Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Minggu, 08 April 2018

KONTROVERSI UU MD3 DAN UPAYA MENJAGA MARWAH WAKIL RAKYAT


Terlampir adalah opini saya dan Doni Ropawandi yang dibuat di Koran Kompas pada tanggal 22 Maret 2018. 




KONTROVERSI UU MD3
DAN UPAYA MENJAGA MARWAH WAKIL RAKYAT
Oleh
Hani Adhani dan Doni Ropawandi[1]

Salah satu isu yang saat ini sedang hangat dibicarakan pelajar dan mahasiswa yang sedang studi diluar negeri adalah terkait dengan kontroversi UU MD3 terbaru yang telah disahkan DPR. Secara kasat mata tentunya kita sebagai rakyat Indonesia sangat berkeyakinan bahwa semua anggota DPR yang terpilih memiliki kualitas diatas rata-rata, baik dari segi pendidikan dan pengalaman sehingga sangat tidak mungkin membuat UU yang akan melanggar hak konstitisional rakyat Indonesia dan melanggar konstitusi (UUD 1945). Menurut penalaran yang wajar hal tersebut tidak mungkin dilakukan oleh DPR karena para anggota DPR sangat memahami bahwa UU yang mereka buat tidak boleh melanggar hak konstitusional warga negara yang diatur dalam UUD 1945, terlebih lagi undang-undang yang dibuat dan disahkan oleh DPR pastinya akan mengikat kepada seluruh rakya Indonesia dan termasuk kepada anggota DPR sendiri serta juga termasuk kepada kelurga dan konstituennya..
Namun fakta yang terjadi adalah UU MD3 yang terbaru ini yang merupakan penyempurnaan dari UU sebelumnya yaitu UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 malah secara substansi banyak menimbulkan kontroversi. Beberapa pasal yang secara substansi menimbulkan kontroversi adalah sebagai berikut:
§  Pasal 122 huruf k, terkait dengan Mahkamah Kehormatan Dewan ( MKD) yang menyatakan bahwa MKD bertugas mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Pasal ini seolah-olah DPR dianggap anti kritik dan kebal hukum sehingga seolah-olah ada upaya kriminalisasi terhadap praktik demokrasi, khususnya apabila nanti ada masyarakat yang kritis terhadap DPR dengan memberikan kritikan, maka akan dianggap 'menghina' DPR dan selanjutnya akan dibawa ke MKD dan diadili oleh MKD. Bisa dibayangkan apabila nantinya pasal ini berlaku maka akan banyak masyarakat mengantri  untuk diadili oleh MKD karena diaanggap menghina DPR dan pada akhirnya MKD berubah menjadi seperti pengadilan negeri.
§  Pasal 73 terkait pemanggilan paksa. Dalam pasal ini disebutkan bahwa DPR dibolehkan memanggil paksa setiap orang dengan bantuan aparat kepolisian plus juga ada klausa dibolehkan untuk menyandera selama 30 hari. Pasal ini jelas-jelas seolah-olah DPR memposisikan sebagai aparat penegak hukum yang bisa dengan mudah memaksa dan menyandera masyarakat.
§  Pasal 245 terkait dengan pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana. Pasal ini seolah-olah yang membuat anggota DPR kebal hukum karena penyidikan terhadap anggota DPR harus melalui izin tertulis Presiden dan pertimbangan tertulis dari MKD. Tentunya proses ini akan menambah panjang birokrasi sehingga hal ini menegaskan bahwa anggota DPR seolah-olah ingin diperlakukan berbeda dengan pejabat yang lain.
Putusan MK terkait UU MD3
            Berdasarkan data yang ada di website MK, bahwa UU MD3 Tahun 2014 sejak diundangkan di tahun 2014 hingga terakhir putusan di bulan Februari 2018 setidaknya telah diuji ke MK sebanyak 24 kali, dan dari 24 permohonan tersebut setidaknya ada tiga yang dikabulkan oleh MK, sebagai berikut:

1.  Perkara Nomor 82/PUU-XII/2014, yang diajukan oleh Khofifah Indar Parawansa, dkk., terkait dengan isu keterwakilan perempuan dalam pimpinan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 97 ayat (2), Pasal 104 ayat (2), Pasal 109 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 152 ayat (2), dan Pasal 158 ayat (2).
2.  Perkara Nomor 76/PUU-XII/2014, yang diajukan oleh Supriyadi Widodo Eddyono, dkk.,  terkait isu MKD khususnya tentang pemanggilan anggota DPR yang harus mendapatkan persetujuan tertulis Presiden dan tanpa harus mendapatkan persetujuan tertulis dari MKD yang diatur dalam Pasal 224 ayat (5), dan Pasal  245 ayat (1).
3.  Perkara 79/PUU-XII/2014, yang diajukan oleh Pimpinan DPD RI, terkait isu kewenangan DPD dalam proses perumusan pembentukan UU yang diatur dalam Pasal 71 huruf c, Pasal 166 ayat (2), Pasal 250 ayat (1), dan Pasal 277 ayat (1).
dari ketiga isu tersebut yang notabene sudah dikabulkan oleh MK dan pasal-pasal tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan mengikat, namun anehnya justru dalam perubahan kedua UU MD3, hal terkait putusan MK tersebut sama sekali tidak dibahas dalam konsideran menimbang UU tersebut dan malah putusan MK sama sekali tidak dijadikan dasar pertimbangan dalam melakukan perubahan UU MD3 tersebut.
Faktanya terkait pemanggilan anggota DPR yang tidak harus mendapatkan persetujuan MKD dan sudah dibatalkan MK malah dihidupkan kembali oleh DPR.  Tentunya hal ini menandakan bahwa DPR sepertinya tidak memperdulikan putusan MK tersebut atau malah mungkin putusan MK dianggap angin lalu saja oleh DPR. Padahal seperti kita ketahui putusan MK bersifat final dan mengikat serta mempunyai kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang MK.  Tentunya ini akan menjadi preseden yang tidak baik apabila faktanya DPR benar-benar tidak mau melaksanakan putusan MK dan oleh karenanya apabila itu benar-benar dilakukan oleh DPR, maka kita dapat menyimpulkan bahwa DPR tidak taat putusan MK dan oleh karenanya telah juga melanggar UUD 1945.
            Tentunya apabila nantinya UU MD3 perubahan ini berlaku dan telah diundangkan, maka pastinya masyarakat akan sangat mudah untuk meminta MK membatalkan UU tersebut karena faktanya isu-isu yang ada dan akan diajukan judicial review ke MK memang sebagian telah dikabulkan oleh MK. Kita berharap permasalahan ini menjadi pembelajaran bagi DPR ke depan, agar semua anggota DPR dapat benar-benar bekerja dengan baik, hati-hati, jujur dan profesional serta taat terhadap UUD 1945 agar permasalahan seperti UU MD3 ini tidak terjadi lagi di masa yang akan datang dan marwah anggota DPR sebagai wakil rakyat tetap terjaga dengan baik sehingga semakin dihormati oleh rakyat.
*****



[1] Hani Adhani adalah Wakil Koordinator Bidang Hukum dan Advokasi PPI Malaysia periode 2017-2018 dan.Doni Ropawandi adalah Ketua PPI Malaysia periode 2017-2018.

Tidak ada komentar: