Ada banyak cerita tentang hijrah
yang dilakukan oleh para Nabi dan Rosul. Salah satu kisah yang selalu kita
ingat selain kisah Nabi Muhammad SAW yang hijrah dari Mekkah ke Madinah adalah
kisah Nabi Ibrahim yang membawa istrinya Siti Hajar beserta anaknya Ismail ke
gurun pasir kosong yang belum ada penduduknya, tanpa meninggalkan apa-apa dan
itu dilakukan oleh Nabi Ibrahim semata-mata karena perintah Allah SWT.
Kalo kita membaca kembali kisah Nabi
Ibrahim tersebut, pastinya kita sebagai orang beriman dan bertaqwa kepada Allah
akan berkaca-kaca menahan tangis. Kita sebagai manusia biasa mungkin tidak akan
tega melihat dan meninggalkan anak dan istri kita di gurun pasir tanpa penghuni
dan tanpa makanan serta tanpa air. Keimanan dan ketaqwaan lah yang menyebabkan
Nabi Ibrahim dan Siti Hajar menerima dengan ikhlas perintah dari Allah SWT.
Saat Nabi Ibrahim meninggalkan Siti
Hajar dan Ismail tanpa mengucapkan sepatah katapun yang kemudian Siti Hajar
berteriak dan bertanya “Ya Ibrahim,
kepada siapa kau meninggalkan kami? Tidak ada seorang pun disini”, namun Nabi
Ibrahim. tidak menjawab pertanyaan Siti Hajar, karena jika menjawab, maka akan
terjadi percakapan, dan Nabi Ibrahim takut hatinya menjadi luluh.
Nabi Ibrahim tetap berjalan tanpa
menoleh kepada Siti Hajar, dan Siti Hajar tetap mengikutinya, “Ya Ibrahim, kepada siapa kau meninggalkan
kami?” Nabi Ibrahim tetap tidak menjawab dan terus berjalan. Akhirnya Siti Hajar
berhenti sejenak dan berpikir, dan karena kesalehan dan pengetahuan yang
diberikan Allah, dia bertanya satu pertanyaan yang sederhana, “Ya Ibrahim, Apakah Allah yang telah
memerintahkanmu untuk melakukan ini?” dan Nabi Ibrahim masih tanpa menoleh
kepadanya, menjawab hanya dengan satu jawaban. “Ya”, kata Ibrahim sambil terus
berjalan.
Kisah Nabi Ibrahim ini diceritakan kembali oleh Allah SWT dalam Al quran dan ada satu doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim saat meninggalkan istri dan anaknya di padang pasir tersebut. Berikut doa nabi Ibrahim saat meninggalkan istri dan anaknya: "Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Ibrahim: 38).
Kisah bagaimana Nabi Ibrahim meninggalkan istri dan anaknya di padang pasir adalah kisah yang sangat luar biasa khususnya bagi kita para ayah/orang tua yang notabene selalu berupaya mensejahterakan keluarga kita, mencari rizki yang halal untuk keluarga dan terkadang harus rela hijrah meninggalkan keluarga. Ada yang hijrah ke luar kota, bahkan sampai ke luar negeri untuk bisa mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Meski terkadang keluarga kita di kampung halaman tidak pernah tahu kita kerja apa dan bagaimana kondisi kita di tempat kita yang baru. Namun, doa dari keluarga dan saudara kita tentunya selalu menyertai kita para ayah atau keluarga yang hijrah ke tempat yang jauh, dan terkadang kita mungkin tidak pernah mengetahui bahwa sebenarnya doa tersebut yang menyebabkan kita selalu berada dalam lindungan Allah dan menemukan berbagai kemudahan saat berada di kota atau luar negeri yang jauh dari keluarga kita.
Tidaklah mudah dapat bertahan hidup di kota besar atau di negeri orang lain yang notabene jauh dari keluarga. Perlu kekuatan luar biasa untuk dapat bertahan karena pastinya pada awal kedatangan ke tempat baru, semuanya tidaklah semudah yang kita bayangkan. Namun, dengan keyakinan dan doa, maka Allah memudahkan itu semua. Banyak kisah atau cerita tentang kisah sukses para pekerja Indonesia yang tinggal di luar negeri yang ternyata dalam kisah suksesnya ada banyak keajaiban yang datang tanpa terduga. Tentunya keajaiban tersebut datang bukan tanpa rencana, namun sepenuhnya pasti sudah direncanakan oleh Allah, namun terkadang kita tidak sadar bahwa di balik kesuksesan seseorang ada doa dari saudara kita yang menyokong dan doa tersebut dikabulkan oleh Allah.
“Doa seorang muslim untuk saudaranya
(muslim lainnya) yang tidak berada di hadapannya akan dikabulkan oleh Allah. Di
atas kepala orang muslim yang berdoa tersebut terdapat seorang malaikat yang
ditugasi menjaganya. Setiap kali orang muslim itu mendoakan kebaikan bagi
saudaranya, niscaya malaikat yang menjaganya berkata, “Amin (semoga Allah
mengabulkan) dan bagimu hal yang serupa.” (HR. Muslim).
Hijrah Ke Jalan Yang Lurus
Tentunya pilihan untuk “hijrah”
bukan hanya identik dengan hijrah dari dari satu kota ke kota lain atau dari
satu negara ke negara lain untuk mendapatkan kebaikan dan keselamatan atau
kehidupan yang lebih baik. Pastinya pilihan untuk hijrah adalah menjadi bagian
dari upaya dan ikhtiar kita sebagai umat manusia untuk kembali ke jalan yang
lurus dan sebagai upaya untuk mencari sesuatu yang kita yakini akan membuat
kita semakin baik, semakin lurus dan semakin dekat dengan Allah SWT.
Banyak kisah yang mungkin kita dengar dari para mualaf, para selebriti dan tokoh masyarakat yang hijrah dari kehidupan yang dulunya sangat glamor dan jauh dari Islam, yang kemudian dalam hitungan detik memutuskan untuk berhenti dan lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Keinginan untuk hijrah tidak akan datang begitu saja tanpa sebab, karena Allah Yang Maha Adil pasti akan memberikan "treatment" yang sama kepada semua manusia dimuka bumi ini. Tidak peduli dia beragama Islam, Kristen, Hindu atau Budha yang jelas semua umat manusia akan diberikan kebaikan dan hidayah yang sama dan pada akhirnya kita sendiri yang harus memutuskan. Mungkin itulah salah satu perbedaan yang paling mencolok yang diberkan Allah kepada kita umat manusia sehingga sangat wajar kalo kita diberikan predikat mahluk yang paling mulia dan paling sempurna.
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka
rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
(Al-Israa’ : 70).
Pilihan untuk hijrah ke kehidupan yang lebih baik dan lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT pasti akan datang setiap saat pada diri kita manusia karena itu adalah anugerah yang akan selalu diberikan Allah kepada hamba Nya dan sebagai bentuk kasih sayang serta Maha Adil nya Allah kepada kita sebagai mahluk yang paling mulia.
Namun pada akhirnya kita sendiriah yang harus memutuskan apakah kita akan mengikuti ke jalan yang lurus atau tetap berkelok ke jalan yang lain. Pilihan itu akan selalu kita hadapi setiap saat. Dibutuhkan keberanian dan keyakinan yang nyata untuk menyatakan bahwa kita sudah berani hijrah, karena banyak juga saudara kita yang sepertinya sangat alergi dengan kepindahan seseorang dari buruk ke baik dan banyak juga yang cenderung menyangsikan pilihan saudaranya untuk berjalan ke arah jalan yang lurus. Cibiran, makian dan mungkin hinaan pastinya akan kita dengar ketika kita memutuskan untuk hijrah ke jalan yang baik. Tidaklah mudah untuk tetap bertahan di jalan yang lurus, apalagi apabila semua orang tahu bahwa dulunya kita seperti ini, atau seperti itu, sehingga orang lain seolah-olah tidak percaya bahwa kita sudah berubah, kita sudah berbeda, dan kita sudah hijrah.
Keberanian dan Konsistensi
Tentunya setelah kita hijrah harus
ada upaya untuk terus meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita. Kita harus juga
bersosialisasi, bergaul dan menimba ilmu dari saudara atau imam atau ustad yang
bukan hanya paham tentang ilmu agama dan rajin ibadah, namun imam yang selalu
mengarahkan kita untuk selalu rendah hati, tidak sombong, istiqomah, dijauhkan
dari penyakit hati dan selalu berupaya mengarahkan kita menjadi muslim yang
seutuhnya. Menjaga agar kita selalu rendah hati juga menjadi bagian penting
agar Allah SWT selalu menjaga kita dari sifat sombong dan riya karena ada
kecenderungan setan akan justru lebih dekat dengan orang-orang yang bertaqwa
dan berupaya untuk selalu menggoda kita untuk kembali ke jalan yang tidak lurus
dan menjerumuskan kita ke dalam lubang riya dan sombong.
Kita pastinya sangat memahami bahwa yang bisa menilai keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah bukanlah orang lain, melainkan Allah SWT sendiri yang paham apakah kita benar-benar menjadi hamba yang beriman atau tidak karena keimanan dan ketaqwaan berada dalam jiwa, hati dan raga kita. Tidak ada jaminan bahwa seorang yang berilmu tinggi yang mentereng dengan gelar ataupun yang banyak hartanya lebih beriman dan bertaqwa kepada Allah dibandingkan dengan orang biasa yang mungkin tidak pernah sekolah ataupun miskin harta, karena keimanan dan ketaqwaan ada di dalam diri kita masing-masing dan hanya Allah yang bisa menilainya. Jadi sudah seharusnya kita sebagai manusia beriman dan bertaqwa untuk tetap rendah hati dan tidak menyombongkan diri serta merasa bahwa kitalah yang paling beriman dan paling bertaqwa dibandingkan saudara kita yang lain.
Semoga setelah hijrah, kita senantiasa di jaga oleh Allah SWT untuk tetap berani dan konsisten berada dalam jalan yang lurus, dijauhkan dari sifat sombong, iri, dengki dan tetap semangat untuk terus saling mendoakan antara sesama saudara seiman hingga pada akhirnya nanti kita akan bertemu dengan Allah SWT dan ditempatkan di tempat yang terbaik. Amin.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar