Pada tanggal 15 Oktober 2003
para pekerja yang tergabung dalam berbagai organisasi pekerja di Jabotabek yaitu
Saepul Tavip, dkk., mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Dalam
permohonannya para Pemohon menyatakan bahwa para Pemohon yaitu sebanyak 37
orang adalah para pemimpin dan aktivis organisasi serikat buruh/pekerja yang
tumbuh dan berkembang secara swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri di
tengah masyarakat yang bergerak dan didirikan atas kepedulian untuk dapat
memberikan perlindungan dan penegakan keadilan, hukum dan hak asasi manusia di
Indonesia, khususnya bagi buruh/pekerja yang selama ini seringkali dipinggirkan
nasibnya;
Bahwa
dari alat-alat bukti yang diajukan berupa akta-akta pendirian asosiasi,
federasi atau organisasi buruh/pekerja, tidak ternyata bahwa organisasi
organisasi tersebut telah memperoleh kedudukan sebagai badan hukum menurut
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sedang di lain pihak tidak ternyata
pula bahwa UU Ketenagakerjaan secara khusus memberikan kedudukan atau standing
bagi organisasi atau asosiasi-asosiasi serikat buruh untuk dapat mengajukan
permohonan di hadapan Mahkamah untuk membela kepentingan hukum dan hak asasi
para buruh sebagaimana dikenal dalam Undang-undang Lingkungan Hidup,akan tetapi
sebagai perorangan atau kumpulan perorangan yang bertindak untuk diri sendiri
maupun untuk para buruh yang tergabung dalam organisasi yang dipimpin para
Pemohon, maka para Pemohon memenuhi kualifikasi sebagaimana dimaksud Pasal 51
ayat (1) yaitu sebagai perorangan atau kelompok orang yang memiliki kepentingan
yang sama;
Untuk
menjawan persoalan konstitusionlitas pasal a quo Mahkamah Konstitusi dalam
pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Bahwa
para Pemohon mendalilkan UU Ketenagakerjaan adalah Undang-undang Pokok
Perburuhan yang mengatur segala sesuatu mengenai perburuhan dan hubungan
perburuhan di Indonesia, yang memiliki dampak langsung dan tidak langsung
melalui peraturan peraturan turunannya kepada semua buruh pekerja yang ada di
Indonesia karena mempunyai kepentingan langsung dari pelaksanaan UU
Ketenagakerjaan, yang oleh para Pemohon dipandang merugikan hak-hak
konstitusional buruh atau pekerja yang diatur dalam UUD 1945 antara lain hak
untuk berserikat, hak mogok dan hak untuk memperoleh perlindungan yang sama di
depan hukum;
Bahwa
sebagaimana diakui juga oleh para Pemohon bahwa UUD 1945 adalah juga merupakan
cita-cita dan arah serta dasar kebijakan yang bersifat normatif, sehingga
apabila menilai perlindungan dan peran negara sebagai pelindung dilihat tidak
tegas tampak dalam UU Ketenagakerjaan, hal ini disebabkan bahwa UU a quo harus
merujuk kepada UUD 1945 yang artinya memperhitungkan pula keseimbangan berbagai
kepentingan, khususnya kepentingan buruh dan kepentingan pengusaha dalam
mekanisme ekonomi pasar. Kepentingan pengusaha harus juga diakomodasi karena
ketiadaan investasi justru akan menyebabkan berkurangnya lapangan kerja dan
bertambahnya pengangguran yang pada gilirannya justru akan merugikan pihak
buruh sendiri. Dalam kaitan ini Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 33 UUD 1945
tidak dapat dipahami sepenuhnya sebagai penolakan terhadap sistem ekonomi
pasar, yang berarti mengharuskan negara melakukan campur tangan tatkala
mekanisme ekonomi pasar mengalami distorsi;
Bahwa
anggapan para Pemohon bahwa UU Ketenagakerjaan memandang buruh hanya sebagai
komoditi, karena kecenderungan sistem outsourcing dalam pola pekerjaan yang
juga dianggap sebagai modern slavery, Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon
tidak dapat membuktikan dasar dari dalil tersebut, karena dalam keseluruhan
ketentuan undang-undang a quo tidak memuat aturan yang menunjuk pada hal yang
didalilkan, meskipun benar bahwa pola outsourcing telah diatur secara khusus
dalam Pasal 64 – 66 UU a quo;
Bahwa
pengaturan outsourcing dalam Pasal 64 - 66 UU Ketenagakerjaan menjelaskan
keberadaan dan batasan dari outsourcing tersebut sebagai bagian dari pekerjaan
yang terpisah dari kegiatan utama yang merupakan kegiatan penunjang perusahaan
secara keseluruhan yang tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Pelaksanaan pekerjaan tersebut diserahkan oleh suatu perusahaan kepada
perusahaan lainnya dengan perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Buruh/pekerja dimaksud tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan
yang berhubungan langsung dengan proses produksi, sehingga hubungan kerja
antara buruh/pekerja outsourcing adalah dengan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
Bahwa
perlindungan yang diberikan terhadap buruh outsourcing tampak dalam Pasal 66
ayat (1), (2) a, c dan ayat (4) yang berbunyi :
(1) Pekerja/buruh dari
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja
untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung
dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi;
(2) Penyedia jasa
pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai
berikut :
a). Adanya hubungan kerja
antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
c). Perlindungan upah dan
kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadikan
tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/ buruh; dan;
(4) Dalam hal ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d
serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan;
Bahwa
berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dalam hal buruh dimaksud ternyata
dipekerjakan untuk melaksanakan kegiatan pokok, tidak ada hubungan kerja dengan
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, dan jika perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh bukan merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum, maka demi hukum
status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan
perusahaan pemberi pekerjaan. Oleh karena itu, dengan memperhatikan
keseimbangan yang perlu dalam perlindungan terhadap pengusaha, buruh/pekerja
dan masyarakat secara selaras, dalil para Pemohon tidak cukup beralasan.
Hubungan kerja antara buruh dengan perusahaan penyedia jasa yang melaksanakan
pelaksanaan pekerjaan pada perusahaan lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 64 -
66 undang-undang a quo, mendapat perlindungan kerja dan syarat-syarat yang sama
dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi
pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh
karenanya, terlepas dari jangka waktu tertentu yang mungkin menjadi syarat
perjanjian kerja demikian dalam kesempatan yang tersedia, maka perlindungan
hak-hak buruh sesuai dengan aturan hukum dalam UU Ketenegakerjaan, tidak
terbukti bahwa hal itu menyebabkan sistem outsourcing merupakan modern slavery
dalam proses produksi;
Bahwa
akan tetapi terlepas dari uraian di atas, berdasarkan keterangan 2 (dua) orang
saksi yang diajukan para Pemohon, telah nyata bagi Mahkamah bahwa
praktek-praktek yang dilakukan pengusaha dalam hal terjadinya pengalihan usaha
dan dalam keadaan lain ketika pengusaha ingin melakukan penghematan dengan
segala daya upaya untuk menekan buruh/pekerja mengundurkan diri melalui
lock-out perusahaan dengan kewajiban membayar pesangon yang minim, dan kemudian
membuka kesempatan kerja atas dasar perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang
disebut saksi sebagai pekerja kontrak dengan syarat-syarat yang sangat
merugikan pekerja/buruh, tampaknya pengawasan dan penegakan hukum dari yang
berwenang tidak mampu melindungi buruh/pekerja dari praktek yang berlawanan
dengan UU Ketenagakerjaan a quo. Terlepas dari adanya hak pekerja untuk
memperoleh perlindungan secara hukum atas hak-haknya yang telah dijamin oleh UU
Ketenagakerjaan, akan tetapi pelanggaran pengusaha terhadap Pasal 55, Pasal 59
ayat (1), Pasal 61 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 62, Pasal 65 ayat (2) secara
seimbang tidak diberikan sanksi pidana sebagai bentuk perlindungan hukum yang
dapat memaksa pengusaha untuk memberikan hak-hak buruh yang menghilangkan
kesempatan memperlakukan buruh/pekerja sebagaimana mestinya. Di pihak lain
dalam Pasal 186 ditentukan sanksi bagi buruh yang melanggar Pasal 137 dan 138,
diancam dengan pidana minimum 1 (satu) bulan dan maksimum 4 (empat) tahun
penjara dan/atau denda minimum Rp. 10.000.000., maksimum Rp. 400.000.000,-
sehingga dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 186 UU
Ketenagakerjaan a quo bertentangan dengan UUD 1945, oleh karena sanksi-sanksi
pidana dalam UU a quo bagi buruh/pekerja dipandang tidak proporsional dan
berlebihan;
Bahwa
Pasal 119, 120 dan Pasal 121 UU Ketenagakerjaan ada di bawah Bab Ketujuh yang
mengatur Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang dalam Pasal 118 secara logis
ditentukan bahwa dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) Perjanjian Kerja
Bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan, sehingga oleh
karenanya juga cukup wajar jika mitra-runding pengusaha dalam penyusunan
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dimaksud sedapat-dapatnya mewakili mayoritas
buruh/pekerja yang hak dan kepentingannya diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama
tersebut. Mahkamah berpendapat aturan yang mensyaratkan satu serikat
buruh/pekerja di perusahaan memperoleh hak untuk mewakili pekerja/buruh dalam
perundingan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama apabila memiliki jumlah anggota
lebih dari 50 % dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan, dan jikalau jumlah 50 % tidak tercapai, untuk dapat berunding
serikat buruh/pekerja yang bersangkutan memerlukan dukungan lebih dari 50% dari
seluruh jumlah buruh/pekerja, yang akan dicapai oleh serikat buruh/pekerja
melalui musyawarah dan mufakat di antara sesama buruh/pekerja, sedang jika
serikat buruh/pekerja lebih dari satu dan tidak mencapai jumlah lebih dari 50%,
dapat dilakukan koalisi di antara serikat buruh/pekerja di perusahaan tersebut
untuk mewakili buruh dalam perundingan dengan pengusaha, dan jika hal inipun
tidak dicapai tim perunding ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah
anggota masing-masing serikat buruh/pekerja. Aturan tersebut dipandang cukup
wajar dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28E ayat (3).
Demikian pula persyaratan kartu anggota sebagai alat bukti bagi tanda
keanggotaan seseorang dalam satu serikat pekerja/buruh, adalah merupakan hal
yang wajar dalam organisasi untuk dapat secara sah menyatakan klaim mewakili
anggota, dan sama sekali tidak cukup mendasar untuk dipandang bertentangan
dengan UUD;
Bahwa
ketentuan Pasal 106 UU Ketenagakerjaan yang mengharuskan dibentuknya Lembaga
Kerja Sama Bipartit dalam perusahaan yang mempekerjakan 50 orang buruh atau
lebih, yang berfungsi sebagai forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal
ketenagakerjaan di perusahaan yang bersangkutan, tidak perlu ditafsirkan
meniadakan hak organisasi buruh/pekerja untuk memperjuangkan hak dan
kepentingan buruh/pekerja, karena penunjukan unsur buruh/pekerja yang akan
duduk dalam forum tersebut dilakukan secara demokratis, yang dapat ditarik
setiap saat jika ternyata bukan kepentingan buruh yang dipertahankan dalam
forum konsultasi dimaksud. Oleh karenanya Mahkamah tidak melihat Pasal 106
tersebut bertentangan dengan UUD 1945;
Bahwa
Mahkamah dapat menyetujui dalil para Pemohon bahwa Pasal 158 undang-undang a
quo bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan
bahwa segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya,
karena Pasal 158 memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan
alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law
melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial, melainkan cukup hanya
dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu
diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku. Di lain pihak, Pasal 160
menentukan secara berbeda bahwa buruh/pekerja yang ditahan oleh pihak yang
berwajib karena diduga melakukan tindak pidana tetapi bukan atas pengaduan
pengusaha, diperlakukan sesuai dengan asas praduga tidak bersalah (presumption
of innocence) yang sampai bulan keenam masih memperoleh sebagian dari hak-haknya
sebagai buruh, dan apabila pengadilan menyatakan buruh/pekerja yang
bersangkutan tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan kembali
buruh/pekerja tersebut. Hal tersebut dipandang sebagai perlakuan yang
diskriminatif atau berbeda di dalam hukum yang bertentangan dengan UUD 1945,
dan ketentuan Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara
hukum, sehingga oleh karena itu Pasal 158 harus dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
Bahwa
meskipun Pasal 159 menentukan, apabila buruh/pekerja yang telah di-PHK karena
melakukan kesalahan berat menurut Pasal 158, tidak menerima pemutusan hubungan
kerja, pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga
penyelesaian perselisihan industrial, maka di samping ketentuan tersebut
melahirkan beban pembuktian yang tidak adil dan berat bagi buruh/pekerja untuk
membuktikan ketidaksalahannya, sebagai pihak yang secara ekonomis lebih lemah yang seharusnya
memperoleh perlindungan hukum yang lebih dibanding pengusaha, Pasal 159 tentang
hal tersebut juga menimbulkan kerancuan berpikir dengan mencampuradukkan proses
perkara pidana dengan proses perkara perdata secara tidak pada tempatnya;
Bahwa
syarat-syarat yang ditetapkan untuk pelaksanaan hak buruh untuk mogok, baik
syarat bahwa mogok dilakukan secara sah dan tertib dan damai sebagai akibat
gagalnya perundingan (Pasal 137), ajakan mogok terhadap buruh saat mogok kerja
berlangsung dengan tidak melanggar hukum (Pasal 138) maupun syarat-syarat
administratif tentang jangka waktu pemberitahuan dan lain-lain (Pasal 140 -
141), yang oleh para Pemohon dipandang bertentangan dengan standard perburuhan
internasional (ILO), Mahkamah berpendapat, tidak terdapat ketidaksesuaiannya
dengan standard perburuhan internasional. Hal tersebut disebabkan sejumlah
pembatasan juga dikenal dalam praktek yang disetujui ILO. Seandainyapun hal itu
benar bertentangan dengan standard ILO -quod non- maka standard dan norma-norma
yang demikian haruslah dilihat sebagai bagian dari standard dan norma yang
berlaku di Indonesia melalui ukuran yang dikenal dalam UUD 1945. Hal itu
disebabkan hak asasi tidak dipandang sebagai sesuatu yang berlaku mutlak. Pasal
28J ayat (2) UUD 1945 menetapkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis;
Bahwa
walaupun demikian jika dikaitkan dengan sanksi atas pelanggaran terhadap Pasal
137 dan 138 sebagaimana termuat di dalam Pasal 186 UU Ketenagakerjaan yang juga
telah dipertimbangkan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa sanksi dalam Pasal
186 tersebut tidak proporsional karena mereduksi hak mogok yang merupakan hak
dasar buruh yang dijamin oleh UUD 1945 dalam rangka kebebasan menyatakan sikap
[Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3)] dan hak untuk mendapat imbalan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja [Pasal 28D ayat (2)]. Pelaksanaan hak mogok yang
melanggar persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 137 dan Pasal 138
ayat (1) UU Ketenagakerjaan harus diatur secara proporsional;
Bahwa
ketentuan Pasal 76 UU Ketenagakerjaan yang memberi syarat-syarat tertentu bagi
buruh perempuan yang bekerja malam, menurut Mahkamah justru memberi
perlindungan yang perlu bagi buruh perempuan yang dipandang sesuai dengan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di Indonesia, yang tidak harus dilihat
dari adanya bias gender yang mengkaitkan perempuan sebagai faktor utama
pencetus tindakan asusila, melainkan tindakan yang perlu dilakukan menurut
nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat, hal tersebut sama sekali tidak
relevan dikaitkan dengan sikap dan perlakuan yang bersifat diskriminatif terhadap
buruh perempuan;
Bahwa
dalil para Pemohon yang menyatakan dari segi sistematika dan prosedural
terdapat kerancuan di antara pasal-pasal UU Ketenagakerjaan, Mahkamah
berpendapat bahwa hal demikian merupakan tafsiran dari para Pemohon, yang oleh
Mahkamah tidak dilihat secara prinsipil mengandung inkonsistensi satu dengan
yang lain dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Meskipun oleh Pemohon diakui
bahwa undang-undang a quo memberi mandat kepada eksekutif untuk melaksanakan
undang-undang a quo melalui 5 Undang-undang, 12 Peratutan Pemerintah, 5
Keputusan Presiden dan 30 Keputusan Menteri, yang dapat diartikan tidak
lengkapnya undang-undang dimaksud, keadaan tersebut tidak harus disimpulkan
sebagai executive heavy, karena setiap peraturan dapat diuji keabsahannya
terhadap aturan yang lebih tinggi. Meskipun Ketetapan MPR Nomor III Tahun 2000
secara expresis verbiss tidak menyebut Keputusan Menteri dalam tata urutan
perundang-undangan Indonesia, akan tetapi Pasal 4 ayat (2) Tap MPR Nomor III
Tahun 2000 tersebut dan praktik ketatanegaraan di Indonesia, dalam rangka
melaksanakan tugas pemerintahan untuk menjalankan undang-undang, Keputusan
Menteri yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang bersifat umum telah diterima
dan diakui keberadaannya. Walaupun Tap MPR Nomor III Tahun 2000 tersebut tidak
berlaku lagi dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perudang-undangan pada tanggal 22 Juni 2004, Pasal 56 UU
a quo, menyatakan, ”semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan
Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau Keputusan Pejabat lainnya sebagaimana
dimaksud Pasal 54 yang sifatnya mengatur yang sudah ada sebelum undang-undang
ini berlaku harus dibaca peraturan sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang ini”;
Bahwa
adanya dalil yang menyatakan bahwa UU Ketenagakerjaan yang diundangkan tanggal
25 Maret 2003 berbeda dengan draft UU Ketenagakerjaan yang disahkan oleh Sidang
Paripurna DPR R.I tanggal 25 Februari 2003, oleh Mahkamah dipandang tidak dapat
dibuktikan secara sah oleh para Pemohon, sehingga harus dikesampingkan;
Bahwa
dengan uraian pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa
permohonan para Pemohon dapat dikabulkan untuk sebagian, yaitu sebagaimana akan
disebut dalam amar putusan di bawah ini, dan akan menolak permohonan para
Pemohon yang selebihnya, karena dipandang tidak cukup beralasan;
M
E N G A D I L I :
Mengabulkan permohonan para
Pemohon untuk sebagian; -----------------------
Menyatakan Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:--------
• Pasal
158;------------------------------------------------------------------------------------------------
• Pasal
159;------------------------------------------------------------------------------------------------
• Pasal 160 ayat (1)
sepanjang mengenai anak kalimat “…. bukan atas pengaduan pengusaha
…”;--------------------------------------------------------------------------------------------
• Pasal 170 sepanjang mengenai
anak kalimat “.… kecuali Pasal 158 ayat (1), …”;-
• Pasal 171 sepanjang
menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1)…”;----------
• Pasal 186 sepanjang
mengenai anak kalimat “…. Pasal 137 dan Pasal 138 ayat
(1)…”;--------------------------------------------------------------------------------------------------------
bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Menyatakan Pasal 158; Pasal
159; Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat “…. bukan atas
pengaduan pengusaha …”; Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “…. kecuali
Pasal 158 ayat (1) …”; Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal
158 ayat (1) …”; dan Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “…. Pasal 137
dan Pasal 138 ayat (1) …” Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
---------------------------------------------------------------------------------------------
Menolak permohonan para
Pemohon untuk selebihnya; ------------------------------------
==========
Link Putusan >>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar