Pada tanggal 16 September
2014, H. Suhaemi Zakir yang berprofesi
sebagai Pedagang mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas sepanjang
frasa “bagi bank” dalam Pasal 49 ayat
(2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan terhadap
Pasal
28D ayat (1) UUD 1945
sebagai
berikut:
Pasal 49 ayat (2)
huruf b menyatakan, “Anggota Dewan
Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja”
a.
...;
b. “Tidak melaksanakan langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam
Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang
berlaku bagi bank, diancam dengan
pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan)
tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000., (lima milyar rupiah)
dan paling banyak Rp.100.000.000.000., (seratus miliar rupiah)”.
Permohonan tersebut diajukan
ke Mahkamah Konstitusi dan diregistrasi dengan Nomor 109/PUU-XII/2014
pada tanggal 14 Oktober 2014.
Dalam posita permohonannya Pemohon
yang merupakan perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai
Pedagang yang juga Pemohon eksekusi pencairan sesuai dengan Penetapan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 07/Del/2013/PN.JKT.PST juncto Nomor 1485/PDT.G/2008/PN.JKT.SEL,
bertanggal 3 Maret 2014.
Bahwa pada tanggal 7 Maret
2014 dan 27 Maret 2014, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah melaksanakan eksekusi
pencairan namun belum berhasil karena digagalkan dan dihalang-halangi oleh Bank
DKI, yang sejatinya Bank DKI tidak mau taat atau patuh pada perintah hakim pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
sehingga frasa “bagi bank” Pasal 49 ayat
(2) huruf b UU Perbankan supaya dihapus.
Untuk menjawab persoalan
konstitusionalitas norma tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya
menyatakan sebagai berikut:
Pendapat Mahkamah
[3.11] Menimbang
bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, keterangan Presiden
dan bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh Pemohon, kesimpulan tertulis
Pemohon sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah berpendapat
sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa pada pokoknya Pemohon mendalilkan sepanjang
frasa “bagi bank” Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan mengakibatkan Bank DKI
tidak mau taat atau patuh pada perintah hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku bertentangan dengan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945;
[3.13] Menimbang
bahwa putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap telah memiliki 3 (tiga)
sifat kekuatan sehingga putusan tersebut harus dilaksanakan, yaitu mempunyai
kekuatan mengikat, kekuatan bukti dan kekuatan untuk dilaksanakan;
[3.14]
Menimbang bahwa putusan
yang mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan merupakan tindak lanjut dari putusan
sebagai hasil dari proses hukum melalui peradilan penyelesaian sengketa yang
mengikat dan menjadi hukum bagi para pihak. Putusan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap juga mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan serta tidak dapat diubah
oleh siapapun dan harus dilaksanakan;
[3.15] Menimbang
bahwa putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan tidak dapat
diganggu gugat lagi, merupakan konsekuensi
dari adagium that judgment was that of
God, putusan Hakim sama dengan putusan Tuhan, dengan irah-irah “Demi
Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”, menempatkan putusan hakim
sebagai kebenaran terakhir dalam upaya penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan
(the last resort);
[3.16] Menimbang
bahwa putusan pengadilan berperan juga sebagai sarana untuk melindungi anggota
masyarakat yang merasa teraniaya, dilanggar atau diambil hak-haknya. Putusan
pengadilan sebagai penentuan suatu tindakan hukum tertentu boleh atau tidak,
melanggar hukum atau tidak, patut atau tidak patut, melampaui batas atau tidak,
menentukan apakah suatu tindakan hukum bertentangan dengan kepentingan hukum
atau tidak, oleh karenanya putusan pengadilan wajib dilaksanakan dan dihormati
serta ditaati oleh setiap subjek hukum baik perseorangan maupun korporasi;
[3.17] Menimbang
dalam menemukan hukum untuk memberikan putusannya hakim dengan cara selain
menafsirkan, mengkonstruksikan hukum terkadang harus juga menciptakan/menemukan
hukum sehingga dalam hal tertentu hakim melalui putusannya melakukan peran
sebagai lembaga pembentuk Undang-Undang, oleh karenanya putusan hakim merupakan
Undang-Undang yang berlaku bagi warga masyarakat;
[3.18] Menimbang
bahwa salah satu ciri negara hukum adalah pengadilan dalam pengambilan putusan secara
substansial tidak boleh ada campur tangan, negosiasi dan kompromi dengan pihak
manapun sebagai konsekuensi dari kedudukan lembaga peradilan selaku kekuasaan
yang merdeka, bebas dari segala campur tangan pihak manapun sebagaimana diatur
dalam UUD 1945. Peradilan bebas dan tidak memihak mutlak harus ada dalam setiap
negara hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh
dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik)
maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak
diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan
oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun
legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan
tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada
kebenaran dan keadilan sebagai konsekuensi dalam menjalankan tugasnya. Proses pemeriksaan
perkara oleh hakim harus bersifat terbuka dan dalam menentukan penilaian dan pengambilan
putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai corong Undang-Undang
atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga corong keadilan yang
menyuarakan perasaan keadilan yang hidup dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat;
Bahwa
Negara Hukum harus menjamin, melindungi, memenuhi serta memajukan hak asasi
manusia sesuai dengan harkat dan martabat sebagai manusia, jaminan,
perlindungan, pemenuhan dan pemajuan terhadap hak asasi manusia adalah sebuah
keniscayaan yang tidak boleh diabaikan oleh siapapun;
[3.19] Menimbang bahwa Pasal 40 ayat (1) UU
Perbankan menegaskan bank harus tunduk kepada kepentingan peradilan yang mana
ketentuannya menyatakan, “Bank wajib
merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam
hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal
44, dan Pasal 44A”;
Bahwa Pasal 42 ayat (1) UU
Perbankan menyatakan, “Untuk kepentingan
peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin
kepada Polisi, Jaksa, atau Hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai
simpanan tersangka atau terdakwa pada bank”;
[3.20] Menimbang
bahwa menurut Pemohon, pasal a quo menentukan
bahwa pengurus bank hanya tunduk pada peraturan tertentu yang berlaku hanya
pada sektor perbankan dan tidak tunduk pada penetapan eksekusi yang merupakan
proses hukum yang melekat dan satu kesatuan dengan putusan hakim yang telah berkekuatan
hukum tetap, maka selanjutnya Mahkamah berpendapat bahwa suatu putusan tidak
ada artinya apabila tidak dilaksanakan dan merupakan pelanggaran terhadap hukum
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Negara Republik Indonesia
yang merupakan negara hukum sesuai dengan UUD 1945 dan pihak lain yang terkait
langsung maupun tidak langsung harus menghormati putusan pengadilan, serta
pengabaian pengurus bank terhadap putusan pengadilan karena berlindung di bawah
ketentuan frasa “bagi bank”, menurut Mahkamah bertentangan dengan Pasal 28D UUD
1945;
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh
pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon mengenai frasa
“bagi bank” yang tercantum dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan
beralasan menurut hukum.
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
1.1
Frasa “bagi bank” dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2
Frasa “bagi bank” dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
===========================
Link Putusan >> http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/109_PUU-XII_2014.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar