Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Kamis, 23 April 2015

Konstitusionalitas Hak Pasien vs Kode Etik Dokter



Pada tanggal 29 Januari 2014 bebrapa orang dokter yang dimpin oleh dr. Agung Sapta Adi, Sp.An., dkk., mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran  (UU 29/2004), yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 66 ayat (3):       “Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan”.
                 Dalam permohonannya dr. Agung Sapta Adi, Sp.An., dkk., menyatakan bahwa sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai dokter yang memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28D dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 merasa dirugikan akibat berlakunya ketentuan Pasal 66 ayat (3) UU 29/2004. Hak konstitusional para Pemohon berupa hak akan kepastian hukum, hak untuk memperoleh rasa aman, dan hak untuk bebas dari rasa takut, telah dirugikan atau berpotensi dirugikan oleh Pasal 66 ayat (3) karena ketentuan a quo mengakibatkan para Pemohon sebagai dokter tetap dapat dinyatakan bersalah oleh pengadilan pidana maupun pengadilan perdata, meskipun oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) para Pemohon telah diperiksa dan dinyatakan tidak bersalah melakukan pelanggaran disiplin.
                 Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara penjaga dan penafsir konstitusi setelah melalui proses persidangan yang cukup panjang dan komprehensif akhirnya memutus permohonan tersebut dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
                 Bahwa Pasal 66 ayat (3) UU 29/2004 pada dasarnya mengatur pengaduan kepada MKDKI dari orang atau badan hukum (korporasi) yang mengetahui atau merasa dirugikan atas tindakan medis seorang dokter atau dokter gigi, tidak menghilangkan hak pengadu tersebut untuk melaporkan juga kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat secara perdata ke pengadilan atas adanya dugaan tindak pidana dari dokter atau dokter gigi. Ketentuan tersebut menurut para Pemohon tidak memberikan kepastian hukum karena para Pemohon sebagai dokter tetap dapat dinyatakan bersalah oleh pengadilan pidana maupun pengadilan perdata, meskipun sebelumnya oleh MKDKI para Pemohon telah diperiksa dan dinyatakan tidak bersalah melakukan pelanggaran disiplin. Dengan kata lain, seorang dokter atau dokter gigi yang telah diperiksa oleh MKDKI dan dinyatakan tidak melakukan pelanggaran disiplin, ternyata masih dapat dinyatakan bersalah oleh pengadilan pidana maupun oleh pengadilan perdata.
Para Pemohon juga menerangkan bahwa terjadinya hal demikian disebabkan pula karena tidak adanya ketentuan yang mengatur agar setiap pelaporan dugaan tindak pidana dimaksud harus terlebih dahulu dilaporkan dan diperiksa oleh MKDKI untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran disiplin profesional dokter atau dokter gigi.
             Bahwa Mahkamah berpendapat permasalahan konstitusionalitas yang diuraikan oleh para Pemohon mengenai Pasal 66 ayat (3) berkaitan erat dengan keberadaan norma hukum (berupa undang-undang), etika atau kode etik, serta disiplin profesi yang mengatur dokter dan dokter gigi, yang ketiganya diatur dalam UU 29/2004. Untuk itu Mahkamah terlebih dahulu akan memperjelas perbedaan antara ketiga hal tersebut dalam hubungannya dengan UU 29/2004.
                 Etika/kode etik, disiplin profesi, maupun norma hukum pada dasarnya adalah sebuah kaidah atau tata nilai yang memberikan arahan bagi manusia untuk berperilaku baik dalam hubungannya dengan sesama manusia dan lingkungan sekitarnya. Salah satu perbedaan antara etika dan norma hukum adalah pada kekuatan mengikat dan sanksinya. Kekuatan mengikat etika terhadap manusia relatif lemah bahkan dapat dikatakan mengandalkan sifat sukarela. Hal ini berkaitan dengan jenis sanksi dari etika yang relatif sulit untuk dipaksakan penerapannya. Adapun norma hukum memiliki daya ikat yang lebih kuat bagi manusia karena norma hukum memiliki mekanisme untuk memaksakan sanksi bagi pelanggarnya dengan menggunakan kekuatan negara.
Etika atau etika profesi dibentuk/disusun oleh suatu kelompok atau komunitas profesi tertentu atas dasar kesepakatan. Dalam konteks praktik kedokteran, UU 29/2004 menyatakan, “Etika profesi adalah kode etik dokter dan kode etik dokter gigi yang disusun oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI)” [vide Penjelasan Pasal 8 huruf f UU 29/2004]. Adapun norma hukum dibentuk/disusun oleh entitas berbentuk Negara, dalam hal ini oleh pembentuk Undang-Undang yang terdiri dari DPR dan Presiden, yang norma demikian memiliki kekuatan pemaksa bagi warga negara dan/atau penduduk. Hal demikianlah yang memunculkan perbedaan mengenai jenis sanksi dan kekuatan pemaksa antara etika dengan norma hukum.
                 Adapun disiplin profesi pada dasarnya adalah etika yang khusus berlaku bagi orang atau kelompok orang tertentu yang melakukan praktik profesi tertentu pula, namun dengan bentuk dan kekuatan sanksi yang lebih tegas dibanding sanksi etika pada umumnya, meskipun tetap lebih “lunak” dibandingkan sanksi hukum. Sanksi yang diancamkan oleh suatu disiplin profesi relatif lebih keras dibandingkan sanksi etika pada umumnya, karena sanksi disiplin berkaitan dengan dapat atau tidaknya pemegang profesi tertentu untuk terus memegang atau menjalankan profesinya. Dalam UU 29/2004 dapat diketahui bahwa arti disiplin profesi adalah “aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi” [vide Penjelasan Pasal 55 ayat (1) UU 29/2004].
             Bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya adalah ilmu pengetahuan kedokteran umum maupun kedokteran gigi, adalah memuliakan kehidupan manusia. Posisi ilmu pengetahuan kedokteran menjadi istimewa, setidaknya di hadapan hukum, karena ilmu kedokteran dan praktiknya memiliki kaitan yang signifikan dengan kesehatan bahkan kehidupan/keselamatan manusia. Mahkamah sependapat dengan Presiden/Pemerintah yang menyatakan bahwa keistimewaan atau kekhasan profesi dokter dan dokter gigi adalah adanya “pembenaran yang diberikan oleh hukum, yaitu diperkenankannya melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan”. Keistimewaan tersebut terlihat manakala seseorang yang bukan dokter atau dokter gigi melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia, maka tindakan yang demikian dapat digolongkan sebagai tindak pidana.
Oleh karena profesi dokter dan dokter gigi merupakan profesi yang istimewa dalam hubungannya dengan nyawa manusia, maka sudah sewajarnya jika profesi tersebut beserta masyarakat yang berkepentingan terhadap profesi tersebut diatur secara istimewa. Dengan demikian, selain diatur secara etika, profesi dan praktik profesi kedokteran maupun kedokteran gigi diatur berdasarkan kaidah keilmuan (disiplin profesi) serta diatur pula menurut hukum.
             Bahwa menurut Mahkamah, pembentuk undang-undang secara tegas mengakomodasi atau mengatur keberadaan etika sebagai bagian dari norma hukum, dalam hal ini UU 29/2004. Hal demikian dapat dilihat antara lain dalam Pasal 30 ayat (2) huruf e dan Pasal 51 huruf a UU 29/2004.
Dalam kaitannya dengan pelanggaran yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap etika profesi, disiplin profesi, dan norma hukum, UU 29/2004 mengklasifikasi/mengkategorisasi serta mengatur alur pengaduan sebagai berikut:
a.    Pelanggaran oleh dokter atau dokter gigi dapat berupa i) pelanggaran etika, ii) pelanggaran disiplin profesi, dan/atau iii) pelanggaran hukum;
b.    Pengaduan terhadap pelanggaran disiplin profesi diperiksa dan diputus oleh MKDKI [vide Pasal 64 dan Pasal 67];
c.    Pengaduan terhadap pelanggaran kode etik profesi diteruskan oleh MKDKI kepada organisasi profesi [vide Pasal 68];
d.    Pelanggaran terhadap norma hukum pidana dapat dilaporkan kepada kepolisian atau kejaksaan [vide Pasal 66 ayat (3)];
e.    Pelanggaran terhadap norma hukum perdata dapat digugat ke pengadilan [vide Pasal 66 ayat (3)];
Dimasukkannya etika profesi dan disiplin profesi ke dalam suatu Undang-Undang menurut Mahkamah harus dipahami bahwa pembentuk Undang-Undang memberi penekanan pentingnya etika profesi dan disiplin profesi untuk dilaksanakan sebagai pedoman bagi perilaku dokter atau dokter gigi. Hal yang harus digarisbawahi adalah meskipun etika profesi dan disiplin profesi dimaksud diatur/dimuat di dalam sebuah Undang-Undang, tidak dapat langsung diartikan bahwa etika dan disiplin profesi dimaksud memiliki konsekuensi hukum yang sama dengan norma hukum yang berada di dalam Undang-Undang yang sama. Jika etika profesi dan disiplin profesi yang diatur dalam suatu Undang-Undang diberi kekuatan berlaku (dan mengikat) yang sama dengan norma hukum di dalam Undang-Undang, maka konsekuensinya adalah pelanggaran terhadap etika profesi dan disiplin profesi akan dikenai sanksi hukum, terutama sanksi pidana dan sanksi perdata, padahal pelanggaran atas etika profesi dan disiplin profesi hanya dapat dikenai sanksi secara etika pula dan/atau secara administratif.
Dengan kata lain meskipun etika profesi, disiplin profesi, dan norma hukum dimaksud ketiganya dimuat dalam Undang-Undang yang sama, namun secara normatif tidak dapat saling meniadakan atau saling menggantikan.
             Bahwa selanjutnya Mahkamah akan menjawab pertanyaan mendasar, yaitu apakah dari perspektif konstitusi telah mencukupi jika risiko keselamatan jiwa pasien, dalam konteks praktik kedokteran, hanya dilindungi oleh etika profesi atau oleh disiplin profesi.
Bahwa etika profesi atau kode etik baru memiliki kekuatan pemaksa setelah dokter atau dokter gigi tersebut bergabung dalam organisasi profesi yang memberlakukan etika profesi atau kode etik tersebut. Keikutsertaan dokter atau dokter gigi ke dalam organisasi profesi merupakan perintah Undang-Undang. Perintah tersebut dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan administrasi, berupa dokter atau dokter gigi harus bergabung dengan organisasi profesi yang diikat dengan kode etik, jika ingin melakukan praktik sebagai dokter atau dokter gigi.
Hal mendasar dari keberadaan kode etik yang pada akhirnya dapat menimbulkan masalah perlindungan hukum untuk pasien (sebagai konsumen medis) adalah bahwa kode etik tidak memiliki sanksi yang sepadan dengan risiko yang ditimbulkan akibat kelalaian yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi, atau risiko dari kesengajaan tindakan dokter atau dokter gigi yang menimbulkan kerugian bagi pasien.
Berkenaan dengan disiplin profesi kedokteran, Mahkamah berpendapat sebagai sebuah peraturan atau ketentuan mengenai penerapan keilmuan dalam pelaksanaan layanan medis, disiplin profesi kedokteran terlihat hanya sebagai pembakuan prosedur ilmiah yang harus dilakukan oleh dokter atau dokter gigi dalam menjalankan tindakan medis. Namun justru karena tindakan dokter atau dokter gigi dilakukan berdasarkan prosedur baku keilmuan yang dituangkan dalam disiplin profesi demikian, maka benar atau tidaknya tindakan dokter atau dokter gigi tersebut dari sudut pandang disiplin profesi, menurut Mahkamah, sudah sewajarnya dan seharusnya menjadi penapis atau penyaring dalam mengkualifikasikan apakah tindakan dokter atau dokter gigi tersebut termasuk pelanggaran pidana dan/atau menimbulkan kerugian secara perdata.
Bahwa dalam kaitannya dengan perbedaan mendasar antara etika profesi dan disiplin profesi kedokteran di satu sisi, dengan norma hukum di sisi lain, Mahkamah berpandangan keberadaan etika profesi, disiplin profesi, dan norma hukum, yang masing-masing mengancamkan sanksi tertentu, serta diatur bersama-sama dalam Undang-Undang a quo, bukan merupakan penjatuhan sanksi ganda bagi satu perbuatan. Jikalau dijatuhkan sanksi etika, sanksi disiplin, dan sanksi hukum, hal itu bukanlah sanksi ganda karena masing-masing memiliki dimensi berbeda.
             Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah memahami bahwa sanksi pidana terhadap profesi dokter atau dokter gigi yang diatur oleh Undang-Undang a quo memang ditujukan untuk melindungi dokter, pasien, serta pemangku kepentingan (stake holder) dalam konteks:
i)      mencegah pihak-pihak yang belum/tidak memiliki kelayakan kompetensi agar tidak berpraktik sebagai dokter atau dokter gigi;
ii)     memberikan izin (legalitas) bagi dokter atau dokter gigi untuk melakukan praktik kedokteran;
iii)    mencegah agar kemampuan dokter atau dokter gigi tidak digunakan untuk secara sengaja merugikan pasien; dan
iv)   Undang-Undang a quo memberikan rasa aman kepada dokter dan pasien dengan cara menunjukkan keberadaan dan kepedulian negara dalam hal praktik kedokteran;
             Bahwa menurut Mahkamah pertanyaan selanjutnya adalah, apakah suatu tindakan dokter atau dokter gigi yang telah diperiksa dan diputus oleh MKDKI, masih dapat diajukan pelaporannya kepada pihak berwenang dan/atau digugat secara perdata.
Dengan merujuk pada pertimbangan hukum yang telah diuraikan sebelumnya, Mahkamah berpendapat bahwa proses pengadilan baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata selama terkait dengan tindakan profesi kedokteran (baik dokter atau dokter gigi) harus dilakukan dalam lingkup profesi kedokteran. Artinya standar penilaian terhadap tindakan/asuhan dokter dan dokter gigi tidak boleh semata-mata dilihat dari kacamata Undang-Undang mengenai hukum pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya, melainkan harus didasarkan pada standar disiplin profesi kedokteran yang disusun oleh lembaga resmi yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan.
Hal demikian terkait dengan keistimewaan profesi dan ilmu kedokteran yang secara hakiki memang lebih dekat dengan risiko yang berakibat kecacatan bahkan hilangnya nyawa seseorang. Meskipun bisa jadi tindakan profesi kedokteran dan tindakan profesi lain sama-sama mengakibatkan atau menimbulkan risiko cacat atau kematian, dan keduanya diatur dalam Undang-Undang yang sama, misalkan KUHP, tetapi tentu harus dibedakan konsekuensi hukumnya bagi dokter atau dokter gigi karena mereka memang diizinkan untuk melakukan tindakan terhadap tubuh manusia, sementara profesi lain tidak demikian adanya.
Perbedaan tersebut menurut Mahkamah memberikan dasar yang kuat bagi penegak hukum yaitu kepolisian dan kejaksaan untuk perkara pidana, maupun pengadilan baik pidana maupun perdata, untuk memperlakukan dokter dan dokter gigi secara berbeda. Perbedaan demikian harus dilakukan atau ditunjukkan dengan menjadikan ilmu kedokteran, khususnya yang tertuang dalam peraturan disiplin profesional dokter, sebagai rujukan utama dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan persidangan.
             Bahwa pertimbangan hukum yang demikian menegaskan pendapat Mahkamah bahwa makna keadilan adalah memperlakukan sama terhadap yang sama dan memperlakukan berbeda terhadap dua hal yang memang berbeda. Konsep keadilan yang demikian merupakan pengetahuan yang bersifat umum (tacit knowledge) yang diyakini Mahkamah telah dimiliki dan disadari oleh semua aparat penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, serta pengadilan.
Terkait dengan hal tersebut Mahkamah berpendapat bahwa proses pidana dan/atau gugatan perdata yang diatur dalam Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang a quo, secara kontekstual tidak memiliki makna lain selain menjadikan ilmu kedokteran, khususnya kode etik dan disiplin profesi kedokteran, sebagai salah satu rujukan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan sidang. Tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan sidang yang menjadikan kode etik dan disiplin profesi kedokteran sebagai salah satu rujukan, antara lain, dengan mendengarkan pendapat atau keahlian dari pihak-pihak yang memiliki kompetensi di bidang kedokteran, ketika aparat penegak hukum melakukan penafsiran terhadap peraturan hukum yang mengatur tindakan dokter atau dokter gigi, serta ketika melakukan penilaian terhadap tindakan dokter atau dokter gigi dimaksud.
Dilaksanakannya peradilan yang menjadikan ilmu kedokteran sebagai salah satu rujukan dalam mengadili dokter dan/atau dokter gigi yang diduga melakukan malpraktik, menurut Mahkamah telah membatasi risiko yang harus ditanggung dokter dan/atau dokter gigi dari pelaporan pidana atau gugatan perdata. Artinya dalam proses pengadilan yang demikian akan tertutup kemungkinan dijatuhkannya sanksi pidana dan/atau perdata kepada dokter atau dokter gigi yang tindakan medisnya oleh MKDKI telah dinyatakan sesuai atau tidak melanggar disiplin profesi kedokteran.
Adapun ketentuan pelaporan secara pidana dan/atau gugatan secara perdata tentu tetap diperlukan untuk melindungi hak-hak pasien dan pemangku kepentingan pada umumnya dari tindakan dokter atau dokter gigi yang berada di luar cakupan disiplin profesi kedokteran, atau untuk melindungi hak pasien manakala tindakan dokter atau dokter gigi yang dinyatakan oleh MKDKI melanggar disiplin profesi kedokteran ternyata menimbulkan kerugian pada pasien.
Dalam konteks sebagaimana telah diuraikan oleh Mahkamah dalam rangkaian pertimbangan hukum di atas, ketakutan bahwa dokter dan/atau dokter gigi akan dikenai sanksi pidana dan/atau sanksi perdata jika melakukan tindakan kedokteran yang lebih lanjut menimbulkan praktik defensive medicine di kalangan medis, menurut Mahkamah tidak berdasar dan tidak lagi memiliki relevansi untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
                 Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat pengujian konstitusionalitas Pasal 66 ayat (3) UU 29/2004 yang dimohonkan oleh para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan menolak permohonan para Pemohon.
==========================

Tidak ada komentar: