Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Kamis, 26 April 2018

MELINDUNGI PEKERJA MIGRAN INDONESIA

Hani Adhani saat mengikuti Konferensi Halal di Kuala Lumpur

Terlampir opini tentang pekerja migran Indonesia yang dimuat di hukum online pada tanggal 9 April 2018 >>>  http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5acaed204a40c/melindungi-pekerja-migran-indonesia-oleh--hani-adhani

MELINDUNGI  PEKERJA MIGRAN INDONESIA
Oleh
Hani Adhani[1]

            Kasus penganiyaan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Pinang, Malaysia, yang menimpa salah seorang TKI asal NTT yang bernama Adelina yang terjadi pada hari Minggu (11/02/2018) hingga akhirnya meninggal dunia, sungguh sangat memilukan dan mengkhawatirkan. Seminggu kemudian tepatnya tanggal 20 Februari 2018 kembali diberitakan tentang adanya TKI yang meninggal di Sabah, dan di bulan Maret 2018 dberitakan TKI yang bernama Santi R. Simbolon ditemukan tewas membusuk di dalam lemari di Pulau Penang. Kondisi tragis yang dialami oleh Adelina dan pekerja migran asal NTT ini menambah panjang deretan nasib suram dan kisah tragis “pejuang devisa” para Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia.
            Di satu sisi menjadi TKI adalah bagian dari upaya untuk mencari peluang hidup yang lebih menjanjikan di luar negeri dengan harapan agar dapat membantu keluarga di kampung halaman sehingga lebih sejahtera, namun di sisi yang lain ada resiko yang mengancam jiwa yang bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Kasus penganiyayaan yang dialami Adelina yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Pinang, Malaysia menimbulkan berbagai pertanyaan dibenak kita sebagai warga negara Indonesia. Kenapa kasus Adelina ini bisa terjadi dan bagaimana peran negara memberikan perlindungan terhadap para pekerja migran Indonesia?
UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia 
            Apabila kita membaca secara seksama UU yang mengatur tentang TKI atau Pekerja Migran Indonesia (PMI) yaitu UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, UU tersebut adalah merupakan UU yang baru saja disahkan pada tanggal 22 November 2017 dan mengganti UU yang lama yaitu UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. UU ini dibuat untuk memperbaiki berbagai kelemahan yang ada dalam UU 39/2004, dimana tujuan utama dilakukannya penyempurnaan UU tersebut adalah agar para TKI atau PMI semakin terlindungi sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.

            Semangat UU 18/2017 sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum UU Perlindungan PMI adalah agar pekerja migran Indonesia terlindungi dari perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia. Selain itu, UU tersebut lebih menekankan dan memberikan peran yang lebih besar kepada pemerintah dan mengurangi peran swasta dalam penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
            Dalam UU 18/2017 ini, sudah ada regulasi yang lebih baik dan dapat menjadikan patokan untuk menjadikan TKI/PMI kita lebih memiliki nilai bargaining position yang jelas sesuai dengan skill dan kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing TKI/PMI. Seharusnya dengan disahkannya UU baru tentang perlindungan pekerja migran ini, maka para pekerja migran kita lebih pede dalam hal memperjuangkan hak-haknya, meskipun mereka bekerja hanya sebagai pembantu rumah tangga atau asisten rumah tangga.
            Kasus yang dialami oleh Adelina tentunya tidak boleh dianggap sepele, terlepas apakah adelina berstatus sebagai PMI legal atau ilegal oleh karena kasus tersebut terjadi akibat adanya kelalain negara yang tidak melakukan proses pengawasan dan kontrol yang ketat terhadap para pekerja migran Indonesia dan juga terhadap pemberi kerja. Transfer knowledge tentang mekanisme dan regulasi tentang bagaimana menjadi pekerja migran yang legal dan terlindungi sebagaimana telah diatur dalam UU 18/2017 menjadi kunci utama agar para pekerja migran Indonesia bisa pede bekerja dan bebas dari penganiyaan majikan atau pemberi kerja.
            Negara dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaa harus bekerja ekstra untuk mengawal semua pekerja migran Indonesia yang memang tercatat sebagai pekerja migran yang bekerja sesuai dengan aturan UU 18/2017. Apabila masih ditemukan berbagai kasus dimana pemberi kerja bermasalah yang pada akhirnya dapat menyebabkan korban bagi para pekerja migran kita, maka negara wajib berupaya untuk melindungi secara maksimal agar pekerja migran kita tidak menjadi korban. Begitupun apabila ternyata terdapat faktanya adanya pekerja migran asal Indonesia yang ilegal maka negara wajib untuk segera memulangkan tenaga kerja tersebut ke tanah air dengan sebelumnya memberikan informasi dan pengetahuan tentang teknis dan prosedur menjadi tenaga migran yang legal agar tenaga migran ilegal tersebut sadar dan tidak mengulangi kesalahannya, dan terhadap para tenaga migran yang bandel yang sudah seringkali dan berulangkali menjadi tenaga migran ilegal maka mau tidak mau dan suka tidak suka negara harus berani mencabut semua administrasi imigrasinya termasuk mencabut paspor TKI/PMI tersebut.
            Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi adanya hal yang justru merugikan pekerja migran tersebut saat berada di negara tempat mereka bekerja oleh karena pekerja migran ilegal pasti sangat rentan terhadap tindakan sewenang-wenang baik dari pemberi kerja ataupun dari aparat penegak hukum di negara tempat mereka bekerja.         
Peran Negara Untuk Melindungi Pekerja Migran
            Hal yang paling urgent yang harus dilakukan negara pasca tragedi Adelina ini adalah dengan melakukan proses pendataan dan verifikasi ulang terhadap seluruh pekerja migran Indonesia di luar negeri pasca diundangkannya UU 18/2017 dan ini harus dilakukan segera serta harus dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif dengan melibatkan seluruh stake holder yang ada, bekerjasama dengan pemerintah negara setempat dan juga dengan melibatkan warga negara Indonesia serta mahasiswa yang sedang belajar di luar negeri serta dengan melibatkan organisasi masyarakat Indonesia yang ada di luar negeri serta melibatkan organisasi mahasiswa asal Indonesia (PPI) agar kasus yang dialami oleh Adelina ini tidak akan terulang kembali.
            Negara tidak bisa bekerja sendirian untuk melakukan verifikasi dan pendataan terhadap pekerja migran Indonesia dan juga terhadap pemberi kerja. Dengan jumlah pekerja migran Indonesia yang jutaan tentunnya negara harus melibatkan masyarakat Indonesia dan juga mahasiswa Indonesia yang ada di luar negeru tempat pekerja migran tersebut bekerja untuk membantu melakukan proses pendataan dan verifikasi ulang terhadap seluruh pekerja migran Indonesia sehingga pengawasan terhadap PMI/TKI dan pemberi kerja bukan hanya dibebankan terhadap negara tetapi juga dengan melibatkan masyarakat Indonesia dan juga mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di negara tersebut.   
            Selain itu, negara juga berkewajiban untuk melakukan pembinaan, pemantauan dan evaluasi terhadap pemberi kerja, pekerjaan yang dilakukan oleh PMI, dan juga kondisi tempat kerja sebagaimana diamanatkan UU Perlindungan Tenaga Migran Indonesia. Apabila ternyata ditemukan pemberi kerja yang bermasalah, maka negara berkewajiban menghentikan proses kerjasama dan juga melakukan upaya hukum apabila ternyata pemberi kerja telah melanggar perjanjian kerja dan mengindahkan hak-hak pekerja migran Indonesia. Hal tersebut tentunya juga harus dibarengi dengan berbagai treatment kepada para pekerja migran Indonesia seperti dengan memfasilitasi pemenuhan hak pekerja, pemberian layanan jasa kekonsuleran, pendampingan, mediasi, advokasi, dan pemberian bantuan hukum. Treatment tersebut adalah sebagai bentuk keseriusan negara dalam upaya melindungi para pekerja migran yang bekerja di luar negeri guna menjamin pemenuhan hak dan perlindungan pegawai migran Indonesia secara optimal di negara tujuan penempatan. Hal lain yang juga dapat dilakukan oleh negara adalah dengan membuat MoU atau Moratorium baru yang disesuaikan dengan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang baru sehingga negara tempat pekerja migran Indonesia bekerja juga berupaya membantu dan memberikan pengawasan yang menyeluruh terhadap pekerja migran Indonesia dan juga terhadap pemberi kerja yang mempekerjakan PMI/TKI kita.
            Semoga negara segera membenahi mekanisme dan regulasi pekerja migran Indonesia sebagaiaman diamanatkan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan segera melakukan proses pendataan ulang terhadap pekerja migran Indonesia dengan melibatkan masyarakat dan mahasiswa Indonesia serta segera melakukan MoU atau moratorium baru dengan negara tempat pekerja migran Indonesia bekerja agar kasus Adelina ini tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

****


[1] Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum – International Islamic University Malaysia (IIUM).
Pengurus PCIM Malaysia.
Wakil Koordinator Bidang Hukum dan Advokasi PPI Malaysia.
Alamat : Asrama Mahasiswa IIUM Gombak, Kuala Lumpur.
Phone : +62 812 831 50 373

Tidak ada komentar: