto, SH., MH., Dr. Max Boli Sabon, SH., M.Hum., Eddie I. Doloksaribu, SH., MH., Ari Lazuardi Pratama, SH., Muhammad Anshori, SH., Andriko Sugianto Otang, SH., mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
                    
Dalam permohonannya para Pemohon menyatakan bahwa  Pasal 15 ayat (2) huruf b UU 8/2011 yang menyatakan, ”Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat: ... b. berijazah doktor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” bertentangan dengan  Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
                  Menurut para Pemohon Pasal 15 ayat (2) huruf b UU 8/2011 sepanjang frasa “berijazah doktor dan magister” telah menyebabkan dirugikannya hak konstitusional para Pemohon untuk memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara, memperoleh perlindungan dan kepastian hukum, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28C ayat (2) dan 28D ayat (1) UUD 1945. Secara konkrit kerugian tersebut diakibatkan adanya frasa “berijazah doktor dan magister” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b UU 8/2011 yang secara langsung mengurangi kesempatan para Pemohon untuk menjadi hakim konstitusi dan berpotensi melemahkan Mahkamah Konstitusi sebagai akibat adanya syarat latar belakang pendidikan hakim konstitusi yang tidak linier yaitu S3, S2, dan S1 dalam bidang hukum. Selain itu, menurut para Pemohon pasal a quo tidak mendukung untuk dapat diperolehnya hakim konstitusi yang mempunyai bobot dan kualitas sebagai “pengawal konstitusi” yang handal. Hal tersebut disebabkan dengan meningkatnya syarat pendidikan hakim konstitusi yang tidak hanya sebatas sarjana hukum, yaitu magister bidang hukum dan doktor ilmu hukum yang tidak linier. Menurut para Pemohon, jabatan hakim konstitusi haruslah diduduki oleh “seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan” sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24C ayat (5) UUD 1945, sehingga latar belakang pendidikan hakim konstitusi haruslah linier di bidang hukum;
                  Untuk menjawa persoalan konstitusionalitas tersebut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya menyatakan bahwa yang menjadi isu konstitusional dalam permohonan a quo adalah “Apakah penetapan syarat berijazah doktor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum bagi calon hakim konstitusi melanggar hak untuk memajukan diri, hak kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara, hak untuk mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum?;
                  Menurut Mahkamah bahwa materi konstitusi adalah mengatur mengenai perlindungan hak asasi manusia dan pengaturan sistem penyelenggaraan negara. Dalam hal pengaturan sistem penyelenggaraan negara, Konstitusi mengatur tentang pemberian tugas dan kewenangan lembaga negara, hubungan antar lembaga negara serta pengisian jabatan pada lembaga-lembaga negara tersebut. Jabatan pada lembaga-lembaga negara merupakan public office, yang diisi melalui mekanisme pemilihan (election) atau melalui mekanisme penunjukan atau pengangkatan (appointment). Terhadap pengisian jabatan-jabatan tertentu, Konstitusi mengatur secara tegas persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Untuk mengisi jabatan Presiden dan Wakil Presiden, para calon harus memenuhi syarat konstitusional tertentu [vide Pasal 6 ayat (1) UUD 1945], begitu juga untuk menjadi Hakim Agung [vide Pasal 24A ayat (2) UUD 1945], anggota Komisi Yudisial [vide Pasal 24B ayat (2) UUD 1945] dan Hakim Konstitusi [vide Pasal 24C ayat (5) UUD 1945];
                  Menurut Mahkamah persyaratan konstitusional yang ditetapkan oleh UUD 1945 untuk pengisian jabatan-jabatan negara tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Penetapan persyaratan atas jabatan negara tertentu merupakan mekanisme konstitusional untuk memberikan jaminan bahwa para calon yang akan mengisi jabatan tersebut memenuhi standar yang telah diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian, marwah lembaga negara akan terjaga karena diisi oleh orang yang memenuhi standar konstitusional;
                  Bahwa setiap Undang-Undang yang menjadi peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar mengenai lembaga negara juga menegaskan persyaratan konstitusional tersebut untuk dipenuhi oleh setiap calon yang mengajukan diri atau yang akan ditunjuk atau diangkat. Selain itu, Undang-Undang juga menetapkan syarat-syarat tambahan untuk mengisi jabatan-jabatan tersebut. Sebagai contoh, beberapa syarat lain selain yang ditetapkan oleh UUD 1945 untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden [vide Pasal 5 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden], untuk menjadi Hakim Agung [vide Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung], untuk menjadi anggota Komisi Yudisial [vide Pasal 26 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial], dan untuk menjadi Hakim Konstitusi [vide Pasal 15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah berubah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, tanggal 18 Oktober 2011];
                  Menurut Mahkamah bahwa syarat-syarat tambahan yang ditetapkan dalam Undang-Undang sebagai peraturan pelaksana UUD 1945 memiliki derajat sebagai kebijakan hukum yang ditetapkan oleh pembentuk Undang-Undang. Akan tetapi, syarat tambahan yang ditetapkan oleh pembentuk Undang-Undang bisa menjadi permasalahan konstitusional apabila penetapan syarat tersebut terbukti secara nyata berpotensi melanggar hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945;
                  Bahwa syarat yang ditetapkan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b UU 8/2011, yaitu berijazah doktor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” merupakan syarat untuk menjadi hakim konstitusi yang dielaborasi dari ketentuan konstitusional frasa “yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan” dalam Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 yang selengkapnya menyatakan, “Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara”. Yang menjadi pertanyaan konstitusionalitasnya adalah apakah penetapan syarat untuk menjadi hakim konstitusi yang demikian itu berpotensi atau bahkan terbukti melanggar penerapan hak asasi manusia dalam Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;   
                  Bahwa menurut Mahkamah, syarat yang ditetapkan oleh pembentuk Undang-Undang berkaitan dengan jenjang pendidikan yang pernah ditempuh oleh calon hakim konstitusi sebagai syarat untuk menduduki jabatan publik (public office) merupakan cara yang diambil oleh pembentuk Undang-Undang untuk melihat kemampuan seorang calon dengan standar yang dapat diukur (feasible). Ukuran jenjang pendidikan yang pernah ditempuh oleh calon hakim konstitusi yang ditetapkan oleh pembentuk Undang-Undang merupakan syarat yang bebas dari kepentingan, obyektif dan tidak diskriminatif; 
                  Bahwa masalah persyaratan jenjang pendidikan yang pernah ditempuh oleh seorang calon Hakim Konstitusi berkaitan dengan pengelompokan jenjang pendidikan tinggi di Indonesia dengan pendekatan tingkat pendidikan tinggi, dikelompokkan dalam tiga tingkat, yaitu strata satu (S-1/ Sarjana), strata dua (S-2/Magister), strata tiga (S-3/Doktor). Dengan adanya pendekatan program dikenal dengan dua program, yaitu Program Sarjana dan Program Pasca Sarjana. Program Pasca Sarjana dibagi menjadi Program Magister dan Program Doktoral. Program Magister dianggap sebagai pintu masuk untuk menempuh jenjang kualifikasi yang lebih tinggi dengan pengetahuan yang lebih khusus (spesialisasi) yaitu Doktor. Sebagai program pintu masuk, maka program magister berisikan materi-materi pengajaran yang umum sebagai pembekalan menuju pengkhususan (spesialisasi), akan tetapi, hal yang berbeda dapat dilihat pada sistem pendidikan di luar negeri. Program pendidikan sarjana (bachelor) disebut dengan istilah lain yaitu undergraduate, sedangkan program magister (master) disebut dengan istilah graduate. Oleh karena itu, bagi mahasiswa yang menempuh program doktoral di universitas luar negeri terkadang menemui masalah karena program magister yang telah ditempuhnya di universitas dalam negeri tidak diakui. Untuk mengatasi masalah tersebut, bagi mahasiswa yang akan mengambil program doktoral di universitas luar negeri disediakan program yang disetarakan dengan program magister. Hal tersebut perlu dilakukan agar ada keselarasan pemahaman dan kesetaraan tingkat pengetahuan bagi mahasiswa yang akan mengambil program doktoral di universitas luar negeri;
                  Bahwa faktanya ada beberapa program pascasarjana yang langsung menerima program pendidikan doktor tanpa melalui program magister. Selain itu, sampai sekarang masih banyak lulusan program doktor di masa lalu yang tidak melalui program magister. Berdasarkan fakta-fakta tersebut maka ketentuan adanya persyaratan “berijazah magister” akan melanggar hak-hak konstitusional para penyandang gelar doktor yang tidak mempunyai ijazah magister;
                  Bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, untuk mengatasi adanya permasalahan jenjang pendidikan sebagai syarat menjadi hakim konstitusi dan untuk memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara Indonesia yang berpendidikan tinggi hukum yang ingin menjadi hakim konstitusi, menurut Mahkamah frasa “dan magister” sebagai syarat hakim konstitusi harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
                  Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah tidak sependapat dengan para Pemohon bahwa salah satu syarat untuk menjadi hakim konstitusi haruslah berijazah doktor dan magister dalam ilmu hukum. Menurut Mahkamah, yang lebih rasional adalah penghapusan frasa “dan magister” saja sebagaimana pertimbangan di atas. Hal yang paling utama menurut Mahkamah adalah seorang calon hakim konstitusi haruslah sarjana (Strata-1) yang berlatar belakang hukum dan memiliki pengalaman dalam bidang hukum sebagaimana disyaratkan dalam Undang-Undang a quo. Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah menilai, Pasal 15 ayat (2) huruf b UU 8/2011 sepanjang frasa “dan magister” bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian permohonan para Pemohon beralasan hukum untuk sebagian.
Adapun amar putusan dalam perkara  Nomor 68/PUU-IX/2011 adalah sebagai berikut:
 AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.    Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1.        Pasal 15 ayat (2) huruf b sepanjang frasa “dan magister” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2.        Pasal 15 ayat (2) huruf b sepanjang frasa “dan magister” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2.    Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3.    Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Tidak ada komentar: