Pada
tanggal 29 Januari 2014 bebrapa orang dokter yang dimpin oleh dr. Agung
Sapta Adi, Sp.An., dkk., mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU 29/2004), yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal
66 ayat (3): “Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana
kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan”.
Dalam
permohonannya dr. Agung Sapta
Adi, Sp.An., dkk., menyatakan bahwa sebagai perseorangan
warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai dokter yang memiliki hak konstitusional
sebagaimana diatur dalam Pasal 28D dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 merasa
dirugikan akibat berlakunya ketentuan Pasal 66 ayat (3) UU 29/2004. Hak
konstitusional para Pemohon berupa hak akan kepastian hukum, hak untuk
memperoleh rasa aman, dan hak untuk bebas dari rasa takut, telah dirugikan atau
berpotensi dirugikan oleh Pasal 66 ayat (3) karena ketentuan a quo mengakibatkan para Pemohon sebagai
dokter tetap dapat dinyatakan bersalah oleh pengadilan pidana maupun pengadilan
perdata, meskipun oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
para Pemohon telah diperiksa dan dinyatakan tidak bersalah melakukan
pelanggaran disiplin.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara penjaga dan penafsir konstitusi
setelah melalui proses persidangan yang cukup panjang dan komprehensif akhirnya
memutus permohonan tersebut dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Bahwa
Pasal 66 ayat (3) UU 29/2004 pada dasarnya mengatur pengaduan
kepada MKDKI dari orang atau badan hukum (korporasi) yang mengetahui atau
merasa dirugikan atas tindakan medis seorang dokter atau dokter gigi, tidak
menghilangkan hak pengadu tersebut untuk melaporkan juga kepada pihak yang
berwenang dan/atau menggugat secara perdata ke pengadilan atas adanya dugaan
tindak pidana dari dokter atau dokter gigi. Ketentuan tersebut menurut para
Pemohon tidak memberikan kepastian hukum karena para Pemohon sebagai dokter
tetap dapat dinyatakan bersalah oleh pengadilan pidana maupun pengadilan
perdata, meskipun sebelumnya oleh MKDKI para Pemohon telah diperiksa dan
dinyatakan tidak bersalah melakukan pelanggaran disiplin. Dengan kata lain,
seorang dokter atau dokter gigi yang telah diperiksa oleh MKDKI dan dinyatakan
tidak melakukan pelanggaran disiplin, ternyata masih dapat dinyatakan bersalah
oleh pengadilan pidana maupun oleh pengadilan perdata.
Para Pemohon juga menerangkan bahwa terjadinya
hal demikian disebabkan pula karena tidak adanya
ketentuan yang mengatur agar setiap pelaporan dugaan tindak pidana dimaksud
harus terlebih dahulu dilaporkan dan diperiksa oleh MKDKI untuk menentukan ada
atau tidaknya pelanggaran disiplin profesional dokter atau dokter gigi.
Bahwa
Mahkamah berpendapat permasalahan konstitusionalitas yang diuraikan oleh para
Pemohon mengenai Pasal 66 ayat (3) berkaitan erat dengan keberadaan norma hukum
(berupa undang-undang), etika atau kode etik, serta disiplin profesi yang
mengatur dokter dan dokter gigi, yang ketiganya diatur dalam UU 29/2004. Untuk
itu Mahkamah terlebih dahulu akan memperjelas perbedaan antara ketiga hal
tersebut dalam hubungannya dengan UU 29/2004.
Etika/kode
etik, disiplin profesi, maupun norma hukum pada dasarnya adalah sebuah kaidah
atau tata nilai yang memberikan arahan bagi manusia untuk berperilaku baik
dalam hubungannya dengan sesama manusia dan lingkungan sekitarnya. Salah satu
perbedaan antara etika dan norma hukum adalah pada kekuatan mengikat dan
sanksinya. Kekuatan mengikat etika terhadap manusia relatif lemah bahkan dapat
dikatakan mengandalkan sifat sukarela. Hal ini berkaitan dengan jenis sanksi
dari etika yang relatif sulit untuk dipaksakan penerapannya. Adapun norma hukum
memiliki daya ikat yang lebih kuat bagi manusia karena norma hukum memiliki mekanisme
untuk memaksakan sanksi bagi pelanggarnya dengan menggunakan kekuatan negara.
Etika atau etika profesi dibentuk/disusun oleh
suatu kelompok atau komunitas profesi tertentu atas dasar kesepakatan. Dalam
konteks praktik kedokteran, UU 29/2004 menyatakan, “Etika profesi adalah kode etik dokter dan kode etik dokter gigi yang
disusun oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia
(PDGI)” [vide Penjelasan Pasal 8 huruf f UU 29/2004]. Adapun norma hukum
dibentuk/disusun oleh entitas berbentuk Negara, dalam hal ini oleh pembentuk
Undang-Undang yang terdiri dari DPR dan Presiden, yang norma demikian memiliki
kekuatan pemaksa bagi warga negara dan/atau penduduk. Hal demikianlah yang
memunculkan perbedaan mengenai jenis sanksi dan kekuatan pemaksa antara etika
dengan norma hukum.
Adapun disiplin profesi pada dasarnya adalah
etika yang khusus berlaku bagi orang atau kelompok orang tertentu yang
melakukan praktik profesi tertentu pula, namun dengan bentuk dan kekuatan
sanksi yang lebih tegas dibanding sanksi etika pada umumnya, meskipun tetap
lebih “lunak” dibandingkan sanksi hukum. Sanksi yang diancamkan oleh suatu
disiplin profesi relatif lebih keras dibandingkan sanksi etika pada umumnya,
karena sanksi disiplin berkaitan dengan dapat atau tidaknya pemegang profesi
tertentu untuk terus memegang atau menjalankan profesinya. Dalam UU 29/2004
dapat diketahui bahwa arti disiplin profesi adalah “aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan
pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi” [vide Penjelasan
Pasal 55 ayat (1) UU 29/2004].
Bahwa
tujuan utama ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya adalah ilmu pengetahuan
kedokteran umum maupun kedokteran gigi, adalah memuliakan kehidupan manusia.
Posisi ilmu pengetahuan kedokteran menjadi istimewa, setidaknya di hadapan
hukum, karena ilmu kedokteran dan praktiknya memiliki kaitan yang signifikan
dengan kesehatan bahkan kehidupan/keselamatan manusia. Mahkamah sependapat
dengan Presiden/Pemerintah yang menyatakan bahwa keistimewaan atau kekhasan
profesi dokter dan dokter gigi adalah adanya “pembenaran yang
diberikan oleh hukum, yaitu diperkenankannya melakukan tindakan medis terhadap
tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan”. Keistimewaan tersebut terlihat
manakala seseorang yang bukan dokter atau dokter gigi melakukan tindakan medis
terhadap tubuh manusia, maka tindakan yang demikian dapat digolongkan sebagai
tindak pidana.
Oleh
karena profesi dokter
dan dokter gigi merupakan profesi yang istimewa dalam hubungannya dengan nyawa
manusia, maka sudah sewajarnya jika profesi tersebut beserta masyarakat yang
berkepentingan terhadap profesi tersebut diatur secara istimewa. Dengan
demikian, selain diatur secara etika, profesi dan praktik profesi kedokteran
maupun kedokteran gigi diatur berdasarkan kaidah keilmuan (disiplin profesi)
serta diatur pula menurut hukum.
Bahwa menurut Mahkamah, pembentuk
undang-undang secara tegas mengakomodasi atau mengatur keberadaan etika sebagai
bagian dari norma hukum, dalam hal ini UU 29/2004. Hal demikian dapat dilihat
antara lain dalam Pasal 30 ayat (2) huruf e dan Pasal 51 huruf a UU 29/2004.
Dalam
kaitannya dengan pelanggaran yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap
etika profesi, disiplin profesi, dan norma hukum, UU 29/2004
mengklasifikasi/mengkategorisasi serta mengatur alur pengaduan sebagai berikut:
a. Pelanggaran oleh dokter atau dokter
gigi dapat berupa i) pelanggaran etika, ii) pelanggaran disiplin profesi,
dan/atau iii) pelanggaran hukum;
b. Pengaduan terhadap pelanggaran
disiplin profesi diperiksa dan diputus oleh MKDKI [vide Pasal 64 dan Pasal 67];
c. Pengaduan terhadap pelanggaran kode
etik profesi diteruskan oleh MKDKI kepada organisasi profesi [vide Pasal 68];
d. Pelanggaran terhadap norma hukum
pidana dapat dilaporkan kepada kepolisian atau kejaksaan [vide Pasal 66 ayat
(3)];
e. Pelanggaran terhadap norma hukum
perdata dapat digugat ke pengadilan [vide Pasal 66 ayat (3)];
Dimasukkannya
etika profesi dan disiplin profesi ke dalam suatu Undang-Undang menurut
Mahkamah harus dipahami bahwa pembentuk Undang-Undang memberi penekanan
pentingnya etika profesi dan disiplin profesi untuk dilaksanakan sebagai
pedoman bagi perilaku dokter atau dokter gigi. Hal yang harus digarisbawahi
adalah meskipun etika profesi dan disiplin profesi dimaksud diatur/dimuat di dalam
sebuah Undang-Undang, tidak dapat langsung diartikan bahwa etika dan disiplin
profesi dimaksud memiliki konsekuensi hukum yang sama dengan norma hukum yang
berada di dalam Undang-Undang yang sama. Jika etika profesi dan disiplin
profesi yang diatur dalam suatu Undang-Undang diberi kekuatan berlaku (dan
mengikat) yang sama dengan norma hukum di dalam Undang-Undang, maka konsekuensinya
adalah pelanggaran terhadap etika profesi dan disiplin profesi akan dikenai
sanksi hukum, terutama sanksi pidana dan sanksi perdata, padahal pelanggaran
atas etika profesi dan disiplin profesi hanya dapat dikenai sanksi secara etika
pula dan/atau secara administratif.
Dengan kata lain meskipun etika profesi, disiplin profesi, dan
norma hukum dimaksud ketiganya dimuat dalam Undang-Undang yang sama, namun
secara normatif tidak dapat saling meniadakan atau saling menggantikan.
Bahwa
selanjutnya Mahkamah akan menjawab pertanyaan mendasar, yaitu apakah dari
perspektif konstitusi telah mencukupi jika risiko keselamatan jiwa pasien,
dalam konteks praktik kedokteran, hanya dilindungi oleh etika profesi atau oleh
disiplin profesi.
Bahwa etika profesi atau kode etik baru
memiliki kekuatan pemaksa setelah dokter atau dokter gigi tersebut bergabung
dalam organisasi profesi yang memberlakukan etika profesi atau kode etik
tersebut. Keikutsertaan dokter atau dokter gigi ke dalam organisasi profesi
merupakan perintah Undang-Undang. Perintah tersebut dimaksudkan untuk memenuhi
persyaratan administrasi, berupa dokter atau dokter gigi harus bergabung dengan
organisasi profesi yang diikat dengan kode etik, jika ingin melakukan praktik
sebagai dokter atau dokter gigi.
Hal mendasar dari keberadaan kode etik yang
pada akhirnya dapat menimbulkan masalah perlindungan hukum untuk pasien
(sebagai konsumen medis) adalah bahwa kode etik tidak memiliki sanksi yang
sepadan dengan risiko yang ditimbulkan akibat kelalaian yang dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi, atau risiko dari kesengajaan tindakan dokter atau
dokter gigi yang menimbulkan kerugian bagi pasien.
Berkenaan dengan disiplin profesi kedokteran,
Mahkamah berpendapat sebagai sebuah peraturan atau ketentuan mengenai penerapan
keilmuan dalam pelaksanaan layanan medis, disiplin profesi kedokteran terlihat
hanya sebagai pembakuan prosedur ilmiah yang harus dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi dalam menjalankan tindakan medis. Namun justru karena tindakan
dokter atau dokter gigi dilakukan berdasarkan prosedur baku keilmuan yang
dituangkan dalam disiplin profesi demikian, maka benar atau tidaknya tindakan
dokter atau dokter gigi tersebut dari sudut pandang disiplin profesi, menurut
Mahkamah, sudah sewajarnya dan seharusnya menjadi penapis atau penyaring dalam
mengkualifikasikan apakah tindakan dokter atau dokter gigi tersebut termasuk
pelanggaran pidana dan/atau menimbulkan kerugian secara perdata.
Bahwa dalam kaitannya dengan perbedaan mendasar
antara etika profesi dan disiplin profesi kedokteran di satu sisi, dengan norma
hukum di sisi lain, Mahkamah berpandangan keberadaan etika profesi, disiplin
profesi, dan norma hukum, yang masing-masing mengancamkan sanksi tertentu,
serta diatur bersama-sama dalam Undang-Undang a quo, bukan merupakan penjatuhan sanksi ganda bagi satu perbuatan.
Jikalau dijatuhkan sanksi etika, sanksi disiplin, dan sanksi hukum, hal itu
bukanlah sanksi ganda karena masing-masing memiliki dimensi berbeda.
Bahwa
berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah memahami
bahwa sanksi pidana terhadap profesi dokter atau dokter gigi yang diatur oleh
Undang-Undang a quo memang ditujukan
untuk melindungi dokter, pasien, serta pemangku kepentingan (stake holder) dalam konteks:
i) mencegah
pihak-pihak yang belum/tidak memiliki kelayakan kompetensi agar tidak
berpraktik sebagai dokter atau dokter gigi;
ii) memberikan
izin (legalitas) bagi dokter atau dokter gigi untuk melakukan praktik
kedokteran;
iii) mencegah
agar kemampuan dokter atau dokter gigi tidak digunakan untuk secara sengaja
merugikan pasien; dan
iv) Undang-Undang
a quo memberikan rasa aman kepada
dokter dan pasien dengan cara menunjukkan keberadaan dan kepedulian negara
dalam hal praktik kedokteran;
Bahwa
menurut Mahkamah pertanyaan selanjutnya adalah, apakah suatu tindakan dokter
atau dokter gigi yang telah diperiksa dan diputus oleh MKDKI, masih dapat
diajukan pelaporannya kepada pihak berwenang dan/atau digugat secara perdata.
Dengan merujuk pada pertimbangan hukum yang
telah diuraikan sebelumnya, Mahkamah berpendapat bahwa proses pengadilan baik
dalam perkara pidana maupun perkara perdata selama terkait dengan tindakan
profesi kedokteran (baik dokter atau dokter gigi) harus dilakukan dalam lingkup
profesi kedokteran. Artinya standar penilaian terhadap tindakan/asuhan dokter
dan dokter gigi tidak boleh semata-mata dilihat dari kacamata Undang-Undang
mengenai hukum pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada
umumnya, melainkan harus didasarkan pada standar disiplin profesi kedokteran
yang disusun oleh lembaga resmi yang ditunjuk oleh peraturan
perundang-undangan.
Hal demikian terkait dengan keistimewaan
profesi dan ilmu kedokteran yang secara hakiki memang lebih dekat dengan risiko
yang berakibat kecacatan bahkan hilangnya nyawa seseorang. Meskipun bisa jadi
tindakan profesi kedokteran dan tindakan profesi lain sama-sama mengakibatkan
atau menimbulkan risiko cacat atau kematian, dan keduanya diatur dalam
Undang-Undang yang sama, misalkan KUHP, tetapi tentu harus dibedakan konsekuensi
hukumnya bagi dokter atau dokter gigi karena mereka memang diizinkan untuk
melakukan tindakan terhadap tubuh manusia, sementara profesi lain tidak
demikian adanya.
Perbedaan tersebut menurut Mahkamah memberikan
dasar yang kuat bagi penegak hukum yaitu kepolisian dan kejaksaan untuk perkara
pidana, maupun pengadilan baik pidana maupun perdata, untuk memperlakukan
dokter dan dokter gigi secara berbeda. Perbedaan demikian harus dilakukan atau
ditunjukkan dengan menjadikan ilmu kedokteran, khususnya yang tertuang dalam
peraturan disiplin profesional dokter, sebagai rujukan utama dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan persidangan.
Bahwa pertimbangan
hukum yang demikian menegaskan pendapat Mahkamah bahwa makna keadilan adalah
memperlakukan sama terhadap yang sama dan memperlakukan berbeda terhadap dua
hal yang memang berbeda. Konsep keadilan yang demikian merupakan pengetahuan
yang bersifat umum (tacit knowledge)
yang diyakini Mahkamah telah dimiliki dan disadari oleh semua aparat penegak
hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, serta pengadilan.
Terkait dengan hal tersebut Mahkamah
berpendapat bahwa proses pidana dan/atau gugatan perdata yang diatur dalam
Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang a quo,
secara kontekstual tidak memiliki makna lain selain menjadikan ilmu kedokteran,
khususnya kode etik dan disiplin profesi kedokteran, sebagai salah satu rujukan
dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan sidang.
Tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan sidang yang
menjadikan kode etik dan disiplin profesi kedokteran sebagai salah satu
rujukan, antara lain, dengan mendengarkan pendapat atau keahlian dari
pihak-pihak yang memiliki kompetensi di bidang kedokteran, ketika aparat
penegak hukum melakukan penafsiran terhadap peraturan hukum yang mengatur
tindakan dokter atau dokter gigi, serta ketika melakukan penilaian terhadap
tindakan dokter atau dokter gigi dimaksud.
Dilaksanakannya peradilan yang menjadikan ilmu
kedokteran sebagai salah satu rujukan dalam mengadili dokter dan/atau dokter
gigi yang diduga melakukan malpraktik, menurut Mahkamah telah membatasi risiko
yang harus ditanggung dokter dan/atau dokter gigi dari pelaporan pidana atau
gugatan perdata. Artinya dalam proses pengadilan yang demikian akan tertutup
kemungkinan dijatuhkannya sanksi pidana dan/atau perdata kepada dokter atau
dokter gigi yang tindakan medisnya oleh MKDKI telah dinyatakan sesuai atau
tidak melanggar disiplin profesi kedokteran.
Adapun ketentuan pelaporan secara pidana
dan/atau gugatan secara perdata tentu tetap diperlukan untuk melindungi hak-hak
pasien dan pemangku kepentingan pada umumnya dari tindakan dokter atau dokter
gigi yang berada di luar cakupan disiplin profesi kedokteran, atau untuk
melindungi hak pasien manakala tindakan dokter atau dokter gigi yang dinyatakan
oleh MKDKI melanggar disiplin profesi kedokteran ternyata menimbulkan kerugian
pada pasien.
Dalam konteks sebagaimana telah diuraikan oleh
Mahkamah dalam rangkaian pertimbangan hukum di atas, ketakutan bahwa dokter
dan/atau dokter gigi akan dikenai sanksi pidana dan/atau sanksi perdata jika
melakukan tindakan kedokteran yang lebih lanjut menimbulkan praktik defensive medicine di kalangan medis,
menurut Mahkamah tidak berdasar dan tidak lagi memiliki relevansi untuk
dipertimbangkan lebih lanjut.
Bahwa berdasarkan
seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat pengujian
konstitusionalitas Pasal 66
ayat (3) UU 29/2004 yang dimohonkan oleh para Pemohon tidak beralasan menurut
hukum.
AMAR
PUTUSAN
Mengadili,
Mengadili,
Menyatakan menolak permohonan
para Pemohon.
==========================
Link Putusan >> http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/14_PUU-XII_2014.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar