Pada
tanggal 20 Februari 2015 anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Periode
2014-2019 yang bernama Adnan Purichta
Ichsan, S.H., mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dalam permohonannya Pemohon melalui kuasa hukumnya yaitu Heru Widodo, SH., dkk., menguji Pasal 7
huruf r dan huruf s serta penjelasan pasal 7 huruf r yang menyatakan:
Pasal 7 huruf r dan huruf s
Beberapa ketentuan
dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5656), sebagai berikut:
...
6. Ketentuan Pasal 7
diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
Warga negara Indonesia
yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan
Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
...
r. tidak memiliki konflik
kepentingan dengan petahana;
s. memberitahukan
pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota,
dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan
Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan
DPRD bagi anggota DPRD
…
Penjelasan Pasal 7
huruf r
“yang dimaksud dengan
“tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki
hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat
lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua,
paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu)
kali masa jabatan”;
Dalam
permohonannya Pemohon menyatakan bahwa Pemohon sebagai
perseorangan warga negara Indonesia, yang kebetulan memiliki hubungan
kekerabatan dengan Bupati Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan keadaan
demikian, terdapat potensi bahwa hak konstitusional Pemohon akan dirugikan dan
kerugian dimaksud, menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi,
apabila Pemohon mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang disebabkan oleh
keberadaan ketentuan Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, in casu Pasal 7 huruf r UU 8/2015.
Hak-hak konstitusional dimaksud, sebagaimana yang didalilkan Pemohon, adalah
hak atas kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan [Pasal 27 ayat (1)
UUD 1945], hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum [Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945], hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan [Pasal 28D ayat (3) UUD 1945], dan hak untuk bebas dari perlakuan
yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun [Pasal 28I ayat (2) UUD 1945].
Dengan uraian demikian tampak adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian
hak-hak konstitusional sebagaimana didalikan Pemohon dengan berlakunya Pasal 7
huruf r beserta Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 yang dimohonkan pengujian.
Tampak pula bahwa jika permohonan ini dikabulkan maka kerugian sebagaimana
diuraikan di atas tidak akan terjadi.
Untuk
menjawab persoalan kontitusionalitas norma pasal tersebut Mahkamah Konstitusi dalam
pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Pendapat Mahkamah
[3.12] Menimbang
bahwa setelah memeriksa dengan seksama bukti-bukti Pemohon dan mendengar
keterangan pihak-pihak sebagaimana disebutkan pada paragraf [3.10] dan [3.11] di atas, selanjutnya Mahkamah akan menyampaikan pendapatnya
sebagaimana akan dijelaskan dalam pertimbangan-pertimbangan di bawah ini.
[3.13] Menimbang,
sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil Pemohon, Mahkamah menilai
bahwa substansi dari permohonan a quo
tak terpisahkan dari persoalan yang menjadi isu konstitusional utama dalam
pemilihan kepala daerah yaitu bagaimanakah seharusnya pembentuk Undang-Undang
menjabarkan lebih lanjut semangat demokrasi yang terkandung dalam amanat
Konstitusi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, berkenaan
dengan pengaturan pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) di
Indonesia?
Terlepas
dari pernyataan bernuansa “adagium” yang menyatakan bahwa demokrasi itu tidak
ada ujungnya melainkan ia tumbuh menjadikan dirinya sendiri (democracy has no end, it grows into its
being), kiranya tak seorang pun akan membantah bahwa salah satu ideal
demokrasi adalah bagaimana melibatkan sebanyak mungkin rakyat untuk turut serta
dalam proses politik, khususnya dalam membuat keputusan politik, yang langsung
maupun tidak langsung berdampak terhadap dirinya. Oleh karena itu, dalam
konteks pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota), pembentuk
Undang-Undang yang menjatuhkan pilihan pada pemilihan kepala daerah secara
langsung sebagai penjabaran amanat yang termuat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD
1945, hal itu sesungguhnya merupakan bagian dari upaya konstitusional untuk
mendekati ideal demokrasi dimaksud.
Namun,
ideal demokrasi demikian tidak akan tercapai manakala proses dan mekanisme
politik untuk menuju arah itu “dilepaskan” begitu saja sehingga yang terjadi pada
akhirnya adalah sekadar pemenuhan formula prosedural demokrasi “siapa yang
berhasil memperoleh suara terbanyak dialah yang berhak memerintah atau membuat
keputusan politik atas nama publik.” Sebab jika demikian halnya maka salah satu
kemungkinan yang akan terjadi adalah terpilihnya orang-orang yang berhak
menduduki jabatan-jabatan publik (yang pengisiannya dilakukan melalui
pemilihan, elected public officials)
hanya karena yang bersangkutan mampu meraih suara terbanyak namun sesungguhnya
tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk memangku jabatan itu. Karena
itulah demokrasi membutuhkan rule of law.
Karena itu pula lahir gagasan negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democratic state),
sebagaimana yang sekarang juga dianut dan berlaku di Indonesia.
Dalam
gagasan negara demokrasi yang berdasar atas hukum itu, ruang bagi terlibatnya
sebanyak mungkin rakyat dalam proses dan pengambilan keputusan politik tetap
dibuka tetapi pada saat yang sama pembatasan-pembatasan tertentu, yang dirumuskan
atau dituangkan dalam norma hukum yang berlaku umum, diberlakukan karena memang
dibutuhkan agar mereka yang nantinya terpilih sebagai pemegang jabatan publik
itu adalah mereka yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk itu dalam arti
yang seluas-luasnya. Namun, sesuai
dengan gagasan negara demokrasi yang berdasar atas hukum, pembatasan-pembatasan
demikian tidak boleh dibuat sedemikian rupa sehingga membatasi atau bahkan
menghilangkan secara tidak konstitusional hak-hak mendasar warga negara, terlebih
tatkala hak-hak mendasar tersebut tegas dinyatakan dalam dan dijamin oleh Konstitusi
dan karenanya menjadi hak-konstitusional sehingga hak-hak itu telah menjadi
bagian dari Konstitusi. Tatkala hak-hak tersebut telah menjadi bagian dari
Konstitusi, sementara Konstitusi adalah hukum dasar, maka hak-hak itupun telah
menjadi bagian dari hukum dasar yang mengikat seluruh cabang kekuasaan negara,
termasuk juga warga negara.
Oleh
karena itu, sekadar untuk menyebut contoh dalam hubungannya dengan permohonan a quo, sekalipun dalam negara demokrasi
yang berdasar atas hukum dibenarkan pemberlakuan pembatasan-pembatasan terhadap
mereka (warga negara) yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah
(gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota),
pembatasan-pembatasan tersebut tidak boleh memuat ketentuan yang bersifat
diskriminatif, menghambat atau bahkan menghilangkan secara tidak sah hak warga
negara untuk beroleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, atau
pembatasan-pembatasan demikian justru menimbulkan ketidakpastian hukum dalam
pelaksanaannya, dan sebagainya. Bertolak dari gagasan pokok inilah selanjutnya
Mahkamah akan memberikan pertimbangannya dalam mengadili permohonan a quo.
[3.14] Menimbang
bahwa setelah Mahkamah menguraikan perihal makna semangat demokrasi dalam
kaitannya dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 untuk pemilihan kepala daerah
(gubernur, bupati, walikota), selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan
dalil-dalil Pemohon, sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.9] di atas. Dari seluruh argumentasi yang dikemukakan Pemohon
dalam permohonannya, sesungguhnya hanya ada dua hal yang perlu dipertimbangkan
lebih lanjut oleh Mahkamah, yaitu:
a. apakah pembatasan terhadap hak pihak-pihak yang hendak
mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang semata-mata didasarkan pada adanya
hubungan kekerabatan pihak tersebut dengan kepala daerah petahana (incumbent), baik yang timbul dari
hubungan darah maupun hubungan perkawinan, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 7
huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015, bertentangan dengan UUD 1945
sebagaimana didalilkan Pemohon?
b. apakah pengaturan secara berbeda bagi anggota DPR, DPD, dan
DPRD yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang cukup hanya
memberitahukan kepada pimpinannya masing-masing, sebagaimana diatur dalam Pasal
7 huruf s UU 8/2015, dengan Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI/Polri, dan
pejabat BUMN/BUMD yang harus mengundurkan diri sejak saat pendaftaran jika
hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah, dimana pengunduran diri tersebut
tidak dapat ditarik kembali, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf t dan huruf
u UU 8/2015, bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon?
[3.15] Menimbang,
terhadap pertanyaan pertama (huruf a), dengan bertolak dari keterangan pembentuk
Undang-Undang (DPR dan Presiden), telah ternyata bahwa maksud pembentuk
Undang-Undang mencantumkan ketentuan Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7
huruf r UU 8/2015 adalah untuk menciptakan kompetisi yang fair antara calon yang berasal dari keluarga petahana (incumbent) dan calon lain sehingga
dengan demikian akan tercegah berkembangnya apa yang dinamakan “politik
dinasti” atau “dinasti politik”. Sementara itu, menurut Presiden, politik
dinasti tersebut tidak dapat dipisahkan dari konsep petahana (incumbent). Penjelasannya, menurut Presiden,
adalah sebagai berikut: Pertama,
karena petahana mempunyai akses terhadap kebijakan dan akses terhadap alokasi
anggaran sehingga dapat memberikan keuntungan pribadi untuk memenangkan
pemilihan kepala daerah atau memenangkan kelompok-kelompoknya. Kedua, petahana secara alamiah memiliki
berbagai fasilitas dan tunjangan yang melekat kepada dirinya sehingga, dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya, fasilitas dan tunjangan itu melekat terus
menerus. Ketiga, karena sedang
menjabat maka petahana memiliki keunggulan terhadap program-program, terhadap
kegiatan-kegiatan yang seluruhnya atau sebagian dapat diarahkan untuk
memenangkan dirinya atau memenangkan dinastinya. Keempat, terkait dengan netralitas PNS di mana petahana mempunyai
akses yang lebih besar untuk memobilisasi PNS guna memberikan dukungan yang
menguntungkan dirinya. Atas dasar itu kemudian ditarik asumsi bahwa calon yang
berasal dari keluarga petahana dan calon lain tidak berada dalam kondisi equal. Dengan kata lain, dalam asumsi
pembentuk Undang-Undang, in casu
pemerintah, maksud dari ketentuan yang memberikan pembatasan terhadap keluarga
petahana itu adalah agar semua calon berangkat dari kondisi equal sehingga kompetisi berlangsung
secara fair.
Keterangan
Presiden tersebut diperkuat oleh keterangan DPR yang antara lain menyatakan
bahwa dinasti politik telah marak terjadi di berbagai daerah. Menurut DPR, ada
dua hal yang mendasari berkembangnya dinasti politik tersebut. Pertama, macetnya kaderisasi politik dalam
menjaring calon kepala daerah yang berkualitas sehingga menciptakan pragmatisme
politik dengan mendorong kalangan sanak keluarga kepala daerah untuk menjadi
pejabat publik. Kedua, konteks
masyarakat yang menjaga adanya kondisi status
quo di daerahnya yang menginginkan kepala daerah untuk berkuasa dengan cara
mendorong kalangan keluarga atau orang dekat kepala daerah untuk menggantikan
petahana. Dengan demikian, menurut DPR, adanya pengaturan mengenai “dinasti
politik” ini justru merupakan langkah progresif yang positif karena dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pengaturan
demikian belum ada sehingga terjadilah dinasti politik di berbagai daerah.
Dengan
penjelasan demikian tampak jelas bagi Mahkamah bahwa yang dimaksud dengan
mencegah berkembangnya “politik dinasti” atau “dinasti politik” oleh pembentuk
Undang-Undang adalah upaya pembentuk Undang-Undang mencegah timbulnya keadaan
di mana kepala daerah (gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau
walikota/wakil walikota) di suatu daerah dikuasai oleh atau jatuh di tangan
suatu keluarga tertentu. Adapun “keluarga”, secara tersirat, dimaknai sebagai
ikatan kekerabatan baik yang lahir karena hubungan darah maupun karena
perkawinan, sebagaimana tampak dari Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015.
[3.16] Menimbang
bahwa oleh karena maksud pembentuk Undang-Undang berkenaan dengan rumusan norma
Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 telah jelas, yaitu
sebagaimana diuraikan pada paragraf
[3.15] di atas, maka telah terang bagi Mahkamah:
[3.16.1] Bahwa pembentuk
Undang-Undang sesungguhnya telah menyadari sejak semula kalau dengan rumusan
sebagaimana tertulis dalam Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU
8/2015 tersebut berarti telah membuat pembatasan yang bersifat menghalangi hak
konstitusional warga negara dari kelompok tertentu, in casu warga negara yang terlahir dari atau mempunyai ikatan
kekerabatan dengan keluarga kepala daerah petahana (incumbent) karena perkawinan. Meskipun pembatasan terhadap hak
konstitusional warga negara, atau hak asasi manusia pada umumnya, dimungkinkan
menurut UUD 1945, pembatasan demikian tunduk kepada persyaratan yang ketat
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Berkait
dengan dimungkinkannya pembatasan terhadap hak atau kebebasan seseorang,
Mahkamah bahkan sejak awal masa keberadaannya telah menyatakan pendapatnya,
sebagaimana termuat dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003, bertanggal 24
Februari 2004, yang di dalam pertimbangan hukumnya, antara lain, menyatakan:
“… memang Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 memuat ketentuan dimungkinkannya pembatasan
terhadap hak dan kebebasan seseorang dengan undang-undang, tetapi pembatasan
terhadap hak-hak tersebut haruslah didasarkan atas alasan-alasan yang kuat,
masuk akal dan proporsional serta tidak berkelebihan. Pembatasan tersebut hanya
dapat dilakukan dengan maksud “semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”..... Di samping itu
persoalan pembatasan hak pilih (baik aktif maupun pasif) dalam dalam pemilihan
umum lazimnya hanya didasarkan atas pertimbangan ketidakcakapan misalnya faktor
usia dan keadaan jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility) misalnya karena
telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
dan pada umumnya bersifat individual dan tidak kolektif.”
Dengan demikian, bahwa pembatasan tersebut diatur dengan
Undang-Undang hanyalah salah satu persyaratan. Banyak persyaratan lain yang
harus dipenuhi, sebagaimana ditegaskan dalam pertimbangan putusan Mahkamah di
atas. Dalam putusan yang lain, Mahkamah bahkan menegaskan bahwa pada
pembatasan-pembatasan terhadap mereka yang menderita cacat sekalipun tidak
boleh dilakukan sedemikian rupa sehingga mereka terhalang pemenuhan hak-hak
konstitusionalnya, sebagaimana ditegaskan dalam pertimbangan hukum Putusan
Nomor 008/PUU-II/2004, bertanggal 23 April 2004. Dalam konteks ini, pembatasan
demikian baru dapat dibenarkan apabila memang nyata-nyata diperlukan mengingat
tingkat beratnya cacat orang tersebut (severity
of their handicap) sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan baginya
untuk melaksanakan hak-hak secara berfaedah (in a meaningful way). Seraya menyitir ketentuan yang tertuang dalam
angka 4 Declaration on the Rights of
Disabled Persons (1975), Mahkamah dalam pertimbangan putusan tersebut,
antara lain, menyatakan:
“Dalam pada itu, paragraf 7 yang dimaksud berbunyi, “Whenever
mentally retarded persons are unable, because
of the severity of their handicap, to exercise all their rights in a
meaningful way or it should become necessary to restrict or deny some or all of
theses rights, the procedure used for that restriction or denial of rights must
contain proper legal safeguard against every form of abuse…” Dengan demikian
pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh undang-undang sepanjang dipandang
perlu karena alasan severity of their
handicap sehingga tidak memungkinkan yang bersangkutan melaksanakan
hak-haknya “in a meaningful way” adalah dibenarkan, oleh karena itu tidak dapat
dipandang diskriminatif.
Dengan demikian telah jelas bahwa, sesuai dengan ketentuan
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, syarat untuk dapat membatasi pelaksanaan hak asasi
bukan semata-mata bahwa pembatasan itu harus dilakukan dengan Undang-Undang,
sebagaimana dijelaskan oleh pembentuk Undang-Undang (DPR dan Presiden) dalam
perkara a quo. Seseorang yang karena
kelahirannya atau karena memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala daerah
petahana tidaklah mengganggu hak atau kebebasan orang lain jika hendak
mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Demikian pula, dengan mencalonkan diri
sebagai kepala daerah, hal ini pun tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral,
agama, keamanan maupun ketertiban umum. Dengan demikian, alasan bahwa larangan
itu hanya berlaku sementara, yaitu selama belum terlampauinya jeda satu periode
masa jabatan sebagaimana diterangkan oleh DPR, tidaklah menghilangkan substansi
pertentangan ketentuan a quo dengan
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Lagi pula, Presiden mengakui bahwa ketentuan sebagaimana termuat
dalam Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tidak dibutuhkan
sekiranya sistem pengawasan oleh Bawaslu, sistem pengawasan oleh inspektorat,
maupun sistem pengawasan oleh BPKP telah berjalan dengan baik. Dengan demikian,
problem yang sesungguhnya adalah tidak optimalnya mekanisme pengawasan terhadap
kepala daerah petahana oleh institusi-institusi yang memiliki kewenangan untuk
melakukan pengawasan.
[3.16.2] Bahwa dengan
rumusan yang maksudnya sebagaimana diterangkan oleh pembentuk Undang-Undang
tersebut, Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 juga
mengandung muatan diskriminasi. Ketentuan a
quo nyata-nyata (dan diakui oleh pembentuk Undang-Undang) memuat pembedaan
perlakuan yang semata-mata didasarkan atas kelahiran dan status kekerabatan
seseorang. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu”.
Dengan demikian Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf
r UU 8/2015 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Memang benar bahwa
tidak setiap pembedaan serta-merta berarti diskriminasi. Namun, dalam kasus a quo, tampak nyata kalau pembedaan
tersebut dibuat semata-mata didasari oleh maksud untuk mencegah kelompok orang
tertentu (in casu anggota keluarga
kepala daerah petahana) untuk menggunakan hak konstitusionalnya (in casu hak untuk dipilih atau
mencalonkan diri, right to be candidate)
dan dilakukan dengan cara yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD
1945, sebagaimana telah diuraikan dalam sub-paragraf [3.16.1] di atas.
Sesungguhnya, sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD 1945
pun larangan terhadap diskriminasi sudah tegas diberlakukan dalam hukum positif
Indonesia, sebagaimana termaktub dalam UU HAM. Pasal 3 ayat (3) UU HAM
menyatakan, “Setiap orang berhak atas
perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa
diskriminasi.” Sementara itu, yang dimaksud dengan diskriminasi menurut
Pasal 1 angka 3 UU HAM adalah “setiap
pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung
didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan
politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.” Dengan demikian, bukan hanya
Konstitusi (UUD 1945), UU HAM juga melarang adanya diskriminasi.
Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights, ICCPR), sehingga sesuai dengan
prinsip pacta sunt servanda Indonesia
menanggung kewajiban hukum internasional (international
legal obligation) untuk menaati ketentuan-ketentuan dalam Kovenan ini,
salah satu di antaranya adalah ketentuan tentang larangan terhadap praktik
diskriminasi. Pasal 26 ICCPR tegas menyatakan, “All persons are equal before the law and are entitled to the equal
protection of the law. In this respect, the law shall prohibit any
discrimination and guarantee to all persons equal and effective protection
against discrimination on any ground such as race, colour, sex, language,
religion, political or other opinion, national or social origin, property,
birth or other status.”
Dalam Pasal 26 ICCPR tersebut, kelahiran (birth) bahkan disebut secara khusus.
Oleh karena itu, meskipun pemenuhan kewajiban internasional ini tidak
serta-merta dapat digunakan sebagai dasar untuk menguji konstitusionalitas
suatu norma Undang-Undang, paling tidak ia menegaskan universalitas larangan
terhadap praktik diskriminasi dimaksud.
[3.16.3] Bahwa oleh
karena pembatasan yang termuat dalam rumusan Pasal 7 huruf r dan Penjelasan
Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan
sekaligus mengandung muatan diskriminasi, sebagaimana dijelaskan dalam
sub-paragraf [3.16.1] dan [3.16.2] di atas, dan oleh karena
ketentuan a quo adalah
bersangkut-paut dengan hak bagi setiap warga negara atas perlakuan yang sama
dalam hukum dan pemerintahan maka ketentuan
a
quo dengan sendirinya juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Secara lebih spesifik, oleh karena hak konstitusional yang terhalangi secara
tidak konstitusional oleh ketentuan a quo
adalah hak untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah maka telah nyata pula
ketentuan a quo melanggar hak
konstitusional warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (3) UUD 1945;
[3.16.4] Bahwa
apabila Pasal 7 huruf r UU 8/2015 dimaknai sejalan dengan penjelasannya,
sebagaimana diterangkan oleh pembentuk Undang-Undang, telah ternyata
bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan
pada sub paragraf [3.16.1] sampai
dengan [3.16.3] di atas, pertanyaan
yang kemudian harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah bagaimana apabila
Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tidak dipertimbangkan bersama-sama dengan
penjelasannya? Apakah serta-merta hal itu berarti Pasal 7 huruf r UU 8/2015
tersebut konstitusional? Dengan kata lain, bagaimana jika Penjelasan Pasal 7
huruf r UU 8/2015 tidak ada?
Menurut Mahkamah, dalam keadaan demikian Pasal 7 huruf r UU
8/2015 tersebut akan sulit dilaksanakan dalam praktik, khususnya oleh
Penyelenggara Pilkada. Sebab, pemaknaan terhadap frasa “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” itu berarti
diserahkan kepada penafsiran setiap orang sesuai dengan kepentingannya. Dengan
kata lain, dapat dipastikan bahwa tidak akan ada kesamaan pandangan terhadap
frasa “tidak memiliki konflik kepentingan
dengan petahana”. Akibatnya, tidak ada kepastian hukum. Padahal, kepastian
hukum terhadap penafsiran frasa “tidak
memiliki konflik kepentingan dengan petahana” itu menjadi penentu hak
seseorang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang dijamin oleh
Konstitusi. Dengan demikian, telah terang bahwa apabila Pasal 7 huruf r UU
8/2015 dimaknai terlepas dari penjelasannya pun, hal itu tetap bertentangan
dengan UUD 1945 karena tidak memberi kepastian hukum yang potensial merugikan
hak konstitusional warga negara, in casu
hak untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah;
[3.16.5] Bahwa, khusus
terhadap Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015, Mahkamah memandang perlu untuk
kembali menegaskan bahwa penjelasan dari suatu ketentuan Undang-Undang akan
menjadi bertentangan dengan UUD 1945 jika ia memuat atau merumuskan norma baru.
Hal itu, selain dinyatakan dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234), telah pula ditegaskan dalam
putusan Mahkamah Nomor 005/PUU-III/2005, bertanggal 22 Maret 2005, yang dibuat
tatkala Undang-Undang yang mengatur tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan masih berlaku Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389), yang ternyata juga dikutip dan dijadikan
sebagai bagian dari dalil Pemohon. Dalam pertimbangan hukum putusan tersebut,
antara lain, dikatakan:
“Menimbang bahwa sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam
praktik pembentukan perundang-undangan, yang juga diakui mengikat secara hukum,
penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam
pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama
sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan. Lagi pula kebiasaan ini
ternyata telah pula dituangkan dengan jelas dalam Lampiran [vide Pasal 44 ayat
(2)] UU Nomor 10 Tahun 2004 yang merupakan bagian tak terpisahkan dari
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang antara lain menentukan:
1.
Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk
peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh
karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut norma yang
diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian penjelasan sebagai sarana untuk
memperjelas norma batang tubuh, tidak boleh mengakibatkan terjadinya
ketidakjelasan norma yang dijelaskan;
2.
Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk
membuat peraturan lebih lanjut. Oleh karena itu hindari membuat rumusan norma
di bagian penjelasan;
3.
Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat
perubahan terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan”;
Terjadinya penggantian Undang-Undang yang mengatur tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (dalam hal ini dari Undang Nomor 10
Tahun 2004 diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011) tidaklah
serta-merta mengubah pendapat Mahkamah terhadap masalah ini sebab Mahkamah
mendasarkan pertimbangan putusannya pada Konstitusi (UUD 1945) sehingga
kalaupun Mahkamah menyertakan ketentuan Undang-Undang tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan di dalamnya, hal itu adalah untuk lebih menguatkan
sekaligus lebih mengkonkritkan pendapat Mahkamah. Lagipula, perubahan
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya
terhadap ketentuan yang berkenaan dengan perkara a quo, justru memperkuat pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah
di atas. Hal itu tampak jelas dari
Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (mengenai Penjelasan) yang
menyatakan:
Penjelasan
berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas
norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat
uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam
norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk
memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya
ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.
Penjelasan
tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut
dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma.
Penjelasan
tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Rumusan
penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai berikut:
a.
tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam
batang tubuh;
b.
tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma
yang ada dalam batang tubuh;
c.
tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur
dalam batang tubuh;
d.
tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian
yang telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau
e.
tidak memuat rumusan pendelegasian.
Dalam kasus a quo,
norma dalam batang tubuh Pasal 7 huruf r UU 8/2015 berbunyi, “Warga negara Indonesia yang dapat menjadi
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati,
serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan
sebagai berikut:….. r. tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”. Norma
yang hendak dijelaskan dari ketentuan dalam batang tubuh ini adalah frasa pada
huruf r, yaitu frasa “tidak memiliki konflik
kepentingan dengan petahana.” Namun dalam penjelasan dikatakan, “yang dimaksud dengan “tidak memiliki konflik
kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan
perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah,
ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik,
ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan”. Dengan
rumusan demikian, penjelasan a quo bukan
saja telah menimbulkan persoalan diskriminasi (serta persoalan
inkonstitusionalitas lain) tatkala dihubungkan dengan norma yang hendak
dijelaskan, sebagaimana telah diuraikan pada sub-paragraf [3.16.1] sampai dengan [3.16.3]
di atas, tetapi juga telah membuat rumusan norma baru, yaitu dengan menambahkan
frasa “kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.” Masalah ikutan
dari pemuatan norma baru ini ialah bahwa ia (norma baru dalam penjelasan itu)
tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum pembuatan peraturan
perundang-undangan untuk melaksanakan ketentuan dalam UU 8/2015 ini. Konkritnya,
sebagai sekadar ilustrasi, andaikata permohonan a quo tidak ada, keluarga petahana tetap tidak dapat menggunakan
ketentuan norma “kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan” ini
sebagai dasar hukum untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah sekiranya
kerabatnya yang menjadi kepala daerah telah melewati jeda dimaksud. Sebab
ketentuan itu tidak ada dalam batang tubuh atau dalam norma pasal yang
dijelaskan. Sementara itu, penjelasan dikatakan tidak dapat digunakan sebagai
dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut. Dengan demikian, logikanya:
kalau menggunakan penjelasan sebagai dasar hukum pembentukan peraturan
perundang-undangan saja tidak dibenarkan, apalagi menggunakannya sebagai dasar
pemenuhan hak. Lebih-lebih jika penjelasan tersebut memuat norma baru.
[3.16.6] Bahwa, dengan seluruh pertimbangan di atas bukan berarti
Mahkamah menafikan kenyataan di mana kepala daerah petahana (incumbent) memiliki berbagai keuntungan,
sebagaimana dikemukakan oleh Presiden, sehingga karenanya penting untuk
dirumuskan pembatasan-pembatasan agar keuntungan-keuntungan itu tidak
disalahgunakan oleh kepala daerah petahana untuk kepentingan dirinya (jika ia
hendak mencalonkan diri kembali), anggota keluarganya, kerabatnya, atau
kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengannya. Namun, pembatasan demikian
haruslah ditujukan kepada kepala daerah petahana itu, bukan kepada keluarganya,
kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu tersebut. Sebab,
keuntungan-keuntungan itu melekat pada si kepala daerah petahana sehingga
kemungkinan penyalahgunaannya juga melekat pada si kepala daerah petahana.
Keluarga kepala daerah petahana atau kelompok-kelompok tertentu hanya mungkin
diuntungkan oleh keadaan demikian jika ada peran atau keterlibatan si kepala
daerah petahana, terlepas dari persoalan apakah peran atau keterlibatan si
kepala daerah petahana itu dilakukan secara langsung dan terang-terangan atau
secara tidak langsung dan terselubung. Terhadap kemungkinan-kemungkinan yang
demikian itulah seharusnya pembatasan-pembatasan terhadap kepala daerah
petahana dirumuskan dalam norma Undang-Undang.
[3.17] Menimbang,
berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil
Pemohon sepanjang menyangkut inkonstitusionalitas Pasal 7 huruf r dan
Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 adalah beralasan menurut hukum;
[3.18] Menimbang,
selanjutnya terhadap pertanyaan “apakah pengaturan secara berbeda bagi anggota
DPR, DPD, dan DPRD yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah dengan
cukup hanya memberitahukan kepada pimpinannya masing-masing, sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 huruf s UU 8/2015, dengan Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI,
anggota Polri, dan pejabat BUMN/BUMD yang harus mengundurkan diri sejak saat
pendaftaran jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah, dimana
pengunduran diri tersebut tidak dapat ditarik kembali, sebagaimana diatur dalam
Pasal 7 huruf t dan huruf u UU 8/2015, bertentangan dengan UUD 1945?”,
sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.14]
huruf b di atas, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.18.1] Bahwa Presiden, dalam keterangannya yang disampaikan pada
persidangan tanggal 22 April 2015, menjelaskan dasar pemikiran dibuatnya
pembedaan antara PNS, anggota TNI, anggota Polri, pegawai BUMN/BUMD dengan
anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD jika hendak mencalonkan diri sebagai
kepala daerah adalah:
Pertama, jabatan-jabatan di PNS, TNI, Polri, BUMN, dan BUMD tidak
memiliki jangka waktu, sebaliknya untuk anggota DPR, DPD, dan DPRD masa
jabatannya ditentukan lima tahun. Kedua,
sifat pekerjaan DPR, DPD, dan DPRD adalah kolektif kolegial, sehingga ketika
ditinggal salah satu anggotanya, sistem besarnya tidak terganggu. Hal itu
berbeda dengan posisi PNS, TNI, dan Polri yang jabatannya terikat dengan
pelaksanaan jabatan dan tugasnya secara individual, sehingga apabila ditinggal
untuk sementara waktu akan terjadi persoalan dalam institusinya. Namun, pada
kesempatan yang sama, Pemerintah juga mengakui perlunya mempertimbangkan agar
aspek fairness dan equality antara PNS, TNI, Polri dengan
anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD dimana hal itu diserahkan kepada
Mahkamah untuk mempertimbangkannya.
[3.18.2] Bahwa terhadap persoalan yang sama, DPR dalam keterangannya pada
persidangan tanggal 22 April 2015 memberikan alasan yang berbeda. Menurut DPR,
dibedakannya persyaratan antara PNS, anggota TNI, Polri, pejabat BUMN/BUMD
dengan anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD jika hendak mencalonkan diri
sebagai kepala daerah, alasannya adalah karena jabatan anggota DPR, anggota
DPD, maupun anggota DPRD adalah jabatan politik yang diperoleh melalui proses
pemilihan umum secara langsung oleh rakyat, sehingga mekanisme pengunduran
dirinya pun harus disebabkan oleh alasan-alasan yang bersifat khusus, sedangkan
jabatan TNI, Polri, PNS, pejabat BUMN/BUMD adalah jabatan profesi yang sifatnya
profesional dan merupakan pilihan karier. Pemilihan kepala daerah (Pilkada)
merupakan aktivitas proses demokrasi yang tidak terlepas dari penyelenggaraan Pemilu
karena Pilkada memiliki output yakni
pejabat politik bukan memilih pejabat administratif. Namun, sebagaimana halnya Presiden,
DPR melalui keterangannya yang disampaikan pada persidangan tanggal 21 Mei 2015
menyatakan bahwa perihal ketidakseragaman syarat dimaksud DPR pun menyerahkan
sepenuhnya kepada Mahkamah untuk mempertimbangkan apakah hal itu dapat
dikategorikan telah menimbulkan aturan yang diskriminatif dan menciptakan
perlakuan yang berbeda kepada sesama warga negara Indonesia;
[3.19] Menimbang, terlepas dari fakta bahwa UU
8/2015 adalah berasal dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu),
in casu Perpu Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, sehingga menurut penalaran
yang wajar dapat dimengerti bahwa proses pembahasannya tidaklah seintensif
pembahasan Undang-Undang yang lahir melalui proses legislasi “normal”,
keterangan Presiden dan DPR selaku pembentuk Undang-Undang sebagaimana
diuraikan pada paragraf [3.18] di
atas menunjukkan bahwa di kalangan pembentuk Undang-Undang sendiri (Presiden
bersama DPR) sesungguhnya belum terdapat kesatuan pandangan perihal dibedakannya
persyaratan bagi PNS, anggota TNI, anggota Polri, pejabat BUMN/BUMD dengan
anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD jika hendak mencalonkan diri sebagai
kepala daerah. Namun, keadaan demikian tidaklah ipso facto dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan yang cukup
untuk menyatakan bahwa ketentuan yang memuat perbedaan demikian adalah
bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, terhadap isu ini, Mahkamah akan
mempertimbangkannya lebih lanjut;
[3.20] Menimbang bahwa berkenaan dengan syarat
pengunduran diri anggota PNS jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala
daerah, Mahkamah secara tidak langsung telah menyatakan pendapatnya lewat
putusannya tentang syarat mengundurkan bagi PNS yang hendak mencalonkan diri
sebagai calon legislatif, sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor
45/PUU-VIII/2010, bertanggal 1 Mei 2012 yang kemudian dirujuk dalam Putusan
Nomor 12/PUU-XI/2013, bertanggal 9 April 2013, selanjutnya dirujuk kembali
dalam Putusan Nomor 57/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Januari 2014, dan terakhir
dirujuk pula dalam Putusan Nomor 41/PUU-XII/2014, bertanggal 8 Juli 2015. Dalam
ketiga putusan tersebut, Mahkamah menyatakan pendiriannya bahwa:
Ketika seseorang telah menjadi PNS maka ia telah mengikatkan
diri dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur birokrasi pemerintahan, sehingga pada
saat mendaftarkan diri untuk menjadi calon dalam jabatan politik yang
diperebutkan melalui mekanisme pemilihan umum, dalam hal ini sebagai calon
anggota DPD, maka Undang-Undang dapat menentukan syarat-syarat yang di
antaranya dapat membatasi hak-haknya sebagai PNS sesuai dengan sistem politik
dan ketatanegaraan yang berlaku pada saat ini. Dari perspektif kewajiban,
keharusan mengundurkan diri tidak harus diartikan sebagai pembatasan HAM karena
tidak ada HAM yang dikurangi dalam konteks ini, melainkan sebagai konsekuensi
yuridis atas pilihannya sendiri untuk masuk ke arena pemilihan jabatan politik,
sehingga wajib mengundurkan diri dari PNS guna mematuhi peraturan
perundang-undangan di bidang birokrasi pemerintahan. Menurut Mahkamah,
perspektif manapun dari dua perspektif itu yang akan dipergunakan dalam perkara
a quo maka kewajiban mengundurkan diri menurut undang-undang bagi PNS yang akan
ikut pemilihan anggota DPD tersebut bukanlah pelanggaran hak konstitusional.
Meskipun
konteks putusan di atas adalah pengunduran diri PNS yang hendak mencalonkan
diri sebagai anggota DPD, esensinya tidak berbeda dengan permohonan a quo karena baik DPD maupun kepala
daerah adalah sama-sama merupakan jabatan politik yang pengisiannya dilakukan
melalui pemilihan (elected official),
artinya sama-sama melalui proses politik yang melibatkan rakyat sebagai
pemilih. Oleh karena itu, sepanjang menyangkut pengunduran diri PNS an sich, pertimbangan Mahkamah di atas
juga berlaku terhadap permohonan a quo.
Artinya, tidak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, dalam korelasinya dengan
ketentuan lain dari UU 8/2015, sebagaimana didalilkan Pemohon, Mahkamah akan
mempertimbangkannya lebih lanjut;
[3.21] Menimbang
bahwa berkenaan dengan syarat pengunduran diri anggota TNI dan Polri yang
hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah (atau wakil kepala daerah), yang
di dalamnya juga menyinggung kedudukan PNS, Mahkamah pun telah pula menyatakan
pendiriannya sebagaimana dapat dilihat dalam Putusan Nomor 57/PUU-XI/2013,
bertanggal 23 Januari 2014, yang merujuk pada pertimbangan Mahkamah dalam
Putusan Nomor 67/PUU-X/2012, bertanggal 15 Januari 2013, yang antara lain
menyatakan:
Bahwa frasa “surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan
negeri” dalam Pasal 59 ayat (5) huruf g UU 12/2008, menurut Mahkamah adalah ketentuan
persyaratan yang sudah jelas bagi anggota TNI maupun Polri yang akan
mendaftarkan diri menjadi peserta Pemilukada dalam menjaga profesionalitas dan
netralitas. Dalam rangka penyelenggaraan pemilu dalam hal ini Pemilukada yang
demokratis, jujur, dan akuntabel, para peserta Pemilu, khususnya yang berasal
dari PNS, anggota TNI dan anggota Polri tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan
jabatan, kewenangan, dan pengaruh yang melekat pada dirinya sebagai akibat
jabatan yang disandangnya pada saat Pemilukada berlangsung.
Selanjutnya,
dalam Putusan Mahkamah Nomor 57/PUU-XI/2013 di atas, Mahkamah menambahkan yang
sekaligus menyimpulkan pendapatnya dengan menyatakan:
Dari pertimbangan hukum
putusan yang dikutip di atas, dapat disimpulkan bahwa Mahkamah berpendapat,
baik kepala daerah dan wakil kepala daerah, PNS, anggota Tentara Nasional
Indonesia (TNI), dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)
merupakan jabatan yang perlu disyaratkan pengunduran dirinya jika hendak ikut
serta sebagai calon anggota DPR, DPD, atau DPRD, dengan alasan yang
masing-masing berbeda, namun intinya adalah jabatan-jabatan tersebut
bersinggungan dengan kewenangan yang diemban, yang potensial disalahgunakan,
sehingga mengurangi nilai fairness dalam pemilihan umum yang hendak diikuti,
serta potensial pula mengganggu kinerja jabatannya jika yang bersangkutan tidak
mengundurkan diri.
Berdasarkan
uraian di atas maka sepanjang menyangkut syarat pengunduran diri anggota TNI,
anggota Polri jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah, termasuk juga
jika hendak mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPD, atau DPRD, an sich, hal itu tidak bertentangan
dengan UUD 1945. Namun, sebagaimana halnya pertimbangan terhadap pengunduran
diri PNS, dalam kaitan dengan ketentuan lain dari UU 8/2015 yang dimohonkan
pengujian dalam permohonan a quo,
Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut;
[3.22] Menimbang
bahwa kalau terhadap syarat pengunduran diri PNS, anggota TNI, anggota Polri jika
hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah (termasuk jabatan politik lainnya
yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan, elected officials) menurut Mahkamah telah dinyatakan tidak
bertentangan dengan UUD 1945, apakah pertimbangan yang sama dapat diberlakukan
terhadap pejabat atau pegawai BUMN/BUMD yang hendak mencalonkan diri sebagai
kepala daerah (termasuk jabatan politik lainnya yang pengisiannya
dilakukan melalui pemilihan)? Menurut
Mahkamah, pertimbangan yang sama juga berlaku dalam hubungan ini. Sebab, jabatan
atau kedudukan seseorang di suatu BUMN/BUMD juga merupakan pilihan profesi dan
berkaitan langsung dengan kepentingan negara dalam upaya untuk menciptakan
kesejahteraan rakyat, sehingga dengan sendirinya bersangkut-paut pula dengan
birokrasi pemerintahan, kendatipun BUMN/BUMD tersebut telah berbentuk badan
hukum privat yang kekayaannya telah dipisahkan dari kekayaan negara. Oleh
karena itu, apabila seorang pejabat atau pegawai BUMN/BUMD setiap saat, tanpa
persyaratan apa pun, diperbolehkan meninggalkan jabatan atau tugasnya demi
mengejar jabatan politik, negara atau pemerintah akan menanggung kerugian,
sebagaimana halnya jika hal yang sama terjadi pada PNS, anggota TNI, anggota Polri;
[3.23] Menimbang, agar tidak menimbulkan
penafsiran yang berbeda terhadap frasa “pada
saat mendaftarkan diri” yang terdapat dalam pertimbangan Mahkamah pada
paragraf [3.20] di atas, Mahkamah
perlu menegaskan bahwa frasa dimaksud adalah suatu pengertian umum, bukan
pengertian teknis sebagai bagian dari tahapan pencalonan seseorang menjadi
kepala daerah (atau tahapan pencalonan menjadi anggota DPR, DPD, DPRD).
Sebagaimana diketahui, seseorang yang mendaftar menjadi calon kepala daerah
(demikian pula untuk menjadi anggota DPR, DPD, DPRD) harus melalui tahapan
verifikasi oleh KPU/KIP terlebih dahulu sebelum resmi ditetapkan sebagai calon.
Tegasnya,
dalam konteks permohonan a quo,
seorang PNS atau anggota TNI, anggota Polri, atau pejabat/pegawai BUMN/BUMD
yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah
wajib mengundurkan diri sebagai PNS (atau anggota TNI, anggota Polri, atau
pejabat/pegawai BUMN/BUMD) setelah resmi ditetapkan sebagai calon kepala daerah
atau wakil kepala daerah. Dasar pertimbangan Mahkamah adalah tidaklah
proporsional, dan karenanya tidaklah adil, jika seorang PNS (atau seorang
anggota TNI, anggota Polri, atau pejabat/pegawai BUMN/BUMD) diharuskan
mengundurkan diri dari kedudukan atau jabatannya sebagai PNS (atau sebagai
anggota TNI, anggota Polri, atau pejabat/pegawai BUMN/BUMD) sejak mendaftarkan
diri sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah sementara yang
bersangkutan belum tentu lulus verifikasi untuk ditetapkan sebagai calon kepala
daerah atau wakil kepala daerah yang resmi.
Dikatakan
tidak proporsional (dan karenanya tidak adil) karena terhadap proses yang sama
dan untuk jabatan yang sama terdapat sekelompok warga negara yang hanya
dipersyaratkan memberitahukan kepada pimpinannya jika hendak mencalonkan diri
sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, yaitu dalam hal ini warga
negara yang berstatus sebagai anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD.
Alasan pembentuk Undang-Undang bahwa jabatan DPR, DPD, dan DPRD adalah bersifat
kolektif kolegial, sehingga jika terdapat anggota DPR, DPD, atau DPRD
mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah tidak menggangu
pelaksanaan tugas dan fungsinya, tidaklah cukup untuk dijadikan alasan
pembedaan perlakuan tersebut. Sebab orang serta-merta dapat bertanya, bagaimana
jika yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah itu
adalah Pimpinan DPR, atau Pimpinan DPD, atau Pimpinan DPRD, atau bahkan Pimpinan
alat kelengkapan DPR, DPD atau DPRD? Bukankah hal itu akan menimbulkan pengaruh
terhadap tugas dan fungsinya? Sebab, paling tidak, jika nantinya yang
bersangkutan terpilih, hal itu akan berakibat dilakukannya proses pemilihan
kembali untuk mengisi kekosongan jabatan yang ditinggalkan oleh yang
bersangkutan. Dengan demikian, persoalannya bukanlah kolektif kolegial atau
bukan, tetapi menyangkut tanggung jawab dan amanah yang telah diberikan oleh
masyarakat kepada yang bersangkutan.
Timbul
pertanyaan, bagaimana penyelenggara pemilihan kepala daerah, (in casu KPU/KIP) memperoleh pegangan dan
kepastian pada saat seorang PNS, anggota TNI, anggota Polri, atau
pejabat/pegawai BUMN/BUMD mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah atau
wakil kepala daerah bahwa setelah resmi ditetapkan sebagai calon yang
bersangkutan akan benar-benar mengundurkan diri sebagai PNS, anggota TNI,
anggota Polri, atau pejabat/pegawai BUMN/BUMD? Guna menghilangkan keragu-raguan
yang demikian itu, kepada PNS, anggota TNI, anggota Polri, pejabat/pegawai
BUMN/BUMD, dipersyaratkan untuk membuat pernyataan yang menyatakan bahwa
apabila telah ditetapkan secara resmi oleh penyelenggara pemilihan sebagai
calon dalam jabatan publik atau jabatan politik yang mekanismenya dilakukan
melalui pemilihan itu maka yang bersangkutan membuat surat pernyataan
pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali, yaitu pada saat mendaftarkan
diri dan berlaku sejak ditetapkan secara resmi sebagai calon.
Berdasarkan
pertimbangan di atas maka Pasal 7 huruf t UU 8/2015 yang menyatakan, “mengundurkan diri sebagai Tentara Nasional
Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil sejak mendaftarkan diri sebagai calon” dan
Pasal 7 huruf u UU 8/2015 yang menyatakan, “berhenti
dari jabatan pada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai calon” adalah
inkonstitusional bersyarat (conditionally
unconstitutional) kecuali jika kedua frasa dalam kedua ketentuan a quo diartikan “mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh
KPU/KIP”;
[3.24] Menimbang, sejalan dengan pertimbangan
sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.20]
sampai dengan paragraf [3.23] di
atas, yaitu bahwa oleh karena pertimbangan perihal konstitusional-tidaknya
syarat pengunduran diri PNS, anggota TNI, anggota Polri, pejabat/pegawai
BUMN/BUMD yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala
daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf t dan huruf u UU 8/2015, berkait
langsung dengan pertimbangan perihal konstitusional-tidaknya syarat “memberitahukan pencalonannya sebagai
Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota
kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah,
atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah”, sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 huruf s UU 8/2015, maka pertimbangan sebagaimana diuraikan pada
paragraf [3.20] sampai dengan
paragraf [3.23] di atas, mutatis mutandis berlaku terhadap Pasal 7
huruf s UU 8/2015. Dengan demikian, Pasal 7 huruf s UU 8/2015 adalah
inkonstitusional bersyarat (conditionally
inconstitutional) sepanjang frasa “memberitahukan
pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota,
dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan
Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” dalam
Pasal tersebut tidak diartikan “mengundurkan
diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai calon Gubernur, calon Wakil
Gubernur, calon Bupati, calon Wakil Bupati, calon Walikota, dan calon Wakil
Walikota bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Dalam hubungan ini, prosedur yang berlaku terhadap
PNS, anggota TNI, anggota Polri, pejabat/pegawai BUMN/BUMD, sebagaimana
diuraikan pada paragraf [3.23] di
atas juga berlaku terhadap anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD yang
hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, yaitu
kepada anggota DPR, anggota DPD, atau anggota DPRD dipersyaratkan untuk membuat
pernyataan yang menyatakan bahwa apabila telah ditetapkan secara resmi oleh
penyelenggara pemilihan sebagai calon kepala daerah atau calon wakil kepala
daerah maka yang bersangkutan membuat surat pernyataan pengunduran diri yang
tidak dapat ditarik kembali, yaitu pada saat mendaftarkan diri dan berlaku
sejak ditetapkan secara resmi sebagai calon.
[3.25] Menimbang
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.18] sampai dengan paragraf [3.24] di atas, dalil Pemohon sepanjang
menyangkut inkonstitusionalitas Pasal 7 huruf r, Pasal 7 huruf s, dan
Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 adalah beralasan menurut hukum untuk
sebagian.
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon
untuk sebagian.
1.1.
Pasal 7 huruf r beserta Penjelasan Pasal 7
huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2.
Pasal 7 huruf r beserta Penjelasan Pasal 7
huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5678) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.3.
Pasal 7 huruf s sepanjang frasa “memberitahukan
pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota,
dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan
Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “mengundurkan diri sejak
calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai calon Gubernur, calon Wakil Gubernur, calon Bupati, calon Wakil
Bupati, calon Walikota, dan calon Wakil Walikota bagi anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah”;
1.4.
Pasal 7 huruf s sepanjang frasa “memberitahukan
pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota,
dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan
Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5678) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai, “mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan
oleh KPU/KIP sebagai calon Gubernur,
calon Wakil Gubernur, calon Bupati, calon Wakil Bupati, calon Walikota, dan
calon Wakil Walikota bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan
Perwakilan Daerah, atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”;
2. Menolak permohonan Pemohon untuk
selain dan selebihnya;
3. Memerintahkan
pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana
mestinya.
====================
Link Putusan >>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar