Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Selasa, 27 September 2016

MAHKAMAH KONSTITUSI BATALKAN PASAL TENTANG SYARAT MENJADI KEPALA DESA DALAM UNDANG-UNDANG DESA





                  Pada tanggal 16 Oktober 2016, Holidin, dan kawan-kawan yang tergabung dalam Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (APDESI) mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa terhadap UUD 1945 khususnya terkait pasal persyaratan menjadi kepala desa. Permohonan tersebut di registrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah dengan Nomor Perkara 128/PUU-XIII/2015 pada tanggal 29 Oktober 2015.
                  Dalam permohonannya para Pemohon menyatakan mengalami kerugian dengan berlakunya undang-undang a quo dengan alasan sebagai berikut:
a.    Bahwa Pasal 33 huruf g, Pasal 50 ayat (1) huruf a dan huruf c UU 6/2014 tersebut melanggar hak konstitusional para Pemohon, antara lain, hak untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan sebagai kepala desa dan perangkat desa, hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, hak untuk bekerja dengan perlakuan yang adil sebagai kepala desa dan perangkat desa, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebab Pasal-pasal a quo menjadi dasar kewenangan bagi Pemerintahan Daerah di atasnya melalui Panitia Penyelenggara Pemilihan Kepala Desa, untuk tidak menerima calon kepala desa yang tidak/belum terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran, sehingga para Pemohon mendapatkan kesulitan untuk dapat ikut serta dan berpartisipasi dalam pemilihan sebagai kepala desa dan dipilih sebagai perangkat desa, karena ada pembatasan dan pengkebirian hak-hak konstitusional para Pemohon dalam Pasal-pasal a quo;
b.    Bahwa Pasal 33 huruf g, Pasal 50 ayat (1) huruf a dan huruf c UU 6/2014 tersebut merupakan ketentuan yang menimbulkan pelanggaran hak konstitusional para Pemohon, sebab Pasal-pasal a quo menjadi dasar kewenangan bagi Pemerintahan Daerah di atasnya melalui Panitia Penyelenggara Pemilihan Kepala Desa, untuk tidak menerima atau menolak para Pemohon atau para calon kepala desa dan calon perangkat desa yang tidak atau belum terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran karena ada pembatasan dan pengebirian hak-hak konstitusional para Pemohon dalam Pasal-pasal a quo.
c.    Bahwa Pasal-pasal a quo melanggar Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28H ayat (2), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 , yakni melanggar hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan persamaan kedudukan di dalam hukum, hak untuk memajukan diri dan berjuang secara koletif untuk membangun bangsa dan negara, mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan sebagai kepala desa dan perangkat desa, hak pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum, hak dapat bekerja sebagai kepala desa dan perangkat desa, hak memperoleh perlakuan yang adil dan layak, hak turut dalam pemerintahan sebagai kepala desa dan perangkat desa, serta bebas dari perlakuan diskriminatif saat para Pemohon akan menjadi kepala desa dan atau perangkat desa, di mana sebagai bagian dalam berkarya dan membangun bangsa dan negara.
                  Untuk menjawab permasalahan konstitusionalitas  pasal a quo, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut :
[3.9]         Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan hal-hal  sebagai berikut:

                  Bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 33 huruf g serta Pasal 50 ayat (1) huruf a dan huruf c UU 6/2014 yang menyatakan:
Pasal 33 huruf g:
“Calon Kepala Desa wajib memenuhi persyaratan:
  ... g.   terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran;
Pasal 50 ayat (1) huruf a dan huruf c:
“Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diangkat dari warga Desa yang memenuhi persyaratan:
  1. berpendidikan paling rendah sekolah menengah umum atau yang sederajat;
  2. ...
  3. terdaftar sebagai penduduk Desa dan bertempat tinggal di Desa paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran; dan...”.
terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28H ayat (2), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
Menurut para Pemohon pasal-pasal a quo melanggar hak konstitusionalnya yang dijamin dalam UUD 1945, yaitu hak mendapatkan kemudahan untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan; hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan; hak untuk bekerja dengan perlakuan yang adil; hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
[3.10]            Menimbang, terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.10.1]           Bahwa tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana tersebut dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat menyatakan, "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial …". Prinsip kesatuan dalam NKRI yang dinyatakan secara tegas dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 adalah bagian dari upaya membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pembukaan UUD 1945 tersebut merupakan dasar berdirinya bangsa Indonesia dalam negara kesatuan.
                   Selain itu, ditegaskan pula bahwa negara menghormati kedudukan daerah-daerah dan segala peraturan negara mengenai daerah-daerah dengan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut. Keberadaan daerah-daerah tersebut tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam NKRI. Keberagaman karakteristik dan jenis desa atau yang disebut dengan nama lain, tidak menjadi penghalang bagi para pendiri bangsa untuk menjatuhkan pilihannya pada bentuk negara kesatuan. Meskipun disadari bahwa dalam suatu negara kesatuan perlu terdapat homogenitas, tetapi NKRI tetap memberikan pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan kesatuan masyarakat hukum dan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Dalam kaitan susunan dan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah telah ditegaskan dalam UUD 1945 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2).
[3.10.2]      Bahwa UU 6/2014 disusun dengan semangat penerapan amanat UUD 1945, termasuk di dalamnya pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 untuk diatur dalam susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7) UUD 1945. Walaupun demikian, kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat mengenai pengaturan hak ulayat merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan. Dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah desa, ditata sedemikian rupa menjadi desa dan desa adat. Dengan tetap memperhatikan kekhasannya di sejumlah daerah, desa dan desa adat pada dasarnya melakukan tugas yang hampir sama, sedangkan perbedaannya hanyalah dalam implementasi tentang hak asal-usul, terutama menyangkut pelestarian sosial desa adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli. Desa adat memiliki fungsi pemerintahan, keuangan desa, pembangunan desa, serta mendapat fasilitas dan pembinaan dari pemerintah kabupaten/kota. Dalam posisi seperti ini, desa dan desa adat mendapat perlakuan yang sama dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu, di masa depan desa dan desa adat dapat melakukan perubahan wajah desa dan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, pelaksanaan pembangunan yang berdaya guna, serta pembinaan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat di wilayahnya;
[3.10.3]      Bahwa terkait dengan pengujian konstitusionalitas norma “terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran” sebagaimana yang disebut dalam Pasal 33 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf c UU 6/2014, menurut Mahkamah, desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI.
                   Bahwa sebuah desa sekurang-kurangnya memiliki ciri-ciri yang bersifat universal, antara lain adalah bahwa desa dipimpin oleh kepala desa yang dipilih langsung oleh penduduk desa yang bersangkutan; desa merupakan bentuk kesatuan terkecil dalam sistem pemerintahan negara; serta desa bersifat otonom dalam arti mempunyai hak untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Baik desa biasa maupun desa adat sama-sama merupakan kesatuan masyarakat hukum. Artinya satuan pemerintahan desa dan kesatuan masyarakat hukum adat, sama-sama berstatus sebagai subjek hukum dalam lalu lintas hukum nasional.
                   Bahwa UU 6/2014 merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yaitu memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; memberikan kejelasan status dan kepastian hukum bagi desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; melestarikan dan memajukan adat, tradisi, serta budaya masyarakat desa; membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka serta bertanggung jawab; memajukan perekonomian masyarakat desa dan mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; serta memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
                   Menurut Mahkamah, makna desa sebagaimana yang dimaksud dalam UU 6/2014 adalah masyarakat desa yang terstruktur dalam konteks rezim hukum pemerintahan daerah. Artinya sebagai rezim hukum pemerintahan daerah, pelaksanaan pemilihan kepala desa dan pengangkatan perangkat desa dilakukan secara langsung oleh masyarakat desa. Pemilihan kepala desa secara langsung oleh masyarakat desa dan pengangkatan perangkat desa tanpa mensyaratkan harus berdomisili di desa setempat telah bersesuaian dengan semangat Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”;
[3.10.4]      Bahwa untuk mendorong dan menggerakkan desa ke arah perkembangan menjadi masyarakat berperadaban maju dan modern, pengorganisasian warga desa memerlukan proses pelembagaan yang lebih baik. Institusi-institusi masyarakat desa harus difungsikan secara efektif untuk mendorong dan menggerakkan roda perkembangan ke arah kemajuan di segala bidang kehidupan warga desa. Kehidupan masyarakat desa membutuhkan ruang kebebasan untuk bergerak dan untuk saling berkompetisi secara sehat sekaligus saling bekerja sama dalam suasana tertib dan tenteram penuh kedamaian dan persaudaraan antara sesama warga. Masyarakat desa memerlukan peningkatan kesejahteraan yang semakin berkualitas dan merata yang tercermin dalam struktur keadilan sosial dan tidak adanya kesenjangan antara elit kaya dengan rakyat kebanyakan. Karena itu, perikehidupan di desa-desa Indonesia dewasa ini sudah seharusnya diarahkan untuk pada suatu saat kelak berkembang menjadi maju dan modern.
                   Bahwa masyarakat perdesaan di Indonesia dapat dibedakan antara masyarakat desa dan masyarakat adat. Menurut Mahkamah, status desa dalam UU 6/2014 justru kembali dipertegas sebagai bagian tak terpisahkan dari struktur organisasi pemerintahan daerah, peraturan desa ditegaskan sebagai bagian dari pengertian peraturan perundang-undangan dalam arti peraturan yang  melaksanakan fungsi pemerintahan, sehingga desa menjadi kepanjangan tangan terbawah dari fungsi-fungsi pemerintahan negara secara resmi. Oleh sebab itu sudah seyogianya pemilihan “kepada desa dan perangkat desa” tidak perlu dibatasi dengan mensyaratkan bahwa calon kepala desa atau calon perangkat desa harus “terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran”. Hal tersebut sejalan dengan rezim Pemerintahan Daerah dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak memberikan batasan dan syarat terkait dengan domisili atau terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di daerah setempat.
                   Bahwa komunitas desa terbentuk oleh dan untuk kepentingan masyarakat desa yang pada waktunya bersepakat membentuk semacam organ-organ pemerintahan desa yang tersendiri. Itulah yang oleh Undang-Undang disebut sebagai pemerintahan desa. Dari perspektif negara, tentu saja pemerintahan desa itu dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pemerintahan NKRI secara keseluruhan. Karena itu, nomenklatur yang digunakan adalah pemerintahan desa, peraturan desa, badan perwakilan desa, dan sebagainya yang merujuk kepada logika pemerintahan negara Republik Indonesia secara umum. Dengan demikian satuan pemerintahan desa merupakan unit terbawah dari struktur organisasi pemerintahan daerah;
[3.11]    Menimbang bahwa terhadap petitum para Pemohon yang meminta pengujian konstitusional Pasal 50 ayat (1) huruf a UU 6/2014 mengenai syarat pendidikan bagi perangkat desa, oleh karena para Pemohon tidak menguraikan argumentasinya di dalam posita permohonannya maka permohonan a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut;
[3.12]   Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
  1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
  2. Pasal 33 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  3. Pasal 33 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  4. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
  5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.

==========

Tidak ada komentar: