Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Senin, 05 Oktober 2015

KONSTITUSIONALITAS SUMPAH PROFESI ADVOKAT DALAM UNDANG-UNDANG ADVOKAT



                 
Pada bulan September 2014, para advokat dan konsultan hukum yang terdiri atas Abraham Amos, SH., dkk., mendatangi Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
                  Dalam permohonannya para Pemohon mendalilkan hal sebagai berikut:
·      Pemohon I mendalilkan dirinya sebagai warga negara Indonesia (vide bukti bertanda P-1) yang telah bekerja sebagai konsultan hukum dan magang Advokat di Kantor Hukum Ismet, Subagyo & Partners di Surabaya sejak tahun 2004 sampai sekarang dengan advokat pembimbing Subagyo, S.H., M.H. (vide bukti bertanda P-2). Pemohon I telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) pada 27 Agustus 2005 sampai dengan 30 Oktober 2005 (vide bukti bertanda P-3). Pemohon telah lulus ujian advokat yang diselenggarakan oleh Kongres Advokat Indonesia (KAI) (vide bukti bertanda P-4) dan terdaftar sebagai anggota KAI (vide bukti bertanda P-5). Bahwa Pemohon I mendalilkan mengalami kesulitan berprofesi sebagai advokat untuk beracara di pengadilan karena Mahkamah Agung, oleh Pemohon I, dianggap telah melakukan perbuatan sewenang-wenang dalam menafsirkan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat yaitu sumpah dalam sidang terbuka di Pengadilan Tinggi merupakan kewenangan mutlak Mahkamah Agung yang dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi sehingga Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia tidak bersedia menyelenggarakan Sumpah Advokat untuk Advokat yang bukan anggota PERADI. Padahal, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) berdasarkan Surat Nomor 542/K/PMT/II/2013 bertanggal 11 Februari 2013 (vide bukti bertanda P-6) dan Komisi Yudisial (KY) berdasarkan Surat Nomor 380/P.KY/04/2014 bertanggal 22 April 2014 (vide bukti bertanda P-7) telah meminta Ketua Mahkamah Agung agar memperhatikan hak asasi para Advokat anggota KAI yakni agar para Advokat anggota KAI disumpah dalam sidang Pengadilan Tinggi, namun hingga sekarang Pengadilan Tinggi di Indonesia tetap menolak sumpah para advokat anggota KAI, termasuk Pemohon.  Bahwa Pemohon I juga mendalilkan telah melaksanakan sumpah advokat pada 27 Desember 2012 yang diselenggarakan KAI bekerjasama dengan Rohaniwan Islam Kementerian Agama (vide bukti bertanda P-8) namun Berita Acara Sumpah tersebut tidak diakui para hakim (vide bukti bertanda P-9) yang menjadikan Pemohon sebagai anggota KAI di Surabaya tidak dapat bersumpah di Pengadilan Tinggi Jawa Timur sampai sekarang;
·      Para Pemohon II adalah perseorangan warga negara Indonesia, yang berprofesi sebagai Advokat dari berbagai wadah organisasi Advokat Indonesia sesuai dengan ketentuan dalam UU Advokat namun faktanya para Pemohon II tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai Advokat dengan terbitnya Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 089/KMA/2010, tanggal 25 Juni 2010, yang mana surat keputusan Mahkamah Agung tersebut dipedomani oleh semua jajaran peradilan yang melarang anggota Advokat non-PERADI beracara di seluruh tingkat peradilan, mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, jika tidak dapat menunjukkan Berita Acara Sumpah yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi di wilayah hukumnya. Hal ini, menurut para Pemohon II, adalah tindakan sepihak untuk mendiskriminasi anggota Advokat non-PERADI secara tidak logis dan tidak sesuai dengan ratio legis menurut ketentuan hukum yang berlaku serta tidak diterima oleh akal sehat;
                  Untuk menjawab permasalah tersebut tersebut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:

[3.8]       Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa           di sidang terbuka Pengadilan Tinggidan ayat (3) sepanjang frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan” UU Advokat yang masing-masing selengkapnya menyatakan: 
Pasal 4 ayat (1)
:
Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh  di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.
Pasal 4 ayat (3)
:
Salinan berita acara sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan Organisasi Advokat.
                   Bahwa, menurut para Pemohon, kedua ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 khususnya pasal-pasal sebagai berikut:  
Pasal 28A
:
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28C ayat (2)
:
Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkannya haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Pasal 28D ayat (1)
:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Pasal 28D ayat (2)
:
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Pasal 28D ayat (3)
:
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Pasal 28E ayat (2)
:
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Pasal 28G ayat (1)
:
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Pasal 28H ayat (2)
:
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Pasal 28I ayat (1)
:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
[3.9]       Menimbang bahwa Pemohon I pada pokoknya mendalilkan sebagai berikut:
1.     Bahwa Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) UU Advokat menentukan sumpah advokat dijalankan dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi dengan menugaskan Panitera Pengadilan Tinggi untuk mengirimkan salinan Berita Acara Sumpah kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan Organisasi Advokat. Aturan tersebut menunjukkan bahwa acara sumpah advokat melibatkan kewenangan Pengadilan Tinggi;
2.     Bahwa dalam melaksanakan ketentuan sumpah advokat tersebut, Mahkamah Agung memerintahkan agar Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia hanya menyelenggarakan sidang sumpah advokat kepada advokat anggota PERADI saja. Bagi Pemohon dan para advokat selain anggota PERADI yang belum disumpah, tidak ada upaya hukum yang memungkinkan untuk menggugat keputusan Mahkamah Agung dan Ketua Pengadilan Tinggi yang menolak melakukan sidang terbuka sumpah advokat untuk advokat selain anggota PERADI. Jika keputusan penolakan tersebut digugat di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara, puncak dari peradilan tersebut adalah Mahkamah Agung, sehingga peradilan semacam itu akan melanggar asas hakim dilarang mengadili perkaranya sendiri”;
3.     Bahwa Mahkamah Konstitusi, dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 tentang permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, bertanggal 30 Desember 2009, amar putusannya menyatakan, Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai, “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”;
4.     Bahwa Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo tidak dipatuhi oleh Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi. Putusan tersebut tidak memberikan solusi terhadap tindakan Pengadilan Tinggi, yang atas perintah Mahkamah Agung, menafsirkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat tersebut sebagai kewenangan untuk menolak sidang terbuka sumpah advokat yang diminta organisasi advokat apa pun, kecuali PERADI;
5.     Bahwa Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo memberikan tafsir terhadap Pasal 4 ayat (1) UU Advokat yang mewajibkan Pengadilan Tinggi melakukan sidang terbuka untuk sumpah advokat yang tidak terbatas hanya advokat PERADI. Namun, ternyata putusan MK tersebut juga tidak memberikan solusi, sebab Pasal 4 ayat (1) UU Advokat masih melibatkan Pengadilan Tinggi untuk melakukan sumpah advokat;
6.     Bahwa kerugian yang dialami oleh Pemohon sebagaimana diuraikan di atas tidak sekadar sebagai masalah implementasi hukum, namun juga telah nyata-nyata melanggar hak konstitusional Pemohon sebagaimana didalilkan di atas dan telah pula melanggar kepastian hukum dalam rangka memenuhi asas kemandirian advokat;
7.     Bahwa berdasarkan uraian di atas, menurut Pemohon, supaya tidak terjadi lagi pelanggaran hak konstitusional yang sebagaimana Pemohon alami beserta rekan Pemohon yang bernasib sama di seluruh Indonesia, maka Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menguji ulang Pasal 4 ayat (1) UU Advokat dengan menekankan pada asas kemandirian advokat dan memberikan solusi konstitusional terhadap kebuntuan jalan hukum karena tafsir hukum yang dilakukan Mahkamah Agung tersebut. Oleh karenanya, dalam petitum, Pemohon pada pokoknya memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan UU Advokat, khususnya Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” dan Pasal 4 ayat (3) sepanjang frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga apabila permohonan Pemohon a quo dikabulkan, ketentuan Pasal 4 ayat (1) berubah menjadi Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya. dan ketentuan Pasal 4 ayat (3) berubah menjadi Salinan berita acara sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan Organisasi Advokat.
                   Bahwa para Pemohon II pada pokoknya mendalilkan sebagai berikut:
1.     Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) UU Advokat dipandang sangat berimplikasi diskriminatif yang secara faktual telah melanggar hak konstitusional para Pemohon, khususnya anggota Advokat yang bernaung di bawah organisasi non-PERADI;
2.     Pemberlakuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat menurut fakta empirik dalam aplikasi dan implementasinya sudah tidak dapat dipertahankan lagi karena banyak menimbulkan konflik berkepanjangan antara PERADI versus KAI sejak tahun 2009 sampai tahun 2015 belum diselesaikan secara tuntas;
3.     Pasal 4 ayat (3) UU Advokat tentang Salinan Berita Acara Sumpah menjadi tugas Panitera Pengadilan Tinggi sebagai perantara administrasi untuk menyampaikan kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan Organisasi Advokat sebagai kelanjutan teknis pelaksanaan yang berimbas dari amanat Pasal        4 ayat (1) dan ayat (2), sehingga jika dicermati bertentangan dengan diktum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 067/PUU-II/2004.
[3.10]       Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon di atas, khususnya mengenai Pasal 4 ayat (1) UU Advokat yang dalam perkara a quo diajukan dengan mendasarkan pada dasar pengujian Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2), serta Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, Mahkamah telah memutus konstitusionalitas Pasal 4 ayat (1) UU Advokat tersebut dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo yang mendasarkan pada dasar pengujian Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, yang pertimbangan hukumnya antara lain menyatakan sebagai berikut:
       [3.14]....
1)    Keharusan bagi Advokat mengambil sumpah sebelum menjalankan profesinya merupakan kelaziman dalam organisasi dan suatu jabatan/pekerjaan profesi yang tidak ada kaitannya dengan masalah konstitusionalitas suatu norma in casu norma hukum yang dimohonkan pengujian, sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945;
2)    Ketentuan bahwa pengambilan sumpah bagi Advokat harus di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah hukumnya merupakan pelanjutan dari ketentuan yang berlaku sebelum lahirnya UU Advokat yang memang pengangkatannya dilakukan oleh Pemerintah in casu Menteri Kehakiman/Menteri Hukum dan HAM. Setelah lahirnya UU Advokat yang menentukan bahwa pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat [vide Pasal 2 ayat (2) UU Advokat], bukan lagi oleh Pemerintah, memang seolah-olah pengambilan sumpah yang harus dilakukan di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya tidak lagi ada rasionalitasnya. Akan tetapi, mengingat bahwa profesi Advokat telah diposisikan secara formal sebagai penegak hukum (vide Pasal 5 UU Advokat) dan dalam rangka melindungi para klien dari kemungkinan penyalahgunaan profesi Advokat, maka ketentuan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat tersebut juga konstitusional;
3)    Meskipun demikian, ketentuan yang mewajibkan para Advokat sebelum menjalankan profesinya harus mengambil sumpah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, tidak boleh menimbulkan hambatan bagi para advokat untuk bekerja atau menjalankan profesinya yang dijamin oleh UUD 1945. Lagi pula Pasal 3 ayat (2) UU Advokat secara expressis verbis telah menyatakan bahwa Advokat yang telah diangkat berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan oleh UU Advokat dapat menjalankan praktiknya sesuai dengan bidang-bidang yang dipilih;
d.    Bahwa dengan demikian, keharusan bagi Advokat untuk mengambil sumpah sebelum menjalankan profesinya tidak ada kaitannya dengan persoalan konstitusionalitas norma, demikian juga mengenai keharusan bahwa pengambilan sumpah itu harus dilakukan di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya, sepanjang ketentuan dimaksud tidak menegasi hak warga negara in casu para calon Advokat untuk bekerja yang dijamin oleh UUD 1945;
e.    Bahwa terjadinya hambatan yang dialami oleh para Pemohon untuk bekerja dalam profesi Advokat pada dasarnya bukan karena adanya norma hukum yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, melainkan disebabkan oleh penerapan norma dimaksud sebagai akibat adanya Surat Mahkamah Agung yang melarang Pengadilan Tinggi mengambil sumpah para calon Advokat sebelum organisasi advokat bersatu;
f.      Bahwa penyelenggaraan sidang terbuka Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat merupakan kewajiban atributif yang diperintahkan oleh Undang-Undang, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyelenggarakannya. Namun demikian, Pasal 28 ayat (1) UU Advokat juga mengamanatkan adanya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga para Advokat dan organisasi-organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada, yaitu Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI), harus mengupayakan terwujudnya Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat;
g.    Berdasarkan uraian tersebut di atas, Pasal 4 ayat (1) UU Advokat adalah konstitusional sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” harus dimaknai sebagai kewajiban yang diperintahkan oleh Undang-Undang untuk dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi tanpa mengaitkannya dengan adanya dua organisasi Advokat yang secara de facto ada dan sama-sama mengklaim sebagai organisasi Advokat yang sah menurut UU Advokat;
h.    Bahwa untuk mendorong terbentuknya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat, maka kewajiban Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah terhadap para calon Advokat tanpa memperhatikan Organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada sebagaimana dimaksud pada paragraf [3.14] huruf g di atas yang hanya bersifat sementara untuk jangka waktu selama 2 (dua) tahun sampai terbentuknya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat melalui kongres para Advokat yang diselenggarakan bersama oleh organisasi advokat yang secara de facto saat ini ada;
i.      Bahwa apabila setelah jangka waktu dua tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum;”
[3.11]     Menimbang bahwa dalam persidangan tanggal 6 Mei 2015, Pihak Terkait Mahkamah Agung yang dalam hal ini diwakili oleh Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung, Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H., LLM., telah memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut:
a.  Mahkamah Agung menyerahkan sepenuhnya masalah konstitusionalitas     Pasal 4 UU Advokat kepada Mahkamah Konstitusi;
b.  Mahkamah Agung melihat pada kejadian masa lalu yang terseret secara tidak langsung dalam pertikaian atau konflik di antara organisasi profesi advokat. Maka, ke depan, Mahkamah Agung justru menginginkan tidak masalah jika pengambilan sumpah tidak harus dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Tinggi. Mahkamah Agung bersifat imparsial (tidak berpihak). Penyumpahan diserahkan kepada para profesi itu sendiri;
c.   Mahkamah Agung tidak dalam posisi mengakui atau tidak mengakui kedua organisasi yang bertikai. Jadi intinya, diserahkan kepada organisasi profesi advokat itu sendiri;
d.  Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Nomor 052/KMA/V/2009 kepada para Ketua Pengadilan Tinggi di saat belum ada pengujian terhadap ketentuan    Pasal 4 UU Advokat. Oleh karena kemudian ada pengujian ketentuan tersebut, maka tentang isu konstitusional atau tidaknya Pasal 4 UU Advokat diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi;
e.  Mahkamah Agung tidak ada kepentingan untuk mempertahankan penyumpahan harus di hadapan sidang terbuka Pengadilan Tinggi, jadi diserahkan sepenuhnya kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutusnya;
f.    Mahkamah Agung tidak memiliki kepentingan untuk mempertahankan Pasal 4 UU Advokat tersebut;
g.  Mahkamah Agung juga tidak berkepentingan untuk mempertahankan pasal mengenai advokat tergabung dalam wadah tunggal (singlebar) atau multibar.
[3.12]     Menimbang bahwa terkait dengan pernyataan Pihak Terkait Mahkamah Agung di atas dan kaitannya dengan pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat (vide Pasal 2 UU Advokat) yang hal ini terkait pula dengan Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, Mahkamah dalam perkara a quo perlu merujuk pada putusan-putusan Mahkamah sebelumnya yang mempertimbangkan sebagai berikut: 
a.    ...bahwa Rancangan UU tentang Advokat telah mulai disusun sejak tahun 1999. Pada saat itu baru terdapat beberapa organisasi advokat. Kemudian sesudah Rancangan Undang-undang Advokat selesai dirumuskan, bahkan di saat Rancangan Undang-undang ini tengah dibahas di DPR, muncullah beberapa organisasi advokat baru, yang diantaranya merupakan pecahan dari organisasi advokat yang telah ada.
...dimasukkan atau tidaknya organisasi advokat dalam pasal tersebut, bergantung kepada inisiatif dan kepedulian organisasi advokat yang bersangkutan untuk turut berpartisipasi dalam proses pembahasan RUU tersebut di DPR.
...bahwa jika membaca pasal tersebut secara sepintas memang dapat ditafsirkan seolah-olah tersirat adanya perlakuan yang diskriminatif terhadap organisasi advokat tertentu, tetapi setelah dilihat proses pembahasannya, tidak ada maksud pembuat undang-undang untuk mengadakan perlakuan diskriminatif. Karena pengertian “untuk sementara” yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (3) UU a quo harus dibaca tidak limitatif hanya pada delapan organisasi yang disebut di dalam pasal a quo akan tetapi terbuka pada organisasi advokat lain yang telah terbentuk sebelum UU a quo diundangkan.(vide Putusan Nomor 019/PUU-I/2003 bertanggal 18 Oktober 2004);
b.    1.   bahwa ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 Angka 1 dan Angka 4 tidak mengandung persoalan konstitusionalitas sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, karena hanya memuat definisi atau pengertian sebagaimana lazimnya dalam ketentuan umum suatu undang-undang; ketentuan tersebut juga tidak merujuk bahwa nama Organisasi Advokat yang didirikan menurut UU Advokat harus bernama Organisasi Advokat sebagaimana dikemukakan oleh Ahli dari Pemohon, karena istilah Organisasi Advokat dimaksud hanya untuk memudahkan penyebutan yang berulang-ulang dalam UU Advokat tentang satu-satunya wadah profesi Advokat;
        2.  bahwa penulisan istilah ”Organisasi Advokat” dengan huruf O dan A kapital, meskipun benar secara gramatikal menurut Ilmu Perundang-undangan menunjukkan sebagai nama diri, namun pendekatan gramatikal saja tanpa memperhatikan pendekatan historis tentang maksud (intent) pembentuk undang-undang maupun konteks materi yang diatur oleh undang-undang a quo secara keseluruhan (sistematis-kontekstual), dapat menimbulkan pengertian yang menyesatkan. Karena, menurut maksud (intent) pembentuk undang-undang maupun dari segi konteks keseluruhan materi undang-undang a quo, penulisan ”Organisasi Advokat” dengan huruf O dan A kapital tersebut dimaksudkan bukan sebagai nama diri tertentu, melainkan sebagai kata benda biasa yang menunjukkan makna umum.
       3.      bahwa Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat yang arahnya menuju “single bar organization”, tetapi dari fakta persidangan menurut keterangan PERADI dan delapan organisasi yang mengemban tugas sementara Organisasi Advokat sebelum organisasi dimaksud terbentuk [vide Pasal 32 Ayat (3) dan Ayat (4) UU Advokat], yakni Ikadin, AAI, IPHI, SPI, HAPI, AKHI, HKHPM, dan APSI, kedelapan organisasi pendiri PERADI tersebut tetap eksis namun kewenangannya sebagai organisasi profesi Advokat, yaitu dalam hal kewenangan membuat kode etik, menguji, mengawasi, dan memberhentikan Advokat [vide Pasal 26 Ayat (1), Pasal 3 Ayat (1) huruf f, Pasal 2 Ayat (2), Pasal 12 Ayat (1), dan Pasal 9 Ayat (1) UU Advokat], secara resmi kewenangan tersebut telah menjadi kewenangan PERADI yang telah terbentuk. Adapun kedelapan Organisasi Advokat pendiri PERADI tetap memiliki kewenangan selain kewenangan yang telah menjadi kewenangan PERADI, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat meniadakan eksistensi kedelapan organisasi, yang karenanya melanggar prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana diatur UUD 1945 (vide Putusan Mahkamah Nomor 019/PUU-I/2003). Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat bertentangan dengan UUD 1945 tidak beralasan;
                 .....
       6.      bahwa Pasal 32 Ayat (3) dan Ayat (4) UU Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya. Selain itu, Pasal 32 Ayat (3) UU Advokat pernah dimohonkan pengujian kepada Mahkamah yang oleh Mahkamah dalam Putusannya Nomor 019/PUU-I/2003 telah dinyatakan ditolak;
       (vide Putusan Nomor 014/PUU-IV/2006 bertanggal 30 November 2006);
c.    f.      ...Pasal 28 ayat (1) UU Advokat juga mengamanatkan adanya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga para Advokat dan organisasi-organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada, yaitu Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI), harus mengupayakan terwujudnya Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat;
       (vide Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 bertanggal 30 Desember 2009);
d.    [3.9.7] ...Satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam UU Advokat adalah satu-satunya wadah profesi Advokat yang memiliki wewenang untuk melaksanakan pendidikan khusus profesi Advokat [Pasal 2 ayat (1)], pengujian calon Advokat [Pasal 3 ayat (1) huruf f], pengangkatan Advokat [Pasal 2 ayat (2)], membuat kode etik [Pasal 26 ayat (1)], membentuk Dewan Kehormatan [Pasal 27 ayat (1)], membentuk Komisi Pengawas [Pasal 13 ayat (1)], melakukan pengawasan [Pasal 12 ayat (1)], dan memberhentikan Advokat [Pasal 9 ayat (1), UU Advokat]. UU Advokat tidak memastikan apakah wadah profesi advokat lain yang tidak menjalankan wewenang-wewenang tersebut berhak untuk tetap eksis atau tetap dapat dibentuk. Memperhatikan seluruh ketentuan dan norma dalam UU Advokat serta kenyataan pada wadah profesi Advokat, menurut Mahkamah, satu-satunya wadah profesi Advokat yang dimaksud adalah hanya satu wadah profesi Advokat yang menjalankan 8 (delapan) kewenangan a quo, yang tidak menutup kemungkinan adanya wadah profesi advokat lain yang tidak menjalankan 8 (delapan) kewenangan tersebut berdasarkan asas kebebasan berkumpul dan berserikat menurut Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa dalam pembentukan PERADI, 8 (delapan) organisasi advokat yang ada sebelumnya tidak membubarkan diri dan tidak meleburkan diri pada PERADI;
[3.9.8] Bahwa mengenai Lambang Negara yaitu Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Mahkamah mempertimbangkan bahwa tidaklah relevan membandingkan organisasi negara dengan Organisasi Advokat. Selain itu, menurut Mahkamah seandainya pun kita bandingkan dengan organisasi negara, maka memang Bhinneka Tunggal Ika mengakui pluralisme, akan tetapi Negara Indonesia yang dibentuk ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik (vide Pasal 1 ayat (1) UUD 1945) bukan negara berbentuk federasi. Bahkan lebih dari itu Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 menegaskan, “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Dalam faktanya bisa saja ada organisasi kemasyarakatan yang berbentuk federasi atau tunggal, tergantung pada pilihan bentuk masing-masing selama tidak bertentangan dengan konstitusi. Pilihan bentuk Organisasi Advokat yang tunggal tidaklah bertentangan dengan konstitusi;
[3.9.9] Bahwa tentang batu uji Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, menurut Mahkamah Organisasi Advokat yang tunggal tidak menghalangi seseorang untuk melakukan pekerjaan dan mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
       (vide Putusan Nomor 66/PUU-VIII/2010 bertanggal 27 Juni 2011);
e.    [3.15] ...peranan wadah tunggal Organisasi Advokat sama sekali tidak menghalangi hak untuk mendapatkan pendidikan serta kepastian dan perlakuan yang sama di hadapan hukum dalam menyelenggarakan PKPA. Maksud dibentuknya organisasi advokat adalah untuk memberikan pengayoman, pembinaan, dan pendidikan profesi advokat kepada para anggotanya agar mampu menguasai disiplin hukum, materi hukum, berpraktik sebagai advokat yang berkualitas dan profesional serta memberikan perlindungan dan/atau sanksi kepada para anggotanya dalam hal terjadi pelanggaran kode etik profesi;
       (vide Putusan Nomor 103/PUU-XI/2013 bertanggal 11 September 2014);
[3.13]     Menimbang bahwa ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi”, dalam perkara-perkara sebelumnya, telah dimohonkan pengujian oleh para advokat dari KAI dengan alasan yang sama dengan permohonan dalam perkara ini yang pada pokoknya menyatakan Mahkamah Agung telah menghalangi hak konstitusional para advokat tersebut untuk beracara di pengadilan karena Pengadilan Tinggi tidak bersedia menyumpah calon advokat yang berasal dari KAI;
                   Terhadap dalil tersebut, Mahkamah telah memutus dalam Putusan Nomor 71/PUU-VIII/2010, bertanggal 27 Juni 2011 dan Putusan Nomor 79/PUU-VIII/2010, bertanggal 27 Juni 2011 yang pertimbangan hukum kedua putusan tersebut mengacu pada pertimbangan hukum dan amar putusan Mahkamah dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo yang antara lain menyatakan Pasal         4 ayat (1) UU Advokat adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak amar putusan ini diucapkan”;
[3.14]     Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 60 ayat (1) UU MK juncto Pasal 42 ayat (1) PMK 06/2005 dan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 42 ayat (2) PMK 06/2005, pengujian terhadap Pasal 4 ayat (1) UU Advokat seharusnya tidak dapat diajukan permohonan lagi, sebab pada hakikatnya diajukan berdasarkan alasan pokok yang sama dan materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian juga sama dengan permohonan sebelumnya. Namun, dengan mendasarkan pada: (1) petitum para Pemohon yang juga memohon kepada Mahkamah untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);  (2) permohonan dan fakta persidangan bahwa pasca Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo, hingga saat ini, para Pemohon selaku advokat dari KAI tidak dapat beracara di pengadilan karena Pengadilan Tinggi tidak bersedia menyumpah advokat dari KAI; (3) fakta persidangan bahwa Mahkamah Agung bersifat tidak berpihak dan tidak dalam posisi mengakui atau tidak mengakui kedua organisasi yang bertikai (PERADI dan KAI), bahkan Mahkamah Agung juga tidak mempermasalahkan jika tidak berwenang menyumpah advokat; (4) tenggat waktu 2 (dua) tahun sebagaimana amar Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 telah terlewati dan tetap terdapat kebuntuan konstitusionalitas yang sangat merugikan para Pemohon khususnya, dan pada umumnya para Advokat yang tidak dapat disumpah; (5) Mahkamah sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan serta sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang menegakkan dan menafsir konstitusi dalam rangka melindungi dan menjamin hak-hak konstitusional warga negara; (6) penegakan hukum tidak hanya ditujukan untuk menjamin terpenuhinya keadilan, terlaksananya kepastian hukum, namun termasuk pula menghadirkan kemanfaatan (kemaslahatan); maka Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut perkara a quo, sebagai berikut:
a.    bahwa para Pemohon berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya [vide Pasal 28A UUD 1945] dengan bekerja sebagai advokat; berhak memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya [vide Pasal 28C ayat (2) UUD 1945] melalui pengajuan permohonan a quo; berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945] untuk dapat beracara di pengadilan; berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja [vide Pasal 28D ayat (2) UUD 1945] dengan menjadi advokat; berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan [vide Pasal 28D ayat (3) UUD 1945] dengan menjadi advokat sebagai salah satu pelaku penegakan hukum yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan perundang-undangan [vide Pasal 5 ayat (1)              UU Advokat]; berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan martabatnya [vide Pasal 28G ayat (1) UUD 1945] dengan diakui serta disumpahnya mereka sebagai advokat;
b.    bahwa, sebagaimana telah dinyatakan oleh Mahkamah dalam putusan-putusan sebelumnya, wadah tunggal advokat yaitu PERADI, adalah konstitusional. Namun, sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat yang memiliki wewenang untuk melaksanakan pendidikan khusus profesi Advokat [Pasal 2 ayat (1) UU Advokat], pengujian calon Advokat [Pasal 3 ayat (1) huruf f UU Advokat], pengangkatan Advokat [Pasal 2 ayat (2) UU Advokat], membuat kode etik [Pasal 26 ayat (1) UU Advokat], membentuk Dewan Kehormatan [Pasal 27 ayat (1) UU Advokat], membentuk Komisi Pengawas [Pasal 13 ayat (1) UU Advokat], melakukan pengawasan [Pasal 12 ayat (1) UU Advokat], dan memberhentikan Advokat [Pasal 9 ayat (1) UU Advokat] (vide Putusan Nomor 66/PUU-VIII/2010 bertanggal 27 Juni 2011), PERADI tidak memiliki wewenang untuk menyumpah calon Advokat. Meskipun Mahkamah Agung dalam persidangan perkara a quo telah menyatakan tidak masalah jika pengambilan sumpah tidak harus dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Tinggi karena Mahkamah Agung bersifat tidak berpihak dan penyumpahan diserahkan kepada profesi Advokat itu sendiri, Mahkamah tetap mengacu dan konsisten pada pertimbangan hukum Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo yang menjadi landasan hukum pentingnya penyumpahan calon advokat dilakukan oleh Pengadilan Tinggi, antara lain, karena profesi Advokat telah diposisikan secara formal sebagai penegak hukum (vide Pasal 5 UU Advokat) dan dalam rangka melindungi para klien dari kemungkinan penyalahgunaan profesi Advokat. Selain itu, penyumpahan calon advokat oleh Pengadilan Tinggi adalah guna melindungi kemuliaan profesi advokat itu sendiri, sebagaimana nilai penting perihal pelantikan advokat tersebut telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 103/PUU-XI/2013, bertanggal 11 September 2014, pada paragraf [3.16] yang menyatakan bahwa “...pengangkatan dan pelantikan advokat merupakan perwujudan untuk peningkatan kualitas profesi advokat yang menjalankan profesi mulia (officium nobile), yang pada akhirnya ke depan para Advokat dapat membangun keadilan di tengah-tengah masyarakat dalam peranannya pada proses penegakan hukum di Indonesia...”, sehingga ketentuan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat tersebut adalah konstitusional;
Bahwa dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 tersebut pula, Mahkamah menyatakan bahwa ketentuan yang mewajibkan para Advokat sebelum menjalankan profesinya harus mengambil sumpah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, tidak boleh menimbulkan hambatan bagi para advokat untuk bekerja atau menjalankan profesinya yang dijamin oleh         UUD 1945. Oleh karenanya, dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum tersebut, Amar Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 menyatakan, Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak amar putusan tersebut diucapkan. Selain itu, Mahkamah juga menyatakan apabila setelah jangka waktu dua tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1)             UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum;
c.    bahwa, meskipun pasca Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo telah ada piagam perdamaian/nota kesepahaman antara PERADI dan KAI bertanggal  24 Juni 2010 yang piagam tersebut juga diketahui dan ditandatangani pula oleh Ketua Mahkamah Agung saat itu, Dr. H. Arifin A. Tumpa, S.H., M.H. dan proses penandatanganan piagam tersebut dihadiri dan diketahui pula oleh Menteri Hukum dan HAM saat itu, Patrialis Akbar (vide alat bukti tertulis bertanda PT-8 dan PT-10) yang menandai bersatunya para advokat dalam satu wadah organisasi, namun para Pemohon pada faktanya masih mengalami kesulitan beracara di pengadilan karena Pengadilan Tinggi tidak bersedia menyumpah para advokat yang bukan berasal dari PERADI;
Terhadap permasalahan tersebut, dengan mendasarkan pada pernyataan Mahkamah Agung dalam persidangan perkara a quo yang menyatakan tidak ingin lagi terseret pada konflik serta tidak dalam posisi mengakui atau tidak mengakui kedua organisasi (PERADI dan KAI) yang bertikai, Mahkamah berpendapat, demi terwujudnya asas kemanfaatan (kemaslahatan) hukum dan terjaminnya asas keadilan serta terlaksananya asas kepastian hukum khususnya bagi para calon advokat, bahwa dengan telah lewatnya masa dua tahun sebagaimana amar putusan Mahkamah dalam Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009, Mahkamah perlu memperkuat kembali amar putusan tersebut dan mempedomani kembali ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sebagaimana telah diputus Mahkamah dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo, yaitu bahwa Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada” dan Mahkamah tidak perlu lagi memberikan jangka waktu penyelesaian konflik internal organisasi advokat yang terus muncul karena pada dasarnya persoalan eksistensi kepengurusan yang sah dari lembaga advokat tersebut adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari lembaga tersebut selaku organisasi yang bebas dan mandiri yang dibentuk dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat [vide Pasal 28 ayat (1) UU Advokat] yang dapat dimaknai pula bahwa nilai profesionalitas tersebut mencakup pula kemampuan para advokat untuk menyelesaikan konflik internal lembaga tersebut. Dalam kaitannya untuk mewujudkan asas kemanfaatan hukum, keharusan mengambil sumpah para advokat oleh Pengadilan Tinggi tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, adalah supaya tidak mengganggu proses pencarian keadilan (access to justice) bagi masyarakat yang membutuhkan jasa advokat dan tidak pula menghalang-halangi hak konstitusional para advokat sebagaimana telah diuraikan pada paragraf [3.14] huruf a di atas. Selain itu, yang dimaksud dengan frasa “Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada” dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 di atas, konteksnya adalah merujuk pada Organisasi PERADI dan KAI;
d.    bahwa Mahkamah Agung menegaskan tidak memiliki kepentingan untuk mempertahankan pasal mengenai advokat tergabung dalam wadah tunggal (singlebar) atau multibar dan menyerahkan sepenuhnya persoalan tersebut kepada Mahkamah. Terhadap hal tersebut, Mahkamah berpendapat, meskipun pada pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan sebelumnya pada pokoknya menyatakan bahwa wadah tunggal organisasi adalah konstitusional, namun hal tersebut esensinya menjadi bagian dari kebijakan hukum yang terbuka yang menjadi kewenangan bagi pembentuk Undang-Undang (Presiden dan DPR) beserta pemangku kepentingan (para advokat dan organisasi advokat) untuk menentukan apakah selamanya organisasi advokat akan menjadi organisasi tunggal atau berubah menjadi multi organ. Oleh karenanya, masih terdapat upaya hukum lainnya yaitu melalui proses legislative review yang juga menjadi bagian dari tindakan konstitusional yang dapat dilakukan oleh para advokat untuk menentukan solusi yang terbaik bagi eksistensi organisasi advokat serta untuk menjamin dan melindungi hak-hak konstitusional para advokat dalam menjalankan profesinya;
                   Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, permohonan para Pemohon terhadap ketentuan Pasal 4 ayat (1)    UU Advokat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” UU Advokat adalah beralasan menurut hukum;
[3.15]       Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon khususnya Pasal 4 ayat (3) UU Advokat yang meminta Mahkamah menyatakan sepanjang frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum di atas yang pada pokoknya menyatakan permohonan para Pemohon terhadap Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” adalah beralasan menurut hukum maka dengan sendirinya tindakan yang dilaksanakan oleh Panitera Pengadilan Tinggi sebagai tindak lanjut dari proses pengambilan sumpah Advokat di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya adalah menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat yang menjadi landasan hukum bagi dilaksanakannya tugas Panitera Pengadilan Tinggi yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU Advokat. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo tentang Pasal 4 ayat (3) UU Advokat sepanjang frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan adalah tidak beralasan menurut hukum;
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.    Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1.        Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang secara de facto ada yaitu PERADI dan KAI”;
1.2.        Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288) adalah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang secara de facto ada yaitu PERADI dan KAI”;
2.    Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3.    Memerintahkan pemuatan amar Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

===============

Tidak ada komentar: