Hani Adhani saat mengikuti Konferensi Halal di Kuala Lumpur |
Terlampir opini tentang pekerja migran Indonesia yang dimuat di hukum online pada tanggal 9 April 2018 >>> http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5acaed204a40c/melindungi-pekerja-migran-indonesia-oleh--hani-adhani
MELINDUNGI PEKERJA MIGRAN INDONESIA
Oleh
Hani Adhani[1]
Kasus
penganiyaan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Pinang, Malaysia, yang
menimpa salah seorang TKI asal NTT yang bernama Adelina yang terjadi pada hari
Minggu (11/02/2018) hingga akhirnya meninggal dunia, sungguh sangat memilukan
dan mengkhawatirkan. Seminggu kemudian tepatnya tanggal 20 Februari 2018
kembali diberitakan tentang adanya TKI yang meninggal di Sabah, dan di bulan
Maret 2018 dberitakan TKI yang bernama Santi R. Simbolon ditemukan tewas
membusuk di dalam lemari di Pulau Penang. Kondisi tragis yang dialami oleh Adelina
dan pekerja migran asal NTT ini menambah panjang deretan nasib suram dan kisah
tragis “pejuang devisa” para Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia.
Di
satu sisi menjadi TKI adalah bagian dari upaya untuk mencari peluang hidup yang
lebih menjanjikan di luar negeri dengan harapan agar dapat membantu keluarga di
kampung halaman sehingga lebih sejahtera, namun di sisi yang lain ada resiko
yang mengancam jiwa yang bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Kasus
penganiyayaan yang dialami Adelina yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga
di Pinang, Malaysia menimbulkan berbagai pertanyaan dibenak kita sebagai warga
negara Indonesia. Kenapa kasus Adelina ini bisa terjadi dan bagaimana peran
negara memberikan perlindungan terhadap para pekerja migran Indonesia?
UU
Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
Apabila
kita membaca secara seksama UU yang mengatur tentang TKI atau Pekerja Migran
Indonesia (PMI) yaitu UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan
Pekerja Migran Indonesia, UU tersebut adalah merupakan UU yang baru saja
disahkan pada tanggal 22 November 2017 dan mengganti UU yang lama yaitu UU
Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
di Luar Negeri. UU ini dibuat untuk memperbaiki berbagai kelemahan yang ada
dalam UU 39/2004, dimana tujuan utama dilakukannya penyempurnaan UU tersebut
adalah agar para TKI atau PMI semakin terlindungi sebagaimana diamanatkan dalam
UUD 1945.
Semangat
UU 18/2017 sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum UU Perlindungan PMI
adalah agar pekerja migran Indonesia terlindungi dari perdagangan manusia,
termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan
atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi
manusia. Selain itu, UU tersebut lebih menekankan dan memberikan peran yang
lebih besar kepada pemerintah dan mengurangi peran swasta dalam penempatan dan
Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Dalam UU
18/2017 ini, sudah ada regulasi yang lebih baik dan dapat menjadikan patokan
untuk menjadikan TKI/PMI kita lebih memiliki nilai bargaining position yang jelas sesuai dengan skill dan kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing TKI/PMI. Seharusnya
dengan disahkannya UU baru tentang perlindungan pekerja migran ini, maka para pekerja
migran kita lebih pede dalam hal memperjuangkan hak-haknya, meskipun mereka bekerja
hanya sebagai pembantu rumah tangga atau asisten rumah tangga.
Kasus yang
dialami oleh Adelina tentunya tidak boleh dianggap sepele, terlepas apakah
adelina berstatus sebagai PMI legal
atau ilegal oleh karena kasus
tersebut terjadi akibat adanya kelalain negara yang tidak melakukan proses
pengawasan dan kontrol yang ketat terhadap para pekerja migran Indonesia dan
juga terhadap pemberi kerja. Transfer knowledge
tentang mekanisme dan regulasi tentang bagaimana menjadi pekerja migran yang
legal dan terlindungi sebagaimana telah diatur dalam UU 18/2017 menjadi kunci
utama agar para pekerja migran Indonesia bisa pede bekerja dan bebas dari
penganiyaan majikan atau pemberi kerja.
Negara
dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaa harus bekerja ekstra untuk mengawal
semua pekerja migran Indonesia yang memang tercatat sebagai pekerja migran yang
bekerja sesuai dengan aturan UU 18/2017. Apabila masih ditemukan berbagai kasus
dimana pemberi
kerja bermasalah yang pada akhirnya dapat menyebabkan korban bagi para pekerja
migran kita, maka negara wajib berupaya untuk melindungi secara maksimal agar pekerja
migran kita tidak menjadi korban. Begitupun apabila ternyata
terdapat faktanya adanya pekerja migran asal Indonesia yang ilegal maka negara wajib untuk segera
memulangkan tenaga kerja tersebut ke tanah air dengan sebelumnya memberikan
informasi dan pengetahuan tentang teknis dan prosedur menjadi tenaga migran
yang legal agar tenaga migran ilegal tersebut sadar dan tidak mengulangi
kesalahannya, dan terhadap para tenaga migran yang bandel yang sudah seringkali
dan berulangkali menjadi tenaga migran ilegal maka mau tidak mau dan suka tidak
suka negara harus berani mencabut semua administrasi imigrasinya termasuk
mencabut paspor TKI/PMI tersebut.
Hal
tersebut dilakukan untuk mengantisipasi adanya hal yang justru merugikan
pekerja migran tersebut saat berada di negara tempat mereka bekerja oleh karena
pekerja migran ilegal pasti sangat rentan terhadap tindakan sewenang-wenang
baik dari pemberi kerja ataupun dari aparat penegak hukum di negara tempat
mereka bekerja.
Peran
Negara Untuk Melindungi Pekerja Migran
Hal
yang paling urgent yang harus
dilakukan negara pasca tragedi Adelina ini adalah dengan melakukan proses
pendataan dan verifikasi ulang terhadap seluruh pekerja migran Indonesia di
luar negeri pasca diundangkannya UU 18/2017 dan ini harus dilakukan segera serta
harus dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif dengan melibatkan
seluruh stake holder yang ada, bekerjasama
dengan pemerintah negara setempat dan juga dengan melibatkan warga negara
Indonesia serta mahasiswa yang sedang belajar di luar negeri serta dengan
melibatkan organisasi masyarakat Indonesia yang ada di luar negeri serta
melibatkan organisasi mahasiswa asal Indonesia (PPI) agar kasus yang dialami
oleh Adelina ini tidak akan terulang kembali.
Negara
tidak bisa bekerja sendirian untuk melakukan verifikasi dan pendataan terhadap
pekerja migran Indonesia dan juga terhadap pemberi kerja. Dengan jumlah pekerja
migran Indonesia yang jutaan tentunnya negara harus melibatkan masyarakat
Indonesia dan juga mahasiswa Indonesia yang ada di luar negeru tempat pekerja
migran tersebut bekerja untuk membantu melakukan proses pendataan dan
verifikasi ulang terhadap seluruh pekerja migran Indonesia sehingga pengawasan
terhadap PMI/TKI dan pemberi kerja bukan hanya dibebankan terhadap negara
tetapi juga dengan melibatkan masyarakat Indonesia dan juga mahasiswa Indonesia
yang sedang belajar di negara tersebut.
Selain itu, negara
juga berkewajiban untuk melakukan pembinaan, pemantauan dan evaluasi
terhadap pemberi kerja, pekerjaan yang dilakukan oleh PMI, dan juga kondisi
tempat kerja sebagaimana diamanatkan UU Perlindungan Tenaga Migran Indonesia.
Apabila ternyata ditemukan pemberi kerja yang bermasalah, maka negara
berkewajiban menghentikan proses kerjasama dan juga melakukan upaya hukum
apabila ternyata pemberi kerja telah melanggar perjanjian kerja dan
mengindahkan hak-hak pekerja migran Indonesia. Hal tersebut tentunya juga harus
dibarengi dengan berbagai treatment kepada
para pekerja migran Indonesia seperti dengan memfasilitasi pemenuhan hak pekerja,
pemberian layanan jasa kekonsuleran, pendampingan, mediasi, advokasi, dan
pemberian bantuan hukum. Treatment
tersebut adalah sebagai bentuk keseriusan negara dalam upaya melindungi para pekerja
migran yang bekerja di luar negeri guna menjamin pemenuhan hak dan perlindungan
pegawai migran Indonesia secara optimal di negara tujuan penempatan. Hal lain
yang juga dapat dilakukan oleh negara adalah dengan membuat MoU atau Moratorium baru yang
disesuaikan dengan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang baru sehingga
negara tempat pekerja migran Indonesia bekerja juga berupaya membantu dan
memberikan pengawasan yang menyeluruh terhadap pekerja migran Indonesia dan
juga terhadap pemberi kerja yang mempekerjakan PMI/TKI kita.
Semoga
negara segera membenahi mekanisme dan regulasi pekerja migran Indonesia sebagaiaman
diamanatkan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan segera melakukan
proses pendataan ulang terhadap pekerja migran Indonesia dengan melibatkan
masyarakat dan mahasiswa Indonesia serta segera melakukan MoU atau moratorium baru dengan negara tempat pekerja migran
Indonesia bekerja agar kasus Adelina ini tidak terulang lagi di masa yang akan
datang.
****
[1]
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum – International Islamic University Malaysia
(IIUM).
Pengurus PCIM Malaysia.
Wakil Koordinator Bidang Hukum dan Advokasi PPI
Malaysia.
Alamat : Asrama Mahasiswa IIUM Gombak, Kuala Lumpur.
Email : adhanihani@gmail.com
Phone : +62 812 831 50 373
Tidak ada komentar:
Posting Komentar