Pada tanggal 20 Maret 2015 dua warga negara yang bernama
Jumanto dan Fathor Rasyid melalui kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra mengajukan
permohonan pengujian pengujian
konstitusionalitas Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang menyatakan :
Pasal
7 huruf g, tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”;
Pasal
45 ayat (2) huruf k, surat keterangan
tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dari Pengadilan Negeri yang
wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat
calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf g;
Terhadap:
Pasal
1 ayat (2), “Kedaulatan di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar;
Pasal
1
ayat (3), “Negara Indonesia adalah negara hukum”;
Pasal 27 ayat (1), “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;
Pasal
28C ayat (2), “Setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya”;
Pasal 28D ayat (1), “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”;
Pasal 28D ayat (3), “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”;
Pasal 28J ayat (2), “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis”;
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dalam
permohonannya, para Pemohon mendalilkan bahwa :
1.
Pemohon mempunyai hak-hak konstitusional yang
normanya telah diatur dan diberikan oleh UUD 1945, yakni:
-
hak konstitusional untuk berdaulat yang sesuai dengan hukum
dan konstitusi sebagai konsekuensi dari
pernyataan Negara Republik Indonesia adalah negara hukum atau “rechtsstaat” sebagaimana diatur oleh
Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945;
-
hak konstitusional yang
menyatakan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945;
-
hak konstitusional yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; hak
konstitusional untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28C ayat (2) UUD 1945;
-
hak konstitusional untuk
memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum yang
dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
-
hak konstitusional untuk
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur di dalam
Pasal 28D ayat (3) UUD 1945; dan
-
hak konstitusional yang
menyatakan dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 28J ayat (2)
UUD 1945;
2. Hak
konstitusional Pemohon tersebut, nyata-nyata secara aktual dan spesifik telah
dirugikan oleh berlakunya norma Pasal 7 huruf
g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU 8/2015, yaitu kesempatan untuk menjadi Bupati di Kabupaten
Probolinggo (Pemohon Jumanto) dan menjadi Bupati Kabupaten Pasuruan (Pemohon
Fathor Rasyid);
Untuk menjawab
persoalan konstitusionalitas norma tersebut Mahkamah Konstitusi dalam
pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Pendapat Mahkamah
[3.10] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon
adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU 8/2015 terhadap Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal
28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28J ayat (2) UUD
1945;
[3.11] Menimbang bahwa setelah
Mahkamah memeriksa dengan saksama, permohonan Pemohon, bukti surat/tulisan
Pemohon, keterangan ahli Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, dan
kesimpulan Pemohon, Mahkamah berpendapat
sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa dalam Pasal
7 huruf g UU 8/2015 menentukan, “tidak pernah dijatuhi
pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih”. Menurut Mahkamah, ketentuan tersebut merupakan
bentuk pengurangan hak atas kehormatan, yang dapat dipersamakan dengan pidana
pencabutan hak-hak tertentu. Ketika Pasal 7 huruf g UU 8/2015 menentukan bahwa calon
kepala daerah harus memenuhi persyaratan tidak pernah dijatuhi pidana karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih maka sama artinya seseorang yang pernah dijatuhi pidana karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih,
dicabut haknya untuk dipilih dalam pemilihan kepala daerah. Hal ini sebangun
dengan ketentuan Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP bahwa terpidana dapat dicabut “hak
memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan
umum”. Perbedaannya adalah, jika hak dipilih sebagai kepala daerah yang dicabut
berdasarkan Pasal 7 huruf g UU 8/2015 dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang,
sedangkan hak-hak dipilih yang dicabut dari terpidana berdasarkan Pasal 35 ayat
(1) angka 3 KUHP dilakukan dengan putusan hakim. Dengan demikian, pencabutan hak pilih seseorang hanya dapat dilakukan
dengan putusan hakim sebagai hukuman tambahan. Undang-Undang tidak dapat
mencabut hak pilih seseorang, melainkan hanya memberi pembatasan-pembatasan
yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, yang dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945
dinyatakan bahwa pembatasan dapat dilakukan dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
Selain
itu, pembukaan UUD 1945 antara lain menegaskan bahwa dibentuknya Pemerintahan
Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indoensia. Bahwa Pembukaan UUD 1945 tersebut tidaklah membedakan
bangsa Indonesia yang mana dan tentunya termasuk melindungi hak mantan
narapidana. Salah satu dari ciri negara demokratis yang
berdasarkan hukum dan negara hukum yang
demokratis adalah mengakui, menjunjung tinggi, melindungi, memajukan, menegakkan, dan pemenuhan hak
asasi manusia.
Apabila
dikaitkan dengan lembaga pemasyarakatan sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dari perspektif
sosiologis dan filosofis penggantian penjara kepada pemasyarakatan dimaksudkan
bahwa pemidanaan selain untuk penjeraan juga merupakan suatu usaha rehabilitasi
dan reintegrasi sosial. Secara filosofis dan sosiologis sistem pemasyarakatan
memandang narapidana sebagai subjek hukum yang tidak berbeda dengan manusia
lainnya yang sewaktu waktu dapat melakukan kesalahan dan kekhilafan yang dapat
dikenakan pidana. Pemidanaan adalah suatu upaya untuk memnyadarkan narapidana
agar menyesali perbuatannya, mengembalikan menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung
tinggi nilai-nilai agama, moral, keamanan dan ketertiban dan dapat
aktif berperan kembali dalam pembangunan, serta dapat hidup secara wajar sebagai warga yang
baik dan bertanggung jawab sebagaimana juga dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009, yang memberi syarat lima
tahun setelah narapidana menjalani masa hukumannya kecuali mantan narapidana tersebut
dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dengan memenuhi syarat tertentu
antara lain mengumumkan secara terbuka dihadap umum bahwa yang bersangkutan
pernah dihukum penjara sebagaimana persyaratan ketiga dalam putusan Mahkamah
tersebut, hal
ini diperlukan agar rakyat atau para pemilih mengetahui keadaan yang
bersangkutan. Apabila seseorang mantan narapidana telah memenuhi syarat
tertentu tersebut maka seyogianya
orang teresebut tidak boleh lagi dihukum kecuali oleh hakim apabila yang
bersangkutan mengulangi perbuatannya. Apabila Undang-Undang membatasi hak seorang mantan narapidana untuk tidak dapat mencalonkan dirinya
menjadi kepala daerah maka sama saja bermakna bahwa Undang-Undang telah memberikan hukuman
tambahan kepada yang bersangkutan sedangkan UUD 1945 telah melarang
memberlakukan diskriminasi kepada seluruh warga masyarakatnya.
[3.11.2] Bahwa, Mahkamah dalam Putusan Nomor
4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009, telah menentukan syarat bagi
seseorang yang akan mengisi jabatan publik atau jabatan politik yang
pengisiannya melalui pemilihan, yaitu:
1.
tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected
officials);
2.
berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak
terpidana selesai menjalani hukumannya;
3.
dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur
mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;
4.
bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;
[3.11.3] Bahwa Putusan Mahkamah Nomor
4/PUU-VII/2009 tersebut, diperkuat kembali dalam Putusan Mahkamah Nomor
120/PUU-VII/2009, bertanggal 20 April 2010,
yang antara lain menyatakan:
“…Bahwa persyaratan calon kepala daerah yang telah
diberikan tafsir baru oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal
24 Maret 2009, adalah semata-mata persyaratan administratif. Oleh karena itu,
sejak tanggal 24 Maret 2009, rezim hukum Pasal 58 huruf f UU 32/2004
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 sebagaimana bunyi dan makna
teks aslinya berakhir, dan sebagai gantinya maka sejak saat itulah di seluruh
wilayah hukum Republik Indonesia berlaku tafsir baru atas Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UU 12/2008 tentang mantan narapidana yang boleh menjadi calon
kepala daerah menurut Putusan Mahkamah Nomor 14-17/PUU-V/2007 tanggal 11
Desember 2007 juncto Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret
2009. Norma baru yang
lahir karena tafsir baru tersebut bersifat erga omnes;
… dst”
[3.11.4] Dari kedua putusan Mahkamah tersebut
maka norma “tidak pernah dijatuhi pidana
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih” yang diatur dalam Undang-Undang lain yang masih berlaku harus
ditafsir sesuai dengan tafsir sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor
4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret
2009, yaitu:
1.
tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected
officials);
2.
berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak
terpidana selesai menjalani hukumannya;
3.
dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur
mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;
4.
bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;
Permasalahan
yang harus dijawab adalah bagaimana dengan ketentuan Pasal 7 huruf g UU 8/2015 yang dimohonkan pengujian
oleh Pemohon? Menurut Mahkamah, UU 8/2015
sebenarnya sudah mengakomodir Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal
24 Maret 2009,
akan tetapi hal itu tidak diatur dalam norma Pasal 7 huruf g melainkan diatur
dalam Penjelasan
Pasal 7 huruf g Undang-Undang a quo,
sehingga antara Pasal 7 huruf g dengan penjelasan Pasal 7 huruf g terdapat
pertentangan, yaitu norma Pasal 7 huruf g melarang mantan narapidana menjadi
calon gubernur, calon bupati, dan calon walikota, namun Penjelasan Pasal 7 huruf g
membolehkan mantan narapidana menjadi calon gubernur, calon bupati, dan calon
walikota. Padahal, berdasarkan Putusan
Mahkamah Nomor 005/PUU-III/2005, bertanggal 22 Maret 2005 juncto Putusan
Mahkamah Nomor 011/PUU-III/2005, bertanggal 19 Oktober 2005 antara lain
menyatakan bahwa penjelasan pasal dari satu Undang-Undang tidak boleh membuat
norma baru yang justru mengaburkan makna dari norma yang terdapat dalam pasal
tersebut. Oleh karena itu, menurut Mahkamah terdapat pertentangan antara Pasal
7 huruf g UU 8/2015 dengan penjelasan pasalnya;
[3.11.5] Bahwa berdasarkan pertimbangan di
atas, menurut Mahkamah Pasal 7 huruf g UU 8/2015
harus ditafsir sebagaimana Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret
2009 dan
menjadikan Penjelasan Pasal 7 huruf g UU 8/2015 menjadi bagian dari norma Pasal 7 huruf g UU 8/2015, agar tidak terjadi
pertentangan antara norma dan penjelasannya;
[3.11.6] Bahwa Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal
24 Maret 2009,
telah memberi ruang kepada mantan narapidana untuk proses adaptasi dengan
masyarakat sekurang-kurangnya lima tahun setelah narapidana menjalani masa
hukumannya. Waktu lima tahun tersebut adalah waktu yang wajar sebagai
pembuktian dari mantan narapidana tersebut telah berkelakuan baik dan tidak
mengulang perbuatan pidana sebagaimana tujuan dari pemasyarakatan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;
Bahwa seseorang
yang telah menjalani hukuman dan keluar dari penjara atau lembaga
pemasyarakatan pada dasarnya adalah orang yang telah menyesali perbuatannya,
telah bertaubat, dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dengan
demikian, seseorang mantan narapidana yang sudah bertaubat tersebut tidak tepat
jika diberikan hukuman lagi oleh Undang-Undang seperti yang ditentukan dalam
Pasal 7 huruf g UU 8/2015.
Apalagi
syarat ketiga dari Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009, yaitu “dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur
mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” adalah
dimaksudkan agar publik dapat mengetahui bahwa pasangan calon yang akan dipilih
pernah dijatuhi pidana. Dengan pernyataan terbuka dan jujur dari mantan narapidana yang telah diketahui oleh
masyarakat umum (notoir feiten)
tersebut maka terpulang kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemilih untuk memberikan
suaranya kepada calon yang merupakan seorang mantan narapidana atau tidak
memberikan suaranya kepada calon tersebut. Kata “dikecualikan” dalam syarat
ketiga dari amar Putusan
Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret
2009, mempunyai arti bahwa seseorang yang terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang
bersangkutan adalah mantan terpidana maka syarat kedua dan keempat dari
amar Putusan
Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret
2009, menjadi
tidak diperlukan lagi karena yang bersangkutan telah secara berani mengakui
tentang status dirinya yang merupakan mantan narapidana. Dengan demikian maka
ketika seseorang mantan narapidana selesai menjalankan masa tahanannya dan
mengumumkan secara terbuka dan jujur bahwa dia adalah mantan narapidana, yang
bersangkutan dapat mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, dan walikota atau
mencalonkan diri dalam jabatan publik atau jabatan politik yang pengisiannya
melalui pemilihan (elected officials).
Pada akhirnya, masyarakat yang memiliki kedaulatan lah yang akan menentukan
pilihannya, namun apabila mantan narapidana tersebut tidak mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan
terpidana maka berlaku syarat kedua putusan
Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 yaitu lima tahun sejak terpidana selesai
menjalani hukumannya;
[3.11.7] Bahwa berdasarkan seluruh
pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai Pasal 7
huruf g UU 8/2015 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitusional)
sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan
terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang
bersangkutan adalah mantan terpidana;
[3.12] Menimbang mengenai Pasal 45 ayat (2) huruf k UU
8/2015 yang didalilkan oleh Pemohon, menurut Mahkamah, oleh karena ketentuan
Pasal 45 ayat (2) huruf k berkait erat dengan ketentuan Pasal 7 huruf g yang
sudah dipertimbangan oleh Mahkamah di atas maka ketentuan Pasal 45 ayat (2)
huruf k menjadi tidak relevan lagi dijadikan sebagai salah satu syarat yang
harus dipenuhi oleh calon kepala daerah. Oleh karenanya dalil Pemohon mengenai
Pasal 45 ayat (2) huruf k UU 8/2015 bertentangan dengan UUD 1945 beralasan
menurut hukum;
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan
tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk
sebagian;
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.1. Pasal 7
huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat
sepanjang tidak
dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang
secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan
mantan terpidana;
1.2. Pasal 7
huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5678) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat
sepanjang tidak
dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang
secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan
mantan terpidana;
1.3. Penjelasan
Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.4. Penjelasan
Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat;
1.5. Pasal 45
ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.6. Pasal 45
ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
2.
Menolak
permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3.
Memerintahkan
pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana
mestinya.
=============
Link Putusan >>> http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/42_PUU-XIII_2015.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar