Simulasi Penanggulangan Bencana. (Foto: ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho) |
Menggagas Indonesia
Siaga Bencana
oleh
Hani Adhani
Peristiwa
tsunami yang melanda Kota Palu dan Donggala beberapa saat lalu bukan hanya
mengagetkan warga Indonesia, namun juga mengagetkan warga di seluruh dunia.
Seluruh media televisi internasional memberitakan peristiwa gempa bumi dan
tsunami yang melanda Kota Palu dan Donggala. Hampir setiap jam berita gempa dan
tsunami diberitakan dengan ditambah informasi update dan dari tempat kejadian oleh wartawan koresponden yang
ditugaskan di Jakarta dan Palu.
Beberapa
media televisi internasional banyak yang melakukan analisa dan riset terkait
dengan penyebab gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala. Salah satu media
televisi internasional malah ada yang membahas tentang bagaimana early warning system di Indonesia begitu
rapuh dan dikelola secara tidak profesional. Padahal menurut data mereka
setelah peristiwa tsunami di Aceh tahun 2004, hampir semua zona pantai di
Indonesia telah dipasang alat deteksi dini tsunami atau early warning system tsunami sehingga apabila alat tersebut
terpasang dan berfungsi dengan baik, maka dapat dipastikan peristiwa tsunami
tersebut akan terdeteksi lebih awal dan tidak akan banyak memakan korban jiwa.
Selain itu, masyarakat Indonesia
juga tidak diajarkan tentang bagaimana melihat fenomena alam yang terjadi
apabila peristiwa tsunami akan terjadi dan bagaimana cara untuk melakukan
penyelamatan dini apabila terjadi gempa dan tsunami.
Belajar dari Jepang
Salah
satu negara yang sangat sering ditempa musibah gempa dan juga tsunami adalah
Jepang. Jepang dan Indonesia sama-sama berada di dalam wilayah yang terkenal
dengan sebutan "Ring of Fire"
atau "Cincin Api" yaitu wilayah di sekitar bibir Pasifik yang paling
sering diguncang gempa dan letusan gunung berapi. Salah satu cerita yang
fenomenal terkait dengan tsunami di Jepang adalah cerita tentang “the miracle kamaishi”.
Menurut informasi dari berbagai
sumber, cerita tersebut berawal ketika setelah terjadinya gempa berkekuatan 9
skala Richter yang mengguncang Jepang, para siswa di Kamaishi East Junior High School keluar dari
gedung sekolah dan berlari menuju tempat yang lebih tinggi. Respons cepat dari
para guru dan siswa tersebut kemudian diikuti oleh penduduk setempat dan pada saat
berlari ke tempat aman, para siswa yang lebih tua membantu siswa yang lebih
muda hingga mencapai lokasi aman. Respons cepat tersebut merupakan hasil dari
pendidikan pencegahan bencana yang dilakukan sekolah-sekolah di Kamaishi selama
beberapa tahun di bawah bimbingan seorang profesor teknik sipil di Gunma
University, Toshitaka Katada.
Hal lain
yang juga luar biasa dari Jepang yang harus kita ambil contoh selain
pengembangan teknologi early warning
system yang selalu update adalah pengembangan system disaster management. Sistem ini secara umum berupa penerapan
prinsip preventif dan recovery. Prinsip
preventif yang diterapkan adalah dengan melakukan konsep edukasi terhadap
masyarakat khususnya anak sekolah yaitu berupa pelatihan bagaimana menghadapai bencana
di sekolah (Latihan Menghadapi Bencana Alam atau dikenal Jishin Hina Kunren) sehingga pada saat terjadi bencana, semua
anak-anak tetap tenang, tidak panik dan secara sigap siap menghadapinya seperti
yang dilakukan oleh siswa di Kamaishi. Selain
itu, system disaster management juga
dilakukan dengan cara menyiapkan shelter
ataupun tempat transit pasca bencana yang biasanya berupa lapangan yang
terletak di setiap blok perumahan atau sekolah yang dilengkapi dengan fasilitas
air bersih.
UU Penanggulangan Bencana dan Pelatihan System Disaster Management
Upaya
lain yang juga harus segera dilakukan oleh Pemerintah
adalah dengan mengajarkan kepada masyarakat untuk siap menghadapi bencana
seperti halnya di Jepang. System disaster
management juga harus segera
diterapkan di Indonesia agar masyarakat siap dalam menghadapi bencana alam yang
akan datang setiap saat. Anak-anak sekolah harus juga diajarkan dan diberikan
pelatihan bagaimana cara untuk menyelamatkan diri apabila terjadi bencana alam
seperti gempa dan tsunami dan bagaimana agar bisa survive setelah terjadi bencana alam. Pembuatan shelter di tiap sekolah dan juga di area
tertentu yang dekat dengan zona padat penduduk juga harus segera direalisasikan
agar masyarakat bisa mengetahui dan memahami apa yang harus dilakukan pasca
terjadi bencana alam. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
memang belum cukup menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh masyarakat
dalam hal siaga bencana ataupun proses recovery
pasca bencana.
Adanya
gambaran apa yang terjadi di Kota Palu dan Donggala tentunya menjadi bahan
pelajaran untuk kita dan Pemerintah
bahwa memang kita tidak siap menghadapi bencana alam. Kepanikan yang terjadi
dan ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi bencana sangat terlihat sehingga
pada akhirnya korban jiwa dan tekanan psikologis yang dialami masyarakat sulit
disembuhkan. Tentunya ini menjadi pekerjaan utama yang harus segera dilakukan
oleh Pemerintah yaitu dengan segera memperbaiki alat deteksi dini gempa dan
tsunami agar early warning system
dapat aktif kembali dan berjalan dengan baik serta dengan segera membuat dan
mengajarkan system disaster management
kepada seluruh masyarakat Indonesia mulai dari anak-anak hingga para orang tua
agar kita selalu siap menghadapi bencana alam yang akan selalu mengintai kita
setiap saat. Semoga hal tersebut dapat segera diwujudkan oleh Pemerintah Pusat beserta Pemerintah Daerah agar masyarakat Indonesia siap
menghadapi bencana alam.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar