Dalam
permohonannya para Pemohon mendalilkan hal sebagai berikut:
· Pemohon I
mendalilkan dirinya sebagai warga
negara Indonesia (vide bukti
bertanda
P-1) yang
telah bekerja sebagai konsultan hukum dan magang Advokat di Kantor Hukum Ismet, Subagyo
& Partners di Surabaya sejak tahun 2004 sampai sekarang dengan advokat
pembimbing Subagyo, S.H., M.H.
(vide
bukti bertanda P-2). Pemohon I telah mengikuti Pendidikan
Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan oleh Perhimpunan
Advokat Indonesia (PERADI) pada 27 Agustus 2005 sampai dengan 30 Oktober 2005 (vide bukti bertanda P-3). Pemohon telah lulus ujian
advokat yang diselenggarakan oleh Kongres Advokat Indonesia (KAI) (vide bukti bertanda P-4) dan terdaftar sebagai anggota KAI (vide bukti bertanda P-5). Bahwa Pemohon I mendalilkan mengalami kesulitan
berprofesi sebagai advokat untuk beracara di pengadilan karena Mahkamah Agung, oleh Pemohon I, dianggap telah melakukan perbuatan sewenang-wenang dalam menafsirkan Pasal 4
ayat (1) UU Advokat yaitu sumpah
dalam sidang terbuka di Pengadilan Tinggi merupakan kewenangan mutlak Mahkamah
Agung yang dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi sehingga Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia tidak
bersedia menyelenggarakan Sumpah
Advokat untuk Advokat yang bukan anggota
PERADI. Padahal, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) berdasarkan Surat
Nomor
542/K/PMT/II/2013 bertanggal
11 Februari 2013 (vide bukti bertanda P-6) dan Komisi Yudisial
(KY) berdasarkan Surat Nomor
380/P.KY/04/2014 bertanggal
22 April 2014 (vide bukti
bertanda
P-7) telah meminta Ketua
Mahkamah Agung agar memperhatikan hak asasi para Advokat anggota KAI yakni agar para Advokat anggota KAI disumpah
dalam sidang Pengadilan Tinggi, namun hingga sekarang Pengadilan Tinggi di Indonesia
tetap menolak sumpah para advokat anggota KAI, termasuk Pemohon. Bahwa Pemohon I juga mendalilkan telah melaksanakan sumpah advokat pada
27 Desember 2012 yang diselenggarakan KAI bekerjasama dengan Rohaniwan Islam
Kementerian Agama (vide bukti bertanda P-8) namun Berita Acara Sumpah tersebut tidak diakui para hakim (vide bukti bertanda P-9) yang menjadikan Pemohon sebagai anggota KAI
di Surabaya tidak dapat bersumpah di Pengadilan Tinggi Jawa Timur sampai
sekarang;
· Para Pemohon II
adalah perseorangan warga negara Indonesia, yang berprofesi sebagai Advokat
dari berbagai wadah organisasi Advokat Indonesia sesuai dengan ketentuan dalam
UU Advokat namun faktanya para Pemohon II tidak dapat menjalankan tugasnya
sebagai Advokat dengan terbitnya Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 089/KMA/2010,
tanggal 25 Juni 2010, yang mana surat keputusan Mahkamah Agung tersebut
dipedomani oleh semua jajaran peradilan yang melarang anggota Advokat
non-PERADI beracara di seluruh tingkat peradilan, mulai dari Pengadilan Negeri,
Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, jika tidak dapat menunjukkan
Berita Acara Sumpah yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi di wilayah
hukumnya. Hal ini, menurut para Pemohon II, adalah tindakan sepihak untuk
mendiskriminasi anggota Advokat non-PERADI secara tidak logis dan tidak sesuai
dengan ratio legis menurut ketentuan
hukum yang berlaku serta tidak diterima oleh akal sehat;
Untuk
menjawab permasalah tersebut tersebut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan
hukumnya menyatakan sebagai berikut:
[3.8] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mengajukan
permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 4 ayat (1) sepanjang
frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” dan ayat (3) sepanjang frasa
“oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan” UU Advokat yang masing-masing selengkapnya menyatakan:
Pasal
4 ayat (1)
|
:
|
“Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah
menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di
sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.”
|
Pasal
4 ayat (3)
|
:
|
“Salinan berita acara sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi
yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan
Organisasi Advokat.”
|
Bahwa, menurut para Pemohon, kedua ketentuan
tersebut
bertentangan dengan UUD 1945 khususnya pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 28A
|
:
|
“Setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
|
Pasal 28C ayat (2)
|
:
|
“Setiap orang
berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkannya haknya secara kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.”
|
Pasal
28D ayat (1)
|
:
|
“Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum.”
|
Pasal
28D ayat (2)
|
:
|
“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja.”
|
Pasal
28D ayat (3)
|
:
|
“Setiap warga
negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
|
Pasal 28E ayat (2)
|
:
|
“Setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya.”
|
Pasal 28G ayat (1)
|
:
|
“Setiap orang
berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi.”
|
Pasal 28H ayat (2)
|
:
|
“Setiap orang
berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan
dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
|
Pasal 28I ayat (1)
|
:
|
“Hak untuk hidup,
hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun.”
|
[3.9] Menimbang
bahwa Pemohon I pada pokoknya mendalilkan sebagai berikut:
1.
Bahwa Pasal 4 ayat (1) dan ayat
(3) UU Advokat menentukan sumpah advokat dijalankan dalam sidang terbuka
Pengadilan Tinggi dengan
menugaskan Panitera Pengadilan Tinggi untuk mengirimkan salinan Berita Acara
Sumpah kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan
Organisasi Advokat. Aturan tersebut menunjukkan bahwa acara sumpah advokat
melibatkan kewenangan Pengadilan Tinggi;
2.
Bahwa dalam
melaksanakan ketentuan sumpah advokat tersebut, Mahkamah Agung memerintahkan agar
Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia hanya menyelenggarakan sidang sumpah advokat kepada advokat anggota
PERADI saja. Bagi
Pemohon dan para advokat selain anggota PERADI yang belum disumpah, tidak ada
upaya hukum yang memungkinkan untuk menggugat keputusan Mahkamah Agung dan
Ketua Pengadilan Tinggi yang menolak melakukan sidang terbuka sumpah advokat
untuk advokat selain anggota PERADI. Jika keputusan penolakan tersebut digugat
di Pengadilan Negeri
atau Pengadilan Tata Usaha Negara, puncak dari peradilan tersebut adalah
Mahkamah Agung, sehingga peradilan semacam itu akan melanggar asas “hakim dilarang mengadili
perkaranya sendiri”;
3.
Bahwa Mahkamah Konstitusi, dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 tentang
permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat, bertanggal 30 Desember 2009, amar putusannya menyatakan,
Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
apabila tidak dimaknai, “Pengadilan
Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat
sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi
Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua)
tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”;
4.
Bahwa Putusan
Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo tidak dipatuhi oleh Mahkamah Agung dan
Pengadilan Tinggi. Putusan tersebut tidak memberikan solusi terhadap
tindakan Pengadilan
Tinggi, yang atas
perintah Mahkamah Agung,
menafsirkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat tersebut sebagai kewenangan untuk menolak sidang terbuka
sumpah advokat yang diminta organisasi advokat apa pun, kecuali PERADI;
5.
Bahwa Putusan
Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo memberikan tafsir terhadap
Pasal 4 ayat (1) UU Advokat yang mewajibkan Pengadilan Tinggi melakukan sidang
terbuka untuk sumpah advokat yang tidak terbatas hanya advokat PERADI. Namun, ternyata putusan MK
tersebut juga tidak memberikan solusi, sebab Pasal 4 ayat (1) UU Advokat masih melibatkan Pengadilan
Tinggi untuk melakukan sumpah
advokat;
6.
Bahwa kerugian yang dialami oleh Pemohon sebagaimana
diuraikan di atas tidak
sekadar sebagai masalah implementasi hukum, namun juga telah nyata-nyata
melanggar hak konstitusional Pemohon sebagaimana didalilkan di atas dan telah
pula melanggar kepastian hukum dalam rangka memenuhi asas kemandirian advokat;
7.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, menurut Pemohon, supaya tidak terjadi lagi pelanggaran hak
konstitusional yang sebagaimana Pemohon
alami
beserta rekan Pemohon yang bernasib sama di seluruh Indonesia, maka Pemohon memohon
kepada Mahkamah untuk menguji
ulang Pasal 4 ayat (1) UU Advokat dengan menekankan pada asas kemandirian
advokat dan memberikan solusi konstitusional terhadap kebuntuan jalan hukum
karena tafsir hukum yang dilakukan Mahkamah Agung tersebut. Oleh karenanya,
dalam petitum, Pemohon pada pokoknya memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan
UU Advokat, khususnya Pasal
4 ayat (1) sepanjang frasa “di sidang
terbuka Pengadilan Tinggi” dan Pasal 4 ayat (3) sepanjang frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan” adalah bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga apabila permohonan Pemohon a quo dikabulkan, ketentuan Pasal 4 ayat
(1) berubah menjadi “Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah
menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka
Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.” dan ketentuan
Pasal 4 ayat (3) berubah menjadi “Salinan berita
acara sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Panitera Pengadilan
Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan
Organisasi Advokat.”
Bahwa para Pemohon II pada pokoknya mendalilkan sebagai
berikut:
1.
Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) UU Advokat dipandang sangat
berimplikasi diskriminatif yang secara faktual telah melanggar hak
konstitusional para Pemohon, khususnya anggota Advokat yang bernaung di bawah
organisasi non-PERADI;
2.
Pemberlakuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat menurut fakta
empirik dalam aplikasi dan implementasinya sudah tidak dapat dipertahankan lagi
karena banyak menimbulkan konflik berkepanjangan antara PERADI versus KAI sejak tahun 2009 sampai tahun
2015 belum diselesaikan secara tuntas;
3.
Pasal 4 ayat (3) UU Advokat tentang Salinan Berita Acara
Sumpah menjadi tugas Panitera Pengadilan Tinggi sebagai perantara administrasi
untuk menyampaikan kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan Organisasi Advokat
sebagai kelanjutan teknis pelaksanaan yang berimbas dari amanat Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), sehingga jika
dicermati bertentangan dengan diktum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
067/PUU-II/2004.
[3.10] Menimbang bahwa terhadap
dalil para Pemohon di atas, khususnya mengenai Pasal
4 ayat (1) UU Advokat yang dalam perkara a
quo diajukan dengan mendasarkan pada dasar pengujian Pasal 28A, Pasal 28C
ayat (2), Pasal 28D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28E ayat (2), Pasal
28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2), serta Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, Mahkamah telah memutus
konstitusionalitas Pasal 4 ayat (1) UU Advokat tersebut dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo yang mendasarkan pada dasar pengujian Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, yang pertimbangan hukumnya antara
lain menyatakan sebagai berikut:
“[3.14]....
1) Keharusan bagi Advokat mengambil
sumpah sebelum menjalankan profesinya merupakan kelaziman dalam organisasi dan
suatu jabatan/pekerjaan profesi yang tidak ada kaitannya dengan masalah
konstitusionalitas suatu norma in casu
norma hukum yang dimohonkan pengujian, sehingga tidak bertentangan
dengan UUD 1945;
2) Ketentuan bahwa pengambilan
sumpah bagi Advokat harus di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah hukumnya
merupakan pelanjutan dari ketentuan yang berlaku sebelum lahirnya UU Advokat
yang memang pengangkatannya dilakukan oleh Pemerintah in casu Menteri Kehakiman/Menteri Hukum dan HAM. Setelah
lahirnya UU Advokat yang menentukan bahwa pengangkatan Advokat dilakukan oleh
Organisasi Advokat [vide Pasal
2 ayat (2) UU Advokat], bukan lagi oleh Pemerintah, memang seolah-olah
pengambilan sumpah yang harus dilakukan di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di
wilayah domisili hukumnya tidak lagi ada rasionalitasnya. Akan tetapi,
mengingat bahwa profesi Advokat telah diposisikan secara formal sebagai penegak
hukum (vide Pasal 5 UU Advokat)
dan dalam rangka melindungi para klien dari kemungkinan penyalahgunaan profesi
Advokat, maka ketentuan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat
tersebut juga konstitusional;
3) Meskipun demikian, ketentuan yang
mewajibkan para Advokat sebelum menjalankan profesinya harus mengambil sumpah
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, tidak boleh menimbulkan
hambatan bagi para advokat untuk bekerja atau menjalankan profesinya yang
dijamin oleh UUD 1945. Lagi pula Pasal 3 ayat (2) UU Advokat secara expressis verbis telah menyatakan bahwa Advokat yang telah diangkat
berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan oleh UU Advokat dapat menjalankan
praktiknya sesuai dengan bidang-bidang yang dipilih;
d. Bahwa dengan demikian, keharusan
bagi Advokat untuk mengambil sumpah sebelum menjalankan profesinya tidak ada
kaitannya dengan persoalan konstitusionalitas norma, demikian juga mengenai
keharusan bahwa pengambilan sumpah itu harus dilakukan di sidang terbuka
Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya, sepanjang ketentuan dimaksud
tidak menegasi hak warga negara in
casu para calon Advokat untuk bekerja yang dijamin oleh UUD 1945;
e. Bahwa terjadinya hambatan yang
dialami oleh para Pemohon untuk bekerja dalam profesi Advokat pada dasarnya
bukan karena adanya norma hukum yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (1) UU
Advokat, melainkan disebabkan oleh penerapan norma dimaksud sebagai akibat
adanya Surat Mahkamah Agung yang melarang Pengadilan Tinggi mengambil sumpah
para calon Advokat sebelum organisasi advokat bersatu;
f. Bahwa penyelenggaraan sidang
terbuka Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum
menjalankan profesinya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU
Advokat merupakan kewajiban atributif yang diperintahkan oleh Undang-Undang,
sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyelenggarakannya. Namun demikian,
Pasal 28 ayat (1) UU Advokat juga mengamanatkan adanya Organisasi Advokat yang
merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga para Advokat dan
organisasi-organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada, yaitu Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan
Kongres Advokat Indonesia (KAI), harus mengupayakan terwujudnya Organisasi
Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat;
g. Berdasarkan uraian tersebut di
atas, Pasal 4 ayat (1) UU Advokat adalah konstitusional sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di
wilayah domisili hukumnya” harus
dimaknai sebagai kewajiban yang diperintahkan oleh Undang-Undang untuk
dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi tanpa mengaitkannya dengan adanya dua
organisasi Advokat yang secara de
facto ada dan sama-sama mengklaim sebagai organisasi Advokat yang sah menurut
UU Advokat;
h. Bahwa untuk mendorong
terbentuknya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi
Advokat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat, maka
kewajiban Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah terhadap para calon Advokat
tanpa memperhatikan Organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada sebagaimana dimaksud
pada paragraf [3.14] huruf g di atas yang hanya bersifat sementara untuk
jangka waktu selama 2 (dua) tahun sampai terbentuknya Organisasi Advokat yang merupakan
satu-satunya wadah profesi Advokat melalui kongres para Advokat yang
diselenggarakan bersama oleh organisasi advokat yang secara de facto saat ini ada;
i. Bahwa apabila setelah jangka
waktu dua tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU
Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang
sah diselesaikan melalui Peradilan Umum;”
[3.11] Menimbang bahwa
dalam persidangan tanggal 6 Mei 2015, Pihak Terkait Mahkamah Agung yang dalam
hal ini diwakili oleh Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung, Prof. Dr. Takdir
Rahmadi, S.H., LLM., telah memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai
berikut:
a.
Mahkamah Agung menyerahkan sepenuhnya masalah
konstitusionalitas Pasal 4 UU Advokat
kepada Mahkamah Konstitusi;
b.
Mahkamah Agung melihat pada kejadian masa lalu yang
terseret secara tidak langsung dalam pertikaian atau konflik di antara
organisasi profesi advokat. Maka, ke depan, Mahkamah Agung justru menginginkan
tidak masalah jika pengambilan sumpah tidak harus dilakukan di hadapan sidang
Pengadilan Tinggi. Mahkamah Agung bersifat imparsial (tidak berpihak).
Penyumpahan diserahkan kepada para profesi itu sendiri;
c.
Mahkamah Agung tidak dalam posisi mengakui atau tidak
mengakui kedua organisasi yang bertikai. Jadi intinya, diserahkan kepada
organisasi profesi advokat itu sendiri;
d.
Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Nomor 052/KMA/V/2009
kepada para Ketua Pengadilan Tinggi di saat belum ada pengujian terhadap
ketentuan Pasal 4 UU Advokat. Oleh
karena kemudian ada pengujian ketentuan tersebut, maka tentang isu
konstitusional atau tidaknya Pasal 4 UU Advokat diserahkan kepada Mahkamah
Konstitusi;
e.
Mahkamah Agung tidak ada kepentingan untuk mempertahankan
penyumpahan harus di hadapan sidang terbuka Pengadilan Tinggi, jadi diserahkan
sepenuhnya kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutusnya;
f.
Mahkamah Agung tidak memiliki kepentingan untuk
mempertahankan Pasal 4 UU Advokat tersebut;
g.
Mahkamah Agung juga tidak berkepentingan untuk
mempertahankan pasal mengenai advokat tergabung dalam wadah tunggal (singlebar) atau multibar.
[3.12] Menimbang bahwa
terkait dengan pernyataan Pihak Terkait Mahkamah Agung di atas dan kaitannya
dengan pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat (vide Pasal 2 UU
Advokat) yang hal ini terkait pula dengan Organisasi Advokat yang merupakan
satu-satunya wadah profesi Advokat, Mahkamah dalam perkara a quo perlu merujuk pada putusan-putusan Mahkamah sebelumnya yang
mempertimbangkan sebagai berikut:
a.
“...bahwa Rancangan
UU tentang Advokat telah mulai disusun sejak tahun 1999. Pada saat itu baru
terdapat beberapa organisasi advokat. Kemudian sesudah Rancangan Undang-undang
Advokat selesai dirumuskan, bahkan di saat Rancangan Undang-undang ini tengah
dibahas di DPR, muncullah beberapa organisasi advokat baru, yang diantaranya
merupakan pecahan dari organisasi advokat yang telah ada.
...dimasukkan atau tidaknya
organisasi advokat dalam pasal tersebut, bergantung kepada inisiatif dan
kepedulian organisasi advokat yang bersangkutan untuk turut berpartisipasi dalam
proses pembahasan RUU tersebut di DPR.
...bahwa jika membaca pasal tersebut
secara sepintas memang dapat ditafsirkan seolah-olah tersirat adanya perlakuan
yang diskriminatif terhadap organisasi advokat tertentu, tetapi setelah dilihat
proses pembahasannya, tidak ada maksud pembuat undang-undang untuk mengadakan
perlakuan diskriminatif. Karena pengertian “untuk sementara” yang tercantum
dalam Pasal 32 ayat (3) UU a quo harus dibaca tidak limitatif hanya pada
delapan organisasi yang disebut di dalam pasal a quo akan tetapi terbuka pada
organisasi advokat lain yang telah terbentuk sebelum UU a quo diundangkan.” (vide Putusan Nomor 019/PUU-I/2003
bertanggal 18 Oktober 2004);
b.
“1. bahwa ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1
Angka 1 dan Angka 4 tidak mengandung persoalan konstitusionalitas sebagaimana
didalilkan oleh para Pemohon, karena hanya memuat definisi atau pengertian
sebagaimana lazimnya dalam ketentuan umum suatu undang-undang; ketentuan
tersebut juga tidak merujuk bahwa nama Organisasi Advokat yang didirikan
menurut UU Advokat harus bernama Organisasi Advokat sebagaimana dikemukakan
oleh Ahli dari Pemohon, karena istilah Organisasi Advokat dimaksud hanya untuk
memudahkan penyebutan yang berulang-ulang dalam UU Advokat tentang satu-satunya
wadah profesi Advokat;
2.
bahwa penulisan istilah ”Organisasi Advokat” dengan huruf O dan A
kapital, meskipun benar secara gramatikal menurut Ilmu Perundang-undangan
menunjukkan sebagai nama diri, namun pendekatan gramatikal saja tanpa
memperhatikan pendekatan historis tentang maksud (intent) pembentuk
undang-undang maupun konteks materi yang diatur oleh undang-undang a quo secara
keseluruhan (sistematis-kontekstual), dapat menimbulkan pengertian yang
menyesatkan. Karena, menurut maksud (intent) pembentuk undang-undang maupun
dari segi konteks keseluruhan materi undang-undang a quo, penulisan ”Organisasi
Advokat” dengan huruf O dan A kapital tersebut dimaksudkan bukan sebagai nama
diri tertentu, melainkan sebagai kata benda biasa yang menunjukkan makna umum.
3. bahwa
Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat yang arahnya menuju “single bar organization”,
tetapi dari fakta persidangan menurut keterangan PERADI dan delapan organisasi
yang mengemban tugas sementara Organisasi Advokat sebelum organisasi dimaksud
terbentuk [vide Pasal 32 Ayat (3) dan Ayat (4) UU Advokat], yakni Ikadin, AAI,
IPHI, SPI, HAPI, AKHI, HKHPM, dan APSI, kedelapan organisasi pendiri PERADI
tersebut tetap eksis namun kewenangannya sebagai organisasi profesi Advokat,
yaitu dalam hal kewenangan membuat kode etik, menguji, mengawasi, dan
memberhentikan Advokat [vide Pasal 26 Ayat (1), Pasal 3 Ayat (1) huruf f, Pasal
2 Ayat (2), Pasal 12 Ayat (1), dan Pasal 9 Ayat (1) UU Advokat], secara resmi
kewenangan tersebut telah menjadi kewenangan PERADI yang telah terbentuk.
Adapun kedelapan Organisasi Advokat pendiri PERADI tetap memiliki kewenangan
selain kewenangan yang telah menjadi kewenangan PERADI, sehingga tidak dapat
dikatakan bahwa Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat meniadakan eksistensi kedelapan
organisasi, yang karenanya melanggar prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul
sebagaimana diatur UUD 1945 (vide Putusan Mahkamah Nomor 019/PUU-I/2003).
Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 28 Ayat (1) UU
Advokat bertentangan dengan UUD 1945 tidak beralasan;
.....
6. bahwa
Pasal 32 Ayat (3) dan Ayat (4) UU Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang
sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan
telah terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya
wadah profesi Advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan
konstitusionalitasnya. Selain itu, Pasal 32 Ayat (3) UU Advokat pernah
dimohonkan pengujian kepada Mahkamah yang oleh Mahkamah dalam Putusannya Nomor
019/PUU-I/2003 telah dinyatakan ditolak;”
(vide Putusan Nomor 014/PUU-IV/2006
bertanggal 30 November 2006);
c. “f. ...Pasal 28 ayat (1) UU Advokat juga
mengamanatkan adanya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah
profesi Advokat, sehingga para Advokat dan organisasi-organisasi Advokat yang
saat ini secara de facto ada,
yaitu Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia
(KAI), harus mengupayakan terwujudnya Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud
Pasal 28 ayat (1) UU Advokat;”
(vide Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009
bertanggal 30 Desember 2009);
d.
“[3.9.7] ...Satu-satunya wadah profesi
Advokat sebagaimana dimaksud dalam UU Advokat adalah satu-satunya wadah profesi
Advokat yang memiliki wewenang untuk melaksanakan pendidikan khusus profesi
Advokat [Pasal 2 ayat (1)], pengujian calon Advokat [Pasal 3 ayat (1) huruf f],
pengangkatan Advokat [Pasal 2 ayat (2)], membuat kode etik [Pasal 26 ayat (1)],
membentuk Dewan Kehormatan [Pasal 27 ayat (1)], membentuk Komisi Pengawas
[Pasal 13 ayat (1)], melakukan pengawasan [Pasal 12 ayat (1)], dan
memberhentikan Advokat [Pasal 9 ayat (1), UU Advokat]. UU Advokat tidak
memastikan apakah wadah profesi advokat lain yang tidak menjalankan
wewenang-wewenang tersebut berhak untuk tetap eksis atau tetap dapat dibentuk.
Memperhatikan seluruh ketentuan dan norma dalam UU Advokat serta kenyataan pada
wadah profesi Advokat, menurut Mahkamah, satu-satunya wadah profesi Advokat
yang dimaksud adalah hanya satu wadah profesi Advokat yang menjalankan 8
(delapan) kewenangan a quo, yang tidak menutup kemungkinan adanya wadah profesi
advokat lain yang tidak menjalankan 8 (delapan) kewenangan tersebut berdasarkan
asas kebebasan berkumpul dan berserikat menurut Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3)
UUD 1945. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa dalam pembentukan PERADI, 8
(delapan) organisasi advokat yang ada sebelumnya tidak membubarkan diri dan
tidak meleburkan diri pada PERADI;
[3.9.8] Bahwa mengenai Lambang Negara yaitu Garuda Pancasila dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika, Mahkamah mempertimbangkan bahwa tidaklah relevan
membandingkan organisasi negara dengan Organisasi Advokat. Selain itu, menurut
Mahkamah seandainya pun kita bandingkan dengan organisasi negara, maka memang
Bhinneka Tunggal Ika mengakui pluralisme, akan tetapi Negara Indonesia yang
dibentuk ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik (vide Pasal 1 ayat (1)
UUD 1945) bukan negara berbentuk federasi. Bahkan lebih dari itu Pasal 37 ayat
(5) UUD 1945 menegaskan, “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Dalam faktanya bisa saja ada
organisasi kemasyarakatan yang berbentuk federasi atau tunggal, tergantung pada
pilihan bentuk masing-masing selama tidak bertentangan dengan konstitusi.
Pilihan bentuk Organisasi Advokat yang tunggal tidaklah bertentangan dengan
konstitusi;
[3.9.9] Bahwa tentang batu uji Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan,
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”, menurut Mahkamah Organisasi Advokat yang tunggal tidak
menghalangi seseorang untuk melakukan pekerjaan dan mendapatkan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan”
(vide Putusan Nomor 66/PUU-VIII/2010
bertanggal 27 Juni 2011);
e.
“[3.15] ...peranan wadah tunggal Organisasi Advokat sama sekali tidak
menghalangi hak untuk mendapatkan pendidikan serta kepastian dan perlakuan yang
sama di hadapan hukum dalam menyelenggarakan PKPA. Maksud dibentuknya
organisasi advokat adalah untuk memberikan pengayoman, pembinaan, dan
pendidikan profesi advokat kepada para anggotanya agar mampu menguasai disiplin
hukum, materi hukum, berpraktik sebagai advokat yang berkualitas dan
profesional serta memberikan perlindungan dan/atau sanksi kepada para
anggotanya dalam hal terjadi pelanggaran kode etik profesi;”
(vide Putusan Nomor 103/PUU-XI/2013
bertanggal 11 September 2014);
[3.13] Menimbang bahwa
ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi”, dalam perkara-perkara
sebelumnya, telah dimohonkan pengujian oleh para advokat dari KAI dengan alasan
yang sama dengan permohonan dalam perkara ini yang pada pokoknya menyatakan
Mahkamah Agung telah menghalangi hak konstitusional para advokat tersebut untuk
beracara di pengadilan karena Pengadilan Tinggi tidak bersedia menyumpah calon
advokat yang berasal dari KAI;
Terhadap dalil
tersebut, Mahkamah telah memutus dalam Putusan Nomor 71/PUU-VIII/2010,
bertanggal 27 Juni 2011 dan Putusan Nomor 79/PUU-VIII/2010, bertanggal 27 Juni
2011 yang pertimbangan hukum kedua putusan tersebut mengacu pada pertimbangan
hukum dan amar putusan Mahkamah dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo yang antara lain menyatakan
Pasal 4 ayat (1) UU Advokat
adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa
“di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di
wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah
bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan
keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun sejak amar putusan ini diucapkan”;
[3.14] Menimbang bahwa
berdasarkan Pasal 60 ayat (1) UU MK juncto
Pasal 42 ayat (1) PMK 06/2005 dan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 42 ayat (2) PMK 06/2005, pengujian terhadap Pasal 4
ayat (1) UU Advokat seharusnya tidak dapat diajukan permohonan lagi, sebab pada
hakikatnya diajukan berdasarkan alasan pokok yang sama dan materi muatan dalam
UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian juga sama dengan permohonan sebelumnya.
Namun, dengan mendasarkan pada: (1) petitum para Pemohon yang juga memohon
kepada Mahkamah untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono); (2) permohonan dan fakta persidangan bahwa
pasca Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a
quo, hingga saat ini, para Pemohon selaku advokat dari KAI tidak dapat
beracara di pengadilan karena Pengadilan Tinggi tidak bersedia menyumpah
advokat dari KAI; (3) fakta persidangan bahwa Mahkamah Agung bersifat tidak
berpihak dan tidak dalam posisi mengakui atau tidak mengakui kedua organisasi
yang bertikai (PERADI dan KAI), bahkan Mahkamah Agung juga tidak
mempermasalahkan jika tidak berwenang menyumpah advokat; (4) tenggat waktu 2
(dua) tahun sebagaimana amar Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 telah terlewati dan
tetap terdapat kebuntuan konstitusionalitas yang sangat merugikan para Pemohon
khususnya, dan pada umumnya para Advokat yang tidak dapat disumpah; (5)
Mahkamah sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan serta sebagai satu-satunya lembaga
peradilan yang berwenang menegakkan dan menafsir konstitusi dalam rangka
melindungi dan menjamin hak-hak konstitusional warga negara; (6) penegakan
hukum tidak hanya ditujukan untuk menjamin terpenuhinya keadilan, terlaksananya
kepastian hukum, namun termasuk pula menghadirkan kemanfaatan (kemaslahatan);
maka Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut perkara a quo, sebagai berikut:
a.
bahwa para Pemohon berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya [vide Pasal 28A UUD 1945] dengan bekerja
sebagai advokat; berhak memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya [vide Pasal 28C ayat (2) UUD 1945] melalui
pengajuan permohonan a quo; berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum [vide Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945] untuk dapat beracara di pengadilan; berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja [vide Pasal 28D ayat (2)
UUD 1945] dengan menjadi advokat; berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan [vide Pasal 28D ayat (3) UUD 1945] dengan menjadi advokat sebagai
salah satu pelaku penegakan hukum yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh
hukum dan perundang-undangan [vide Pasal 5 ayat (1) UU Advokat]; berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan martabatnya [vide Pasal
28G ayat (1) UUD 1945] dengan diakui serta disumpahnya mereka sebagai advokat;
b.
bahwa, sebagaimana telah dinyatakan oleh Mahkamah dalam
putusan-putusan sebelumnya, wadah tunggal advokat yaitu PERADI, adalah
konstitusional. Namun, sebagai satu-satunya wadah profesi
Advokat yang memiliki wewenang untuk melaksanakan pendidikan khusus profesi
Advokat [Pasal 2 ayat (1) UU Advokat], pengujian calon Advokat [Pasal 3 ayat
(1) huruf f UU Advokat], pengangkatan Advokat [Pasal 2 ayat (2) UU Advokat],
membuat kode etik [Pasal 26 ayat (1) UU Advokat], membentuk Dewan Kehormatan
[Pasal 27 ayat (1) UU Advokat], membentuk Komisi Pengawas [Pasal 13 ayat (1) UU
Advokat], melakukan pengawasan [Pasal 12 ayat (1) UU Advokat], dan
memberhentikan Advokat [Pasal 9 ayat (1) UU Advokat] (vide Putusan
Nomor 66/PUU-VIII/2010 bertanggal 27 Juni 2011), PERADI tidak
memiliki wewenang untuk menyumpah calon Advokat. Meskipun Mahkamah Agung dalam
persidangan perkara a quo telah
menyatakan tidak masalah jika pengambilan sumpah tidak harus dilakukan di hadapan
sidang Pengadilan Tinggi karena Mahkamah Agung bersifat tidak berpihak dan
penyumpahan diserahkan kepada profesi Advokat itu sendiri, Mahkamah tetap
mengacu dan konsisten pada pertimbangan hukum Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo yang menjadi landasan hukum
pentingnya penyumpahan calon advokat dilakukan oleh Pengadilan Tinggi, antara
lain, karena profesi Advokat telah diposisikan secara formal
sebagai penegak hukum (vide Pasal
5 UU Advokat) dan dalam rangka melindungi para klien dari kemungkinan
penyalahgunaan profesi Advokat. Selain itu, penyumpahan calon advokat oleh
Pengadilan Tinggi adalah guna melindungi kemuliaan profesi advokat itu sendiri,
sebagaimana nilai penting perihal pelantikan advokat tersebut telah
dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 103/PUU-XI/2013, bertanggal
11 September 2014, pada paragraf [3.16]
yang menyatakan bahwa “...pengangkatan
dan pelantikan advokat merupakan perwujudan untuk peningkatan kualitas profesi
advokat yang menjalankan profesi mulia (officium nobile), yang pada akhirnya ke
depan para Advokat dapat membangun keadilan di tengah-tengah masyarakat dalam
peranannya pada proses penegakan hukum di Indonesia...”, sehingga ketentuan
yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat tersebut adalah konstitusional;
Bahwa dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009
tersebut pula, Mahkamah menyatakan bahwa ketentuan yang mewajibkan para
Advokat sebelum menjalankan profesinya harus mengambil sumpah sebagaimana
diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, tidak boleh menimbulkan hambatan bagi
para advokat untuk bekerja atau menjalankan profesinya yang dijamin oleh UUD 1945. Oleh karenanya, dengan
mendasarkan pada pertimbangan hukum tersebut, Amar Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009
menyatakan, Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil
sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan
keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak amar putusan
tersebut diucapkan. Selain itu, Mahkamah juga menyatakan
apabila setelah jangka waktu dua tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud
Pasal 28 ayat (1) UU Advokat
belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah
diselesaikan melalui Peradilan Umum;
c.
bahwa, meskipun pasca Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo telah ada piagam perdamaian/nota
kesepahaman antara PERADI dan KAI bertanggal
24 Juni 2010 yang piagam tersebut juga diketahui dan ditandatangani pula
oleh Ketua Mahkamah Agung saat itu, Dr. H. Arifin A. Tumpa, S.H., M.H. dan
proses penandatanganan piagam tersebut dihadiri dan diketahui pula oleh Menteri
Hukum dan HAM saat itu, Patrialis Akbar (vide alat bukti tertulis bertanda PT-8
dan PT-10) yang menandai bersatunya para advokat dalam satu wadah organisasi,
namun para Pemohon pada faktanya masih mengalami kesulitan beracara di
pengadilan karena Pengadilan Tinggi tidak bersedia menyumpah para advokat yang
bukan berasal dari PERADI;
Terhadap permasalahan tersebut, dengan mendasarkan pada
pernyataan Mahkamah Agung dalam persidangan perkara a quo yang menyatakan tidak ingin lagi terseret pada konflik serta
tidak dalam posisi mengakui atau tidak mengakui kedua organisasi (PERADI dan
KAI) yang bertikai, Mahkamah berpendapat, demi terwujudnya asas kemanfaatan
(kemaslahatan) hukum dan terjaminnya asas keadilan serta terlaksananya asas
kepastian hukum khususnya bagi para calon advokat, bahwa dengan telah lewatnya
masa dua tahun sebagaimana amar putusan Mahkamah dalam Perkara Nomor
101/PUU-VII/2009, Mahkamah perlu memperkuat kembali amar putusan tersebut dan
mempedomani kembali ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sebagaimana telah
diputus Mahkamah dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo, yaitu bahwa Pasal
4 ayat (1) UU Advokat
sepanjang frasa “di sidang terbuka
Pengadilan Tinggi” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pengadilan Tinggi atas perintah
Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan
profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada
saat ini secara de facto ada” dan Mahkamah tidak perlu lagi memberikan
jangka waktu penyelesaian konflik internal organisasi advokat yang terus muncul
karena pada dasarnya persoalan eksistensi kepengurusan yang sah dari lembaga
advokat tersebut adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari lembaga tersebut
selaku organisasi yang bebas dan mandiri yang dibentuk dengan maksud dan tujuan
untuk meningkatkan kualitas profesi advokat [vide Pasal 28 ayat (1) UU Advokat]
yang dapat dimaknai pula bahwa nilai profesionalitas tersebut mencakup pula
kemampuan para advokat untuk menyelesaikan konflik internal lembaga tersebut.
Dalam kaitannya untuk mewujudkan asas kemanfaatan hukum, keharusan mengambil
sumpah para advokat oleh Pengadilan Tinggi tanpa mengaitkan dengan keanggotaan
Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, adalah supaya tidak mengganggu proses pencarian
keadilan (access to justice) bagi
masyarakat yang membutuhkan jasa advokat dan tidak pula menghalang-halangi hak
konstitusional para advokat sebagaimana telah diuraikan pada paragraf [3.14] huruf a di atas. Selain itu,
yang dimaksud dengan frasa “Organisasi
Advokat yang pada saat ini secara de facto ada” dalam Putusan Nomor
101/PUU-VII/2009 di atas, konteksnya
adalah merujuk pada Organisasi PERADI dan KAI;
d.
bahwa
Mahkamah Agung menegaskan tidak memiliki kepentingan untuk mempertahankan pasal
mengenai advokat tergabung dalam wadah tunggal (singlebar) atau multibar dan menyerahkan
sepenuhnya persoalan tersebut kepada Mahkamah. Terhadap hal tersebut, Mahkamah berpendapat, meskipun pada pertimbangan
hukum Mahkamah dalam putusan sebelumnya pada pokoknya menyatakan bahwa wadah
tunggal organisasi adalah konstitusional, namun hal tersebut esensinya menjadi
bagian dari kebijakan hukum yang terbuka yang menjadi kewenangan bagi pembentuk
Undang-Undang (Presiden dan DPR) beserta pemangku kepentingan (para advokat dan
organisasi advokat) untuk menentukan apakah selamanya organisasi advokat akan
menjadi organisasi tunggal atau berubah menjadi multi organ. Oleh karenanya, masih terdapat
upaya hukum lainnya yaitu melalui proses legislative
review yang juga
menjadi bagian dari tindakan konstitusional yang dapat dilakukan oleh para
advokat untuk menentukan solusi yang terbaik bagi eksistensi organisasi advokat
serta untuk menjamin dan melindungi hak-hak konstitusional para advokat dalam
menjalankan profesinya;
Bahwa berdasarkan
uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, permohonan para
Pemohon terhadap ketentuan Pasal 4 ayat (1)
UU Advokat sepanjang frasa “di
sidang terbuka Pengadilan Tinggi” UU Advokat adalah beralasan menurut
hukum;
[3.15] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon
khususnya Pasal 4 ayat (3) UU Advokat yang meminta Mahkamah menyatakan sepanjang frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan” adalah bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum
di atas yang pada pokoknya menyatakan permohonan para Pemohon terhadap Pasal 4
ayat (1) UU Advokat sepanjang frasa “di
sidang terbuka Pengadilan Tinggi” adalah beralasan menurut hukum maka
dengan sendirinya tindakan yang dilaksanakan oleh Panitera Pengadilan Tinggi
sebagai tindak lanjut dari proses pengambilan sumpah Advokat di sidang terbuka
Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya adalah menyesuaikan dengan
ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat yang menjadi landasan hukum bagi
dilaksanakannya tugas Panitera Pengadilan Tinggi yang diatur dalam Pasal 4 ayat
(3) UU Advokat. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo tentang Pasal 4 ayat (3) UU Advokat
sepanjang
frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi
yang bersangkutan” adalah tidak beralasan menurut hukum;
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.
Mengabulkan permohonan para
Pemohon untuk sebagian;
1.1.
Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa
“di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288) adalah bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi
atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum
menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat
yang secara de facto ada yaitu PERADI dan KAI”;
1.2.
Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa
“di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288) adalah tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah
bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan
keanggotaan Organisasi Advokat yang secara de facto ada yaitu PERADI dan
KAI”;
2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3. Memerintahkan pemuatan amar Putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
===============
Tidak ada komentar:
Posting Komentar