Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Rabu, 22 April 2015

Pelarangan Buku Melanggar Konstitusi



Beberapa orang penulis buku, peneliti dan sejarawan mengajukan pengujian UU Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Mengganggu Ketertiban Umum juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
            Dalam uraian permohonannya para Pemohon menyampaikan bahwa para Pemohon sebagai Penulis Buku yang diantaranya berjudul  “Enam Jalan Menuju Tuhan”, dan termasuk dari lima buku yang terkena dampak atas kewenangan Kejaksaan mendasarkan pada Pasal 30 ayat (3) huruf c UU 16/2004, dimana buku yang ditulis Pemohon dilarang oleh Kejaksaan berdasarkan bagian dari penerapan UU 16/2004 dan Undang-Undang Sensor Buku. Menurut para Pemohon sepatutnya dalam UU a quo tidak menghilangkan atau menyerahkan sepenuhnya pelaksanaan Norma Kemerdekaan Mengeluarkan Pikiran Dengan Lisan dan Tulisan (Norma Kemerdekaan Berpendapat) kepada kehendak pejabat yang berwenang, yang mana pengaturan seperti ini jelas bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 sebagai Hukum Dasar.
Menurut para Pemohon Pasal 30 ayat (3) huruf c UU 16/2004, dan Pasal 1 serta Pasal 6 UU Sensor, pasal-pasal tersebut sepenuhnya mengabaikan keberadaan norma kemerdekaan berpendapat, khususnya dalam konteks perbukuan. Meskipun kewenangan yang dimiliki sifatnya preventif, kewenangan tersebut berdampak pada pengabaian norma yang terdapat pada hukum dasar yaitu Pasal 28 UUD 1945. Selain UU Sensor Buku yang mulai berlaku ketika Indonesia masih dalam semangat revolusi, di mana kekuasaan absolut ditegakkan dengan mengatasnamakan ketertiban umum. Sehingga pemikiran yang dituangkan dalam bentuk barang cetakan yang dianggap tidak sesuai dengan semangat revolusi, sehingga dipandang dapat membahayakan jalannya revolusi. 
Menurut para Pemohon, tidak  adanya suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap baik untuk melarang dan atau menyita suatu buku bahkan menghukum yang melanggar larangan jelas merupakan indikasi bentuk kewenangan otoriter yang mengekang kemerdekaan mengeluarkan pikiran secara lisan dan tertulis. Keberadaan Pasal 30 ayat  (3) huruf c UU 16/2004 dan Pasal 1 serta Pasal 6 UU Sensor Buku bukan mengatur lebih lanjut kemerdekaan Berpendapat dalam rangka perlindungan terhadap hak asasi manusia dan agar tetap terjaga Prinsip Negara Hukum yang Demokratis, akan tetapi merupakan kewenangan suka-suka untuk menyensor buku.
Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebaga berikut:
             Bahwa permohonan para Pemohon semuanya memohonkan pengujian Pasal 30 ayat (3) huruf c Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, semua memohonkan pengujian Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengawasan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Walaupun untuk Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 Pemohon dalam permohonan Nomor 6/PUU-VIII/2010 memohon pengujian Pasal 1 seluruhnya dan Pasal 6, para Pemohon Permohonan Nomor 13/PUU-VIII/2010 memohon pengujian Pasal 1 sampai dengan Pasal 9, dan para Pemohon Nomor 20/PUU-VIII/2010 memohon pengujian formil Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963.
             Bahwa dalam mempertimbangkan permohonan para Pemohon, Mahkamah akan terlebih dahulu mempertimbangkan pengujian formil atas Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963.
            Pengujian secara formil terhadap Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum merupakan juga pengujian terhadap terbentuknya Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum.
            Bahwa untuk mengetahui urgensi dan argumentasi pembentukan Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1963 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2533) dapat diketahui dari rumusan dalam Konsiderans Penetapan Presiden a quo. Dalam Konsiderans Penetapan Presiden a quo dirumuskan sebagai berikut: 1. bahwa barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum akan membawa pengaruh buruk terhadap usaha-usaha mencapai tujuan revolusi, karena itu perlu diadakan pengamanan terhadapnya; 2. bahwa dianggap perlu Pemerintah dapat mengendalikan pengaruh asing yang disalurkan lewat barang-barang cetakan yang dimasukkan ke Indonesia dari luar negeri, dalam rangka menyelamatkan jalannya Revolusi Indonesia; Menimbang pula: bahwa pengaturan ini adalah dalam rangka pengamanan jalannya revolusi dalam mencapai tujuannya, sehingga dilakukan dengan Penetapan Presiden;
          Bahwa ditinjau dari segi sejarah perundang-undangan Indonesia, Penetapan Presiden adalah salah satu jenis (bentuk) peraturan perundang-undangan yang terbentuknya dilandasi oleh Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2262/HK/59 tentang Bentuk Peraturan-Peraturan Negara, bertanggal 20 Agustus 1959, yang dikirimkan oleh Presiden Soekarno kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam surat Presiden tersebut selain dinyatakan tiga peraturan negara yang secara tegas tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah, juga menetapkan adanya beberapa peraturan negara lainnya, antara lain sebagai berikut:
“Di samping itu Pemerintah memandang perlu mengadakan beberapa Peraturan Negara lainnya, yakni:
1.    Penetapan Presiden, untuk melaksanakan Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959 tentang “Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945”;
2.    Dst...
            Bahwa dalam perkembangannya, oleh karena Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden yang dibentuk selama kurun waktu tersebut secara substansi banyak yang tidak tepat maka Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara kemudian memerintahkan untuk dilakukan peninjauan dengan landasan Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara Di Luar Produk MPRS Yang Tidak Sesuai Dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPRS Nomor XXXIX/MPRS/1968 tentang Pelaksanaan Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966. Berdasarkan kedua Ketetapan MPRS tersebut dibentuklah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2900).        
          Bahwa dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang tersebut dirumuskan sebagai berikut:
“Terhitung sejak disahkannya Undang-Undang ini, menyatakan Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden sebagaimana termaksud dalam Lampiran IIA dan IIB Undang-Undang ini, sebagai Undang-Undang dengan ketentuan, bahwa materi Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi penyusunan Undang-Undang yang baru”.
Penjelasan Pasal 2 a quo menyatakan sebagai berikut:
“Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden sebagaimana tercantum dalam Lampiran IIA dinyatakan sebagai Undang-Undang dengan ketentuan bahwa materi Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden tersebut ditampung dan dituangkan dalam Undang-Undang baru sebagai penyempurnaan, perubahan atau penambahan dari materi yang diatur dalam Undang-Undang terdahulu”.
Selain itu, dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang, dirumuskan sebagai berikut:
“2.  Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden sebagaimana termaksud dalam Lampiran IIA dan IIB juga dinyatakan sebagai Undang-Undang, dengan ketentuan bahwa harus diadakan perbaikan/ penyempurnaan dalam arti, bahwa materi dari pada Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi penyusunan Undang-Undang yang baru”.
          Berdasarkan Pasal 2 dan Lampiran IIA Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang, ditetapkanlah Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum sebagai suatu Undang-Undang. Dengan demikian, sejak saat itu Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum disebut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (yang biasa disebut dengan Undang-Undang Kondisional).
          Bahwa jika pengujian secara formil terhadap Undang-Undang a quo yang dipermasalahkan, memang terlihat adanya suatu ketidaksesuaian dengan proses pembentukan Undang-Undang pada umumnya, oleh karena Undang-Undang a quo berasal dari Penetapan Presiden yang dibentuk oleh Presiden sendiri tanpa melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu, Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum dibentuk sebelum adanya Perubahan UUD 1945 sehingga tata cara pembentukannya tentu berbeda dengan pembentukan Undang-Undang setelah berlakunya Perubahan UUD 1945.
          Bahwa dengan berlakunya Pasal 22A UUD 1945 yang menetapkan: “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang” kemudian dibentuklah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan pelaksanaannya, seperti Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, maupun Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden. Namun demikian, tentunya masalah prosedur dan proses pembentukan dalam berbagai peraturan tersebut tidak dapat diberlakukan atau dijadikan batu uji dalam pengujian formil terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah terbentuk sebelum adanya peraturan perundang-undangan tersebut. Oleh karena itu, sebagai suatu peraturan yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang pada saat itu, dalam hal ini Presiden maka Penetapan Presiden yang kemudian ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum adalah peraturan yang secara formal sah dan mempunyai daya laku (validity) mengikat umum, walaupun secara material isi atau substansi Undang-Undang a quo dapat diajukan pengujiannya.
          Bahwa karakteristik pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil, sehingga menurut Mahkamah terhadap pengujian secara formil perlu diberikan pembatasan waktu dalam hal pengajuannya, agar terdapat kepastian hukum, oleh karena pengujian secara formil dapat menyebabkan suatu Undang-Undang dinyatakan batal sejak dari awal. Terhadap jangka waktu permohonan pengujian  secara formil, Mahkamah dalam Putusannya Nomor 27/PUU-VII/2009 tanggal 16 Juni 2010 telah memberikan  batasan yaitu, 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai tenggat yang memadai.
          Bahwa merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 tanggal 16 Juni 2010, maka pengujian formil yang diajukan oleh para Pemohon perkara Nomor 20/PUU-VIII/2010 telah lewat waktu sehingga dinyatakan tidak dapat diterima;
             Bahwa mengenai pengujiaan materiil Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963, para Pemohon dalam permohonan Nomor 13/PUU-VIII/2010 memohon pengujian Pasal 1 sampai dengan Pasal 9 sedangkan Pemohon permohonan Nomor 6/PUU-VIII/2010 hanya memohon pengujian Pasal 1 dan   Pasal 6, para Pemohon Nomor 20/PUU-VIII/2010 hanya memohon pengujian Pasal 1 ayat (1), sehingga Mahkamah dengan mempertimbangkan permohonan Nomor 13/PUU-VIII/2010 sudah mencakup pula pengujian pasal-pasal Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 yang dimohonkan oleh Pemohon Nomor 6/PUU-VIII/2010 dan para Pemohon Nomor 20/PUU-VIII/2010;
Bahwa dalam suatu negara hukum seperti Indonesia, mutlak  adanya due process of law yaitu penegakan hukum dalam suatu sistem peradilan. Apabila ada suatu perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum maka prosesnya harus melalui putusan pengadilan sehingga pelarangan peredaran suatu barang, misalnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum tidak dapat diserahkan kepada suatu instansi tanpa melalui putusan pengadilan.
Kewenangan Jaksa Agung melarang peredaran barang cetakan in casu buku tanpa melalui proses peradilan merupakan salah satu pendekatan negara kekuasaan, bukan negara hukum seperti Indonesia sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum;
Lebih dari sekadar menyita suatu barang, dahulu Pemerintah dapat membubarkan suatu partai politik tanpa melalui proses peradilan, yang kemudian hal semacam itu ditiadakan dengan perubahan  UUD l945 yang dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa pembubaran partai politik menjadi salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Dalam proses ini Pemerintah menjadi Pemohon ke Mahkamah Konstitusi berdasarkan ketentuan Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kesemua kewenangan Pemerintah tersebut merupakan ciri dari kekuasaan yang terlalu berat kepada eksekutif (executive heavy)  yang melanggar prinsip checks and balances.
Pendekatan kekuasaan juga dahulu dilakukan dalam penjatuhan Presiden. Almarhum Presiden Soekarno, Presiden Soeharto dan Presiden Abdurrahman Wahid dijatuhkan dari jabatannya tanpa melalui proses peradilan. Setelah perubahan UUD 1945, Pasal 7A dan Pasal 7B telah mengatur mekanisme dan prosedur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang harus melalui proses peradilan dalam hal ini melalui Mahkamah Konstitusi dengan hukum acara yang diatur dalam Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Bahwa hal-hal yang berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan menurut ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 bahwa, “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Untuk penegakan hukum dan keadilan, menurut Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, pelakunya adalah kekuasaan kehakiman yaitu sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Bahwa dalam hubungan dengan penyitaan, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan, “Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang”.
Bahwa demikian pula penyitaan barang-barang cetakan yang dilakukan oleh Kejaksaan, Kepolisian, dan alat negara lain yang mempunyai wewenang memelihara ketertiban umum, sebagaimana ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963, tanpa ada izin dari ketua pengadilan negeri setempat, merupakan suatu ketentuan yang bertentangan dengan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menegaskan, “Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin dari ketua pengadilan negeri setempat”, sehingga antara ketentuan Pasal 6 UU Nomor 4/PNPS/1963 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menimbulkan ketidakpastian hukum yang melanggar ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Penyitaan buku-buku sebagai salah satu barang cetakan tanpa melalui proses peradilan, sama dengan pengambilalihan hak milik pribadi secara sewenang-wenang yang amat dilarang oleh Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang menegaskan, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”. Tindakan pengambilalihan barang cetakan tanpa prosedur yang benar menurut hukum, terutama tanpa melalui proses peradilan, merupakan suatu eksekusi tanpa peradilan (extra judicial execution) yang sangat ditentang dalam suatu negara hukum yang menghendaki due process of law. Due process of law, seperti dipertimbangkan di atas, adalah penegakan hukum melalui suatu sistem peradilan.
Bahwa adapun seperti penyitaan buku berjudul “Enam Jalan Menuju Tuhan” karangan Darmawan (Pemohon perkara Nomor 6/PUU-VIII/2010), menurut Mahkamah merupakan kasus konkret yang berdasarkan due process of law, penegak hukum harus menindaklanjutinya melalui instrumen hukum yang sudah tersedia seperti Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama dan/atau KUHP.
Pelarangan pengedaran buku-buku sebagai suatu sumber informasi, penyitaan tanpa proses pengadilan, merupakan suatu tindakan yang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Hal itu juga tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang menjamin, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya;”
Bahwa meskipun menurut ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 kebebasan seseorang dapat dibatasi dengan Undang-Undang, akan tetapi pembatasan tersebut hanya untuk tujuan yang secara tegas disebutkan yakni semata-mata untuk pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban dalam suatu masyarakat demokratis. Pemberian kewenangan untuk melakukan pelarangan atas sesuatu yang merupakan pembatasan hak asasi tanpa melalui due process of law, jelas tidak termasuk dalam pengertian pembatasan kebebasan seperti yang dimaksud Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Bahwa dalam hal suatu keputusan tata usaha negara yang bersifat konkret, individual, dan final, misalnya keputusan Jaksa Agung tentang pelarangan peredaran buku tertentu, yang merugikan seseorang, ada upaya hukum yang dapat ditempuh yakni melakukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara setempat, akan tetapi pengadilan tata usaha negara akan berpegang dan mendasarkan putusannya kepada hukum yang berlaku in casu Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 yang di dalamnya Jaksa Agung memang diberi kewenangan untuk menyatakan melarang peredaran suatu buku atau melakukan penyitaan atas barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum, sehingga lebih tepatlah melakukan pengujian atas norma Undang-Undang yang oleh para Pemohon dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Bahwa yang menjadi pertanyaan, bagaimana kalau suatu barang cetakan isinya melanggar suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya isinya melanggar Undang-Undang tentang larangan pencegahan penodaan agama, atau melanggar Undang-Undang tentang Pornografi atau melanggar pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam kejadian seperti itu, misalnya seperti penyitaan buku berjudul, “Enam Jalan Menuju Tuhan sebagaimana disebutkan di atas, aparatur negara yang berwenang dapat saja melakukan penyitaan setelah mendapat izin dari ketua pengadilan negeri setempat atau menyita terlebih dahulu dalam hal yang mendesak, lalu meminta izin persetujuan penyitaan dari ketua pengadilan negeri setempat dilanjutkan dengan penyidikan, penuntutan dan penyidangan oleh instansi yang berwenang menurut Undang-Undang yang berlaku. Semua penegakan hukum pada akhirnya ditentukan dalan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hanya dalam putusan pengadilan dapat ditentukan apakah suatu barang yang semula telah disita ditetapkan untuk dirusakkan, atau dimusnahkan, atau dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada orang yang dari padanya sebuah barang disita.
Tak hanya bisa melarang, menyita, menahan, memenjarakan bahkan menjatuhkan pidana mati sekalipun diperbolehkan asal melalui proses peradilan, bukan melalui keputusan Jaksa Agung.
Bahwa sebelumnya seperti dikemukakan oleh para Pemohon permohonan Nomor 20/PUU-VIII/2010 kewenangan kejaksaan dalam kaitan pengedaran barang cetakan di Indonesia mengalami penyesuaian-penyesuaian. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963, Jaksa Agung diberi kewenangan melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum. Kemudian dalam Pasal 27 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia  (Lembaran Negara Indonesia Tahun 1991 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3451) menggunakan frasa, “Pengamanan peredaran barang cetakan”, dan dalam Pasal 30 ayat (3)  huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana yang dikutip di atas, menggunakan frasa, “Pengawasan  peredaran barang cetakan.” Dari kenyataan tersebut, tampak bahwa pembentuk Undang-Undang sudah melihat perlunya penyesuaian kewenangan kejaksaan dalam hal peredaran barang cetakan seiring dengan meningkatnya kesadaran hak asasi manusia;
Bahwa oleh karena permohonan para Pemohon tentang Pasal 1 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 dikabulkan dan pasal-pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka Pasal 10 yang menyatakan, “Semua ketentuan yang isinya bertentangan atau telah diatur dalam Penetapan ini dinyatakan tidak berlaku lagi” dan Pasal 11 yang menentukan, “Penetapan Presiden ini mulai berlaku pada hari diundangkannya,” menjadi tidak bermakna sehingga keseluruhan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Penetapan Presiden Tentang Pengamanan Terhadap Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 36 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2900) bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak pengucapan putusan ini       
                Bahwa mengenai pengujian materiil Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pemohon permohonan Nomor 6/PUU-VIII/2010, para Pemohon permohonan Nomor 13/PUU-VIII/2010 dan para Pemohon permohonan Nomor 20/PUU-VIII/2010 semuanya memohon pengujian Pasal 30 ayat (3) huruf c yang menentukan, “(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: a…, b…., c. Pengawasan peredaran barang cetakan”  yang oleh Pemohon permohonan Nomor 6/PUU-VIII/2010, dan para Pemohon permohonan Nomor 13/PUU-VIII/2010 dimohonkan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sedang para Pemohon permohonan Nomor 20/PUU-VIII/2010 memohon agar kata, “Pengawasan” dalam Pasal 30 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 16/2004 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 apabila ditafsirkan sebagai, “Pengamanan” atau “Pelarangan”;
Bahwa sebagai suatu negara kesejahteraan, aparat Pemerintah seperti kejaksaan tentu diperkenankan melakukan pengawasan atas barang cetakan apakah barang cetakan tersebut isinya tidak bertentangan atau melanggar suatu Undang-Undang. Kalau dalam rangka pengawasannya tersebut terdapat barang cetakan yang isinya misalkan bertentangan atau melanggar ketentuan Undang-Undang Pornografi, tentulah kejaksaan akan menyampaikan kepada instansi yang berwenang melakukan penyidikan untuk menyidik pencetak, pemilik, pengedar barang cetakan, seterusnya penyidik dapat melakukan penyitaan, penggeledahan, bahkan mungkin penahanan tersangka, kemudian melakukan penuntutan dan penyidangan di pengadilan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku.
Bahwa pengawasan barang cetakan dalam arti melakukan penyelidikan atas isi barang cetakan jikalau ada yang melanggar ketentuan hukum pidana, tidak hanya kejaksaan tetapi juga Kepolisian dan penegak hukum lainnya sesuai dengan kewenangannya masing-masing dapat melakukannya. Masyarakat juga dapat melakukan pengawasan dengan memberikan laporan kepada yang berwajib apabila suatu barang cetakan isinya melanggar Undang-Undang. Adapun ditindaklanjuti atau tidaknya suatu laporan dari masyarakat tentu tergantung dari penyelidikan yang dilakukan oleh instansi yang berwajib. Artinya kalau setelah diselidiki terbukti pelanggarannya akan dilakukan penyidikan dan proses selanjutnya. Apabila tidak cukup buktinya tentunya tidak disidik.
Bahwa frasa “pengawasan peredaran barang cetakan”, khususnya kata “Pengawasan” menurut Mahkamah memang tidak dimaknai sebagai “Pengamanan” sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 yang telah dicabut, apalagi sebagai “Pelarangan” sebagaimana yang tertera dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Pengawasan dapat merupakan penyelidikan, penyidikan, penyitaan, penggeledahan, penuntutan, dan penyidangan oleh instansi yang berwenang masing-masing sesuai dengan due process of law, yang berujung pada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang kemudian dieksekusi oleh kejaksaan.
Bahwa dengan pertimbangan di atas, Mahkamah menilai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sesuai dengan permohonan para Pemohon sejauh menyangkut Pasal 30 ayat (3) huruf c dinyatakan konstitusional, sehingga  permohonan para Pemohon harus tolak.
Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, maka permohonan para Pemohon Nomor 6/PUU-VIII/2010, Nomor 13/PUU-VIII/2010, dan Nomor  20/PUU-VIII/2010 dikabulkan untuk sebagian.
Adapun bunyi lengkap amar putusan dalam perkara Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 adalah sebagai berikut:
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
·         Permohonan pengujian formil oleh para Pemohon tidak dapat diterima;
·         Permohonan pengujian materiil oleh para Pemohon dikabulkan untuk sebagian;
·         Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1963 Nomor 23 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2533) juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2900) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
·         Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1963 Nomor 23 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2533) juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2900)  tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
·         Pengujian Pasal 30 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401) ditolak;
·         Menolak permohonan para Pemohon pengujian materiil untuk selain dan selebihnya;
·         Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; 
======

Tidak ada komentar: