Pada tanggal 16
Oktober 2016, Holidin, dan kawan-kawan yang tergabung dalam Asosiasi Perangkat
Desa Seluruh Indonesia (APDESI) mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa terhadap UUD 1945 khususnya
terkait pasal persyaratan menjadi kepala desa. Permohonan tersebut di
registrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah dengan Nomor Perkara 128/PUU-XIII/2015
pada tanggal 29 Oktober 2015.
Dalam permohonannya para
Pemohon menyatakan mengalami kerugian dengan berlakunya undang-undang a quo dengan alasan sebagai berikut:
a.
Bahwa Pasal 33 huruf g, Pasal 50 ayat
(1) huruf a dan huruf c UU 6/2014 tersebut melanggar hak konstitusional para
Pemohon, antara lain, hak untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan sebagai kepala desa dan perangkat desa, hak untuk memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan, hak untuk bekerja dengan perlakuan yang adil
sebagai kepala desa dan perangkat desa, hak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum, sebab Pasal-pasal a quo
menjadi dasar kewenangan bagi Pemerintahan Daerah di atasnya melalui Panitia
Penyelenggara Pemilihan Kepala Desa, untuk tidak menerima calon kepala desa
yang tidak/belum terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di desa
setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran, sehingga para
Pemohon mendapatkan kesulitan untuk dapat ikut serta dan berpartisipasi dalam
pemilihan sebagai kepala desa dan dipilih sebagai perangkat desa, karena ada
pembatasan dan pengkebirian hak-hak konstitusional para Pemohon dalam
Pasal-pasal a quo;
b.
Bahwa Pasal 33 huruf g, Pasal 50 ayat
(1) huruf a dan huruf c UU 6/2014 tersebut merupakan ketentuan yang menimbulkan
pelanggaran hak konstitusional para Pemohon, sebab Pasal-pasal a quo menjadi dasar kewenangan bagi Pemerintahan
Daerah di atasnya melalui Panitia Penyelenggara Pemilihan Kepala Desa, untuk
tidak menerima atau menolak para Pemohon atau para calon kepala desa dan calon
perangkat desa yang tidak atau belum terdaftar sebagai penduduk dan bertempat
tinggal di desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran
karena ada pembatasan dan pengebirian hak-hak konstitusional para Pemohon dalam
Pasal-pasal a quo.
c.
Bahwa Pasal-pasal a quo melanggar Pasal 27 ayat (1), Pasal
28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28H ayat (2),
serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 , yakni melanggar hak konstitusional para
Pemohon untuk mendapatkan persamaan kedudukan di dalam hukum, hak untuk
memajukan diri dan berjuang secara koletif untuk membangun bangsa dan negara,
mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan sebagai kepala desa dan
perangkat desa, hak pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum, hak
dapat bekerja sebagai kepala desa dan perangkat desa, hak memperoleh perlakuan
yang adil dan layak, hak turut dalam pemerintahan sebagai kepala desa dan
perangkat desa, serta bebas dari perlakuan diskriminatif saat para Pemohon akan
menjadi kepala desa dan atau perangkat desa, di mana sebagai bagian dalam
berkarya dan membangun bangsa dan negara.
Untuk menjawab permasalahan
konstitusionalitas pasal a quo, Mahkamah dalam pertimbangan
hukumnya menyatakan sebagai berikut :
[3.9] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa
pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 33 huruf g serta Pasal 50 ayat (1) huruf a dan huruf c UU 6/2014 yang
menyatakan:
Pasal 33 huruf g:
“Calon Kepala Desa wajib memenuhi persyaratan:
... g. terdaftar sebagai penduduk dan bertempat
tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran;
Pasal 50 ayat (1) huruf a dan
huruf c:
“Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diangkat dari warga
Desa yang memenuhi persyaratan:
- berpendidikan paling rendah sekolah menengah umum atau yang sederajat;
- ...
- terdaftar sebagai penduduk Desa dan bertempat tinggal di Desa paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran; dan...”.
terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal
28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28H ayat (2),
serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
Menurut para Pemohon pasal-pasal a
quo melanggar hak konstitusionalnya yang dijamin dalam UUD 1945, yaitu hak
mendapatkan kemudahan untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan; hak untuk memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan; hak untuk bekerja dengan perlakuan yang adil; hak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum;
[3.10] Menimbang, terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah selanjutnya
mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa
tujuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI)
sebagaimana
tersebut
dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat menyatakan, "Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial …". Prinsip kesatuan dalam NKRI yang dinyatakan secara tegas dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 adalah bagian
dari upaya
membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pembukaan UUD 1945 tersebut
merupakan
dasar berdirinya bangsa Indonesia dalam negara
kesatuan.
Selain
itu, ditegaskan pula bahwa negara
menghormati kedudukan daerah-daerah
dan segala peraturan negara
mengenai daerah-daerah dengan mengingati hak-hak asal usul daerah
tersebut. Keberadaan daerah-daerah tersebut tetap diakui dan diberikan
jaminan keberlangsungan
hidupnya dalam NKRI. Keberagaman karakteristik
dan jenis desa atau
yang disebut dengan nama lain, tidak menjadi penghalang bagi para pendiri
bangsa untuk menjatuhkan pilihannya pada bentuk negara kesatuan. Meskipun
disadari bahwa dalam suatu negara kesatuan perlu terdapat homogenitas, tetapi NKRI tetap memberikan pengakuan
dan jaminan terhadap keberadaan kesatuan masyarakat hukum dan kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dalam penyelenggaraan
pemerintahannya. Dalam kaitan susunan dan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah telah ditegaskan dalam UUD
1945 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2).
[3.10.2] Bahwa UU 6/2014 disusun dengan semangat
penerapan amanat UUD 1945,
termasuk
di dalamnya
pengaturan masyarakat
hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 untuk diatur dalam susunan
pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7) UUD 1945. Walaupun demikian,
kewenangan kesatuan
masyarakat hukum adat mengenai pengaturan hak ulayat merujuk pada ketentuan
peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan. Dengan konstruksi
menggabungkan fungsi self-governing
community dengan local self government, diharapkan kesatuan
masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah desa, ditata sedemikian rupa
menjadi desa dan desa adat. Dengan tetap
memperhatikan kekhasannya di sejumlah daerah, desa dan desa adat pada dasarnya melakukan tugas yang
hampir sama, sedangkan perbedaannya
hanyalah dalam implementasi tentang hak
asal-usul,
terutama menyangkut pelestarian sosial desa
adat, pengaturan dan
pengurusan wilayah adat, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban bagi
masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan
susunan asli. Desa
adat memiliki fungsi
pemerintahan, keuangan desa,
pembangunan desa,
serta mendapat fasilitas dan pembinaan dari pemerintah kabupaten/kota. Dalam posisi seperti
ini, desa dan desa adat mendapat perlakuan yang
sama dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu, di masa depan desa dan desa adat dapat melakukan
perubahan wajah desa
dan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, pelaksanaan
pembangunan yang berdaya guna, serta pembinaan masyarakat dan pemberdayaan
masyarakat di wilayahnya;
[3.10.3] Bahwa terkait dengan pengujian konstitusionalitas norma
“terdaftar sebagai penduduk dan bertempat
tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran”
sebagaimana yang disebut dalam Pasal 33 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf c
UU 6/2014, menurut Mahkamah, desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan NKRI.
Bahwa sebuah desa
sekurang-kurangnya memiliki ciri-ciri yang bersifat universal,
antara lain adalah bahwa desa dipimpin oleh kepala desa yang
dipilih langsung oleh penduduk desa yang bersangkutan; desa merupakan bentuk
kesatuan terkecil dalam sistem pemerintahan negara; serta desa bersifat otonom
dalam arti mempunyai hak untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Baik desa biasa
maupun desa adat sama-sama merupakan kesatuan masyarakat hukum. Artinya satuan
pemerintahan desa dan kesatuan masyarakat hukum adat, sama-sama berstatus
sebagai subjek hukum dalam lalu lintas hukum nasional.
Bahwa UU 6/2014
merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yaitu memberikan pengakuan
dan penghormatan atas desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia; memberikan kejelasan status dan kepastian hukum bagi desa dalam
sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia; melestarikan dan memajukan adat, tradisi, serta budaya
masyarakat desa; membentuk pemerintahan desa yang
profesional, efisien dan efektif, terbuka serta bertanggung jawab; memajukan
perekonomian masyarakat desa dan mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; serta memperkuat
masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
Menurut Mahkamah, makna desa
sebagaimana yang dimaksud dalam UU 6/2014 adalah masyarakat desa yang terstruktur
dalam konteks rezim hukum pemerintahan daerah. Artinya sebagai rezim
hukum pemerintahan daerah, pelaksanaan pemilihan kepala desa dan pengangkatan
perangkat desa dilakukan secara langsung oleh masyarakat desa. Pemilihan kepala
desa secara langsung oleh masyarakat desa dan pengangkatan perangkat desa tanpa
mensyaratkan harus berdomisili di desa setempat telah bersesuaian dengan
semangat Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”;
[3.10.4] Bahwa untuk mendorong dan menggerakkan desa ke arah perkembangan
menjadi masyarakat berperadaban maju dan modern, pengorganisasian warga desa
memerlukan proses pelembagaan yang lebih baik. Institusi-institusi masyarakat
desa harus difungsikan secara efektif untuk mendorong dan menggerakkan roda
perkembangan ke arah kemajuan di segala bidang kehidupan warga desa. Kehidupan
masyarakat desa membutuhkan ruang kebebasan untuk bergerak dan untuk saling
berkompetisi secara sehat sekaligus saling bekerja sama dalam suasana tertib
dan tenteram penuh kedamaian dan persaudaraan antara sesama warga. Masyarakat
desa memerlukan peningkatan kesejahteraan yang semakin berkualitas dan merata
yang tercermin dalam struktur keadilan sosial dan tidak adanya kesenjangan
antara elit kaya dengan rakyat kebanyakan. Karena itu, perikehidupan di
desa-desa Indonesia dewasa ini sudah seharusnya diarahkan untuk pada suatu saat
kelak berkembang menjadi maju dan modern.
Bahwa
masyarakat perdesaan di Indonesia dapat dibedakan antara masyarakat desa dan
masyarakat adat. Menurut Mahkamah, status desa dalam UU 6/2014 justru kembali
dipertegas sebagai bagian tak terpisahkan dari struktur organisasi pemerintahan
daerah, peraturan desa ditegaskan sebagai bagian dari pengertian peraturan
perundang-undangan dalam arti peraturan yang
melaksanakan fungsi pemerintahan, sehingga desa menjadi kepanjangan
tangan terbawah dari fungsi-fungsi pemerintahan negara secara resmi. Oleh sebab
itu sudah seyogianya pemilihan “kepada desa dan perangkat desa” tidak perlu
dibatasi dengan mensyaratkan bahwa calon kepala desa atau calon perangkat desa
harus “terdaftar sebagai penduduk dan bertempat
tinggal di desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran”. Hal
tersebut sejalan dengan rezim Pemerintahan Daerah dalam pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah yang tidak memberikan batasan dan syarat terkait dengan
domisili atau terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di daerah
setempat.
Bahwa
komunitas desa terbentuk oleh dan untuk kepentingan masyarakat desa yang pada
waktunya bersepakat membentuk semacam organ-organ pemerintahan desa yang
tersendiri. Itulah yang oleh Undang-Undang disebut sebagai pemerintahan desa.
Dari perspektif negara, tentu saja pemerintahan desa itu dilihat sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari sistem pemerintahan NKRI secara keseluruhan. Karena
itu, nomenklatur yang digunakan adalah pemerintahan desa, peraturan desa, badan
perwakilan desa, dan sebagainya yang merujuk kepada logika pemerintahan negara
Republik Indonesia secara umum. Dengan demikian satuan pemerintahan desa
merupakan unit terbawah dari struktur organisasi pemerintahan daerah;
[3.11] Menimbang bahwa terhadap petitum para Pemohon yang meminta pengujian
konstitusional Pasal 50 ayat (1) huruf a UU 6/2014 mengenai syarat pendidikan
bagi perangkat desa, oleh karena para Pemohon tidak menguraikan argumentasinya
di dalam posita permohonannya maka permohonan a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut;
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan
seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan para
Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
- Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
- Pasal 33 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Pasal 33 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
- Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.
==========
Tidak ada komentar:
Posting Komentar