Terlampir adalah opini saya dan Doni Ropawandi yang dibuat di Koran Kompas pada tanggal 22 Maret 2018.
Berikut link >> https://nasional.kompas.com/read/2018/03/22/16004331/kontroversi-uu-md3-dan-upaya-menjaga-marwah-wakil-rakyat
KONTROVERSI UU MD3
DAN UPAYA MENJAGA MARWAH WAKIL RAKYAT
Oleh
Hani
Adhani dan Doni Ropawandi[1]
Salah
satu isu yang saat ini sedang hangat dibicarakan pelajar dan mahasiswa yang
sedang studi diluar negeri adalah terkait dengan kontroversi UU MD3 terbaru
yang telah disahkan DPR. Secara kasat mata tentunya kita sebagai rakyat
Indonesia sangat berkeyakinan bahwa semua anggota DPR yang terpilih memiliki
kualitas diatas rata-rata, baik dari segi pendidikan dan pengalaman sehingga
sangat tidak mungkin membuat UU yang akan melanggar hak konstitisional rakyat
Indonesia dan melanggar konstitusi (UUD 1945). Menurut penalaran yang wajar hal
tersebut tidak mungkin dilakukan oleh DPR karena para anggota DPR sangat memahami
bahwa UU yang mereka buat tidak boleh melanggar hak konstitusional warga negara
yang diatur dalam UUD 1945, terlebih lagi undang-undang yang dibuat dan
disahkan oleh DPR pastinya akan mengikat kepada seluruh rakya Indonesia dan
termasuk kepada anggota DPR sendiri serta juga termasuk kepada kelurga dan
konstituennya..
Namun
fakta yang terjadi adalah UU MD3 yang terbaru ini yang merupakan penyempurnaan
dari UU sebelumnya yaitu UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 malah secara
substansi banyak menimbulkan kontroversi. Beberapa pasal yang secara substansi menimbulkan
kontroversi adalah sebagai berikut:
§ Pasal
122 huruf k, terkait dengan Mahkamah Kehormatan Dewan ( MKD) yang menyatakan
bahwa MKD bertugas mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang
perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR
dan anggota DPR. Pasal ini seolah-olah DPR dianggap anti kritik dan kebal hukum
sehingga seolah-olah ada upaya kriminalisasi terhadap praktik demokrasi,
khususnya apabila nanti ada masyarakat yang kritis terhadap DPR dengan
memberikan kritikan, maka akan dianggap 'menghina' DPR dan selanjutnya akan
dibawa ke MKD dan diadili oleh MKD. Bisa dibayangkan apabila nantinya pasal ini
berlaku maka akan banyak masyarakat mengantri untuk diadili oleh MKD karena diaanggap
menghina DPR dan pada akhirnya MKD berubah menjadi seperti pengadilan negeri.
§ Pasal
73 terkait pemanggilan paksa. Dalam pasal ini disebutkan bahwa DPR dibolehkan
memanggil paksa setiap orang dengan bantuan aparat kepolisian plus juga ada
klausa dibolehkan untuk menyandera selama 30 hari. Pasal ini jelas-jelas
seolah-olah DPR memposisikan sebagai aparat penegak hukum yang bisa dengan
mudah memaksa dan menyandera masyarakat.
§ Pasal
245 terkait dengan pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR sehubungan
dengan terjadinya tindak pidana. Pasal ini seolah-olah yang membuat anggota DPR
kebal hukum karena penyidikan terhadap anggota DPR harus melalui izin tertulis Presiden
dan pertimbangan tertulis dari MKD. Tentunya proses ini akan menambah panjang
birokrasi sehingga hal ini menegaskan bahwa anggota DPR seolah-olah ingin
diperlakukan berbeda dengan pejabat yang lain.
Putusan MK terkait UU MD3
Berdasarkan data yang ada di website
MK, bahwa UU MD3 Tahun 2014 sejak diundangkan di tahun 2014 hingga terakhir
putusan di bulan Februari 2018 setidaknya telah diuji ke MK sebanyak 24 kali,
dan dari 24 permohonan tersebut setidaknya ada tiga yang dikabulkan oleh MK,
sebagai berikut:
1. Perkara Nomor 82/PUU-XII/2014,
yang diajukan oleh Khofifah Indar Parawansa, dkk., terkait dengan isu
keterwakilan perempuan dalam pimpinan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 97
ayat (2), Pasal 104 ayat (2), Pasal 109 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 121
ayat (2), Pasal 152 ayat (2), dan Pasal 158 ayat (2).
2. Perkara Nomor 76/PUU-XII/2014,
yang diajukan oleh Supriyadi Widodo Eddyono, dkk., terkait isu MKD khususnya tentang pemanggilan
anggota DPR yang harus mendapatkan persetujuan tertulis Presiden dan tanpa
harus mendapatkan persetujuan tertulis dari MKD yang diatur dalam Pasal 224
ayat (5), dan Pasal 245 ayat (1).
3. Perkara 79/PUU-XII/2014,
yang diajukan oleh Pimpinan DPD RI, terkait isu kewenangan DPD dalam proses
perumusan pembentukan UU yang diatur dalam Pasal 71 huruf c, Pasal 166 ayat
(2), Pasal 250 ayat (1), dan Pasal 277 ayat (1).
dari
ketiga isu tersebut yang notabene sudah dikabulkan oleh MK dan pasal-pasal
tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai
kekuatan mengikat, namun anehnya justru dalam perubahan kedua UU MD3, hal terkait
putusan MK tersebut sama sekali tidak dibahas dalam konsideran menimbang UU
tersebut dan malah putusan MK sama sekali tidak dijadikan dasar pertimbangan
dalam melakukan perubahan UU MD3 tersebut.
Faktanya
terkait pemanggilan anggota DPR yang tidak harus mendapatkan persetujuan MKD
dan sudah dibatalkan MK malah dihidupkan kembali oleh DPR. Tentunya hal ini menandakan bahwa DPR sepertinya
tidak memperdulikan putusan MK tersebut atau malah mungkin putusan MK dianggap
angin lalu saja oleh DPR. Padahal seperti kita ketahui putusan MK bersifat
final dan mengikat serta mempunyai kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan
dalam sidang MK. Tentunya ini akan
menjadi preseden yang tidak baik apabila faktanya DPR benar-benar tidak mau
melaksanakan putusan MK dan oleh karenanya apabila itu benar-benar dilakukan
oleh DPR, maka kita dapat menyimpulkan bahwa DPR tidak taat putusan MK dan oleh
karenanya telah juga melanggar UUD 1945.
Tentunya apabila nantinya UU MD3
perubahan ini berlaku dan telah diundangkan, maka pastinya masyarakat akan
sangat mudah untuk meminta MK membatalkan UU tersebut karena faktanya isu-isu
yang ada dan akan diajukan judicial
review ke MK memang sebagian telah dikabulkan oleh MK. Kita berharap
permasalahan ini menjadi pembelajaran bagi DPR ke depan, agar semua anggota DPR
dapat benar-benar bekerja dengan baik, hati-hati, jujur dan profesional serta taat
terhadap UUD 1945 agar permasalahan seperti UU MD3 ini tidak terjadi lagi di
masa yang akan datang dan marwah anggota DPR sebagai wakil rakyat tetap terjaga
dengan baik sehingga semakin dihormati oleh rakyat.
*****
[1] Hani
Adhani adalah Wakil Koordinator Bidang Hukum dan Advokasi PPI Malaysia
periode 2017-2018 dan.Doni Ropawandi adalah Ketua PPI
Malaysia periode 2017-2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar