Pada tanggal 3 Maret
2014 tiga orang warga negara Indonesia yaitu Salamudin, Ahmad Suryono dan Ahmad
Irwandi Lubis melalui kuasa hukumnya Azhar Rahim Rivai, SH., dkk., mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Dalam permohonannya para Pemohon mengajukan pengujian terhadap Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, dan Pasal 37 serta frasa “...tugas pengaturan dan pengawasan di sektor
perbankan...” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas jasa Keuangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011, Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253, selanjutnya disebut UU OJK) yang menyatakan:
Pasal 1 angka 1 UU OJK:
Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga
yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Pasal 5 UU OJK:
OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
Pasal 6 UU OJK:
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c. kegiatan jasa keuangan di
sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya.
Pasal 7 UU OJK:
Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor
Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai
wewenang:
a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan
kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan
sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan
izin usaha bank; dan
2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber
dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas,
kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit,
rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan
dan kinerja bank;
3. sistem informasi debitur;
4. pengujian kredit (credit testing); dan
5. standar akuntansi bank;
c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank,
meliputi:
1. manajemen risiko;
2. tata kelola bank;
3. prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
4. pencegahan pembiayaan
terorisme dan kejahatan perbankan; dan
d. pemeriksaan bank.
Pasal 34 UU OJK:
i.
Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggaran
OJK.
ii.
Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
iii.
Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner.
Pasal 37 UU OJK:
(1)
OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor
jasa keuangan.
(2)
Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar
pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK.
(4)
OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri.
(5)
Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi
kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke
Kas Negara.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 55 UU OJK:
(1)
Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan
dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian,
Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih
dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke
OJK.
(2)
Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan
dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih
dari Bank Indonesia ke OJK.
Pasal 64 ayat (1) huruf b UU OJK:
(1) Terhitung
sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
55:
a.
pejabat dan/atau pegawai Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; dan
b.
pejabat dan/atau pegawai Bank Indonesia yang melaksanakan fungsi, tugas,
dan wewenang pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 ayat (4) dialihkan untuk dipekerjakan pada OJK.
Pasal 65 UU OJK:
(1) Terhitung
sejak
beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55:
a. Kekayaan dan dokumen yang dimiliki dan/atau digunakan Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan
fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan
dan pengawasan
di sektor Perbankan; dan
b. Kekayaan negara dan dokumen yang dimiliki dan/atau digunakan
Kementerian Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan
dalam rangka
pelaksanaan
fungsi,
tugas, dan
wewenang
pengaturan
dan pengawasan di
sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya,
dapat
digunakan oleh OJK.
Pasal 66 UU OJK:
(1) Sejak Undang-Undang ini diundangkan sampai dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55:
a. Bank
Indonesia tetap melaksanakan fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Perbankan;
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), yaitu:
Pasal 23 ayat (1) UUD 1945:
“Anggaran
pendapatan dan
belanja negara
sebagai wujud dari pengelolaan keuangan
negara ditetapkan setiap tahun
dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
Pasal
23A UUD 1945:
“Pajak
dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan undang-undang.”
Pasal 23D UUD 1945:
“Negara
memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan,
tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.”
Pasal 33 UUD 1945:
“(1) Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
(4) Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
pasal ini diatur alam undangundang”.
Dalam perkara
a quo yang telah diregistrasi dengan
nomor perkara 25/PUU-XII/2014, para Pemohon mendalilkan bahwa para Pemohon
sebagai warga negara Indonesia, pembayar pajak, dan nasabah perbankan yang
memiliki hak konstitusional atas kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan tanpa pengecualian dan hak konstitusional atas pengelolaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara terbuka dan transparan
dari pemerintah, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 23
ayat (1) UUD 1945. Menurut para Pemohon, hak konstitusionalnya tersebut
telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, dan Pasal
37 serta frasa “...tugas pengaturan dan
pengawasan di sektor perbankan...” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal
64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK karena perbankan membebankan pungutan OJK
kepada nasabah perbankan, APBN akan digunakan untuk membiayai OJK selama
pungutan penuh oleh OJK belum diberlakukan kepada seluruh pelaku industri
keuangan, dan APBN akan digunakan untuk membiayai bailout jika terjadi krisis keuangan;
Setelah melalui persidangan yang
panjang dan menghadirkan saksi dan ahli serta pihak terkait, Mahkamah Konstitusi akhirnya
pada tanggal 4 Agustus 2015 membacakan putusan perkara a quo dengan
pertimbangan hukum sebagai berikut:
Pendapat Mahkamah
Dalam Provisi
[3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan
putusan provisi yang pada pokoknya memohon kepada Mahkamah untuk menghentikan sementara operasional OJK,
memerintahkan Bank Indonesia (BI) untuk mengambil alih sementara fungsi,
pengaturan dan pengawasan Perbankan, serta memerintahkan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) melakukan audit, analisis dan penelitian mendalam kepada OJK. Menurut
Mahkamah, karena permohonan
putusan provisi a quo
berkaitan erat dengan pokok permohonan,
sehingga permohonan provisi para Pemohon tidak relevan untuk dipertimbangkan,
oleh karenanya permohonan provisi a quo
dinyatakan tidak dapat diterima;
Dalam Pokok Permohonan
[3.17] Menimbang bahwa isu utama
permohonan para Pemohon secara umum berkaitan dengan pengaturan, wewenang,
independensi OJK, koordinasi OJK dan BI, serta sumber pendanaan dan pungutan
OJK;
[3.17.1] Bahwa
para Pemohon mendalilkan OJK tidak memiliki landasan konstitusional karena
hanya mendasarkan pada Pasal 34 ayat (1) UU BI sehingga bertentangan dengan UUD
1945;
Terhadap
dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa pembentukan OJK sebagai
lembaga yang independen merupakan perintah dari Pasal 34 UU BI yang menyatakan
bahwa, “Tugas mengawasi Bank akan
dilakukan oleh lembaga pengawasan jasa keuangan yang independen, dan dibentuk
dengan undang-undang”. Meski tidak diperintahkan oleh UUD 1945 hal tersebut
tidak serta merta pembentukan OJK adalah inkonstitusional, karena pembentukan
OJK atas perintah Undang-Undang yang dibentuk oleh lembaga yang berwenang.
Dalam Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dinyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan
Undang-Undang berisi perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.
Lagipula terdapat lembaga yang pembentukannya didasarkan atas perintah
Undang-Undang tetapi memiliki constitutional
importance, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk
berdasarkan UU 30/2002, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang
dibentuk berdasarkan UU 39/1999, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dibentuk
berdasarkan UU 32/2002, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dibentuk
berdasarkan UU 5/1999, dan lain sebagainya.
Mahkamah
berpendapat bahwa persoalan pengaturan dan pengawasan di bidang perekonomian
dan sektor keuangan baik yang bersifat macroprudential
maupun microprudential dengan
tujuan untuk menjaga kestabilan dan pertumbuhan ekonomi yang semula disatukan
dalam kewenangan bank sentral dan saat ini dilaksanakan oleh dua lembaga, in casu BI dan OJK, merupakan kebijakan
hukum terbuka (open legal policy)
pembentuk Undang-Undang. Dengan demikian pemisahan ataupun penggabungan
kewenangan lembaga yang menyangkut macroprudential
dan microprudential tersebut bukanlah
merupakan persoalan konstitusionalitas; Dengan demikian menurut Mahkamah, dalil
para Pemohon a quo tidak beralasan
menurut hukum;
[3.17.2] Bahwa para Pemohon mendalilkan kata “independen” dalam Pasal 1
angka 1 UU OJK tidak ditemukan pembenarannya secara konstitusional
karena hanya bank sentral yang dilekatkan oleh Pasal 23D UUD 1945 yang memiliki
independensi, sedangkan konsiderans UU OJK yang mendasarkan pada Pasal 33 UUD
1945 yang mengharuskan terintegrasi dengan sistem perekenomian menjadikan OJK
tidak mungkin independen;
Terhadap dalil
para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa kata “independen” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK merupakan
amanat dari Pasal 34 ayat (1) UU BI yang merupakan penjabaran dari Pasal 23D
UUD 1945 sehingga tidak menyalahi apabila pembentuk Undang-Undang melekatkan
kata “independen” kepada OJK. Selain
itu, kata “independen” yang terdapat
dalam Pasal 23D UUD 1945 pada dasarnya memiliki makna dan tujuan yang sama
dengan kata “mandiri” sebagaimana
yang diberikan kepada suatu komisi pemilihan umum [Pasal 22E ayat (5) UUD
1945]. Lagi pula pada hierarki Undang-Undang, juga terdapat lembaga yang
diberikan kata “independen” tanpa
dikaitkan dengan pasal dalam UUD 1945, seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha
[Pasal 30 ayat (2) UU 5/1999], Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[Pasal 3 UU 30/2002], dan Komisi Penyiaran Indonesia [Pasal 7 ayat (2) UU
32/2002];
Bahwa oleh karena independensi OJK merupakan
penjabaran dari UU BI, sedangkan independensi bank sentral berasal dari Pasal
23D UUD 1945 maka untuk memahami independensi OJK harus dikaitkan dengan
independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Independensi bank sentral
dimaksudkan agar bank sentral memiliki kebebasan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan dalam Undang-Undang dan keputusan-keputusan yang diambil dalam
mencapai tujuannya tersebut tidak dapat diintervensi oleh pemerintah dan
cabang-cabang kekuasaan negara lainnya. Dikaitkan dengan hal tersebut maka
independensi OJK bukan berarti OJK dapat menentukan sendiri tujuannya, karena
tujuan pembentukan OJK telah ditentukan dalam UU OJK, di antaranya dalam Pasal
4 UU OJK disebutkan bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan
dalam sektor jasa keuangan terselenggara dengan teratur, adil, transparan, dan
akuntabel; mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan
dan stabil; dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Berdasarkan tujuan pembentukan OJK yang langsung berkenaan dengan bidang
ekonomi, maka sudah tepat Pasal 33 UUD 1945 dijadikan sebagai dasar hukum
kewenangan pembentukan UU OJK;
Terkait dengan dijadikannya Pasal 33 UUD 1945
sebagai dasar hukum kewenangan pembentukan UU OJK sehingga mengurangi
independensi OJK, menurut Mahkamah, UU OJK telah mencantumkan secara jelas dan
tegas aspek independensi OJK yang dimaksudkan agar setiap regulasi dan
pengawasan yang dilakukan oleh OJK bersifat objektif, tanpa dipengaruhi
intervensi dari pihak manapun dan untuk mencegah benturan kepentingan dengan
pelaku jasa industri keuangan yang diawasinya. Dengan demikian tidak relevan
mempersoalkan dasar hukum kewenangan pembentukan UU OJK, khususnya Pasal 33 UUD
1945, dengan persoalan independensi OJK.
Bahwa aspek independensi OJK dijelaskan lebih
lanjut dalam Penjelasan Umum UU OJK
dimana OJK dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik,
yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi,
dan kewajaran.
Dalam Penjelasan Umum UU OJK dinyatakan antara
lain, “Secara kelembagaan, Otoritas Jasa
Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan
tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup
kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya
Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki
relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas
fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan
unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio. Keberadaan
Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi
kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan.” Menurut
Mahkamah, penjelasan demikian harus dimaknai tetap ada kaitannya dengan
pemerintah, sebab semua urusan yang diberikan kepada OJK tidak dapat dilepaskan
dengan urusan penyelenggaraan pemerintahan, sehingga OJK bukanlah bagian yang
dipisahkan dari negara yang karenanya seakan-akan OJK merupakan negara dalam
negara. Hal demikian juga terbukti dari adanya unsur-unsur perwakilan
pemerintah di OJK serta koordinasi, kerjasama, dan harmonisasi kebijakan dengan
lembaga-lembaga lain.
Pasal 10 ayat (4) UU OJK
menentukan susunan Dewan Komisioner OJK di antaranya terdiri atas seorang anggota Ex-officio
dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia dan
seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan
pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan. Demikian juga dalam pembentukan Forum Koordinasi Stabilitas
Sistem Keuangan (FKSSK), salah satu anggota merangkap koordinator adalah
Menteri Keuangan [Pasal 44 ayat (1) UU
OJK]. Dengan masuknya unsur pemerintah baik dalam Dewan Komisioner OJK maupun
FKSSK menunjukkan independensi OJK tidak bersifat mutlak.
Selain itu, pembatasan terhadap independesi
OJK juga dapat dilihat dari adanya kewajiban OJK menyusun laporan kegiatan
secara berkala dan melaporkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), laporan
keuangan OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Kantor Akuntan
Publik yang ditunjuk oleh BPK, serta adanya anggota Dewan Audit dan Komite Etik
yang juga berasal dari eksternal OJK.
Dengan demikian, pemaknaan
“independen” bagi OJK sudah secara jelas dan tegas dinyatakan dalam UU OJK
sehingga menurut Mahkamah, frasa “dan
bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK
tidak diperlukan lagi karena maknanya sudah tercakup dalam kata “independen”
sebagaimana dijelaskan di atas. Independensi
OJK tidaklah bersifat mutlak dan tidak terbatas, akan tetapi dibatasi oleh
hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU OJK itu sendiri.
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di
atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon a
quo beralasan menurut hukum untuk sebagian;
[3.17.3] Bahwa Pemohon mendalilkan bahwa fungsi OJK dalam mengatur dan
mengawasi sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 UU OJK tidak
memiliki landasan konstitusional dan menimbulkan penumpukan kewenangan di dalam
OJK serta menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara BI dan OJK karena adanya
pemisahan aspek microprudential yang
menjadi wewenang OJK dan aspek macroprudential
yang menjadi wewenang BI.
Terhadap dalil
para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa memang pada awalnya pengalihan
fungsi pengawasan bank dari BI kepada OJK dalam Penjelasan Pasal 34 UU BI Tahun
1999 tidak termasuk fungsi pengaturan. Namun demikian dalam perkembangannya,
yakni dalam Penjelasan Pasal 34 UU BI Tahun 2004, pengecualian ini tidak diatur
atau dinyatakan perubahannya. Dengan kata lain pembentuk Undang-Undang bukan
hanya mengalihkan fungsi pengawasan namun juga fungsi pengaturan kepada OJK
karena sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 35 UU BI Tahun 1999 bahwa, “Sepanjang lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1) belum dibentuk, tugas pengaturan dan pengawasan bank
dilaksanakan oleh Bank Indonesia.” Dengan demikian tugas pengaturan dan
pengawasan yang dilakukan oleh BI pada hakikatnya bersifat sementara.
Demikian juga
mengenai sistem pengaturan dan pengawasan terintegrasi di dalam satu lembaga,
menurut Mahkamah didasarkan pada pengalaman adanya krisis keuangan yang pernah
terjadi di Indonesia, struktur dan sistem keuangan yang saat ini berlaku, dan best practice di beberapa negara menjadi
alasan pembentuk undang-undang menilai bahwa yang paling sesuai dengan
Indonesia adalah model unified
supervisory model, yakni suatu sistem pengaturan dan pengawasan industri
jasa keuangan yang terintegrasi di dalam suatu lembaga tunggal yang kemudian
dinamakan Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan UU OJK, sehingga menurut Mahkamah
tidak dapat dikatakan adanya penumpukan kewenangan, akan tetapi hal tersebut
semata-mata merupakan pilihan kebijakan hukum dari pembentuk Undang-Undang.
Pilihan kebijakan hukum dari pembentuk Undang-Undang tersebut menurut Mahkamah
justru mendapat legitimasi konstitusional dari Pasal 23D UUD 1945 karena pasal
tersebut menentukan di antaranya pengaturan mengenai kewenangan bank sentral
diserahkan kepada pembentuk Undang-Undang sehingga pengalihan kewenangan atau
fungsi bank sentral yang oleh pembentuk Undang-Undang dinamakan Bank Indonesia
(BI) kepada lembaga lain merupakan open
legal policy dari pembentuk Undang-Undang.
Adapun terkait
dalil tentang adanya tumpang tindih kewenangan, menurut Mahkamah UU OJK telah
menentukan secara jelas dan tegas kewenangan BI yang beralih menjadi kewenangan
OJK, di antaranya dalam Pasal 7 UU OJK yang dalam Penjelasannya menentukan
pembagian kewenangan antara BI dan OJK, yaitu bahwa “Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek
kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan
microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun lingkup pengaturan
dan pengawasan macroprudential, yakni pengawasan selain yang diatur dalam pasal
ini, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan
pengawasan macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan
himbauan moral (moral suasion) kepada Perbankan.”
Meskipun telah
ada pembagian kewenangan tersebut, menurut Mahkamah ke depan pembentuk
Undang-Undang perlu melakukan pengaturan secara jelas dan tegas atas lingkup macroprudential oleh BI melalui
perubahan UU BI sehingga tidak menimbulkan problem implementasi UU OJK. Selain
itu, untuk menghindari tumpang tindih kewenangan pengawasan sektor Perbankan
antara OJK dan BI, menurut Mahkamah perlu segera dibangun sarana pertukaran
informasi secara terintegrasi oleh ketiga lembaga di sektor Perbankan (OJK, BI,
dan LPS) sebagaimana diamanatkan Pasal 43 UU OJK sehingga memungkinkan setiap
institusi untuk saling bertukar informasi dan mengakses informasi yang
dibutuhkan setiap saat dengan tetap menjaga dan mempertimbangkan kerahasian
informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo tidak beralasan
menurut hukum;
[3.17.4] Bahwa
para Pemohon mendalilkan, anggaran OJK yang bersumber dari APBN adalah
bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 karena OJK bukan merupakan
lembaga negara.
Terhadap dalil
para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa meskipun OJK disebut dengan
kata “lembaga” saja tanpa disertai kata “negara” hal itu bukan berarti
kedudukan OJK merupakan lembaga yang ilegal, sehingga OJK tetap dapat melakukan
fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 9 UU OJK.
Dengan demikian,
karena OJK adalah sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang
yang diperintahkan Undang-Undang maka sudah sewajarnya pembiayaan OJK bersumber
dari APBN untuk mendanai seluruh kegiatan operasional seperti pada masa awal
pembentukan OJK [vide Pasal 34 UU OJK dan Penjelasannya] karena sumber
pendanaan dari APBN diperlukan untuk memenuhi kebutuhan OJK pada saat pungutan
dari pihak yang melakukan kegiatan di industri jasa keuangan belum dapat
mendanai seluruh kegiatan operasional secara mandiri. Pendanaan yang bersumber
dari APBN adalah bersifat sementara sampai OJK dapat mendanai seluruh kegiatan
operasionalnya secara mandiri. Adapun mengenai penetapan besaran pungutan
tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan
kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, harus ada batasan waktu yang jelas
sejauh mana OJK dapat menggunakan APBN sebagai sumber kegiatan operasional.
Demi kemanfaatan dan kepastian penggunaan APBN, pendanaan OJK yang bersumber
dari APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) UU OJK diterapkan hingga
OJK dapat mendanai seluruh kegiatan operasionalnya secara mandiri, dan hal
tersebut menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menilainya karena
penetapan anggaran OJK dilakukan dengan terlebih dahulu meminta persetujuan DPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 UU OJK. Oleh karena itu, penggunaan APBN
untuk biaya operasional OJK harus memuat batasan waktu yang menjadi kewenangan
pembentuk Undang-Undang untuk menilainya.
[3.17.5] Bahwa Pemohon mendalilkan bahwa pungutan yang dilakukan oleh OJK
bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Selain itu, pungutan tersebut
berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang dan permasalahan
pertanggungjawaban dalam hal terdapat kelebihan hasil pungutan.
Terhadap dalil
Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa meski pungutan yang dilakukan oleh
OJK tidak diatur dengan Undang-Undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23A
UUD 1945 namun hal itu tidaklah serta merta berarti bertentangan dengan UUD
1945 karena dalam kenyatannya tidak ada undang-undang yang secara khusus
mengatur pungutan lain yang bersifat memaksa sehingga jika pungutan yang
diperuntukkan untuk negara dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka akan
banyak pungutan lain yang juga bertentangan dengan UUD 1945, misalnya biaya
atau iuran yang digunakan untuk kebutuhan pelaksanaan fungsi Bursa Efek
sebagaimana ditentukan dalam UU 8/1995 tentang Pasar Modal dan iuran bagi
pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana ditentukan dalam UU 41/1999
tentang Kehutanan. Secara teknis juga akan menimbulkan kerumitan jika setiap
pungutan harus dengan Undang-Undang tersendiri karena akan banyak Undang-Undang
yang khusus dan tersendiri yang mengatur setiap jenis pungutan. Adapun mengenai
penyalahgunaan dan pertanggungjawaban pungutan, termasuk dalam hal terdapat
kelebihan hasil pungutan, menurut Mahkamah Pasal 38 UU OJK telah mengantisipasi
kedua hal tersebut, bahwa pungutan sebagai bagian dari laporan keuangan OJK
harus diaudit oleh BPK dan/atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh BPK.
Sementara itu untuk seluruh kegiatan OJK dilaporkan kepada DPR dan laporan
kegiatan tahunan disampaikan pula kepada Presiden. Dengan adanya ketentuan
mengenai pelaporan dan akuntabilitas dalam UU OJK menurut Mahkamah telah ada
pengawasan dan pertanggungjawaban dari OJK kepada negara dan masyarakat.
Adapun dalam hal
terdapat kelebihan hasil pungutan yang kemudian disetorkan ke Kas Negara,
menurut Mahkamah, hal tersebut tidak terkait dengan persoalan
konstitusionalitas namun merupakan open
legal policy pembentuk Undang-Undang. Selain itu, ketentuan tersebut telah
bersesuaian dengan Pasal 9 UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 16 UU
1/2004 tentang Perbendaharan Negara. Hal demikian juga lazim dipraktikan di
beberapa negara. Dengan demikian hal tersebut tidak bertentangan dengan UUD
1945.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan
seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah pokok permohonan para Pemohon
beralasan menurut hukum untuk sebagian;
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Dalam Provisi:
Menyatakan permohonan provisi para Pemohon tidak
dapat diterima.
Dalam
Pokok Permohonan:
Menyatakan:
1.
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1 Frasa “dan
bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
1.2 Frasa “dan
bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
1.3 Pasal
1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011, Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253) selengkapnya menjadi “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga
yang independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini”.
2.
Menolak permohonan para Pemohon
untuk selain dan selebihnya;
3.
Memerintahkan pemuatan putusan ini
dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
====================
Link
Putusan >>> http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/25_PUU-XII_2014.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar