Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Rabu, 08 Juli 2015

KONSTITUSIONALITAS PETAHANA DAN JABATAN ANGGOTA LEGISLATIF DALAM PENCALONAN PEMILUKADA




Pada tanggal 20 Februari 2015 anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Periode 2014-2019 yang bernama Adnan Purichta Ichsan, S.H., mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam permohonannya Pemohon melalui kuasa hukumnya yaitu Heru Widodo, SH., dkk., menguji Pasal 7 huruf r dan huruf s serta penjelasan pasal 7 huruf r yang menyatakan:
Pasal 7 huruf r dan huruf s
Beberapa ketentuan dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656), sebagai berikut:
...
6. Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
...
r.    tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana;
s.     memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan DPRD bagi anggota DPRD

Penjelasan Pasal 7 huruf r
“yang dimaksud dengan “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan”;

Dalam permohonannya Pemohon menyatakan bahwa Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia, yang kebetulan memiliki hubungan kekerabatan dengan Bupati Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan keadaan demikian, terdapat potensi bahwa hak konstitusional Pemohon akan dirugikan dan kerugian dimaksud, menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, apabila Pemohon mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang disebabkan oleh keberadaan ketentuan Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, in casu Pasal 7 huruf r UU 8/2015. Hak-hak konstitusional dimaksud, sebagaimana yang didalilkan Pemohon, adalah hak atas kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan [Pasal 27 ayat (1) UUD 1945], hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum [Pasal 28D ayat (1) UUD 1945], hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan [Pasal 28D ayat (3) UUD 1945], dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun [Pasal 28I ayat (2) UUD 1945]. Dengan uraian demikian tampak adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian hak-hak konstitusional sebagaimana didalikan Pemohon dengan berlakunya Pasal 7 huruf r beserta Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 yang dimohonkan pengujian. Tampak pula bahwa jika permohonan ini dikabulkan maka kerugian sebagaimana diuraikan di atas tidak akan terjadi.
Untuk menjawab persoalan kontitusionalitas norma pasal tersebut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Pendapat Mahkamah
[3.12]        Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan seksama bukti-bukti Pemohon dan mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana disebutkan pada paragraf [3.10] dan [3.11] di atas, selanjutnya Mahkamah akan menyampaikan pendapatnya sebagaimana akan dijelaskan dalam pertimbangan-pertimbangan di bawah ini.
[3.13]        Menimbang, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil Pemohon, Mahkamah menilai bahwa substansi dari permohonan a quo tak terpisahkan dari persoalan yang menjadi isu konstitusional utama dalam pemilihan kepala daerah yaitu bagaimanakah seharusnya pembentuk Undang-Undang menjabarkan lebih lanjut semangat demokrasi yang terkandung dalam amanat Konstitusi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, berkenaan dengan pengaturan pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) di Indonesia?
                  Terlepas dari pernyataan bernuansa “adagium” yang menyatakan bahwa demokrasi itu tidak ada ujungnya melainkan ia tumbuh menjadikan dirinya sendiri (democracy has no end, it grows into its being), kiranya tak seorang pun akan membantah bahwa salah satu ideal demokrasi adalah bagaimana melibatkan sebanyak mungkin rakyat untuk turut serta dalam proses politik, khususnya dalam membuat keputusan politik, yang langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap dirinya. Oleh karena itu, dalam konteks pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota), pembentuk Undang-Undang yang menjatuhkan pilihan pada pemilihan kepala daerah secara langsung sebagai penjabaran amanat yang termuat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, hal itu sesungguhnya merupakan bagian dari upaya konstitusional untuk mendekati ideal demokrasi dimaksud.
                  Namun, ideal demokrasi demikian tidak akan tercapai manakala proses dan mekanisme politik untuk menuju arah itu “dilepaskan” begitu saja sehingga yang terjadi pada akhirnya adalah sekadar pemenuhan formula prosedural demokrasi “siapa yang berhasil memperoleh suara terbanyak dialah yang berhak memerintah atau membuat keputusan politik atas nama publik.” Sebab jika demikian halnya maka salah satu kemungkinan yang akan terjadi adalah terpilihnya orang-orang yang berhak menduduki jabatan-jabatan publik (yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan, elected public officials) hanya karena yang bersangkutan mampu meraih suara terbanyak namun sesungguhnya tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk memangku jabatan itu. Karena itulah demokrasi membutuhkan rule of law. Karena itu pula lahir gagasan negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democratic state), sebagaimana yang sekarang juga dianut dan berlaku di Indonesia.
                  Dalam gagasan negara demokrasi yang berdasar atas hukum itu, ruang bagi terlibatnya sebanyak mungkin rakyat dalam proses dan pengambilan keputusan politik tetap dibuka tetapi pada saat yang sama pembatasan-pembatasan tertentu, yang dirumuskan atau dituangkan dalam norma hukum yang berlaku umum, diberlakukan karena memang dibutuhkan agar mereka yang nantinya terpilih sebagai pemegang jabatan publik itu adalah mereka yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk itu dalam arti yang seluas-luasnya.  Namun, sesuai dengan gagasan negara demokrasi yang berdasar atas hukum, pembatasan-pembatasan demikian tidak boleh dibuat sedemikian rupa sehingga membatasi atau bahkan menghilangkan secara tidak konstitusional hak-hak mendasar warga negara, terlebih tatkala hak-hak mendasar tersebut tegas dinyatakan dalam dan dijamin oleh Konstitusi dan karenanya menjadi hak-konstitusional sehingga hak-hak itu telah menjadi bagian dari Konstitusi. Tatkala hak-hak tersebut telah menjadi bagian dari Konstitusi, sementara Konstitusi adalah hukum dasar, maka hak-hak itupun telah menjadi bagian dari hukum dasar yang mengikat seluruh cabang kekuasaan negara, termasuk juga warga negara.
                  Oleh karena itu, sekadar untuk menyebut contoh dalam hubungannya dengan permohonan a quo, sekalipun dalam negara demokrasi yang berdasar atas hukum dibenarkan pemberlakuan pembatasan-pembatasan terhadap mereka (warga negara) yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah (gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota), pembatasan-pembatasan tersebut tidak boleh memuat ketentuan yang bersifat diskriminatif, menghambat atau bahkan menghilangkan secara tidak sah hak warga negara untuk beroleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, atau pembatasan-pembatasan demikian justru menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya, dan sebagainya. Bertolak dari gagasan pokok inilah selanjutnya Mahkamah akan memberikan pertimbangannya dalam mengadili permohonan a quo.
[3.14]        Menimbang bahwa setelah Mahkamah menguraikan perihal makna semangat demokrasi dalam kaitannya dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 untuk pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota), selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil Pemohon, sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.9] di atas. Dari seluruh argumentasi yang dikemukakan Pemohon dalam permohonannya, sesungguhnya hanya ada dua hal yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut oleh Mahkamah, yaitu:
a.    apakah pembatasan terhadap hak pihak-pihak yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang semata-mata didasarkan pada adanya hubungan kekerabatan pihak tersebut dengan kepala daerah petahana (incumbent), baik yang timbul dari hubungan darah maupun hubungan perkawinan, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015, bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon?
b.    apakah pengaturan secara berbeda bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang cukup hanya memberitahukan kepada pimpinannya masing-masing, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf s UU 8/2015, dengan Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI/Polri, dan pejabat BUMN/BUMD yang harus mengundurkan diri sejak saat pendaftaran jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah, dimana pengunduran diri tersebut tidak dapat ditarik kembali, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf t dan huruf u UU 8/2015, bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon?
[3.15]        Menimbang, terhadap pertanyaan pertama (huruf a), dengan bertolak dari keterangan pembentuk Undang-Undang (DPR dan Presiden), telah ternyata bahwa maksud pembentuk Undang-Undang mencantumkan ketentuan Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 adalah untuk menciptakan kompetisi yang fair antara calon yang berasal dari keluarga petahana (incumbent) dan calon lain sehingga dengan demikian akan tercegah berkembangnya apa yang dinamakan “politik dinasti” atau “dinasti politik”. Sementara itu, menurut Presiden, politik dinasti tersebut tidak dapat dipisahkan dari konsep petahana (incumbent). Penjelasannya, menurut Presiden, adalah sebagai berikut: Pertama, karena petahana mempunyai akses terhadap kebijakan dan akses terhadap alokasi anggaran sehingga dapat memberikan keuntungan pribadi untuk memenangkan pemilihan kepala daerah atau memenangkan kelompok-kelompoknya. Kedua, petahana secara alamiah memiliki berbagai fasilitas dan tunjangan yang melekat kepada dirinya sehingga, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, fasilitas dan tunjangan itu melekat terus menerus. Ketiga, karena sedang menjabat maka petahana memiliki keunggulan terhadap program-program, terhadap kegiatan-kegiatan yang seluruhnya atau sebagian dapat diarahkan untuk memenangkan dirinya atau memenangkan dinastinya. Keempat, terkait dengan netralitas PNS di mana petahana mempunyai akses yang lebih besar untuk memobilisasi PNS guna memberikan dukungan yang menguntungkan dirinya. Atas dasar itu kemudian ditarik asumsi bahwa calon yang berasal dari keluarga petahana dan calon lain tidak berada dalam kondisi equal. Dengan kata lain, dalam asumsi pembentuk Undang-Undang, in casu pemerintah, maksud dari ketentuan yang memberikan pembatasan terhadap keluarga petahana itu adalah agar semua calon berangkat dari kondisi equal sehingga kompetisi berlangsung secara fair.
                  Keterangan Presiden tersebut diperkuat oleh keterangan DPR yang antara lain menyatakan bahwa dinasti politik telah marak terjadi di berbagai daerah. Menurut DPR, ada dua hal yang mendasari berkembangnya dinasti politik tersebut. Pertama, macetnya kaderisasi politik dalam menjaring calon kepala daerah yang berkualitas sehingga menciptakan pragmatisme politik dengan mendorong kalangan sanak keluarga kepala daerah untuk menjadi pejabat publik. Kedua, konteks masyarakat yang menjaga adanya kondisi status quo di daerahnya yang menginginkan kepala daerah untuk berkuasa dengan cara mendorong kalangan keluarga atau orang dekat kepala daerah untuk menggantikan petahana. Dengan demikian, menurut DPR, adanya pengaturan mengenai “dinasti politik” ini justru merupakan langkah progresif yang positif karena dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pengaturan demikian belum ada sehingga terjadilah dinasti politik di berbagai daerah.
                  Dengan penjelasan demikian tampak jelas bagi Mahkamah bahwa yang dimaksud dengan mencegah berkembangnya “politik dinasti” atau “dinasti politik” oleh pembentuk Undang-Undang adalah upaya pembentuk Undang-Undang mencegah timbulnya keadaan di mana kepala daerah (gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota) di suatu daerah dikuasai oleh atau jatuh di tangan suatu keluarga tertentu. Adapun “keluarga”, secara tersirat, dimaknai sebagai ikatan kekerabatan baik yang lahir karena hubungan darah maupun karena perkawinan, sebagaimana tampak dari Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015.  
[3.16]        Menimbang bahwa oleh karena maksud pembentuk Undang-Undang berkenaan dengan rumusan norma Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 telah jelas, yaitu sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.15] di atas, maka telah terang bagi Mahkamah:
[3.16.1]     Bahwa pembentuk Undang-Undang sesungguhnya telah menyadari sejak semula kalau dengan rumusan sebagaimana tertulis dalam Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tersebut berarti telah membuat pembatasan yang bersifat menghalangi hak konstitusional warga negara dari kelompok tertentu, in casu warga negara yang terlahir dari atau mempunyai ikatan kekerabatan dengan keluarga kepala daerah petahana (incumbent) karena perkawinan. Meskipun pembatasan terhadap hak konstitusional warga negara, atau hak asasi manusia pada umumnya, dimungkinkan menurut UUD 1945, pembatasan demikian tunduk kepada persyaratan yang ketat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Berkait dengan dimungkinkannya pembatasan terhadap hak atau kebebasan seseorang, Mahkamah bahkan sejak awal masa keberadaannya telah menyatakan pendapatnya, sebagaimana termuat dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003, bertanggal 24 Februari 2004, yang di dalam pertimbangan hukumnya, antara lain, menyatakan:
“… memang Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat ketentuan dimungkinkannya pembatasan terhadap hak dan kebebasan seseorang dengan undang-undang, tetapi pembatasan terhadap hak-hak tersebut haruslah didasarkan atas alasan-alasan yang kuat, masuk akal dan proporsional serta tidak berkelebihan. Pembatasan tersebut hanya dapat dilakukan dengan maksud “semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”..... Di samping itu persoalan pembatasan hak pilih (baik aktif maupun pasif) dalam dalam pemilihan umum lazimnya hanya didasarkan atas pertimbangan ketidakcakapan misalnya faktor usia dan keadaan jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility) misalnya karena telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan pada umumnya bersifat individual dan tidak kolektif.”
Dengan demikian, bahwa pembatasan tersebut diatur dengan Undang-Undang hanyalah salah satu persyaratan. Banyak persyaratan lain yang harus dipenuhi, sebagaimana ditegaskan dalam pertimbangan putusan Mahkamah di atas. Dalam putusan yang lain, Mahkamah bahkan menegaskan bahwa pada pembatasan-pembatasan terhadap mereka yang menderita cacat sekalipun tidak boleh dilakukan sedemikian rupa sehingga mereka terhalang pemenuhan hak-hak konstitusionalnya, sebagaimana ditegaskan dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 008/PUU-II/2004, bertanggal 23 April 2004. Dalam konteks ini, pembatasan demikian baru dapat dibenarkan apabila memang nyata-nyata diperlukan mengingat tingkat beratnya cacat orang tersebut (severity of their handicap) sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan baginya untuk melaksanakan hak-hak secara berfaedah (in a meaningful way). Seraya menyitir ketentuan yang tertuang dalam angka 4 Declaration on the Rights of Disabled Persons (1975), Mahkamah dalam pertimbangan putusan tersebut, antara lain, menyatakan:
“Dalam pada itu, paragraf 7 yang dimaksud berbunyi, “Whenever mentally retarded persons are unable, because of the severity of their handicap, to exercise all their rights in a meaningful way or it should become necessary to restrict or deny some or all of theses rights, the procedure used for that restriction or denial of rights must contain proper legal safeguard against every form of abuse…” Dengan demikian pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh undang-undang sepanjang dipandang perlu karena alasan severity of their handicap sehingga tidak memungkinkan yang bersangkutan melaksanakan hak-haknya “in a meaningful way” adalah dibenarkan, oleh karena itu tidak dapat dipandang diskriminatif.
Dengan demikian telah jelas bahwa, sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, syarat untuk dapat membatasi pelaksanaan hak asasi bukan semata-mata bahwa pembatasan itu harus dilakukan dengan Undang-Undang, sebagaimana dijelaskan oleh pembentuk Undang-Undang (DPR dan Presiden) dalam perkara a quo. Seseorang yang karena kelahirannya atau karena memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala daerah petahana tidaklah mengganggu hak atau kebebasan orang lain jika hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Demikian pula, dengan mencalonkan diri sebagai kepala daerah, hal ini pun tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral, agama, keamanan maupun ketertiban umum. Dengan demikian, alasan bahwa larangan itu hanya berlaku sementara, yaitu selama belum terlampauinya jeda satu periode masa jabatan sebagaimana diterangkan oleh DPR, tidaklah menghilangkan substansi pertentangan ketentuan a quo dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Lagi pula, Presiden mengakui bahwa ketentuan sebagaimana termuat dalam Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tidak dibutuhkan sekiranya sistem pengawasan oleh Bawaslu, sistem pengawasan oleh inspektorat, maupun sistem pengawasan oleh BPKP telah berjalan dengan baik. Dengan demikian, problem yang sesungguhnya adalah tidak optimalnya mekanisme pengawasan terhadap kepala daerah petahana oleh institusi-institusi yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan.
[3.16.2]     Bahwa dengan rumusan yang maksudnya sebagaimana diterangkan oleh pembentuk Undang-Undang tersebut, Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 juga mengandung muatan diskriminasi. Ketentuan a quo nyata-nyata (dan diakui oleh pembentuk Undang-Undang) memuat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan atas kelahiran dan status kekerabatan seseorang. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Dengan demikian Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Memang benar bahwa tidak setiap pembedaan serta-merta berarti diskriminasi. Namun, dalam kasus a quo, tampak nyata kalau pembedaan tersebut dibuat semata-mata didasari oleh maksud untuk mencegah kelompok orang tertentu (in casu anggota keluarga kepala daerah petahana) untuk menggunakan hak konstitusionalnya (in casu hak untuk dipilih atau mencalonkan diri, right to be candidate) dan dilakukan dengan cara yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, sebagaimana telah diuraikan dalam sub-paragraf [3.16.1] di atas.
Sesungguhnya, sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 pun larangan terhadap diskriminasi sudah tegas diberlakukan dalam hukum positif Indonesia, sebagaimana termaktub dalam UU HAM. Pasal 3 ayat (3) UU HAM menyatakan, “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.” Sementara itu, yang dimaksud dengan diskriminasi menurut Pasal 1 angka 3 UU HAM adalah “setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.” Dengan demikian, bukan hanya Konstitusi (UUD 1945), UU HAM juga melarang adanya diskriminasi.
Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights, ICCPR), sehingga sesuai dengan prinsip pacta sunt servanda Indonesia menanggung kewajiban hukum internasional (international legal obligation) untuk menaati ketentuan-ketentuan dalam Kovenan ini, salah satu di antaranya adalah ketentuan tentang larangan terhadap praktik diskriminasi. Pasal 26 ICCPR tegas menyatakan, “All persons are equal before the law and are entitled to the equal protection of the law. In this respect, the law shall prohibit any discrimination and guarantee to all persons equal and effective protection against discrimination on any ground such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status.”
Dalam Pasal 26 ICCPR tersebut, kelahiran (birth) bahkan disebut secara khusus. Oleh karena itu, meskipun pemenuhan kewajiban internasional ini tidak serta-merta dapat digunakan sebagai dasar untuk menguji konstitusionalitas suatu norma Undang-Undang, paling tidak ia menegaskan universalitas larangan terhadap praktik diskriminasi dimaksud.
[3.16.3]     Bahwa oleh karena pembatasan yang termuat dalam rumusan Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r  UU 8/2015 tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan sekaligus mengandung muatan diskriminasi, sebagaimana dijelaskan dalam sub-paragraf [3.16.1] dan [3.16.2] di atas, dan oleh karena ketentuan a quo adalah bersangkut-paut dengan hak bagi setiap warga negara atas perlakuan yang sama dalam hukum  dan  pemerintahan  maka  ketentuan  a quo dengan sendirinya juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Secara lebih spesifik, oleh karena hak konstitusional yang terhalangi secara tidak konstitusional oleh ketentuan a quo adalah hak untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah maka telah nyata pula ketentuan a quo melanggar hak konstitusional warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (3) UUD 1945;
[3.16.4]     Bahwa apabila Pasal 7 huruf r UU 8/2015 dimaknai sejalan dengan penjelasannya, sebagaimana diterangkan oleh pembentuk Undang-Undang, telah ternyata bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan pada sub paragraf [3.16.1] sampai dengan [3.16.3] di atas, pertanyaan yang kemudian harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah bagaimana apabila Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tidak dipertimbangkan bersama-sama dengan penjelasannya? Apakah serta-merta hal itu berarti Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tersebut konstitusional? Dengan kata lain, bagaimana jika Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tidak ada?
Menurut Mahkamah, dalam keadaan demikian Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tersebut akan sulit dilaksanakan dalam praktik, khususnya oleh Penyelenggara Pilkada. Sebab, pemaknaan terhadap frasa “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” itu berarti diserahkan kepada penafsiran setiap orang sesuai dengan kepentingannya. Dengan kata lain, dapat dipastikan bahwa tidak akan ada kesamaan pandangan terhadap frasa “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”. Akibatnya, tidak ada kepastian hukum. Padahal, kepastian hukum terhadap penafsiran frasa “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” itu menjadi penentu hak seseorang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang dijamin oleh Konstitusi. Dengan demikian, telah terang bahwa apabila Pasal 7 huruf r UU 8/2015 dimaknai terlepas dari penjelasannya pun, hal itu tetap bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak memberi kepastian hukum yang potensial merugikan hak konstitusional warga negara, in casu hak untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah;
[3.16.5]     Bahwa, khusus terhadap Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015, Mahkamah memandang perlu untuk kembali menegaskan bahwa penjelasan dari suatu ketentuan Undang-Undang akan menjadi bertentangan dengan UUD 1945 jika ia memuat atau merumuskan norma baru. Hal itu, selain dinyatakan dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234), telah pula ditegaskan dalam putusan Mahkamah Nomor 005/PUU-III/2005, bertanggal 22 Maret 2005, yang dibuat tatkala Undang-Undang yang mengatur tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan masih berlaku Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389), yang ternyata juga dikutip dan dijadikan sebagai bagian dari dalil Pemohon. Dalam pertimbangan hukum putusan tersebut, antara lain, dikatakan:
“Menimbang bahwa sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam praktik pembentukan perundang-undangan, yang juga diakui mengikat secara hukum, penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan. Lagi pula kebiasaan ini ternyata telah pula dituangkan dengan jelas dalam Lampiran [vide Pasal 44 ayat (2)] UU Nomor 10 Tahun 2004 yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang antara lain menentukan:
1.     Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan;
2.     Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut. Oleh karena itu hindari membuat rumusan norma di bagian penjelasan;
3.     Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan”;
Terjadinya penggantian Undang-Undang yang mengatur tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (dalam hal ini dari Undang Nomor 10 Tahun 2004 diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011) tidaklah serta-merta mengubah pendapat Mahkamah terhadap masalah ini sebab Mahkamah mendasarkan pertimbangan putusannya pada Konstitusi (UUD 1945) sehingga kalaupun Mahkamah menyertakan ketentuan Undang-Undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan di dalamnya, hal itu adalah untuk lebih menguatkan sekaligus lebih mengkonkritkan pendapat Mahkamah. Lagipula, perubahan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya terhadap ketentuan yang berkenaan dengan perkara a quo, justru memperkuat pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah di atas.  Hal itu tampak jelas dari Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (mengenai Penjelasan) yang menyatakan:
Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.
Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma.
Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Rumusan penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai berikut:
a.    tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
b.    tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada dalam batang tubuh;
c.    tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
d.    tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau
e.    tidak memuat rumusan pendelegasian.
Dalam kasus a quo, norma dalam batang tubuh Pasal 7 huruf r UU 8/2015 berbunyi, “Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:….. r. tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”. Norma yang hendak dijelaskan dari ketentuan dalam batang tubuh ini adalah frasa pada huruf r, yaitu frasa “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.” Namun dalam penjelasan dikatakan, “yang dimaksud dengan “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan”. Dengan rumusan demikian, penjelasan a quo bukan saja telah menimbulkan persoalan diskriminasi (serta persoalan inkonstitusionalitas lain) tatkala dihubungkan dengan norma yang hendak dijelaskan, sebagaimana telah diuraikan pada sub-paragraf [3.16.1] sampai dengan [3.16.3] di atas, tetapi juga telah membuat rumusan norma baru, yaitu dengan menambahkan frasa “kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.” Masalah ikutan dari pemuatan norma baru ini ialah bahwa ia (norma baru dalam penjelasan itu) tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum pembuatan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan ketentuan dalam UU 8/2015 ini. Konkritnya, sebagai sekadar ilustrasi, andaikata permohonan a quo tidak ada, keluarga petahana tetap tidak dapat menggunakan ketentuan norma “kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan” ini sebagai dasar hukum untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah sekiranya kerabatnya yang menjadi kepala daerah telah melewati jeda dimaksud. Sebab ketentuan itu tidak ada dalam batang tubuh atau dalam norma pasal yang dijelaskan. Sementara itu, penjelasan dikatakan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut. Dengan demikian, logikanya: kalau menggunakan penjelasan sebagai dasar hukum pembentukan peraturan perundang-undangan saja tidak dibenarkan, apalagi menggunakannya sebagai dasar pemenuhan hak. Lebih-lebih jika penjelasan tersebut memuat norma baru.
[3.16.6] Bahwa, dengan seluruh pertimbangan di atas bukan berarti Mahkamah menafikan kenyataan di mana kepala daerah petahana (incumbent) memiliki berbagai keuntungan, sebagaimana dikemukakan oleh Presiden, sehingga karenanya penting untuk dirumuskan pembatasan-pembatasan agar keuntungan-keuntungan itu tidak disalahgunakan oleh kepala daerah petahana untuk kepentingan dirinya (jika ia hendak mencalonkan diri kembali), anggota keluarganya, kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengannya. Namun, pembatasan demikian haruslah ditujukan kepada kepala daerah petahana itu, bukan kepada keluarganya, kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu tersebut. Sebab, keuntungan-keuntungan itu melekat pada si kepala daerah petahana sehingga kemungkinan penyalahgunaannya juga melekat pada si kepala daerah petahana. Keluarga kepala daerah petahana atau kelompok-kelompok tertentu hanya mungkin diuntungkan oleh keadaan demikian jika ada peran atau keterlibatan si kepala daerah petahana, terlepas dari persoalan apakah peran atau keterlibatan si kepala daerah petahana itu dilakukan secara langsung dan terang-terangan atau secara tidak langsung dan terselubung. Terhadap kemungkinan-kemungkinan yang demikian itulah seharusnya pembatasan-pembatasan terhadap kepala daerah petahana dirumuskan dalam norma Undang-Undang.
[3.17]        Menimbang, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon sepanjang menyangkut inkonstitusionalitas Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 adalah beralasan menurut hukum;
[3.18]        Menimbang, selanjutnya terhadap pertanyaan “apakah pengaturan secara berbeda bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah dengan cukup hanya memberitahukan kepada pimpinannya masing-masing, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf s UU 8/2015, dengan Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota Polri, dan pejabat BUMN/BUMD yang harus mengundurkan diri sejak saat pendaftaran jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah, dimana pengunduran diri tersebut tidak dapat ditarik kembali, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf t dan huruf u UU 8/2015, bertentangan dengan UUD 1945?”, sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.14] huruf b di atas, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.18.1]  Bahwa Presiden, dalam keterangannya yang disampaikan pada persidangan tanggal 22 April 2015, menjelaskan dasar pemikiran dibuatnya pembedaan antara PNS, anggota TNI, anggota Polri, pegawai BUMN/BUMD dengan anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah adalah:
Pertama, jabatan-jabatan di PNS, TNI, Polri, BUMN, dan BUMD tidak memiliki jangka waktu, sebaliknya untuk anggota DPR, DPD, dan DPRD masa jabatannya ditentukan lima tahun. Kedua, sifat pekerjaan DPR, DPD, dan DPRD adalah kolektif kolegial, sehingga ketika ditinggal salah satu anggotanya, sistem besarnya tidak terganggu. Hal itu berbeda dengan posisi PNS, TNI, dan Polri yang jabatannya terikat dengan pelaksanaan jabatan dan tugasnya secara individual, sehingga apabila ditinggal untuk sementara waktu akan terjadi persoalan dalam institusinya. Namun, pada kesempatan yang sama, Pemerintah juga mengakui perlunya mempertimbangkan agar aspek fairness dan equality antara PNS, TNI, Polri dengan anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD dimana hal itu diserahkan kepada Mahkamah untuk mempertimbangkannya.
[3.18.2]  Bahwa terhadap persoalan yang sama, DPR dalam keterangannya pada persidangan tanggal 22 April 2015 memberikan alasan yang berbeda. Menurut DPR, dibedakannya persyaratan antara PNS, anggota TNI, Polri, pejabat BUMN/BUMD dengan anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah, alasannya adalah karena jabatan anggota DPR, anggota DPD, maupun anggota DPRD adalah jabatan politik yang diperoleh melalui proses pemilihan umum secara langsung oleh rakyat, sehingga mekanisme pengunduran dirinya pun harus disebabkan oleh alasan-alasan yang bersifat khusus, sedangkan jabatan TNI, Polri, PNS, pejabat BUMN/BUMD adalah jabatan profesi yang sifatnya profesional dan merupakan pilihan karier. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan aktivitas proses demokrasi yang tidak terlepas dari penyelenggaraan Pemilu karena Pilkada memiliki output yakni pejabat politik bukan memilih pejabat administratif. Namun, sebagaimana halnya Presiden, DPR melalui keterangannya yang disampaikan pada persidangan tanggal 21 Mei 2015 menyatakan bahwa perihal ketidakseragaman syarat dimaksud DPR pun menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah untuk mempertimbangkan apakah hal itu dapat dikategorikan telah menimbulkan aturan yang diskriminatif dan menciptakan perlakuan yang berbeda kepada sesama warga negara Indonesia;
[3.19]         Menimbang, terlepas dari fakta bahwa UU 8/2015 adalah berasal dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), in casu Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, sehingga menurut penalaran yang wajar dapat dimengerti bahwa proses pembahasannya tidaklah seintensif pembahasan Undang-Undang yang lahir melalui proses legislasi “normal”, keterangan Presiden dan DPR selaku pembentuk Undang-Undang sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.18] di atas menunjukkan bahwa di kalangan pembentuk Undang-Undang sendiri (Presiden bersama DPR) sesungguhnya belum terdapat kesatuan pandangan perihal dibedakannya persyaratan bagi PNS, anggota TNI, anggota Polri, pejabat BUMN/BUMD dengan anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Namun, keadaan demikian tidaklah ipso facto dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan yang cukup untuk menyatakan bahwa ketentuan yang memuat perbedaan demikian adalah bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, terhadap isu ini, Mahkamah akan mempertimbangkannya lebih lanjut;
[3.20]        Menimbang bahwa berkenaan dengan syarat pengunduran diri anggota PNS jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah, Mahkamah secara tidak langsung telah menyatakan pendapatnya lewat putusannya tentang syarat mengundurkan bagi PNS yang hendak mencalonkan diri sebagai calon legislatif, sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 45/PUU-VIII/2010, bertanggal 1 Mei 2012 yang kemudian dirujuk dalam Putusan Nomor 12/PUU-XI/2013, bertanggal 9 April 2013, selanjutnya dirujuk kembali dalam Putusan Nomor 57/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Januari 2014, dan terakhir dirujuk pula dalam Putusan Nomor 41/PUU-XII/2014, bertanggal 8 Juli 2015. Dalam ketiga putusan tersebut, Mahkamah menyatakan pendiriannya bahwa:
Ketika seseorang telah menjadi PNS maka ia telah mengikatkan diri dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur birokrasi pemerintahan, sehingga pada saat mendaftarkan diri untuk menjadi calon dalam jabatan politik yang diperebutkan melalui mekanisme pemilihan umum, dalam hal ini sebagai calon anggota DPD, maka Undang-Undang dapat menentukan syarat-syarat yang di antaranya dapat membatasi hak-haknya sebagai PNS sesuai dengan sistem politik dan ketatanegaraan yang berlaku pada saat ini. Dari perspektif kewajiban, keharusan mengundurkan diri tidak harus diartikan sebagai pembatasan HAM karena tidak ada HAM yang dikurangi dalam konteks ini, melainkan sebagai konsekuensi yuridis atas pilihannya sendiri untuk masuk ke arena pemilihan jabatan politik, sehingga wajib mengundurkan diri dari PNS guna mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang birokrasi pemerintahan. Menurut Mahkamah, perspektif manapun dari dua perspektif itu yang akan dipergunakan dalam perkara a quo maka kewajiban mengundurkan diri menurut undang-undang bagi PNS yang akan ikut pemilihan anggota DPD tersebut bukanlah pelanggaran hak konstitusional.
                  Meskipun konteks putusan di atas adalah pengunduran diri PNS yang hendak mencalonkan diri sebagai anggota DPD, esensinya tidak berbeda dengan permohonan a quo karena baik DPD maupun kepala daerah adalah sama-sama merupakan jabatan politik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan (elected official), artinya sama-sama melalui proses politik yang melibatkan rakyat sebagai pemilih. Oleh karena itu, sepanjang menyangkut pengunduran diri PNS an sich, pertimbangan Mahkamah di atas juga berlaku terhadap permohonan a quo. Artinya, tidak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, dalam korelasinya dengan ketentuan lain dari UU 8/2015, sebagaimana didalilkan Pemohon, Mahkamah akan mempertimbangkannya lebih lanjut;
[3.21]        Menimbang bahwa berkenaan dengan syarat pengunduran diri anggota TNI dan Polri yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah (atau wakil kepala daerah), yang di dalamnya juga menyinggung kedudukan PNS, Mahkamah pun telah pula menyatakan pendiriannya sebagaimana dapat dilihat dalam Putusan Nomor 57/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Januari 2014, yang merujuk pada pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 67/PUU-X/2012, bertanggal 15 Januari 2013, yang antara lain menyatakan:
Bahwa frasa “surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan negeri” dalam Pasal 59 ayat (5) huruf g UU 12/2008, menurut Mahkamah adalah ketentuan persyaratan yang sudah jelas bagi anggota TNI maupun Polri yang akan mendaftarkan diri menjadi peserta Pemilukada dalam menjaga profesionalitas dan netralitas. Dalam rangka penyelenggaraan pemilu dalam hal ini Pemilukada yang demokratis, jujur, dan akuntabel, para peserta Pemilu, khususnya yang berasal dari PNS, anggota TNI dan anggota Polri tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan jabatan, kewenangan, dan pengaruh yang melekat pada dirinya sebagai akibat jabatan yang disandangnya pada saat Pemilukada berlangsung.
                  Selanjutnya, dalam Putusan Mahkamah Nomor 57/PUU-XI/2013 di atas, Mahkamah menambahkan yang sekaligus menyimpulkan pendapatnya dengan menyatakan:
Dari pertimbangan hukum putusan yang dikutip di atas, dapat disimpulkan bahwa Mahkamah berpendapat, baik kepala daerah dan wakil kepala daerah, PNS, anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan jabatan yang perlu disyaratkan pengunduran dirinya jika hendak ikut serta sebagai calon anggota DPR, DPD, atau DPRD, dengan alasan yang masing-masing berbeda, namun intinya adalah jabatan-jabatan tersebut bersinggungan dengan kewenangan yang diemban, yang potensial disalahgunakan, sehingga mengurangi nilai fairness dalam pemilihan umum yang hendak diikuti, serta potensial pula mengganggu kinerja jabatannya jika yang bersangkutan tidak mengundurkan diri.
                  Berdasarkan uraian di atas maka sepanjang menyangkut syarat pengunduran diri anggota TNI, anggota Polri jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah, termasuk juga jika hendak mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPD, atau DPRD, an sich, hal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, sebagaimana halnya pertimbangan terhadap pengunduran diri PNS, dalam kaitan dengan ketentuan lain dari UU 8/2015 yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut;
[3.22]        Menimbang bahwa kalau terhadap syarat pengunduran diri PNS, anggota TNI, anggota Polri jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah (termasuk jabatan politik lainnya yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan, elected officials) menurut Mahkamah telah dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945, apakah pertimbangan yang sama dapat diberlakukan terhadap pejabat atau pegawai BUMN/BUMD yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah (termasuk jabatan politik lainnya yang pengisiannya dilakukan  melalui pemilihan)? Menurut Mahkamah, pertimbangan yang sama juga berlaku dalam hubungan ini. Sebab, jabatan atau kedudukan seseorang di suatu BUMN/BUMD juga merupakan pilihan profesi dan berkaitan langsung dengan kepentingan negara dalam upaya untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, sehingga dengan sendirinya bersangkut-paut pula dengan birokrasi pemerintahan, kendatipun BUMN/BUMD tersebut telah berbentuk badan hukum privat yang kekayaannya telah dipisahkan dari kekayaan negara. Oleh karena itu, apabila seorang pejabat atau pegawai BUMN/BUMD setiap saat, tanpa persyaratan apa pun, diperbolehkan meninggalkan jabatan atau tugasnya demi mengejar jabatan politik, negara atau pemerintah akan menanggung kerugian, sebagaimana halnya jika hal yang sama terjadi pada PNS, anggota TNI, anggota Polri;
[3.23]        Menimbang, agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda terhadap frasa “pada saat mendaftarkan diri” yang terdapat dalam pertimbangan Mahkamah pada paragraf [3.20] di atas, Mahkamah perlu menegaskan bahwa frasa dimaksud adalah suatu pengertian umum, bukan pengertian teknis sebagai bagian dari tahapan pencalonan seseorang menjadi kepala daerah (atau tahapan pencalonan menjadi anggota DPR, DPD, DPRD). Sebagaimana diketahui, seseorang yang mendaftar menjadi calon kepala daerah (demikian pula untuk menjadi anggota DPR, DPD, DPRD) harus melalui tahapan verifikasi oleh KPU/KIP terlebih dahulu sebelum resmi ditetapkan sebagai calon.
                  Tegasnya, dalam konteks permohonan a quo, seorang PNS atau anggota TNI, anggota Polri, atau pejabat/pegawai BUMN/BUMD yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah wajib mengundurkan diri sebagai PNS (atau anggota TNI, anggota Polri, atau pejabat/pegawai BUMN/BUMD) setelah resmi ditetapkan sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah. Dasar pertimbangan Mahkamah adalah tidaklah proporsional, dan karenanya tidaklah adil, jika seorang PNS (atau seorang anggota TNI, anggota Polri, atau pejabat/pegawai BUMN/BUMD) diharuskan mengundurkan diri dari kedudukan atau jabatannya sebagai PNS (atau sebagai anggota TNI, anggota Polri, atau pejabat/pegawai BUMN/BUMD) sejak mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah sementara yang bersangkutan belum tentu lulus verifikasi untuk ditetapkan sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah yang resmi.
                  Dikatakan tidak proporsional (dan karenanya tidak adil) karena terhadap proses yang sama dan untuk jabatan yang sama terdapat sekelompok warga negara yang hanya dipersyaratkan memberitahukan kepada pimpinannya jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, yaitu dalam hal ini warga negara yang berstatus sebagai anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD. Alasan pembentuk Undang-Undang bahwa jabatan DPR, DPD, dan DPRD adalah bersifat kolektif kolegial, sehingga jika terdapat anggota DPR, DPD, atau DPRD mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah tidak menggangu pelaksanaan tugas dan fungsinya, tidaklah cukup untuk dijadikan alasan pembedaan perlakuan tersebut. Sebab orang serta-merta dapat bertanya, bagaimana jika yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah itu adalah Pimpinan DPR, atau Pimpinan DPD, atau Pimpinan DPRD, atau bahkan Pimpinan alat kelengkapan DPR, DPD atau DPRD? Bukankah hal itu akan menimbulkan pengaruh terhadap tugas dan fungsinya? Sebab, paling tidak, jika nantinya yang bersangkutan terpilih, hal itu akan berakibat dilakukannya proses pemilihan kembali untuk mengisi kekosongan jabatan yang ditinggalkan oleh yang bersangkutan. Dengan demikian, persoalannya bukanlah kolektif kolegial atau bukan, tetapi menyangkut tanggung jawab dan amanah yang telah diberikan oleh masyarakat kepada yang bersangkutan.
                  Timbul pertanyaan, bagaimana penyelenggara pemilihan kepala daerah, (in casu KPU/KIP) memperoleh pegangan dan kepastian pada saat seorang PNS, anggota TNI, anggota Polri, atau pejabat/pegawai BUMN/BUMD mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah bahwa setelah resmi ditetapkan sebagai calon yang bersangkutan akan benar-benar mengundurkan diri sebagai PNS, anggota TNI, anggota Polri, atau pejabat/pegawai BUMN/BUMD? Guna menghilangkan keragu-raguan yang demikian itu, kepada PNS, anggota TNI, anggota Polri, pejabat/pegawai BUMN/BUMD, dipersyaratkan untuk membuat pernyataan yang menyatakan bahwa apabila telah ditetapkan secara resmi oleh penyelenggara pemilihan sebagai calon dalam jabatan publik atau jabatan politik yang mekanismenya dilakukan melalui pemilihan itu maka yang bersangkutan membuat surat pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali, yaitu pada saat mendaftarkan diri dan berlaku sejak ditetapkan secara resmi sebagai calon. 
                  Berdasarkan pertimbangan di atas maka Pasal 7 huruf t UU 8/2015 yang menyatakan, “mengundurkan diri sebagai Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil sejak mendaftarkan diri sebagai calon” dan Pasal 7 huruf u UU 8/2015 yang menyatakan, “berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai calon” adalah inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) kecuali jika kedua frasa dalam kedua ketentuan a quo diartikan “mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP”;
[3.24]        Menimbang, sejalan dengan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.20] sampai dengan paragraf [3.23] di atas, yaitu bahwa oleh karena pertimbangan perihal konstitusional-tidaknya syarat pengunduran diri PNS, anggota TNI, anggota Polri, pejabat/pegawai BUMN/BUMD yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf t dan huruf u UU 8/2015, berkait langsung dengan pertimbangan perihal konstitusional-tidaknya syarat “memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf s UU 8/2015, maka pertimbangan sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.20] sampai dengan paragraf [3.23] di atas, mutatis mutandis berlaku terhadap Pasal 7 huruf s UU 8/2015. Dengan demikian, Pasal 7 huruf s UU 8/2015 adalah inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional) sepanjang frasa “memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” dalam Pasal tersebut tidak diartikan “mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai calon Gubernur, calon Wakil Gubernur, calon Bupati, calon Wakil Bupati, calon Walikota, dan calon Wakil Walikota bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
                  Dalam hubungan ini, prosedur yang berlaku terhadap PNS, anggota TNI, anggota Polri, pejabat/pegawai BUMN/BUMD, sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.23] di atas juga berlaku terhadap anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, yaitu kepada anggota DPR, anggota DPD, atau anggota DPRD dipersyaratkan untuk membuat pernyataan yang menyatakan bahwa apabila telah ditetapkan secara resmi oleh penyelenggara pemilihan sebagai calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah maka yang bersangkutan membuat surat pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali, yaitu pada saat mendaftarkan diri dan berlaku sejak ditetapkan secara resmi sebagai calon.
[3.25]        Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.18] sampai dengan paragraf [3.24] di atas, dalil Pemohon sepanjang menyangkut inkonstitusionalitas Pasal 7 huruf r, Pasal 7 huruf s, dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.  Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
1.1.      Pasal 7 huruf r beserta Penjelasan Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2.      Pasal 7 huruf r beserta Penjelasan Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5678) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.3.      Pasal 7 huruf s sepanjang frasa memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai calon Gubernur, calon Wakil Gubernur, calon Bupati, calon Wakil Bupati, calon Walikota, dan calon Wakil Walikota bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”;
1.4.      Pasal 7 huruf s sepanjang frasa memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5678) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai calon Gubernur, calon Wakil Gubernur, calon Bupati, calon Wakil Bupati, calon Walikota, dan calon Wakil Walikota bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”;
2.  Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3.  Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

====================
Link Putusan >>>
                 

Tidak ada komentar: