Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Jumat, 02 Oktober 2015

MAHKAMAH KONSTITUSI PERJELAS ANJURAN TERTULIS DALAM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL




Pada tanggal 11 Mei 2015, Muhammad Hafidz, dkk., yang merupakan para pekerja di perusahaan di daerah Jakarta dan sekitarnya mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi di registrasi dengan Nomor Perkara 68/PUU-XIII/2015.
              Dalam pokok permohonannya, para Pemohon adalah mengenai pengujian konstitusionalitas frasa “anjuran” dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 13 ayat (2) huruf a:
“Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis.”
Pasal 23 ayat (2) huruf a:
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis”.
Terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Adapun alasan-alasan para Pemohon mengajukan perkara a quo adalah sebagai berikut:
a.  Bahwa tidak ada klausul dalam UU PPHI, mengenai pemberian kewenangan mediator atau konsiliator untuk menerbitkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Akan tetapi sebaliknya, justru mengatur pemberian kewenangan penerbitan anjuran, yang bukan termasuk syarat formil dalam pengajuan gugatan di PHI sehingga tidak memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum bagi para Pemohon dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
b.  Bahwa agar ketentuan Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI, dapat memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 maka para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan pasal a quo konstitusional bersyarat (conditionaly constitutional) sepanjang frasa “anjuran”, dimaknai “sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi”.
Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas perkara a quo, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan hal sebagai berikut:

[3.11]     Menimbang bahwa Perselisihan Hubungan Industrial timbul karena adanya perbedaan pendapat yang mengakibatkan adanya pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja karena adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan perselisihan antar serikat buruh [vide Pasal 1 ayat (1) UU PPHI], Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1]      Bahwa prosedur dan mekanisme penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dilakukan dengan perundingan bipartit dan apabila tidak tercapai kesepakatan maka salah satu pihak dapat mendaftarkan perselisihan tersebut kepada pejabat pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota (dinas tenaga kerja setempat) serta dapat mengarahkan para pihak dan menawarkan apakah perselisihan tersebut akan diselesaikan melalui mediasi, konsiliasi atau melalui arbitrase [vide Pasal 3, Pasal 4 UU PPHI];
[3.11.2]      Bahwa apabila dalam mediasi ataupun konsiliasi tercapai kesepakatan, maka para pihak membuat perjanjian kerja yang selanjutnya didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial setempat [vide Pasal 7 UU PPHI]. Dalam hal perundingan mediasi ataupun konsiliasi tidak tercapai kesepakatan maka mediator ataupun konsiliator diwajibkan mengeluarkan anjuran tertulis [vide Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI] dan apabila salah satu pihak atau para pihak menolak anjuran tersebut, maka pihak yang menolak dapat mengajukan tuntutan terhadap pihak yang lain melalui gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) setempat. Selain itu, dalam setiap penanganan perkara di pengadilan harus dengan tetap menjunjung prinsip asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan guna memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum bagi para pelaku hubungan industrial;
[3.11.3]      Bahwa dalam hal gugatan diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial, menurut ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU PPHI, apabila gugatan tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat;
[3.11.4]      Bahwa penyelesaian perkara hubungan industrial harus terlebih dahulu melalui jalan mediasi atau konsiliasi oleh karena ketentuan ini bersifat imperative (wajib) sehingga penggugat harus memperoleh bukti (risalah penyelesaian mediasi atau risalah penyelesaian konsiliasi) sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial;
[3.11.5]      Bahwa dalam UU PPHI tidak ada pengaturan mengenai kewenangan mediator maupun konsiliator menerbitkan risalah penyelesaian mediasi atau risalah penyelesaian konsiliasi dan waktu penerbitannya, maka pasal a quo tidak memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum bagi para Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
[3.11.6]      Bahwa dari pelaksanaan mediasi yang dilakukan para Pemohon dalam bukti P-6 dan bukti P-8, antara penerbitan anjuran tertulis dan risalah penyelesaian mediasi sangat memperlambat proses penyelesaian perkara, padahal Pasal 2 ayat (4) juncto Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memerintahkan agar “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”;
[3.11.7]      Bahwa oleh karena kewenangan penerbitan serta tenggang waktu tidak ditentukan dalam UU PPHI, maka perlu ditinjau lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan anjuran tertulis dan apa yang dimaksud dengan risalah penyelesaian mediasi atau konsiliasi dihubungkan dengan utilitas penyelesaian sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial;
[3.11.8]  Bahwa anjuran tertulis bukan syarat formil dalam pengajuan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial, sedangkan risalah penyelesaian mediasi atau konsiliasi merupakan syarat formil dalam pengajuan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial, oleh karena itu menurut Mahkamah petitum permohonan para Pemohon yang memohonkan pemaknaan Pasal 13 ayat (2) huruf a UU PPHI setelah frasa “anjuran tertulis” ditambahkan frasa “sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi” dan pemaknaan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI, sehingga setelah frasa “anjuran tertulis” ditambahkan frasa “sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui konsiliasi” dipandang beralasan. Namun, oleh karena format dan substansi risalah penyelesaian dalam mediasi atau konsiliasi tidak diatur dalam Undang-Undang a quo maka Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut mengenai format dan substansi risalah dimaksud;
[3.11.9] Bahwa menurut Mahkamah format dan substansi yang dapat digunakan sebagai pedoman guna merumuskan format dan substansi risalah penyelesaian dalam mediasi atau konsiliasi dimaksud adalah ketentuan yang mengatur tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui bipartit yang terdapat dalam Pasal 6 UU PPHI yang menyatakan,
“(1) Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak;
(2) Risalah perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. nama lengkap dan alamat para pihak;
b. tanggal dan tempat perundingan;
c. pokok masalah atau alasan perselisihan;
d. pendapat para pihak;
e. kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f. tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan”.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, format dan substansi risalah penyelesaian mediasi atau konsiliasi sekurang-kurangnya memuat (a) nama lengkap dan alamat para pihak; (b) tanggal dan tempat mediasi atau konsiliasi; (c) pokok masalah atau alasan perselisihan; (d) pendapat para pihak; (e) anjuran tertulis; dan (f) kesimpulan hasil mediasi atau kesimpulan hasil konsiliasi; dan apabila anjuran tersebut tidak diterima oleh salah satu pihak/kedua pihak maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke PHI dengan melampirkan risalah tersebut;
[3.11.10] Bahwa dengan memperhatikan pertimbangan pada paragraf [3.11.9] di atas maka anjuran tertulis adalah bagian dari substansi risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Oleh karena itu, frasa sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi” sebagaimana disebutkan dalam petitum permohonan para Pemohon secara teknis penerapannya kurang tepat dan yang paling tepat adalah frasa dalam bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi”. Dengan demikian, Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI rumusannya dimaknai menjadi sebagaimana disebutkan dalam amar putusan;
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.    Mengabulkan permohonan para Pemohon;
1.1.       Frasa “anjuran tertulis” dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi”.
1.2.       Frasa “anjuran tertulis” dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi”.
1.3.       Frasa “anjuran tertulis” dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui konsiliasi”.
1.4.       Frasa “anjuran tertulis” dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui konsiliasi”.
2.    Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
==============

Tidak ada komentar: