Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Malang (UMM) yang juga menjabat direktur LKBH UMM yang dipimpin oleh Tongat,
SH., dan Sumali, SH., pada tangga 25 Maret 2004 mengajukan permohonan pengujian
UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 31 yang menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja
menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai
advokat, tetapi bukan advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp. 50.000 000,00 (lima puluh juta) rupiah”;
Dalam
permohonannya para Pemohon menyatakan bahwa pasal a quo telah merugikan hak
konstitusional para Pemohon sebagai dosen dan juga pengacara yang sering
memberikan bantuan hukum kepada masyarakat. Pasal dalam Undang-undang Advokat tersebut
hanya mengakui profesi Advokat an-sich yang memiliki otoritas di dalam
pelayanan hukum baik di dalam dan di luar pengadilan. Padahal faktanya bahwa
pada saat sebelum lahirnya UU No. 18 Tahun 2003, Laboratorium Konsultasi dan
Pelayanan Hukum UMM sebagai institusi nirlaba (non profit oriented) telah
memainkan peran penting di dalam advokasi hukum kepada masyarakat yang tidak
mampu, baik dalam bentuk litigasi maupun non litigasi.
Untuk menjawan
persoalan tersebut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan
sebagai berikut:
Menimbang
bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 sebagai ketentuan yang
sangat diskriminatif, tidak adil, serta merugikan hak-hak konstitusional
Pemohon karena, dengan adanya ketentuan dimaksud, Pemohon tidak dapat lagi
memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat, baik dalam bentuk litigasi maupun
non-litigasi. Di samping itu, ketentuan Pasal 31 dimaksud juga telah
mengakibatkan Pemohon tidak mungkin lagi melaksanakan kegiatan pendidikan hukum
klinis guna melatih keterampilan hukum mahasiswa melalui kegiatan praktisi
hukum, padahal berdasarkan kurikulum pendidikan tinggi hukum hal itu wajib
dilaksanakan oleh penyelenggara pendidikan tinggi hukum. Pasal 31 UU No. 18
Tahun 2003 telah pula mengakibatkan Pemohon tidak mungkin melaksanakan salah
satu unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi, dalam hal ini unsur pengabdian pada
masyarakat, yang dalam hubungannya dengan Pemohon unsur pengabdian pada
masyarakat tersebut dilaksanakan sebagai kegiatan pemberian konsultasi,
advokasi, dan litigasi terhadap berbagai elemen masyarakat yang membutuhkan
keadilan. Hal tersebut dikarenakan Pasal 1 angka 1 dan 2 undang-undang a quo
menentukan bahwa “advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik
di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan
ketentuan undang-undang ini”, sedangkan yang diartikan sebagai jasa hukum
adalah “jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan
hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien”;
Menimbang
bahwa UUD 1945, Pasal 1 ayat (3), secara tegas menyatakan Indonesia adalah
negara hukum yang dengan demikian berarti bahwa hak untuk mendapatkan bantuan
hukum, sebagai bagian dari hak asasi manusia, harus dianggap sebagai hak
konstitusional warga negara, kendatipun undang-undang dasar tidak secara
eksplisit mengatur atau menyatakannya, dan oleh karena itu negara wajib
menjamin pemenuhannya;
Menimbang
bahwa dalam rangka menjamin pemenuhan hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi
setiap orang sebagaimana dimaksud, keberadaan dan peran lembaga-lembaga nirlaba
semacam LKPH UMM, yang diwakili Pemohon, adalah sangat penting bagi pencari
keadilan, teristimewa bagi mereka yang tergolong kurang mampu untuk
memanfaatkan jasa penasihat hukum atau advokat profesional. Oleh karena itu,
adanya lembaga semacam ini dianggap penting sebagai instrumen bagi perguruan
tinggi terutama Fakultas Hukum untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi
dalam fungsi pengabdian kepada masyarakat. Di samping itu, pemberian jasa
bantuan hukum juga dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan tinggi
hukum dengan kategori mata kuliah pendidikan hukum klinis dan ternyata membawa
manfaat besar bagi perkembangan pendidikan hukum dan perubahan sosial,
sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman negara-negara Amerika Latin, Asia,
Eropa Timur, Afrika Selatan, bahkan juga negara yang sudah tergolong negara
maju sekalipun seperti Amerika Serikat, seperti dikatakan McClymont &
Golub, “...university legal aid clinics are now part of the educational and
legal landscape in most regions of the world. They have already made
contributions to social justice and public service in the developing world, and
there are compelling benefits that recommend their consideration in strategies
for legal education and public interest law...” [vide lebih jauh Mary McClymont
& Stephen Golub, Many Roads to Justice, 2000, hal. 267-296). Namun, peran
demikian menjadi tidak mungkin lagi dijalankan oleh LKPH UMM atau
lembaga-lembaga lain sejenis, sebagaimana telah ternyata dari pengalaman dan
keterangan Para Kuasa Pemohon di hadapan persidangan tanggal 30 September 2004,
dan diperkuat oleh keterangan pihak terkait dari lembaga Biro Bantuan Hukum
Universitas Padjadjaran yaitu Eva Laela, S.H. dan Dedi Gozali, S.H. pada
persidangan tanggal 30 September 2004, yang menyatakan keduanya telah disidik
oleh penyidik dengan sangkaan telah melanggar ketentuan Pasal 31 UU No.18 Tahun
2003, meskipun penyidikan kemudian dihentikan. Namun penghentian penyidikan
tersebut dilakukan bukan karena alasan yang bersangkutan tidak memenuhi
unsur-unsur Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003, melainkan peristiwa yang disangkakan
tersebut terjadi sebelum berlakunya undang-undang a quo;
Menimbang
bahwa dalam praktik, rumusan Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 dimaksud bukan hanya
mengakibatkan tidak memungkinkan lagi berperannya lembaga-lembaga sejenis LKPH
UMM memberikan bantuan dan pelayanan hukum kepada pihak-pihak yang kurang
mampu, melainkan ketentuan dalam pasal dimaksud juga dapat mengancam setiap orang
yang hanya bermaksud memberikan penjelasan mengenai suatu persoalan hukum, hal
mana dikarenakan pengertian Advokat sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka
1 UU No.18 Tahun 2003 adalah “orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di
dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan
dalam undang-undang ini”, sehingga seseorang yang memberikan penjelasan tentang
suatu persoalan hukum kepada seseorang lainnya dan kemudian sebagai ucapan
terima kasih orang yang disebut terdahulu menerima suatu pemberian, yang
sesungguhnya tidak dimaksudkan sebagai honorarium oleh pihak yang memberi,
dapat dituduh telah melakukan perbuatan “bertindak seolah-olah sebagai advokat”
dan karenanya diancam dengan pidana yang sedemikian berat;
Menimbang
bahwa Pasal 31 undang-undang a quo mengancam pidana kepada seseorang yang
menjalankan profesi advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat tetapi
bukan advokat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang a quo. Sedangkan yang
dimaksud dengan profesi advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa
hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 1 angka 1 UU No. 18 Tahun 2003. Sementara itu pada angka 2-nya dinyatakan
bahwa jasa hukum adalah memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan
kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk
kepentingan hukum klien;
Menimbang
bahwa menurut Pasal 28F UUD 1945 setiap orang berhak berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,
serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Seseorang yang memerlukan jasa hukum di luar pengadilan pada hakikatnya adalah
ingin memperoleh informasi hukum dan dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945. Adalah
menjadi hak seseorang untuk memilih sumber informasi yang dipandangnya tepat
dan terpercaya;
Menimbang
bahwa Pasal 31 jo Pasal 1 angka 1 undang-undang a quo membatasi kebebasan
seseorang untuk memilih sumber informasi karena seseorang yang melakukan
konsultasi hukum di luar pengadilan oleh undang-undang a quo hanya dibenarkan
apabila sumber informasi tersebut adalah seorang advokat. Jika seseorang bukan
advokat memberikan informasi hukum, terhadapnya dapat diancam oleh Pasal 31
undang-undang a quo. Pencari informasi akan sangat terbatasi dalam memilih
sumber informasi karena yang bukan advokat terhalang untuk memberikan informasi
dengan adanya Pasal 31 undang-undang a quo;
Menimbang pula
bahwa UU No. 18 Tahun 2003 adalah undang-undang advokat yaitu undang-undang
yang mengatur syarat-syarat, hak dan kewajiban menjadi anggota organisasi
profesi advokat, yang memuat juga pengawasan terhadap pelaksanaan profesi
advokat dalam memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Oleh karena itu, tujuan undang-undang advokat, di samping melindungi advokat
sebagai organisasi profesi, yang paling utama adalah melindungi masyarakat dari
jasa advokat yang tidak memenuhi syarat-syarat yang sah atau dari kemungkinan
penyalahgunaan jasa profesi advokat;
Menimbang
bahwa sebagai undang-undang yang mengatur profesi, seharusnya UU No. 18 Tahun
2003 tidak boleh dimaksudkan sebagai sarana legalisasi dan legitimasi bahwa
yang boleh tampil di depan pengadilan hanya advokat karena hal demikian harus
diatur dalam hukum acara, padahal hukum acara yang berlaku saat ini tidak atau
belum mewajibkan pihak-pihak yang berperkara untuk tampil dengan menggunakan
pengacara (verplichte procureurstelling). Oleh karena tidak atau belum adanya
kewajiban demikian menurut hukum acara maka pihak lain di luar advokat tidak
boleh dilarang untuk tampil mewakili pihak yang berperkara di depan pengadilan.
Hal ini juga sesuai dengan kondisi riil masyarakat saat ini di mana jumlah
advokat sangat tidak sebanding, dan tidak merata, dibandingkan dengan luas
wilayah dan jumlah penduduk yang memerlukan jasa hukum;
Menimbang
bahwa sebagaimana terungkap dalam persidangan Mahkamah tanggal 30 September
2004, sejarah lahirnya perumusan undang-undang a quo, pasal tersebut memang
dimaksudkan agar yang boleh tampil beracara di hadapan pengadilan hanya advokat,
yang dengan demikian berarti undang-undang a quo telah mengatur materi muatan
yang seharusnya menjadi materi muatan undang-undang yang mengatur hukum acara.
Bahkan, andaikatapun maksud demikian tidak ada, sebagaimana diterangkan wakil
Pemerintah (c.q. Dirjen Hukum dan Perundang-undangan) pada persidangan tanggal
23 Agustus 2004, rumusan Pasal 31 undang-undang a quo dapat melahirkan
penafsiran yang lebih luas daripada maksud pembentuk undang-undang (original
intent) yang dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan
ketidakadilan bagi banyak anggota masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan
dan bantuan hukum karena Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 dimaksud dapat menjadi
hambatan bagi banyak anggota masyarakat yang tak mampu menggunakan jasa
advokat, baik karena alasan finansial maupun karena berada di wilayah tertentu
yang belum ada advokat yang berpraktik di wilayah itu, sehingga akses
masyarakat terhadap keadilan menjadi makin sempit bahkan tertutup. Padahal,
akses pada keadilan adalah bagian tak terpisahkan dari ciri lain negara hukum
yaitu bahwa hukum harus transparan dan dapat diakses oleh semua orang
(accessible to all), sebagaimana diakui dalam perkembangan pemikiran
kontemporer tentang negara hukum. Jika seorang warga negara karena alasan
finansial tidak memiliki akses demikian maka adalah kewajiban negara, dan
sesungguhnya juga kewajiban para advokat untuk memfasilitasinya, bukan justru
menutupnya (vide Barry M. Hager, The Rule of Law, 2000, hal. 33);
Menimbang
bahwa jika pun benar maksud perumusan Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 tersebut
adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat dari kemungkinan penipuan yang
dilakukan oleh orang-orang yang mengaku-aku sebagai advokat, kepentingan
masyarakat tersebut telah cukup terlindungi oleh ketentuan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, sehingga oleh karenanya ketentuan Pasal 31 undang-undang a quo
harus dinyatakan sebagai ketentuan yang berlebihan yang berakibat pada terhalanginya
atau setidak-tidaknya makin dipersempitnya akses masyarakat terhadap keadilan,
yang pada gilirannya dapat menutup pemenuhan hak untuk diadili secara fair
(fair trial), terutama mereka yang secara finansial tidak mampu, sehingga
kontradiktif dengan gagasan negara hukum yang secara tegas dirumuskan dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945;
Menimbang pula
bahwa, sebagai perbandingan, akses terhadap keadilan dalam rangka pemenuhan hak
untuk diadili secara fair adalah melekat pada ciri negara hukum (rule of law),
dan karenanya dinilai sebagai hak konstitusional, sudah merupakan communis
opinio sebagaimana terlihat antara lain dalam putusan Pengadilan Inggris dalam
kasus R v Lord Chancellor ex p Witham (1998) yang di antaranya menyatakan, “...
the right to a fair trial, which of necessity imports the right of access to
the court, is as near to an absolute right as any which I can envisage... It
has been described as constitutional right, though the cases do not explain
what that means” (vide Helen Fenwick & Gavin Phillipson, Text, Cases &
Materials on Public Law & Human Rights, 2nd edition, 2003, hal. 142);
Menimbang
bahwa dengan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah
berpendapat, Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3),
Pasal 28F UUD 1945 dan karenanya permohonan Pemohon a quo harus dikabulkan;
M E N G A D I L I
Menyatakan permohonan Pemohon
dikabulkan;
Menyatakan, Pasal 31 Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan, Pasal 31
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan
ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
======================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar