Pada tanggal 23 April 2014 Sdr. Nabil Yusuf yang juga
menjabat Direktur PT. Kame Komunikasi
Indonesia mendatangi Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan permohonan Pengujian
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap UUD 1945.
Dalam permohonannya Nabil Yusuf yang dalam hal ini
diwakili oleh kuasa hukumnya Donny Tri
Istiqomah, S.H., M.H., menyampaikan tentang adanya kerugian konstitusional
yang dialami oleh Pemohon khususnya terkait penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah yang menyatakan : "Mengingat tingkat
penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit
ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan
paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai
jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan
Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan
frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut."
menurut Pemohon penjelasan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan:
Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum;
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan;
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Dalam positanya Pemohon menyatakan bahwa Pemohon adalah badan hukum privat berbentuk perseroan terbatas yang
berdasarkan akta pendiriannya bergerak
di bidang telekomunikasi dan informasi. Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan
Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 potensial akan menimbulkan kerugian
konstitusional bagi Pemohon pada khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya,
karena telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga menghambat penyedia menara telekomunikasi untuk melaksanakan prinsip-prinsip
kepentingan umum dalam rangka menyediakan sarana telekomunikasi demi
terpenuhinya hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana yang dijamin oleh
konstitusi (Pasal 28F UUD 1945).
Akibatnya,
retribusi menara telekomunikasi secara tidak langsung telah merugikan hak-hak rakyat atas
komunikasi sebagaimana yang dijamin Pasal 28F UUD 1945;
Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas pasal a quo,
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Pendapat Mahkamah
[3.16] Menimbang bahwa Pasal 23A
UUD 1945 menentukan bahwa, “Pajak dan pungutan lain
yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan Undang-Undang”. Ketentuan a quo mensyaratkan
pengaturan mengenai pengenaan pajak haruslah berbentuk Undang-Undang, yaitu
jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dengan persetujuan bersama Presiden, sehingga negara dalam mengenakan pungutan
kepada rakyatnya tidak dapat sewenang-wenang, namun harus melibatkan wakil
rakyat. Dengan demikian, undang-undang
perpajakan merupakan kesepakatan antara negara dan rakyat terkait dengan
pengenaan pajak. Selanjutnya Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 juga mengakui adanya
hak milik pribadi yang tidak boleh diambil dengan cara sewenang-wenang oleh
siapapun. Dengan adanya ketentuan Pasal 23A dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945,
pajak dan pungutan yang bersifat memaksa seharusnya tidak hanya dipandang sebagai
kewajiban kenegaraan saja tetapi juga dipandang sebagai pengambilan sebagian
harta milik rakyat oleh negara yang tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang.
Agar
tidak terjadi kesewenang-wenangan, pemungutan pajak harus berdasarkan prinsip
pemungutan pajak (fiscal justice)
yang meliputi kepastian hukum (certainty),
keadilan (equality), kemudahan (convenience), dan efisien (eficiency);
[3.17] Menimbang bahwa pajak dan pungutan lainnya adalah
sumber penerimaan negara yang sangat besar yang digunakan untuk membiayai
pembangunan, serta mewujudkan tujuan negara untuk mensejahterakan
rakyatnya. Untuk mencapai tujuan pajak yang lebih merata dan berkeadilan, maka
semangat otonomi daerah sebagaimana diamanatkan Pasal 18 UUD 1945 telah
melimpahkan kewenangan memungut pajak kepada daerah. Tujuannya agar
masing-masing daerah dapat mengoptimalkan pendapatan asli daerahnya sesuai
karakteristik di setiap daerah. Dalam
hal-hal tertentu, pelaksanaan
otonomi daerah telah mengubah sistem administrasi pemerintahan dan perpajakan yang semula bersifat
sentralisasi menjadi desentralisasi. Oleh karena itu, penerapan kebijakan
otonomi daerah yang diiringi dengan kebijakan desentralisasi perpajakan diharapkan akan dapat
membantu pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di daerah;
Salah satu kewenangan yang telah
dilimpahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi perpajakan di antaranya berkaitan dengan
kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah
merupakan langkah strategis dalam upaya memberikan kewenangan yang lebih luas
dan bertanggung jawab kepada daerah di bidang perpajakan daerah (local taxing empowerment), tujuannya
untuk mewujudkan kemandirian daerah di segala segi kehidupan;
Salah
satu sumber pendapatan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah adalah
dari retribusi. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas
jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan
oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (vide Pasal 1
angka 64 UU 28/2009). Dengan ditetapkannya UU 28/2009 terdapat perluasan objek
pajak daerah dan retribusi daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan asli
daerah yang tujuannya untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sekaligus meningkatkan
kemandirian daerah. Perluasan objek retribusi daerah dilakukan dengan menambah
jenis retribusi baru bagi kabupaten/kota, salah satunya adalah retribusi
pengendalian menara telekomunikasi;
[3.18] Menimbang bahwa komunikasi adalah kebutuhan yang
sangat penting bagi manusia sebagai bentuk interaksi terhadap sesama dalam
menjalankan kehidupan. Terhadap kebutuhan komunikasi ini, Pasal 28F UUD 1945
telah menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta untuk mencari,
memperoleh, memilliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang ada. Dengan demikian, menurut Mahkamah,
hak untuk berkomunikasi adalah hak konstitusional yang dimiliki setiap orang.
Teknologi komunikasi yang berkembang saat ini memberikan kemudahan kepada
masyarakat untuk saling terhubung satu sama lain, dan saling berkomunikasi
meskipun dari jarak yang berjauhan. Telekomunikasi menjadi kebutuhan yang
sangat penting bagi masyarakat, bahkan mempengaruhi segi kehidupan sosial,
ekonomi, politik, budaya, bahkan juga hukum;
Menara telekomunikasi merupakan
infrastruktur pendukung yang utama dalam penyelenggaraan telekomunikasi, yang
keberadaannya memerlukan ketersediaan lahan, bangunan, dan ruang udara. Menurut
Mahkamah, keberadaan menara telekomunikasi di sisi lain juga dapat memberikan
dampak negatif bagi lingkungan sekitar menara telekomunikasi. Dampak negatif
yang potensial terjadi akibat tidak terkendalinya pembangunan menara
telekomunikasi adalah menara telekomunikasi secara signifikan dapat menimbulkan
gangguan keamanaan lingkungan, mengancam kesehatan masyarakat akibat paparan
radiasi gelombang, dan merusak estetika lingkungan di sekitar menara. Mahkamah
berpendapat bahwa untuk meminimalisasi dampak negatif dari tidak terkendalinya
pembangunan menara telekomunikasi, langkah pemerintah untuk mengeluarkan
kebijakan pengendalian menara telekomunikasi adalah tepat. Salah satu caranya
adalah dengan memperluas objek retribusi daerah hingga mencakup pengawasan dan
pengendaliannya;
Retribusi sebagaimana juga
pajak dan pungutan lainnya dapat memiliki fungsi budgeter dan fungsi reguleren.
Retribusi berfungsi budgeter akan
memberikan pemasukan bagi kas daerah untuk membiayai pemerintahan dan
pembangunan daerah. Di sisi lain, retribusi berfungsi reguleren dapat menjadi alat pengatur masyarakat, salah satunya
untuk meminimalisasi dampak negatif yang muncul, yang dalam skala lebih luas
dapat menimbulkan eksternalitas negatif bagi sekitarnya, dalam hal ini
retribusi sebagaimana pajak dan pungutan lainnya dapat dijadikan sebagai instrumen
untuk mencapai tujuan tertentu, seperti mengurangi dampak buruk dari rokok dengan
meningkatkan cukai rokok, mengurangi tingkat polusi kendaraan dengan pajak
kendaraan bermotor, melindungi petani dalam negeri dengan pajak impor atau bea
masuk. Retribusi pengendalian menara telekomunikasi memiliki fungsi reguleren untuk mengendalikan jumlah
menara telekomunikasi yang semakin banyak, dan meminimalisasi dampak negatif
baik bagi kesehatan masyarakat sekitar, keamanan lingkungan, dan tata ruang
perkotaan;
[3.19] Menimbang bahwa retribusi adalah pungutan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah karena adanya fasilitas atau pelayanan yang
nyata diberikan oleh pemerintah daerah. Dalam hal retribusi pengendalian menara
telekomunikasi, objek retribusinya adalah pemanfaatan ruang untuk menara
telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan
umum (vide Pasal 124 UU 28/2009), sehingga Wajib Retribusi yang membayar
retribusi akan mendapatkan layanan atas pemanfaatan ruang untuk menara
telekomunikasi. Untuk itu, dilakukan pengendalian dan pengawasan agar tetap
sesuai dengan tata ruang, tidak mengganggu keamanan lingkungan, dan tidak memberikan
dampak buruk bagi kepentingan umum yang lebih luas. Dengan kalimat lain, ada
layanan yang diberikan oleh pemerintah daerah yang dinikmati oleh Wajib
Retribusi;
Menurut Mahkamah, sebagaimana
hakikat retribusi, maka retribusi haruslah dapat diperhitungkan, memiliki
ukuran yang jelas atas tarif yang akan dikenakan. Jika perhitungan retribusi
tidak jelas maka beban retribusi bisa jadi akan dialihkan kepada konsumen. Hal
demikian menurut Mahkamah akan menimbulkan ketidakpastian hukum, apalagi jika
dikaitkan dengan tujuan retribusi untuk mengendalikan pembangunan menara
telekomunikasi. Dengan pengalihan beban retribusi maka pengenaan retribusi
pengendalian menara telekomunikasi tidak akan membuat pembangunan menara
telekomunikasi terkendali;
Terhadap keberatan Pemohon atas
penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi maksimal 2% dari
NJOP, Mahkamah memahami bahwa di satu sisi penetapan tarif maksimal bertujuan
agar tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi tidak berlebihan dan
memberatkan penyedia menara dan penyelenggara telekomunikasi, namun di sisi
lain, jika penerapannya di setiap daerah adalah sama, tanpa memperhatikan frekuensi pengawasan dan pengendalian, maka akan
menimbulkan ketidakadilan. Ketentuan batas maksimal 2% dari NJOP yang
menyebabkan pemerintah daerah mematok harga tertinggi yaitu 2% dari NJOP tanpa
perhitungan yang jelas merupakan ketentuan yang tidak memenuhi rasa keadilan.
Karena akibat patokan harga maksimal yang menyebabkan hampir di setiap daerah
menggunakan batas maksimal untuk memberlakukan pengenaan tarif yaitu 2% bagi
setiap daerah dengan karakteristik yang sesungguhnya berbeda adalah hal yang
tidak adil. Karena memperlakukan dengan sama terhadap hal yang berbeda adalah
diskriminatif, sebagaimana juga memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang
sama;
Batas maksimal 2% bukan hanya ditujukan agar besaran retribusi tidak
terlalu tinggi, namun memang diakui karena adanya kesulitan penghitungan. Dalam
pengenaan pajak, hal yang tidak bisa dihitung, dan penerapannya akan sulit
seharusnya tidak menjadi sebuah objek pungutan, karena akan menimbulkan
ketidakpastian hukum. Sebagai
konsekuensi dari kebijakan yang telah diambil, Pemerintah seharusnya dapat
menemukan formula yang tepat untuk menetapkan tarif retribusi. Formula demikian
dapat diatur dalam peraturan yang lebih teknis. Adanya kesulitan dalam
menghitung besaran retribusi yang mengakibatkan ketidakjelasan dalam penentuan
tarif menjadikan penetapan tarif maksimal hanya bertujuan untuk mengambil jalan
pintas, menurut Mahkamah adalah tindakan yang tidak adil;
Meskipun menurut
Mahkamah penetapan besaran tarif retribusi baik dalam bentuk presentase ataupun
jumlah rupiah merupakan kebijakan yang terbuka bagi pemerintah untuk
menentukannya (open public policy),
namun kepastian hukum yang adil tetap harus diperhatikan. Karena pengenaan
pungutan baik retribusi, pajak atau pungutan lainnya harus memperhatikan
prinsip pemungutan pajak (fiscal justice)
yang meliputi kepastian hukum, keadilan, kemudahan, dan efisiensi. Pengenaan
tarif retribusi yang memberikan batas maksimal 2% dari NJOP tanpa disertai
dengan sistem penghitungan yang jelas justru tidak memberikan kepastian hukum
yang akan menyebabkan ketidakadilan dalam penerapannya. Kepastian hukum dalam
mengenakan pungutan yang bersifat memaksa seharusnya meliputi kepastian subjek,
objek, besarnya tarif, dan waktu pembayarannya. Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009
menegaskan bahwa tingkat
penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit
ditentukan penghitungannya, karena itulah ditentukan presentase 2% sebagai batas
maksimal penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi. Menurut
Mahkamah, penjelasan demikian menggambarkan tidak terpenuhinya prinsip
pemungutan pajak baik prinsip kepastian hukum, keadilan, kemudahan, dan
efisiensi, padahal Pemerintah dalam memperluas objek baik pajak maupun
retribusi seharusnya mempertimbangkan prinsip-prinsip pemungutan pajak,
sehingga dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan ketidakjelasan dalam
penghitungan dan kesulitan penentuan tarif.
Dengan
demikian menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 telah menimbulkan
ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
[3.20] Menimbang bahwa, dari sisi pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, penjelasan pasal seharusnya tidak
memuat norma, karena penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan
Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu,
penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan
kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan
sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh
mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 justru mengatur norma
yang menentukan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi yaitu
“paling tinggi 2% dari NJOP”. Selain itu, norma yang terkandung dalam
Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 justru membuat ketidakjelasan norma yang terkandung dalam Pasal 124 UU 28/2009,
sebagian besar pemerintah daerah justru mematok tarif 2% dari NJOP, tanpa
menghitung dengan jelas berapa sesungguhnya tarif retribusi yang layak
dikenakan dengan
memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat,
aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut [vide Pasal 152
UU 28/2009]. Dengan demikian menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009
tidak bersesuaian dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
[3.21] Menimbang bahwa
oleh karena penetapan tarif maksimal retribusi pengendalian menara
telekomunikasi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak bersesuaian dengan
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, maka Pemerintah harus
segera membuat formulasi/rumus penghitungan yang jelas terhadap tarif retribusi
pengendalian menara telekomunikasi yang sesuai dengan layanan atas pemanfaatan
ruang untuk menara telekomunikasi yang telah diterima oleh wajib retribusi,
juga dengan
memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat,
aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut, sehingga tujuan
pengendalian menara telekomunikasi untuk meminimalisasi eksternalitas negatif
dapat tercapai. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 151 ayat (3) dan ayat (4)
UU 28/2009, apabila
tingkat penggunaan jasa sulit diukur maka tingkat penggunaan jasa dapat
ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat oleh Pemerintah Daerah, dan rumus dimaksud harus mencerminkan
beban yang dipikul oleh Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan jasa tersebut;
[3.22] Menimbang bahwa berdasarkan
seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009
telah bertentangan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,
serta menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian permohonan Pemohon
beralasan menurut hukum.
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
1.1.
Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5049) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2.
Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5049) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2.
Memerintahkan pemuatan putusan
ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
==========================
Link Putusan >>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar