Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Senin, 18 Mei 2015

Konstitusionalitas Bantuan Hukum oleh LBH/LKBH dalam UU Advokat




Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang juga menjabat direktur LKBH UMM yang dipimpin oleh Tongat, SH., dan Sumali, SH., pada tangga 25 Maret 2004 mengajukan permohonan pengujian UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 31 yang menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat, tetapi bukan advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000 000,00 (lima puluh juta) rupiah”;
                Dalam permohonannya para Pemohon menyatakan bahwa pasal a quo telah merugikan hak konstitusional para Pemohon sebagai dosen dan juga pengacara yang sering memberikan bantuan hukum kepada masyarakat. Pasal dalam Undang-undang Advokat tersebut hanya mengakui profesi Advokat an-sich yang memiliki otoritas di dalam pelayanan hukum baik di dalam dan di luar pengadilan. Padahal faktanya bahwa pada saat sebelum lahirnya UU No. 18 Tahun 2003, Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM sebagai institusi nirlaba (non profit oriented) telah memainkan peran penting di dalam advokasi hukum kepada masyarakat yang tidak mampu, baik dalam bentuk litigasi maupun non litigasi.
                Untuk menjawan persoalan tersebut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:

Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 sebagai ketentuan yang sangat diskriminatif, tidak adil, serta merugikan hak-hak konstitusional Pemohon karena, dengan adanya ketentuan dimaksud, Pemohon tidak dapat lagi memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat, baik dalam bentuk litigasi maupun non-litigasi. Di samping itu, ketentuan Pasal 31 dimaksud juga telah mengakibatkan Pemohon tidak mungkin lagi melaksanakan kegiatan pendidikan hukum klinis guna melatih keterampilan hukum mahasiswa melalui kegiatan praktisi hukum, padahal berdasarkan kurikulum pendidikan tinggi hukum hal itu wajib dilaksanakan oleh penyelenggara pendidikan tinggi hukum. Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 telah pula mengakibatkan Pemohon tidak mungkin melaksanakan salah satu unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi, dalam hal ini unsur pengabdian pada masyarakat, yang dalam hubungannya dengan Pemohon unsur pengabdian pada masyarakat tersebut dilaksanakan sebagai kegiatan pemberian konsultasi, advokasi, dan litigasi terhadap berbagai elemen masyarakat yang membutuhkan keadilan. Hal tersebut dikarenakan Pasal 1 angka 1 dan 2 undang-undang a quo menentukan bahwa “advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini”, sedangkan yang diartikan sebagai jasa hukum adalah “jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien”;
Menimbang bahwa UUD 1945, Pasal 1 ayat (3), secara tegas menyatakan Indonesia adalah negara hukum yang dengan demikian berarti bahwa hak untuk mendapatkan bantuan hukum, sebagai bagian dari hak asasi manusia, harus dianggap sebagai hak konstitusional warga negara, kendatipun undang-undang dasar tidak secara eksplisit mengatur atau menyatakannya, dan oleh karena itu negara wajib menjamin pemenuhannya;
Menimbang bahwa dalam rangka menjamin pemenuhan hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi setiap orang sebagaimana dimaksud, keberadaan dan peran lembaga-lembaga nirlaba semacam LKPH UMM, yang diwakili Pemohon, adalah sangat penting bagi pencari keadilan, teristimewa bagi mereka yang tergolong kurang mampu untuk memanfaatkan jasa penasihat hukum atau advokat profesional. Oleh karena itu, adanya lembaga semacam ini dianggap penting sebagai instrumen bagi perguruan tinggi terutama Fakultas Hukum untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam fungsi pengabdian kepada masyarakat. Di samping itu, pemberian jasa bantuan hukum juga dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan tinggi hukum dengan kategori mata kuliah pendidikan hukum klinis dan ternyata membawa manfaat besar bagi perkembangan pendidikan hukum dan perubahan sosial, sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman negara-negara Amerika Latin, Asia, Eropa Timur, Afrika Selatan, bahkan juga negara yang sudah tergolong negara maju sekalipun seperti Amerika Serikat, seperti dikatakan McClymont & Golub, “...university legal aid clinics are now part of the educational and legal landscape in most regions of the world. They have already made contributions to social justice and public service in the developing world, and there are compelling benefits that recommend their consideration in strategies for legal education and public interest law...” [vide lebih jauh Mary McClymont & Stephen Golub, Many Roads to Justice, 2000, hal. 267-296). Namun, peran demikian menjadi tidak mungkin lagi dijalankan oleh LKPH UMM atau lembaga-lembaga lain sejenis, sebagaimana telah ternyata dari pengalaman dan keterangan Para Kuasa Pemohon di hadapan persidangan tanggal 30 September 2004, dan diperkuat oleh keterangan pihak terkait dari lembaga Biro Bantuan Hukum Universitas Padjadjaran yaitu Eva Laela, S.H. dan Dedi Gozali, S.H. pada persidangan tanggal 30 September 2004, yang menyatakan keduanya telah disidik oleh penyidik dengan sangkaan telah melanggar ketentuan Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003, meskipun penyidikan kemudian dihentikan. Namun penghentian penyidikan tersebut dilakukan bukan karena alasan yang bersangkutan tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003, melainkan peristiwa yang disangkakan tersebut terjadi sebelum berlakunya undang-undang a quo;
Menimbang bahwa dalam praktik, rumusan Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 dimaksud bukan hanya mengakibatkan tidak memungkinkan lagi berperannya lembaga-lembaga sejenis LKPH UMM memberikan bantuan dan pelayanan hukum kepada pihak-pihak yang kurang mampu, melainkan ketentuan dalam pasal dimaksud juga dapat mengancam setiap orang yang hanya bermaksud memberikan penjelasan mengenai suatu persoalan hukum, hal mana dikarenakan pengertian Advokat sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU No.18 Tahun 2003 adalah “orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini”, sehingga seseorang yang memberikan penjelasan tentang suatu persoalan hukum kepada seseorang lainnya dan kemudian sebagai ucapan terima kasih orang yang disebut terdahulu menerima suatu pemberian, yang sesungguhnya tidak dimaksudkan sebagai honorarium oleh pihak yang memberi, dapat dituduh telah melakukan perbuatan “bertindak seolah-olah sebagai advokat” dan karenanya diancam dengan pidana yang sedemikian berat;
Menimbang bahwa Pasal 31 undang-undang a quo mengancam pidana kepada seseorang yang menjalankan profesi advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat tetapi bukan advokat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang a quo. Sedangkan yang dimaksud dengan profesi advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 18 Tahun 2003. Sementara itu pada angka 2-nya dinyatakan bahwa jasa hukum adalah memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien;
Menimbang bahwa menurut Pasal 28F UUD 1945 setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Seseorang yang memerlukan jasa hukum di luar pengadilan pada hakikatnya adalah ingin memperoleh informasi hukum dan dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945. Adalah menjadi hak seseorang untuk memilih sumber informasi yang dipandangnya tepat dan terpercaya;
Menimbang bahwa Pasal 31 jo Pasal 1 angka 1 undang-undang a quo membatasi kebebasan seseorang untuk memilih sumber informasi karena seseorang yang melakukan konsultasi hukum di luar pengadilan oleh undang-undang a quo hanya dibenarkan apabila sumber informasi tersebut adalah seorang advokat. Jika seseorang bukan advokat memberikan informasi hukum, terhadapnya dapat diancam oleh Pasal 31 undang-undang a quo. Pencari informasi akan sangat terbatasi dalam memilih sumber informasi karena yang bukan advokat terhalang untuk memberikan informasi dengan adanya Pasal 31 undang-undang a quo;
Menimbang pula bahwa UU No. 18 Tahun 2003 adalah undang-undang advokat yaitu undang-undang yang mengatur syarat-syarat, hak dan kewajiban menjadi anggota organisasi profesi advokat, yang memuat juga pengawasan terhadap pelaksanaan profesi advokat dalam memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu, tujuan undang-undang advokat, di samping melindungi advokat sebagai organisasi profesi, yang paling utama adalah melindungi masyarakat dari jasa advokat yang tidak memenuhi syarat-syarat yang sah atau dari kemungkinan penyalahgunaan jasa profesi advokat;
Menimbang bahwa sebagai undang-undang yang mengatur profesi, seharusnya UU No. 18 Tahun 2003 tidak boleh dimaksudkan sebagai sarana legalisasi dan legitimasi bahwa yang boleh tampil di depan pengadilan hanya advokat karena hal demikian harus diatur dalam hukum acara, padahal hukum acara yang berlaku saat ini tidak atau belum mewajibkan pihak-pihak yang berperkara untuk tampil dengan menggunakan pengacara (verplichte procureurstelling). Oleh karena tidak atau belum adanya kewajiban demikian menurut hukum acara maka pihak lain di luar advokat tidak boleh dilarang untuk tampil mewakili pihak yang berperkara di depan pengadilan. Hal ini juga sesuai dengan kondisi riil masyarakat saat ini di mana jumlah advokat sangat tidak sebanding, dan tidak merata, dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang memerlukan jasa hukum;
Menimbang bahwa sebagaimana terungkap dalam persidangan Mahkamah tanggal 30 September 2004, sejarah lahirnya perumusan undang-undang a quo, pasal tersebut memang dimaksudkan agar yang boleh tampil beracara di hadapan pengadilan hanya advokat, yang dengan demikian berarti undang-undang a quo telah mengatur materi muatan yang seharusnya menjadi materi muatan undang-undang yang mengatur hukum acara. Bahkan, andaikatapun maksud demikian tidak ada, sebagaimana diterangkan wakil Pemerintah (c.q. Dirjen Hukum dan Perundang-undangan) pada persidangan tanggal 23 Agustus 2004, rumusan Pasal 31 undang-undang a quo dapat melahirkan penafsiran yang lebih luas daripada maksud pembentuk undang-undang (original intent) yang dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi banyak anggota masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan dan bantuan hukum karena Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 dimaksud dapat menjadi hambatan bagi banyak anggota masyarakat yang tak mampu menggunakan jasa advokat, baik karena alasan finansial maupun karena berada di wilayah tertentu yang belum ada advokat yang berpraktik di wilayah itu, sehingga akses masyarakat terhadap keadilan menjadi makin sempit bahkan tertutup. Padahal, akses pada keadilan adalah bagian tak terpisahkan dari ciri lain negara hukum yaitu bahwa hukum harus transparan dan dapat diakses oleh semua orang (accessible to all), sebagaimana diakui dalam perkembangan pemikiran kontemporer tentang negara hukum. Jika seorang warga negara karena alasan finansial tidak memiliki akses demikian maka adalah kewajiban negara, dan sesungguhnya juga kewajiban para advokat untuk memfasilitasinya, bukan justru menutupnya (vide Barry M. Hager, The Rule of Law, 2000, hal. 33);
Menimbang bahwa jika pun benar maksud perumusan Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 tersebut adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat dari kemungkinan penipuan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku-aku sebagai advokat, kepentingan masyarakat tersebut telah cukup terlindungi oleh ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sehingga oleh karenanya ketentuan Pasal 31 undang-undang a quo harus dinyatakan sebagai ketentuan yang berlebihan yang berakibat pada terhalanginya atau setidak-tidaknya makin dipersempitnya akses masyarakat terhadap keadilan, yang pada gilirannya dapat menutup pemenuhan hak untuk diadili secara fair (fair trial), terutama mereka yang secara finansial tidak mampu, sehingga kontradiktif dengan gagasan negara hukum yang secara tegas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945;
Menimbang pula bahwa, sebagai perbandingan, akses terhadap keadilan dalam rangka pemenuhan hak untuk diadili secara fair adalah melekat pada ciri negara hukum (rule of law), dan karenanya dinilai sebagai hak konstitusional, sudah merupakan communis opinio sebagaimana terlihat antara lain dalam putusan Pengadilan Inggris dalam kasus R v Lord Chancellor ex p Witham (1998) yang di antaranya menyatakan, “... the right to a fair trial, which of necessity imports the right of access to the court, is as near to an absolute right as any which I can envisage... It has been described as constitutional right, though the cases do not explain what that means” (vide Helen Fenwick & Gavin Phillipson, Text, Cases & Materials on Public Law & Human Rights, 2nd edition, 2003, hal. 142);
Menimbang bahwa dengan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat, Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28F UUD 1945 dan karenanya permohonan Pemohon a quo harus dikabulkan;
M E N G A D I L I
Menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan;
Menyatakan, Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;  
Menyatakan, Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;  
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
======================

Tidak ada komentar: