UDHR |
https://kl.antaranews.com/berita/3277/hak-beragama-dan-cara-berpakaian
Hak Beragama dan Cara Berpakaian
Oleh Hani Adhani[1]
Kontroversi
tentang larangan pemakaian hijab di negara barat telah membuat kita sebagai
warga negara Indonesia yang mayoritas Islam agak kaget karena tiba-tiba saja beberapa
negara barat mengeluarkan kebijakan yang menurut nalar yang wajar seharusnya
itu tidak perlu dilakukan. Fobia terhadap berbagai kejadian yang
mengatasnamakan “terorisme” yang menjual nama Islam justru semakin menimbulkan
kesan bahwa memang barat sangat takut dengan Islam.
Ketakutan
yang berlebihan inilah yang pada akhirnya membuat mereka lupa bahwa kebebasan
dan hak asasi manusia yang selalu mereka gembor-gemborkan malah pada akhirnya
menjadi bumerang karena faktanya merekalah yang justru membuat kebijakan yang
melanggar hak asasi manusia. Bagaimana mungkin dalam sebuah negara yang
menjungjung tinggi hak asasi manusia ada aturan yang melarang warganya untuk memakai pakaian yang
notabene pakaian tersebut adalah identitas dari agama yang mereka anut serta
merupakan perintah dari agamanya yang tertulis dalam kitab agama tersebut dan
oleh negara dikenakan larangan serta dikenakan hukuman dan/atau denda.
Tidak
ada pakaian yang paling sopan dan baik yang menurut etika manusia selain
pakaian yang menutup seluruh anggota tubuhnya. Tentunya kita patut balik
bertanya apa yang salah dengan pakaian umat Islam khususnya perempuan?.
Bukankah semua agama juga menganjurkan untuk berpakaian baik dan sopan?.
Kebijakan yang dibuat oleh negara-negara barat yang membuat peraturan yang
melarang perempuan muslim berpakaian muslimah yaitu berhijab justru semakin
menambah kesan bahwa hak asasi manusia yang selama ini di dengungkan oleh
negara-negara barat menjadi hampa adanya karena ternyata mereka sendiri tidak
memiliki acuan yang jelas tentang sejauh mana hak asasi manusia dapat
melindungi warga negara mereka sendiri. Beragama adalah hak alamiah (natural right) yang dimiliki manusia dan
merupakan hak dasar dalam hak asasi manusia. Setiap orang dapat memilih agama
apapun yang mereka yakini dan tidak ada larangan untuk memeluk agama apapun.
Hal
tersebut tertulis dalam Pasal 18 Piagam Deklarasi Undang-Undang Hak Asasi Manusia
(DUHAM) yang menyatakan, “Setiap orang
berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan
berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau
kepercayaann dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan
mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum
maupun sendiri”
Begitupun
dalam ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) Pasal 18
ayat (1) menyatakan, “Setiap orang berhak
atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan
untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan,
baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum
atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan
ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran”.
Setiap
agama tentunya memiliki tata cara atau aturan yang mengatur tatanan hidup
umatnya yang harus dilaksanakan yang berpatokan kepada kitab suci yang mereka
miliki dan kita sebagai penganut agama lain yang berbeda agama pasti
menghormati apapun aturan yang dijadikan patokan untuk melaksanakan perintah
agamanya.
Di
dalam pergaulan internasional, menanyaakan perihal agama kepada seseorang bukan
hal yang dianjurkan dan sopan untuk ditanyakan karena agama adalah hak privasi
seseorang yang tidak mesti atau wajib orang lain harus tahu. Di negara yang
menganut paham sekularisme agama adalah urusan individu masing-masing dan
bersifat sangat private sehingga
dalam kartu identitas pun kolom terkait agama justru tidak ada.
Putusan ECJ
Pengadilan
Uni Eropa (ECJ) beberapa waktu lalu telah mengeluarkan putusan terkait isu
penggunaan jilbab atau hijab ini. Gugatan terkait penggunaan jilbab ini
diajukan oleh seorang perempuan muslim yang bekerja di sebuah perumahan di
Belgia, dimana perusahaan tersebut membuat larangan bagi pegawainya untuk memakai
simbol-simbol agama dalam bekerja. Dalam putusannya, ECJ justru memperkuat
peraturan perusahaan tersebut dan menyatakan bahwa penggunaan jilbab di
tempat bekerja bukanlah suatu tindakan diskriminatif dan aturan tersebut dapat
diberlakukan sebagai bagian dari kebijakan internal masing-masing
perusahaan.
Putusan
tersebut jelas telah membuat makin banyaknya perlakuan diskriminatif yang akan
dialami oleh warga perempuan Muslim di Eropa. Ketika hak untuk beragama
kemudian dibenturkan dengan hak untuk mendapatkan pekerjaan dan hak kebebasan
berekspresi maka tentu seharusnya ketiganya harus berjalan beriringan saling
mengisi satu sama lain. Sangat tidak logis apabila keputusan pengadilan justru
pada akhirnya memaksa orang untuk
memilih antara keyakinan agama dan pekerjaannya. Hal tersebut jelas jelas
benar-benar telah melanggar prinsip-prinsip HAM, hukum dan keadilan.
Putusan MK tentang kebebasan beragama
dan hak perempuan
Mahkamah
Konstitusi RI sebagai pengawal konstitusi telah banyak melakukan terobosan
terkait dengan hak konstitusional kebebasan beragama dan juga hak-hak
perempuan. Terkait hak perempuan, MK melalui putusannya dalam perkara 88/PUU-XIV/2016 dalam pengujian UU
KDIY, telah memberikan semacam panduan terkait pembatasan yang boleh dilakukan
oleh negara yang sesuai dengan konstitusi terhadap hak konstitusonal warga
negara yaitu
a.
pembatasan itu harus dilakukan dengan Undang-Undang;
b.
pembatasan yang harus dilakukan dengan Undang-Undang itu
adalah dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
terhadap hak dan kebebasan orang lain;
c.
pembatasan yang harus dilakukan dengan Undang-Undang itu juga
dengan maksud untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
Selain
itu, terkait kebebasan beragama, MK dalam putusan perkara 97/PUU-XIV/2016,
telah
menyatakan pula bahwa
hak atau kemerdekaan menganut agama termasuk menganut kepercayaan terhadap
Tuhan YME adalah hak yang melekat pada setiap orang sebab hak tersebut
diturunkan dari kelompok hak-hak alamiah (natural
rights) yang bukan pemberian negara. Oleh karenanya menurut MK, hak
beragama dan menganut kepercayaan merupakan salah satu hak asasi manusia
sehingga sebagai negara hukum yang mensyaratkan perlindungan atas HAM, negara mempunyai tanggung jawab untuk menjamin
hak asasi warganya dalam praktik atau kenyataan sehari-hari.
Dalam kedua putusan
tersebut, MK juga memberikan pertimbangan hukum yang juga berpatokan kepada
Deklarasi Undang-Undang Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR)
dan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
(CEDAW) yang seharusnya juga menjadi
patokan dalam setiap pertimbangan putusan pengadilan diseluruh dunia khususnya
yang menyangkut hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara.
Tentunya kita berharap agar putusan MK RI tersebut dapat menjadi rujukan bagi pengadilan
negara-negara lain di seluruh dunia dalam memutus sebuah perkara yang berkaitan
dengan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara karena semua negara pastinya memiliki kewajiban untuk memberikan
pelayanan dan perlakuan yang sama terhadap warganya sehingga ke depan tidak akan
ada lagi kasus perlakuan diskriminasi terhadap saudara kita (perempuan muslim) yang memakai hijab dan pengadilan
betul-betul dapat memberikan rasa keadilan kepada warganya dengan berpatokan
kepada hukum dan aturan yang bersifat universal yang telah disepakati oleh
seluruh negara di dunia.
*****
[1]
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum – International Islamic University Malaysia
(IIUM).
Anggota PPI IIUM Malaysia.
Alamat : Asrama
Mahasiswa/Mahallah Salahudin, Kampus IIUM Gombak, Kuala Lumpur Malaysia.
Phone : +62 812831-50373 / +60- 0172854-272. Email :
adhanihani@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar