Pada
tanggal 11 Mei 2015, Muhammad Hafidz, dkk., yang merupakan para pekerja di
perusahaan di daerah Jakarta dan sekitarnya mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang kemudian oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi di registrasi
dengan Nomor Perkara 68/PUU-XIII/2015.
Dalam pokok permohonannya, para Pemohon
adalah mengenai pengujian konstitusionalitas frasa “anjuran” dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2)
huruf a UU PPHI yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 13 ayat (2) huruf a:
“Dalam hal tidak tercapai kesepakatan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator
mengeluarkan anjuran tertulis.”
Pasal
23 ayat (2) huruf a:
“Dalam hal tidak tercapai kesepakatan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka
konsiliator mengeluarkan anjuran
tertulis”.
Terhadap
Pasal 28D ayat (1) UUD
1945.
Adapun
alasan-alasan para Pemohon mengajukan perkara a quo adalah sebagai berikut:
a. Bahwa tidak ada klausul dalam UU PPHI, mengenai pemberian kewenangan
mediator atau konsiliator untuk menerbitkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau
konsiliasi. Akan tetapi sebaliknya, justru mengatur pemberian
kewenangan penerbitan anjuran, yang bukan termasuk syarat formil dalam
pengajuan gugatan di PHI sehingga tidak memberikan jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum bagi para Pemohon dalam menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial, sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945.
b. Bahwa agar ketentuan Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a
UU PPHI, dapat memberikan jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 maka
para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan pasal a quo konstitusional bersyarat (conditionaly constitutional) sepanjang
frasa “anjuran”, dimaknai “sebagai bentuk
risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi”.
Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas perkara a quo, Mahkamah
Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan hal sebagai berikut:
[3.11]
Menimbang bahwa
Perselisihan Hubungan Industrial timbul karena adanya perbedaan pendapat yang
mengakibatkan adanya pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan
pekerja atau serikat pekerja karena adanya perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan perselisihan antar
serikat buruh [vide Pasal 1 ayat (1) UU PPHI], Mahkamah akan mempertimbangkan
sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa prosedur dan mekanisme penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial dilakukan dengan perundingan bipartit dan
apabila tidak tercapai kesepakatan maka salah satu pihak dapat mendaftarkan
perselisihan tersebut kepada pejabat pada kantor instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota (dinas tenaga kerja setempat)
serta dapat mengarahkan para pihak dan menawarkan apakah perselisihan tersebut
akan diselesaikan melalui mediasi, konsiliasi atau melalui arbitrase [vide
Pasal 3, Pasal 4 UU PPHI];
[3.11.2] Bahwa apabila dalam mediasi ataupun
konsiliasi tercapai kesepakatan, maka para pihak membuat perjanjian kerja yang
selanjutnya didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial setempat [vide
Pasal 7 UU PPHI]. Dalam hal perundingan mediasi ataupun konsiliasi tidak
tercapai kesepakatan maka mediator ataupun konsiliator diwajibkan mengeluarkan
anjuran tertulis [vide Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a
UU PPHI] dan apabila salah satu pihak atau para pihak menolak anjuran tersebut,
maka pihak yang menolak dapat mengajukan tuntutan terhadap pihak yang lain
melalui gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) setempat. Selain itu,
dalam setiap penanganan perkara di pengadilan harus dengan tetap menjunjung
prinsip asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan guna memberikan
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum bagi para pelaku hubungan industrial;
[3.11.3] Bahwa dalam hal gugatan diajukan ke
Pengadilan Hubungan Industrial, menurut ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU PPHI,
apabila gugatan tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau
konsiliasi maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan
kepada penggugat;
[3.11.4] Bahwa penyelesaian perkara hubungan
industrial harus terlebih dahulu melalui jalan mediasi atau konsiliasi oleh
karena ketentuan ini bersifat imperative
(wajib) sehingga penggugat harus memperoleh bukti (risalah penyelesaian mediasi
atau risalah penyelesaian konsiliasi) sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial;
[3.11.5] Bahwa dalam UU PPHI tidak ada pengaturan
mengenai kewenangan mediator maupun konsiliator menerbitkan risalah
penyelesaian mediasi atau risalah penyelesaian konsiliasi dan waktu
penerbitannya, maka pasal a quo tidak
memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum bagi para Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945;
[3.11.6] Bahwa dari pelaksanaan mediasi yang
dilakukan para Pemohon dalam bukti P-6 dan bukti P-8, antara penerbitan anjuran
tertulis dan risalah penyelesaian mediasi sangat memperlambat proses
penyelesaian perkara, padahal Pasal 2 ayat (4) juncto Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman memerintahkan agar “Peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”;
[3.11.7] Bahwa oleh karena kewenangan penerbitan
serta tenggang waktu tidak ditentukan dalam UU PPHI, maka perlu ditinjau lebih
lanjut tentang apa yang dimaksud dengan anjuran tertulis dan apa yang dimaksud
dengan risalah penyelesaian mediasi atau konsiliasi dihubungkan dengan utilitas
penyelesaian sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial;
[3.11.8] Bahwa anjuran tertulis
bukan syarat formil dalam pengajuan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial,
sedangkan risalah penyelesaian mediasi atau konsiliasi merupakan syarat formil
dalam pengajuan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial, oleh karena itu
menurut Mahkamah petitum permohonan para Pemohon yang memohonkan pemaknaan
Pasal 13 ayat (2) huruf a UU PPHI setelah frasa “anjuran tertulis” ditambahkan frasa “sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi” dan pemaknaan
Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI, sehingga setelah frasa “anjuran tertulis” ditambahkan frasa “sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui konsiliasi” dipandang
beralasan. Namun, oleh karena format dan substansi risalah penyelesaian dalam
mediasi atau konsiliasi tidak diatur dalam Undang-Undang a quo maka Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut mengenai
format dan substansi risalah dimaksud;
[3.11.9] Bahwa menurut Mahkamah format
dan substansi yang dapat digunakan sebagai pedoman guna merumuskan format dan
substansi risalah penyelesaian dalam mediasi atau konsiliasi dimaksud adalah
ketentuan yang mengatur tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui bipartit yang terdapat dalam Pasal 6 UU PPHI yang menyatakan,
“(1) Setiap perundingan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para
pihak;
(2) Risalah perundingan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. nama lengkap dan alamat para pihak;
b. tanggal dan tempat perundingan;
c. pokok masalah atau alasan
perselisihan;
d. pendapat para pihak;
e. kesimpulan atau hasil perundingan;
dan
f. tanggal serta tanda tangan para
pihak yang melakukan perundingan”.
Dengan demikian,
menurut Mahkamah, format dan substansi risalah penyelesaian mediasi atau
konsiliasi sekurang-kurangnya memuat (a) nama lengkap dan alamat para pihak;
(b) tanggal dan tempat mediasi atau konsiliasi; (c) pokok masalah atau alasan
perselisihan; (d) pendapat para pihak; (e) anjuran tertulis; dan (f) kesimpulan
hasil mediasi atau kesimpulan hasil konsiliasi; dan apabila anjuran tersebut
tidak diterima oleh salah satu pihak/kedua pihak maka yang bersangkutan dapat
mengajukan gugatan ke PHI dengan melampirkan risalah tersebut;
[3.11.10] Bahwa
dengan memperhatikan pertimbangan pada paragraf [3.11.9] di atas maka anjuran tertulis adalah bagian dari substansi
risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Oleh karena itu, frasa “sebagai
bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi” sebagaimana
disebutkan dalam petitum permohonan para Pemohon secara teknis penerapannya
kurang tepat dan yang paling tepat adalah frasa “dalam bentuk risalah
penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi”. Dengan demikian, Pasal 13
ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI rumusannya dimaknai
menjadi sebagaimana disebutkan dalam amar putusan;
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.
Mengabulkan permohonan para Pemohon;
1.1.
Frasa “anjuran tertulis” dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4356) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran
tertulis dalam bentuk risalah
penyelesaian melalui mediasi”.
1.2.
Frasa “anjuran tertulis” dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4356) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai “dalam hal tidak tercapai
kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka
mediator mengeluarkan anjuran tertulis dalam
bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi”.
1.3. Frasa “anjuran tertulis” dalam Pasal 23 ayat
(2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak
dimaknai “dalam hal tidak tercapai
kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi,
maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui konsiliasi”.
1.4. Frasa “anjuran tertulis” dalam Pasal 23 ayat
(2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran
tertulis dalam bentuk risalah
penyelesaian melalui konsiliasi”.
2.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
==============
Tidak ada komentar:
Posting Komentar