Pada tanggal 6 Juli 2010 Prof.
Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH., mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi yang kemudian diregistrasi oleh Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi dengan registrasi Perkara Nomor 49/PUU-VIII/2010
Dalam permohonannya Prof. Yusril
Ihza Mahendra mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang
hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 22 ayat (1)
huruf d UU Kejaksaan yang mennyatakan, ”Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat
dari jabatannya karena:... d. berakhir masa jabatannya”;
Menurut Pemohon, Pemohon yang merupakan
warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak konstitusional yang dijamin
konstitusi untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil dalam naungan negara hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat
(3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pada saat mengajukan permohonan a
quo, Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi
oleh Jaksa Agung Republik Indonesia, dan kemudian dipanggil menghadap untuk
diperiksa berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan atas nama
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor Print-79/F.2/Fd.1/06/2010 tanggal
24 Juni 2010, melanggar Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 12 huruf i Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2009 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;
Berdasarkan Surat Perintah
Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor
Print-79/F.2/Fd.1/06/2010 tanggal 24 Juni 2010, Pemohon telah dipanggil sebagai
Tersangka sesuai dengan Surat Panggilan Nomor SPT-1170/F.2/Fd.1/06/2010 dan berdasarkan
Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-212/D/Dsp.3/06/2010
tanggal 25 Juni 2010, Pemohon telah dicegah untuk meninggalkan wilayah Negara
Republik Indonesia selama 1 (satu) tahun;
Bahwa penetapan Pemohon sebagai
Tersangka oleh Jaksa Agung dan perintah penyidikannya didasarkan atas Surat
Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan atas nama Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Khusus yang diangkat oleh Presiden atas usul seorang Jaksa Agung yang
memiliki ketidakjelasan legalitas dalam penerapan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU
16/2004 yang multi-tafsir.
Demikian pula halnya Keputusan
untuk mencegah Pemohon bepergian meninggalkan wilayah Negara Republik
Indonesia, yang menurut ketentuan Pasal 35 huruf f UU 16/2004 adalah kewenangan
yang dimiliki oleh Jaksa Agung. Sementara Jaksa Agung yang mengambil keputusan
itu adalah seorang Jaksa Agung yang tidak memiliki kejelasan legalitas, akibat
penerapan yang multi tafsir terhadap atas ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d
UU 16/2004;
Bahwa berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 187 Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu,
Jaksa Agung dimasukkan menjadi anggota kabinet dengan kedudukan setingkat
Menteri Negara. Keputusan Presiden ini diterbitkan pada tanggal 20 Oktober
2004. Tugas Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), sesuai dengan masa jabatan
Presiden adalah 5 (lima) tahun, sehingga dengan sendirinya tugas KIB berakhir
pada tanggal 20 Oktober 2009;
Bahwa kemudian Jaksa Agung
Hendarman Supandji, S.H.CN, telah diangkat menjadi Jaksa Agung “Kabinet
Indonesia Bersatu” berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007
bertanggal 7 Mei 2007 dengan kedudukan “setingkat Menteri Negara” menggantikan
Abdul Rachman Saleh yang diberhentikan dengan hormat dari jabatannya;
Bahwa Keputusan Presiden Nomor
31/P Tahun 2007, sebagaimana tercantum dalam konsiderans menimbang huruf a,
terkait dengan Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan
Kabinet Indonesia Bersatu, yang dibentuk pada tanggal 20 Oktober 2004. Dalam
konsiderans huruf a Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 disebutkan bahwa
H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla adalah Presiden
terpilih untuk masa jabatan 2004-2009. Dalam konsiderans huruf b dikatakan
bahwa untuk melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan negara dipandang perlu
untuk “membentuk dan mengangkat Menteri Negara Kabinet Indonesia Bersatu”.
Dengan demikian tugas Kabinet Indonesia Bersatu sesuai dengan jabatan Presiden
selama 5 tahun, dengan sendirinya berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009
sehingga kedudukan Hendarman Supandji, S.H.CN, sebagai Jaksa Agung Rapublik
Indonesia, yang menggantikan Abdul Rachman Saleh, berakhir pula dengan
berakhirnya masa Jabatan Presiden Republik Indonesia dan berakhirnya masa bakti
Kabinet Indonesia Bersatu yang membantunya, yakni pada tanggal 20 Oktober 2009;
Bahwa pada tanggal 20 Oktober
2009, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono telah dilantik oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Pada hari yang sama, Presiden telah membentuk Kabinet Indonesia Bersatu II
untuk masa bakti 2009-2014, namun dalam pemerintahan yang dipimpin oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, sampai
diajukannya permohonan a quo, Hendarman Supandji, S.H, CN tidak pernah diangkat
kembali sebagai Jaksa Agung melalui Keputusan Presiden, baik menjadi anggota
kabinet dengan status setingkat Menteri Negara, maupun sebagai Jaksa Agung
sebagai Pejabat Negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) UU
16/2004. Dengan demikian, kedudukan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung
tidaklah memiliki landasan hukum, meskipun secara de facto menjalankan segala
tugas dan kewenangan seorang Jaksa Agung yang sah;
Bahwa adanya jabatan Jaksa Agung
yang tidak memiliki landasan hukum –dan dengan demikian tidak sah menurut
hukum– yang telah menerbitkan keputusan-keputusan, penetapan, perintah jabatan
dan kebijakan yang membawa akibat hukum yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung yang
telah berakhir masa jabatannya akibat kekeliruan menafsirkan dan menerapkan
Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 yang multi-tafsir, telah memberikan
ketidakpastian hukum dan mencederai jaminan perlindungan atas hukum yang adil
terhadap diri Pemohon;
Bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf d
UU 16/2004 tersebut telah merugikan Pemohon secara aktual, karena Pemohon telah
ditetapkan sebagai tersangka oleh Jaksa Agung Republik Indonesia; Pemohon telah
kehilangan kebebasannya karena telah dicegah untuk meninggalkan wilayah Negara
Republik Indonesia oleh Jaksa Agung Republik Indonesia; dan Pemohon telah
kehilangan hak untuk bekerja, melakukan berbagai kegiatan dan berkomunikasi
secara layak dan manusiawi, karena Pemohon telah berstatus sebagai tersangka
tindak pidana korupsi yang sedikit-banyaknya menimbulkan kesan yang kurang baik
di mata masyarakat awam yang kurang memahami asas praduga tak bersalah;
Untuk
menjawab persoalan konstitusionalitas yang dialami oleh Prof. Yusril Ihza
Mahendra, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan pendapat sebagai
berikut:
Pendapat Mahkamah
[3.17] Menimbang bahwa setelah
memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, bukti surat/tulisan dari Pemohon,
keterangan saksi dan ahli dari Pemohon, keterangan Pemerintah dan DPR,
keterangan ahli dari Pemerintah, dan kesimpulan dari Pemohon sebagaimana telah
diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Dalam Provisi:
[3.18] Menimbang bahwa dalam
permohonan provisinya tentang penafsiran oleh Mahkamah atas Pasal 22 ayat (1)
huruf d UU 16/2004, Pemohon mendalilkan bahwa tindakan-tindakan atau kebijakan
Jaksa Agung Hendarman Supanji harus dinyatakan tidak sah atau ilegal karena
jabatan yang disandangnya cacat hukum atau tidak sah (vide Dalil Pemohon Bagian
D angka 29, angka 30, dan angka 31). Berdasarkan dalilnya tersebut Pemohon
kemudian memohon putusan provisi kepada Mahkamah untuk menghentikan atau
sekurang-kurangnya menunda penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor
Print/F.2/Fd.1/06/2010 bertanggal 24 Juni 2010; Pemohon juga memohon putusan
provisi agar Mahkamah memerintahkan kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia
untuk mencabut atau sekurang-kurangnya menunda Surat Keputusan Jaksa Agung
Republik Indonesia Nomor KEP-212/D/Dsp.3/06/2010 tentang Pencegahan Dalam
Perkara Pidana bertanggal 25 Juni 2010. Atas dalil Pemohon tersebut, Mahkamah
telah mengambil sikap pada sidang tanggal 6 Agustus 2010 dengan menyatakan akan
menyatukannya dalam satu putusan dengan putusan tentang pokok perkara. Oleh
sebab itu, melalui putusan ini, Mahkamah kembali menyatakan sikapnya tentang
permohonan provisi tersebut. Menurut Mahkamah, permohonan putusan provisi
tentang ketidakabsahan tindakan dan kebijakan Jaksa Agung Hendarman Supanji
yang harus disertai dengan penghentian penyidikan dan pencegahan dalam tindak
pidana terhadap Pemohon tersebut tidak tepat menurut hukum karena tidak terkait
langsung dengan pokok permohonan a quo dengan beberapa alasan:
• Pertama, dalam Pengujian
Undang-Undang (judicial review), putusan Mahkamah hanya menguji norma abstrak,
tidak mengadili kasus konkret seperti penyidikan atau pencegahan dalam kasus
pidana terhadap Pemohon; oleh karena permohonan Pemohon sudah masuk ke kasus
konkret maka Mahkamah tidak dapat mengabulkannya.
• Kedua, sejalan dengan alasan
yang pertama maka Mahkamah harus menolak permohonan putusan provisi tentang
penyidikan dan pencegahan yang dilakukan oleh institusi Kejaksaan karena
putusan Mahkamah tentang norma dalam kasus Pengujian Undang-Undang (judicial review)
bersifat erga omnes. Artinya, berlaku umum dan mengikat untuk semua kasus di
seluruh Indonesia. Oleh sebab itu, Mahkamah tidak dapat memutus kasus konkret
yang tertuju hanya terhadap satu kasus seperti dalam permohonan a quo karena
kalau itu dilakukan berarti bertentangan dengan sifat erga omnes tersebut.
• Ketiga, fungsi Kejaksaan
sebagai institusi tidak selalu bergantung pada fungsi Jaksa Agung sebagai
pejabat, sehingga seumpama pun jabatan Jaksa Agung tidak sah, quod non, maka
tidak dengan sendirinya penyidikan dan pencegahan oleh institusi Kejaksaan
menjadi tidak sah sebab tugas penyidikan adalah tugas fungsional Kejaksaan yang
bersifat permanen [vide keterangan Ahli Prof. Dr. (Iur.) Adnan Buyung Nasution,
S.H.]. Lebih dari itu, seumpama pun di luar masalah keabsahan jabatan Jaksa
Agung, dalam kasus-kasus tertentu, ada indikasi ketidakabsahan atau ilegalitas
dalam penyidikan maka forum hukumnya berada di luar kompetensi Mahkamah;
• Keempat, putusan Mahkamah
bersifat prospektif sesuai dengan ketentuan Pasal 58 UU MK serta Pasal 38 dan
Pasal 39 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, sehingga apa pun amar putusan
Mahkamah dalam perkara a quo tidak berlaku surut terhadap perkara konkret yang
sudah atau sedang berlangsung.
Berdasarkan alasan-alasan
tersebut, Mahkamah menegaskan kembali, tetap menolak permohonan provisi yang
dimohonkan Pemohon;
Dalam Pokok Permohonan:
[3.19] Menimbang bahwa terhadap
pokok pemohonan yang diajukan oleh Pemohon, yang pada dasarnya menguji
konstitusionalitas Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 yang menyatakan ”Jaksa
Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:... d. berakhir masa
jabatannya”, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
[3.20] Menimbang bahwa Mahkamah
berpendapat, pemahaman yang berkaitan dengan makna frasa “diberhentikan dengan
hormat dari jabatannya” dan frasa “berakhir masa jabatannya” dalam hubungannya
dengan fungsi, tugas, dan wewenang dari suatu jabatan adalah sebagai berikut:
• Frasa “diberhentikan dengan
hormat dari jabatannya” dapat dimaknai dengan pemberhentian seorang pejabat
dari segala fungsi dan wewenang yang telah diamanatkan atau dibebankan
kepadanya, karena dia telah melaksanakan fungsi dan wewenang tersebut, dan
dianggap bahwa segala sesuatu yang diamanatkan telah dilaksanakan dengan baik
dan paripurna. Dalam hal ini fokusnya adalah pada jenis jabatan tersebut, yaitu
pada fungsi dan wewenang yang diemban oleh pejabat yang bersangkutan, namun
demikian jenis jabatan tersebut tetap ada dan perlu ditindaklanjuti, sehingga
jenis jabatan tersebut harus dilanjutkan oleh seseorang yang akan dipilih atau
diangkat untuk menggantikannya. Frasa “diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya” dalam penerapannya dapat dilakukan kapan saja tergantung pada kapan
fungsi dan wewenang tersebut selesai menurut seseorang yang berwenang
mengangkat dan memberhentikannya. Dalam kaitannya dengan sifat wewenang
pemerintahan terdapat tiga ciri, yaitu: a) selalu terikat pada suatu masa
tertentu; b) selalu tunduk pada batas yang ditentukan; dan c) pelaksanaan
wewenang terikat pada hukum tertulis dan hukum tidak tertulis;
• Sifat wewenang pertama, yaitu,
“selalu terikat pada suatu masa tertentu” mempunyai makna bahwa lamanya
wewenang tersebut ditentukan dalam peraturan yang menjadi dasar pemberiannya,
yang biasa disebut dengan lingkup waktu (tijdsgebied). Sifat wewenang kedua
yaitu, “selalu tunduk pada batas yang ditentukan” yang berarti terdapat batas
yang ditentukan, baik yang mencakup batas wilayah kewenangan (plaatsgebeid)
maupun batas cakupan materi kewenangan (ruimtegebeid). Sifat yang ketiga,
yaitu, “pelaksanaan wewenang terikat pada hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis” yang berarti pelaksanaan wewenang tersebut terikat pada hukum
tertulis (peraturan-peraturan negara/asas legalitas) maupun pada hukum tidak
tertulis (asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik);
• Frasa “berakhir masa
jabatannya” selalu dikaitkan dengan saat atau waktu tertentu yang biasanya
telah ditentukan sebelumnya dalam suatu peraturan yang dibentuk untuk
pelaksanaan dari jabatan tersebut, sehingga masa jabatan dari pemegang jabatan
seharusnya diatur secara tegas untuk menghindarkan adanya pelampauan
kewenangan;
[3.21] Menimbang bahwa terhadap
substansi Pasal 22 ayat (1) UU 16/2004 yang menyatakan ”Jaksa Agung
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: a. meninggal dunia; b.
permintaan sendiri; c. sakit jasmani atau rohani terus menerus; d. berakhir
masa jabatannya; e. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21,” dapat dibedakan dalam dua kondisi/syarat kapan pemberhentian
dengan hormat Jaksa Agung dari jabatannya. Pertama, adalah kondisi/syarat yang
tegas dan tidak menimbulkan tafsir yang berbeda, bahkan dapat dikatakan sebagai
kondisi/syarat yang konkret, yaitu: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus menerus; dan e. tidak lagi memenuhi salah
satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Terhadap keempat
kondisi/syarat dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e
Undang-Undang a quo, pemberhentian dengan hormat Jaksa Agung dari jabatannya
dapat dengan mudah dilaksanakan, namun demikian terhadap kondisi/syarat “d.
berakhir masa jabatannya” menimbulkan masalah dalam pemaknaan dan penerapannya.
Oleh karena itu, pelaksanaan dari Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 perlu
disertai dengan rumusan yang jelas tentang jangka waktu atau lingkup waktu yang
tegas untuk menghindari penafsiran yang berbeda. Berdasarkan alasan tersebut
dapat disimpulkan bahwa permasalahan penafsiran terhadap Pasal 22 ayat (1)
huruf d UU 16/2004 yang menyatakan ”Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat
dari jabatannya karena:... d. berakhir masa jabatannya” bukanlah masalah
konstitusionalitas norma yang merupakan lingkup ranah judicial review yang
menjadi wewenang Mahkamah, tetapi lebih merupakan lingkup ranah legislative
review yang menjadi wewenang pembentuk undang-undang, yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden. Akan tetapi masalah konstitusionalitas timbul ketika frasa
ini bersifat multitafsir sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, termasuk
ketidakpastian hukum dalam hal kedudukan di hadapan hukum;
[3.22] Menimbang bahwa dalam
praktik ketatanegaraan yang berlangsung selama ini, “penetapan masa jabatan”
secara tegas telah digunakan dalam beberapa jabatan publik, sebagai contoh
dapat dikemukakan sebagai berikut:
• Masa jabatan Presiden dan Wakil
Presiden adalah selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam
masa jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan sesuai Pasal 7 UUD
1945;
• Masa jabatan Anggota Komisi
Yudisial didasarkan pada periode masa jabatan, yaitu selama lima tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berdasarkan Pasal
29 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;
• Masa jabatan Hakim Konstitusi
yang ditentukan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya
satu kali masa jabatan berikutnya atau masa jabatan tersebut berakhir pada saat
memasuki usia pensiun, yaitu 67 tahun, berdasarkan Pasal 22 dan Pasal 23 ayat
(1) huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi;
• Masa jabatan Hakim Agung yang
ditentukan sampai saat memasuki usia pensiun, yaitu 70 tahun berdasarkan Pasal
11 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
[3.23] Menimbang bahwa keterangan
Denny Indrayana, S.H., LL.M. Ph.D, dan Letjen (Purn.) Achmad Roestandi, S.H.,
Ahli dari Pemerintah, yang menyatakan jabatan Jaksa Agung dapat saja
berlangsung seumur hidup, menurut Mahkamah, pandangan tersebut tidak tepat,
karena menurut prinsip demokrasi dan konstitusi untuk setiap jabatan publik
harus ada batasan tentang lingkup kewenangan dan batas waktunya yang jelas dan
pasti, apalagi jabatan dalam lingkungan kekuasaan pemerintahan seperti jabatan
Jaksa Agung;
[3.24] Menimbang bahwa Mahkamah
sependapat dengan Ahli dari Pemohon, Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L. yang
menyatakan, Kejaksaan adalah badan pemerintahan. Dengan demikian, pimpinannya
juga adalah pimpinan dari suatu badan pemerintahan, dan ditafsirkan bahwa yang
dimaksud badan pemerintahan adalah kekuasaan eksekutif. Pendapat tersebut
sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU 16/2004 yang menyatakan, ”Kejaksaan adalah
lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang”. Selain itu, ketentuan dalam
Pasal 2 ayat (1) tersebut tidak dapat dipisahkan dengan Pasal 18 ayat (1) serta
Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang a quo yang masing-masing
menyatakan sebagai berikut: Pasal 18 ayat (1): ”Jaksa Agung adalah pimpinan dan
penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan
tugas, dan wewenang kejaksaan...”. Adapun Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2)
menyatakan, “(1) Jaksa Agung adalah pejabat negara, dan (2) Jaksa Agung
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.” Berdasarkan ketiga pasal tersebut
maka seharusnya masa jabatan Jaksa Agung adalah sesuai dengan periode (masa
jabatan) Presiden terlepas ia diposisikan sebagai pejabat di dalam kabinet atau
di luar kabinet;
Bahwa meskipun begitu, oleh
karena undang-undang tidak mengatur hal tersebut secara tegas, maka dalam
praktik di lapangan, implementasinya menimbulkan masalah konstitusionalitas
yakni ketidakpastian hukum;
[3.25] Menimbang bahwa sejalan
dengan pendapat Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L., menurut Ahli dari Pemohon
yang lain, yaitu, Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. juga menyatakan bahwa,
Kekuasaan Pemerintahan adalah la puissance executrice. Jabatan Jaksa Agung
berada dalam Iingkup kekuasaan eksekutif. Jaksa Agung adalah publieke ambt atau
jabatan publik. Tiap jabatan (het ambt) adalah wujud lingkungan kerja tetap
yang diadakan dalam kaitan negara (kring van vaste werkzaamheden in het verband
van de staat). Negara adalah organisasi jabatan (de staat is
ambtenorganisatie), sedangkan jabatan (het ambt) adalah pribadi hukum, badan
hukum publik (het ambt is persoon, het ambt als persoon) yang memiliki fungsi
dan kewenangan, sebagaimana Iayaknya een persoon, een rechtspersoon, een
publieke rechtspersoon. Namun demikian, karena jabatan (het ambt) tidak dapat
melaksanakan dirinya sendiri dan tidak dapat melaksanakan fungsi dan
kewenangannya, maka jabatan harus diwakili oleh pemegang jabatan atau
ambtsdrager (het ambt wordt vertegenwoordigd door de ambtsdrager), sehingga
pemegang jabatanlah yang bertindak atas nama jabatan. Jabatan bersifat tetap
atau langgeng (duurzaam) sedangkan pemegang jabatan datang dan pergi silih
berganti. Terhadap pendapat Ahli tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa benar
Jaksa Agung merupakan pemegang jabatan publik yang mempunyai batasan dalam
melaksanakan fungsi dan kewenangannya atau dalam kaitan dengan permohonan ini
dikatakan sebagai “berakhirnya masa jabatan” seperti tercantum dalam Pasal 22
ayat (1) huruf d UU 16/2004, maka hal tersebut tidaklah menyangkut masalah
konstitusionalitas dari frasa tersebut. Namun demikian, apabila Pasal 22 ayat
(1) huruf d Undang-Undang a quo dikaitkan dengan ayat (2) pasal a quo yang
menyatakan, “Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Presiden”, memang terdapat permasalahan
konstitusionalitas dari frasa tersebut, oleh karena sampai saat ini Keputusan
Presiden yang menyatakan pemberhentian Jaksa Agung (Hendarman Supandji, S.H.,
C.N.) belum pernah ada. Jika “berakhirnya masa jabatan” Jaksa Agung Hendarman
Supandji, S.H., C.N. tersebut dikaitkan dengan Keputusan Presiden Nomor 187/M
Tahun 2004 bertanggal 20 Oktober 2004 dan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun
2007 bertanggal 7 Mei 2007, maka hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum yang dijamin oleh Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
[3.26] Menimbang bahwa Ahli yang
diajukan Pemohon, Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M. dalam keterangannya,
antara lain, menyatakan adanya ketentuan yang jelas dalam berbagai
Undang-Undang yang mengatur secara tegas bagaimana masa jabatan seorang pejabat
berakhir, misalnya Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, Undang-Undang tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, namun
dalam UU 16/2004 tidak diatur dengan tegas kapan masa jabatan Jaksa Agung itu
akan berakhir. Pasal 19 UU 16/2004 menyatakan, Jaksa Agung adalah Pejabat
Negara, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan dalam Pasal 22
Undang-Undang a quo menyatakan, “Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya karena, a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; c. sakit jasmani
dan rohani terus menerus; d. berakhir masa jabatannya; dan e. tidak lagi
memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.” Terhadap
ketentuan dalam kedua pasal tersebut, Ahli menyatakan bahwa UU 16/2004 tidak
memenuhi asas-asas umum pembentukan perundang-undangan yang baik (algemene
beginselen van behoorlijke regelgeving) yang sejalan dengan asas-asas umum
penyelenggaraan pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijke
bestuur, the general principle of good administration). Dari kedua pasal
tersebut Mahkamah berpendapat, Jaksa Agung sebagai Pejabat Negara seharusnya
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden berdasarkan kondisi
yang pasti, yaitu, jika ia meninggal dunia, atas permintaan sendiri, atau
karena sakit jasmani dan rohani terus menerus, namun demikian tentang kapan
“berakhir masa jabatannya” merupakan kondisi yang tidak menentu;
[3.27] Menimbang bahwa terhadap
pendapat tiga ahli yang diajukan oleh Pemohon yakni Prof. Dr. Bagir Manan,
S.H., MCL, Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., dan Prof. H.A.S. Natabaya,
S.H., LL.M., Mahkamah sependapat untuk beberapa bagian yang substantif, tetapi
tidak sependapat dalam hal implikasinya untuk saat ini karena ada keadaan atau
persyaratan yang tidak dipenuhi dalam Undang-Undang a quo. Mahkamah sependapat
dengan para ahli tersebut, jika Jaksa Agung yang diangkat dalam jabatan politik
setingkat Menteri maka masa jabatannya harus sudah berakhir bersamaan dengan
masa jabatan Presiden yang mengangkatnya, sedangkan apabila Jaksa Agung
diangkat berdasarkan karirnya sebagai jaksa maka masa tugasnya harus berakhir
pada saat mencapai usia pensiun. Secara substansi, Mahkamah sependapat bahwa
apabila tidak memenuhi ketentuan itu maka jabatan Jaksa Agung dapat dianggap
illegal. Dengan kata lain, Mahkamah juga sependapat dengan ketiga Ahli bahwa
jabatan Jaksa Agung seharusnya dibatasi secara tegas, berdasar periodisasi
kepemerintahan atau berdasar usia pensiun;
[3.28] Menimbang bahwa meskipun
Mahkamah sependapat dengan ketiga ahli di atas dalam hal substansi sebagai ius
constituendum dan karena Undang-Undang tentang batasan masa jabatan Jaksa Agung
tersebut tidak atau belum mengatur hal yang demikian, maka pengangkatan dan
masa jabatan Jaksa Agung untuk keadaan yang sekarang sedang berlangsung tidak
dapat dikatakan illegal, misalnya dengan alasan, karena bertentangan dengan
pandangan tersebut. Alasannya, pada saat menetapkan jabatan Jaksa Agung yang
sekarang memang tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang yang mengharuskan
Presiden memilih alternatif tersebut, sehingga tidak ada masalah keabsahan,
baik konstitusionalitas maupun legalitas. Dalam hal yang demikian maka Mahkamah
dapat menerima pandangan Ahli dari Pemerintah Prof. Dr. Philipus M. Hadjon
tentang asas praesumptio iustae causa bahwa selama belum ada Keputusan Presiden
tentang pemberhentian maka jabatan Jaksa Agung tetap melekat kepada yang
bersangkutan. Pandangan Mahkamah tentang ini didasarkan pada fakta hukum bahwa
Undang-Undang sendiri tidak mengaturnya secara tegas, tidak memberi kepastian
hukum yang imperatif kepada Presiden, sehingga pilihan kebijakan Presiden
tentang hal tersebut tidak dapat dinilai bertentangan dengan Undang-Undang.
Dengan kata lain, karena isi Undang-Undang itu sendiri bersifat terbuka dan
tidak jelas, maka penerusan jabatan Jaksa Agung oleh Presiden dalam perkara a
quo tidak dapat diartikan inkonstitusional dan jabatan Jaksa Agung sekarang
tidak dapat dikatakan illegal (melainkan legal) karena tidak ada Undang-Undang
yang dilanggar. Pandangan ketiga Ahli yang diajukan oleh Pemohon hanya dapat
mengikat setelah pengucapan putusan Mahkamah ini dan/atau setelah ada
Undang-Undang baru yang mengaturnya secara lebih tegas tentang keharusan atau
larangan yang seperti itu;
[3.29] Menimbang bahwa oleh
karena telah terjadi ketidakpastian hukum dari Pasal 22 ayat (1) huruf d UU
16/2004, maka sejak diucapkannya putusan ini Mahkamah memberi tafsir yang pasti
mengenai masa jabatan Jaksa Agung sampai dengan dilakukannya legislative review
oleh pembentuk Undang-Undang yang syarat-syarat konstitusionalitasnya akan
ditegaskan dalam amar putusan ini;
[3.30] Menimbang pula bahwa oleh
karena kepastian penafsiran ini baru diberikan pada saat diucapkannya putusan
ini dan sesuai dengan ketentuan Pasal 58 UU MK, serta Pasal 38 dan Pasal 39
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perkara Pengujian Undang-Undang bahwa putusan Mahkamah berlaku ke depan
(prospektif) sejak selesai diucapkan maka untuk masalah periode (awal dan
berakhirnya) jabatan Jaksa Agung sebelum putusan ini diucapkan tidak terkait
dengan konstitusionalitas atau legalitas; sebab jabatan Jaksa Agung sebelum
diucapkannya putusan ini memang diambil dari salah satu kemungkinan yang dapat
dipilih sebagai tafsir yang kemudian menjadi persoalan konstitusional dan
dimintakan judicial review oleh Pemohon sehingga memerlukan penafsiran dari
Mahkamah;
[3.31] Menimbang bahwa untuk
menentukan masa tugas pejabat negara sebagai pejabat publik harus ada kejelasan
kapan mulai diangkat dan kapan saat berakhirnya masa tugas bagi yang
bersangkutan agar ada jaminan kepastian hukum sesuai dengan kehendak
konstitusi. Menurut Mahkamah, sekurang-kurangnya ada empat alternatif untuk
menentukan kapan mulai diangkat dan saat berhentinya pejabat negara menduduki
jabatannya in casu Jaksa Agung, yaitu, pertama, berdasar periodisasi Kabinet
dan/atau periode masa jabatan Presiden yang mengangkatnya; kedua, berdasar
periode (masa waktu tertentu) yang fixed tanpa dikaitkan dengan jabatan politik
di kabinet; ketiga, berdasarkan usia atau batas umur pensiun dan; keempat,
berdasarkan diskresi Presiden/pejabat yang mengangkatnya. Oleh karena ternyata
tidak ada satu pun dari alternatif tersebut yang secara tegas dianut dalam
Undang-Undang a quo, maka menurut Mahkamah, ketentuan “karena berakhir masa
jabatannya” sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 itu
memang menimbulkan ketidakpastian hukum. Mahkamah berpendapat pula bahwa karena
ketidakpastian hukum itu bertentangan dengan konstitusi maka seharusnya
pembentuk Undang-Undang segera melakukan legislative review untuk memberi
kepastian dengan memilih salah satu dari alternatif-alternatif tersebut. Namun
karena legislative review memerlukan prosedur dan waktu yang relatif lama, maka
sambil menunggu langkah tersebut Mahkamah memberikan penafsiran sebagai syarat
konstitusional (conditionally constitutional) untuk berlakunya Pasal 22 ayat
(1) huruf d UU 16/2004 tersebut yang dinyatakan berlaku prospektif sejak
selesai diucapkannya putusan ini;
[3.32] Menimbang bahwa
berdasarkan seluruh uraian di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon
sepanjang Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 agar dinyatakan conditionally
constitutional beralasan untuk dikabulkan. Artinya, pasal a quo dinyatakan
konstitusional dengan syarat diberi tafsir tertentu oleh Mahkamah, yaitu masa
jabatan Jaksa Agung berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden
yang mengangkatnya atau diberhentikan oleh Presiden dalam masa jabatannya dalam
periode yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan praktik ketatanegaraan
sebagaimana yang disampaikan oleh Saksi Prof. Erman Rajagukguk, S.H., L.L.M.,
Ph.D dalam keterangan affidavitnya;
[3.33] Menimbang bahwa
berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah
berpendapat sebagian dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum;
AMAR PUTUSAN,
Mengadili,
Dalam Provisi:
• Menolak permohonan Provisi
Pemohon;
Dalam Pokok Permohonan:
• Mengabulkan permohonan Pemohon
untuk sebagian;
• Menyatakan Pasal 22 ayat (1)
huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
(Lembaran Negara RepubIik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara RepubIik Indonesia Nomor 4401) adalah sesuai dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally
constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai “masa jabatan Jaksa
Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam
satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam
masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”;
• Menyatakan Pasal 22 ayat (1)
huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
(Lembaran Negara RepubIik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara RepubIik Indonesia Nomor 4401) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan
berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode
bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”;
• Memerintahkan pemuatan putusan
ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya
• Menolak permohonan Pemohon
untuk selain dan selebihnya;
===============================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar