Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Senin, 18 Mei 2015

Konstitusionalitas Organisasi Serikat Pekerja/Buruh Dalam UU Ketenagakerjaan





Pada tanggal 15 Oktober 2003 para pekerja yang tergabung dalam berbagai organisasi pekerja di Jabotabek yaitu Saepul Tavip, dkk., mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam permohonannya para Pemohon menyatakan bahwa para Pemohon yaitu sebanyak 37 orang adalah para pemimpin dan aktivis organisasi serikat buruh/pekerja yang tumbuh dan berkembang secara swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang bergerak dan didirikan atas kepedulian untuk dapat memberikan perlindungan dan penegakan keadilan, hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya bagi buruh/pekerja yang selama ini seringkali dipinggirkan nasibnya;
Bahwa dari alat-alat bukti yang diajukan berupa akta-akta pendirian asosiasi, federasi atau organisasi buruh/pekerja, tidak ternyata bahwa organisasi organisasi tersebut telah memperoleh kedudukan sebagai badan hukum menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sedang di lain pihak tidak ternyata pula bahwa UU Ketenagakerjaan secara khusus memberikan kedudukan atau standing bagi organisasi atau asosiasi-asosiasi serikat buruh untuk dapat mengajukan permohonan di hadapan Mahkamah untuk membela kepentingan hukum dan hak asasi para buruh sebagaimana dikenal dalam Undang-undang Lingkungan Hidup,akan tetapi sebagai perorangan atau kumpulan perorangan yang bertindak untuk diri sendiri maupun untuk para buruh yang tergabung dalam organisasi yang dipimpin para Pemohon, maka para Pemohon memenuhi kualifikasi sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) yaitu sebagai perorangan atau kelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama;
Untuk menjawan persoalan konstitusionlitas pasal a quo Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon mendalilkan UU Ketenagakerjaan adalah Undang-undang Pokok Perburuhan yang mengatur segala sesuatu mengenai perburuhan dan hubungan perburuhan di Indonesia, yang memiliki dampak langsung dan tidak langsung melalui peraturan peraturan turunannya kepada semua buruh pekerja yang ada di Indonesia karena mempunyai kepentingan langsung dari pelaksanaan UU Ketenagakerjaan, yang oleh para Pemohon dipandang merugikan hak-hak konstitusional buruh atau pekerja yang diatur dalam UUD 1945 antara lain hak untuk berserikat, hak mogok dan hak untuk memperoleh perlindungan yang sama di depan hukum;
Bahwa sebagaimana diakui juga oleh para Pemohon bahwa UUD 1945 adalah juga merupakan cita-cita dan arah serta dasar kebijakan yang bersifat normatif, sehingga apabila menilai perlindungan dan peran negara sebagai pelindung dilihat tidak tegas tampak dalam UU Ketenagakerjaan, hal ini disebabkan bahwa UU a quo harus merujuk kepada UUD 1945 yang artinya memperhitungkan pula keseimbangan berbagai kepentingan, khususnya kepentingan buruh dan kepentingan pengusaha dalam mekanisme ekonomi pasar. Kepentingan pengusaha harus juga diakomodasi karena ketiadaan investasi justru akan menyebabkan berkurangnya lapangan kerja dan bertambahnya pengangguran yang pada gilirannya justru akan merugikan pihak buruh sendiri. Dalam kaitan ini Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 33 UUD 1945 tidak dapat dipahami sepenuhnya sebagai penolakan terhadap sistem ekonomi pasar, yang berarti mengharuskan negara melakukan campur tangan tatkala mekanisme ekonomi pasar mengalami distorsi;
Bahwa anggapan para Pemohon bahwa UU Ketenagakerjaan memandang buruh hanya sebagai komoditi, karena kecenderungan sistem outsourcing dalam pola pekerjaan yang juga dianggap sebagai modern slavery, Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon tidak dapat membuktikan dasar dari dalil tersebut, karena dalam keseluruhan ketentuan undang-undang a quo tidak memuat aturan yang menunjuk pada hal yang didalilkan, meskipun benar bahwa pola outsourcing telah diatur secara khusus dalam Pasal 64 – 66 UU a quo;
Bahwa pengaturan outsourcing dalam Pasal 64 - 66 UU Ketenagakerjaan menjelaskan keberadaan dan batasan dari outsourcing tersebut sebagai bagian dari pekerjaan yang terpisah dari kegiatan utama yang merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan yang tidak menghambat proses produksi secara langsung. Pelaksanaan pekerjaan tersebut diserahkan oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lainnya dengan perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Buruh/pekerja dimaksud tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, sehingga hubungan kerja antara buruh/pekerja outsourcing adalah dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
Bahwa perlindungan yang diberikan terhadap buruh outsourcing tampak dalam Pasal 66 ayat (1), (2) a, c dan ayat (4) yang berbunyi :
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi;
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a). Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
c). Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadikan tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/ buruh; dan;
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan;
Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dalam hal buruh dimaksud ternyata dipekerjakan untuk melaksanakan kegiatan pokok, tidak ada hubungan kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, dan jika perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bukan merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Oleh karena itu, dengan memperhatikan keseimbangan yang perlu dalam perlindungan terhadap pengusaha, buruh/pekerja dan masyarakat secara selaras, dalil para Pemohon tidak cukup beralasan. Hubungan kerja antara buruh dengan perusahaan penyedia jasa yang melaksanakan pelaksanaan pekerjaan pada perusahaan lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 64 - 66 undang-undang a quo, mendapat perlindungan kerja dan syarat-syarat yang sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karenanya, terlepas dari jangka waktu tertentu yang mungkin menjadi syarat perjanjian kerja demikian dalam kesempatan yang tersedia, maka perlindungan hak-hak buruh sesuai dengan aturan hukum dalam UU Ketenegakerjaan, tidak terbukti bahwa hal itu menyebabkan sistem outsourcing merupakan modern slavery dalam proses produksi;
Bahwa akan tetapi terlepas dari uraian di atas, berdasarkan keterangan 2 (dua) orang saksi yang diajukan para Pemohon, telah nyata bagi Mahkamah bahwa praktek-praktek yang dilakukan pengusaha dalam hal terjadinya pengalihan usaha dan dalam keadaan lain ketika pengusaha ingin melakukan penghematan dengan segala daya upaya untuk menekan buruh/pekerja mengundurkan diri melalui lock-out perusahaan dengan kewajiban membayar pesangon yang minim, dan kemudian membuka kesempatan kerja atas dasar perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang disebut saksi sebagai pekerja kontrak dengan syarat-syarat yang sangat merugikan pekerja/buruh, tampaknya pengawasan dan penegakan hukum dari yang berwenang tidak mampu melindungi buruh/pekerja dari praktek yang berlawanan dengan UU Ketenagakerjaan a quo. Terlepas dari adanya hak pekerja untuk memperoleh perlindungan secara hukum atas hak-haknya yang telah dijamin oleh UU Ketenagakerjaan, akan tetapi pelanggaran pengusaha terhadap Pasal 55, Pasal 59 ayat (1), Pasal 61 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 62, Pasal 65 ayat (2) secara seimbang tidak diberikan sanksi pidana sebagai bentuk perlindungan hukum yang dapat memaksa pengusaha untuk memberikan hak-hak buruh yang menghilangkan kesempatan memperlakukan buruh/pekerja sebagaimana mestinya. Di pihak lain dalam Pasal 186 ditentukan sanksi bagi buruh yang melanggar Pasal 137 dan 138, diancam dengan pidana minimum 1 (satu) bulan dan maksimum 4 (empat) tahun penjara dan/atau denda minimum Rp. 10.000.000., maksimum Rp. 400.000.000,- sehingga dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 186 UU Ketenagakerjaan a quo bertentangan dengan UUD 1945, oleh karena sanksi-sanksi pidana dalam UU a quo bagi buruh/pekerja dipandang tidak proporsional dan berlebihan;
Bahwa Pasal 119, 120 dan Pasal 121 UU Ketenagakerjaan ada di bawah Bab Ketujuh yang mengatur Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang dalam Pasal 118 secara logis ditentukan bahwa dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) Perjanjian Kerja Bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan, sehingga oleh karenanya juga cukup wajar jika mitra-runding pengusaha dalam penyusunan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dimaksud sedapat-dapatnya mewakili mayoritas buruh/pekerja yang hak dan kepentingannya diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama tersebut. Mahkamah berpendapat aturan yang mensyaratkan satu serikat buruh/pekerja di perusahaan memperoleh hak untuk mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50 % dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan, dan jikalau jumlah 50 % tidak tercapai, untuk dapat berunding serikat buruh/pekerja yang bersangkutan memerlukan dukungan lebih dari 50% dari seluruh jumlah buruh/pekerja, yang akan dicapai oleh serikat buruh/pekerja melalui musyawarah dan mufakat di antara sesama buruh/pekerja, sedang jika serikat buruh/pekerja lebih dari satu dan tidak mencapai jumlah lebih dari 50%, dapat dilakukan koalisi di antara serikat buruh/pekerja di perusahaan tersebut untuk mewakili buruh dalam perundingan dengan pengusaha, dan jika hal inipun tidak dicapai tim perunding ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat buruh/pekerja. Aturan tersebut dipandang cukup wajar dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28E ayat (3). Demikian pula persyaratan kartu anggota sebagai alat bukti bagi tanda keanggotaan seseorang dalam satu serikat pekerja/buruh, adalah merupakan hal yang wajar dalam organisasi untuk dapat secara sah menyatakan klaim mewakili anggota, dan sama sekali tidak cukup mendasar untuk dipandang bertentangan dengan UUD;
Bahwa ketentuan Pasal 106 UU Ketenagakerjaan yang mengharuskan dibentuknya Lembaga Kerja Sama Bipartit dalam perusahaan yang mempekerjakan 50 orang buruh atau lebih, yang berfungsi sebagai forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan yang bersangkutan, tidak perlu ditafsirkan meniadakan hak organisasi buruh/pekerja untuk memperjuangkan hak dan kepentingan buruh/pekerja, karena penunjukan unsur buruh/pekerja yang akan duduk dalam forum tersebut dilakukan secara demokratis, yang dapat ditarik setiap saat jika ternyata bukan kepentingan buruh yang dipertahankan dalam forum konsultasi dimaksud. Oleh karenanya Mahkamah tidak melihat Pasal 106 tersebut bertentangan dengan UUD 1945;
Bahwa Mahkamah dapat menyetujui dalil para Pemohon bahwa Pasal 158 undang-undang a quo bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, karena Pasal 158 memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial, melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku. Di lain pihak, Pasal 160 menentukan secara berbeda bahwa buruh/pekerja yang ditahan oleh pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana tetapi bukan atas pengaduan pengusaha, diperlakukan sesuai dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang sampai bulan keenam masih memperoleh sebagian dari hak-haknya sebagai buruh, dan apabila pengadilan menyatakan buruh/pekerja yang bersangkutan tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan kembali buruh/pekerja tersebut. Hal tersebut dipandang sebagai perlakuan yang diskriminatif atau berbeda di dalam hukum yang bertentangan dengan UUD 1945, dan ketentuan Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga oleh karena itu Pasal 158 harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Bahwa meskipun Pasal 159 menentukan, apabila buruh/pekerja yang telah di-PHK karena melakukan kesalahan berat menurut Pasal 158, tidak menerima pemutusan hubungan kerja, pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan industrial, maka di samping ketentuan tersebut melahirkan beban pembuktian yang tidak adil dan berat bagi buruh/pekerja untuk membuktikan ketidaksalahannya, sebagai pihak yang secara  ekonomis lebih lemah yang seharusnya memperoleh perlindungan hukum yang lebih dibanding pengusaha, Pasal 159 tentang hal tersebut juga menimbulkan kerancuan berpikir dengan mencampuradukkan proses perkara pidana dengan proses perkara perdata secara tidak pada tempatnya;
Bahwa syarat-syarat yang ditetapkan untuk pelaksanaan hak buruh untuk mogok, baik syarat bahwa mogok dilakukan secara sah dan tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 137), ajakan mogok terhadap buruh saat mogok kerja berlangsung dengan tidak melanggar hukum (Pasal 138) maupun syarat-syarat administratif tentang jangka waktu pemberitahuan dan lain-lain (Pasal 140 - 141), yang oleh para Pemohon dipandang bertentangan dengan standard perburuhan internasional (ILO), Mahkamah berpendapat, tidak terdapat ketidaksesuaiannya dengan standard perburuhan internasional. Hal tersebut disebabkan sejumlah pembatasan juga dikenal dalam praktek yang disetujui ILO. Seandainyapun hal itu benar bertentangan dengan standard ILO -quod non- maka standard dan norma-norma yang demikian haruslah dilihat sebagai bagian dari standard dan norma yang berlaku di Indonesia melalui ukuran yang dikenal dalam UUD 1945. Hal itu disebabkan hak asasi tidak dipandang sebagai sesuatu yang berlaku mutlak. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menetapkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis;
Bahwa walaupun demikian jika dikaitkan dengan sanksi atas pelanggaran terhadap Pasal 137 dan 138 sebagaimana termuat di dalam Pasal 186 UU Ketenagakerjaan yang juga telah dipertimbangkan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa sanksi dalam Pasal 186 tersebut tidak proporsional karena mereduksi hak mogok yang merupakan hak dasar buruh yang dijamin oleh UUD 1945 dalam rangka kebebasan menyatakan sikap [Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3)] dan hak untuk mendapat imbalan yang adil dan layak dalam hubungan kerja [Pasal 28D ayat (2)]. Pelaksanaan hak mogok yang melanggar persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) UU Ketenagakerjaan harus diatur secara proporsional;
Bahwa ketentuan Pasal 76 UU Ketenagakerjaan yang memberi syarat-syarat tertentu bagi buruh perempuan yang bekerja malam, menurut Mahkamah justru memberi perlindungan yang perlu bagi buruh perempuan yang dipandang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di Indonesia, yang tidak harus dilihat dari adanya bias gender yang mengkaitkan perempuan sebagai faktor utama pencetus tindakan asusila, melainkan tindakan yang perlu dilakukan menurut nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat, hal tersebut sama sekali tidak relevan dikaitkan dengan sikap dan perlakuan yang bersifat diskriminatif terhadap buruh perempuan;
Bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan dari segi sistematika dan prosedural terdapat kerancuan di antara pasal-pasal UU Ketenagakerjaan, Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian merupakan tafsiran dari para Pemohon, yang oleh Mahkamah tidak dilihat secara prinsipil mengandung inkonsistensi satu dengan yang lain dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Meskipun oleh Pemohon diakui bahwa undang-undang a quo memberi mandat kepada eksekutif untuk melaksanakan undang-undang a quo melalui 5 Undang-undang, 12 Peratutan Pemerintah, 5 Keputusan Presiden dan 30 Keputusan Menteri, yang dapat diartikan tidak lengkapnya undang-undang dimaksud, keadaan tersebut tidak harus disimpulkan sebagai executive heavy, karena setiap peraturan dapat diuji keabsahannya terhadap aturan yang lebih tinggi. Meskipun Ketetapan MPR Nomor III Tahun 2000 secara expresis verbiss tidak menyebut Keputusan Menteri dalam tata urutan perundang-undangan Indonesia, akan tetapi Pasal 4 ayat (2) Tap MPR Nomor III Tahun 2000 tersebut dan praktik ketatanegaraan di Indonesia, dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan untuk menjalankan undang-undang, Keputusan Menteri yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang bersifat umum telah diterima dan diakui keberadaannya. Walaupun Tap MPR Nomor III Tahun 2000 tersebut tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan pada tanggal 22 Juni 2004, Pasal 56 UU a quo, menyatakan, ”semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau Keputusan Pejabat lainnya sebagaimana dimaksud Pasal 54 yang sifatnya mengatur yang sudah ada sebelum undang-undang ini berlaku harus dibaca peraturan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini”;
Bahwa adanya dalil yang menyatakan bahwa UU Ketenagakerjaan yang diundangkan tanggal 25 Maret 2003 berbeda dengan draft UU Ketenagakerjaan yang disahkan oleh Sidang Paripurna DPR R.I tanggal 25 Februari 2003, oleh Mahkamah dipandang tidak dapat dibuktikan secara sah oleh para Pemohon, sehingga harus dikesampingkan;
Bahwa dengan uraian pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon dapat dikabulkan untuk sebagian, yaitu sebagaimana akan disebut dalam amar putusan di bawah ini, dan akan menolak permohonan para Pemohon yang selebihnya, karena dipandang tidak cukup beralasan;
M E N G A D I L I :
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; -----------------------
Menyatakan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:--------
• Pasal 158;------------------------------------------------------------------------------------------------
• Pasal 159;------------------------------------------------------------------------------------------------
• Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat “…. bukan atas pengaduan pengusaha …”;--------------------------------------------------------------------------------------------
• Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “.… kecuali Pasal 158 ayat (1), …”;-
• Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1)…”;----------
• Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “…. Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1)…”;--------------------------------------------------------------------------------------------------------
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; --------------------------------------------------------------------------------------------------------
Menyatakan Pasal 158; Pasal 159; Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat “…. bukan atas pengaduan pengusaha …”; Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “…. kecuali Pasal 158 ayat (1) …”; Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1) …”; dan Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “…. Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) …” Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; ---------------------------------------------------------------------------------------------
Menolak permohonan para Pemohon untuk selebihnya; ------------------------------------

==========

Link Putusan >>>  

Tidak ada komentar: