Petugas meteran
listrik yang bernama Didik Suprijadi pada tanggal 4 April 2011 mengajukan
permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun pasal
yang diuji oleh Didik adalah pasal-pasal yang terkait dengan hak-hak pekerja
outsorcing yaitu Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU ketenagakerjaan;
Dalam posita
permohonannya, Didik yang juga tergabung dalam Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik
Indonesia (AP2ML) Provinsi Jawa Timur, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang
bergerak dan didirikan atas dasar kepedulian untuk memberikan perlindungan dan
penegakan keadilan, hukum, dan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya bagi
buruh/pekerja. Dalam hal ini diwakili oleh Ketua Umum AP2ML, sehingga Pemohon
dikualifikasikan sebagai badan hukum swasta sesuai dengan akte pendirian yang
diajukan Pemohon dan kawan-kawan di hadapan Kantor Notaris Bactiar Hasan, SH., Provinsi Jawa Timur Nomor 3 beserta
lampirannya;
Menurut
Pemohon, penerapan Pasal 59 UU 13/2003 mengenai Perjanjian Kerja untuk Waktu
Tertentu (PKWT) dan Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU 13/2003 mengenai
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
(pemborongan/outsourcing) menyebabkan para pekerja kontrak/outsourcing:
1. kehilangan
jaminan atas kelangsungan kerja bagi buruh/pekerja (kontinuitas pekerjaan);
2. kehilangan
hak-hak dan jaminan kerja yang dinikmati oleh para pekerja tetap;
3. kehilangan
hak-hak yang seharusnya diterima pekerja sesuai dengan masa kerja pegawai
karena ketidakjelasan penghitungan masa kerja.
Dalam
pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut:
Berdasarkan
dalil-dalil permohonan tersebut, menurut Mahkamah, Pemohon adalah badan hukum
privat yang dirugikan hak konstitusionalnya oleh adanya pasal-pasal
Undang-Undang yang dimohonkan a quo, yaitu Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan
Pasal 66 UU 13/2003 yaitu hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana tercantum dalam
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, dan hak atas kesejahteraan dan kemakmuran dalam
Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
Dengan
demikian terdapat hubungan kausalitas antara kerugian konstitusional Pemohon
dengan norma yang diuji, sehingga Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan pemohonan a quo.
Bahwa Pemohon
mendalilkan, norma yang mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam
Pasal 59 UU 13/2003 tidak memberikan jaminan kelanjutan kerja bagi
pekerja/buruh, serta tidak memberikan jaminan atas hak-hak pekerja/buruh yang
lainnya. Menurut Mahkamah, PKWT sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU 13/2003
adalah jenis perjanjian kerja yang dirancang untuk pekerjaan yang dimaksudkan
hanya untuk waktu tertentu saja dan tidak berlangsung untuk selamanya, sehingga
hubungan kerja antara buruh dan majikan akan berakhir begitu jangka waktu
berakhir atau ketika pekerjaan telah selesai dikerjakan. Oleh karena itulah
Pasal 59 UU 13/2003 menegaskan bahwa PKWT hanya dapat diterapkan untuk 4 jenis
pekerjaan, yaitu: (i) pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara
sifatnya, (ii) pekerjaan yang diperkirakan dapat diselesaikan dalam waktu yang
tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun, (iii) pekerjaan yang
bersifat musiman, (iv) pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan
baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan, dan
bersifat tidak tetap;
Dalam praktik, ada beberapa jenis
pekerjaan yang termasuk kriteria disebut di atas dengan alasan efisiensi bagi
suatu perusahaan dan keahlian suatu pekerjaan tertentu lebih baik diserahkan
untuk dikerjakan oleh perusahaan/pihak lain, antara lain pekerjaan bangunan,
buruh karet, penebang tebu (musiman), konsultan, ataupun kontraktor. Terhadap
jenis pekerjaan yang demikian, bagi pekerja/buruh menghadapi resiko berakhir
masa kerjanya, ketika pekerjaan tersebut telah selesai, dan harus mencari
pekerjaan baru. Pada sisi lain, bagi pengusaha pemilik pekerjaan akan lebih
efisien dan tidak membebani keuangan perusahaan apabila jenis pekerjaan
demikian tidak dikerjakan sendiri dan diserahkan kepada pihak lain yang
memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tersebut, sehingga perusahaan hanya
fokus pada jenis pekerjaan utamanya (core business). Bagi pengusaha atau perusahaan
yang mendapatkan pekerjaan yang memenuhi kriteria tersebut dari perusahaan
lain, juga menghadapi persoalan yang sama dalam hubungannya dengan
pekerja/buruh yang dipekerjakannya dalam jenis pekerjaan yang sifatnya sementara
dan dalam waktu tertentu. Sehubungan dengan jenis pekerjaan yang demikian,
wajar bagi pengusaha untuk membuat PKWT dengan pekerja/buruh, karena tidak
mungkin bagi pengusaha untuk terus memperkerjakan pekerja/buruh tersebut dengan
tetap membayar gajinya padahal pekerjaan sudah selesai dilaksanakan. Dalam
kondisi yang demikian pekerja/buruh tentu sudah harus memahami jenis pekerjaan
yang akan dikerjakannya dan menandatangani PKWT yang mengikat para pihak.
Perjanjian yang demikian tunduk pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, yang
mewajibkan para pihak yang menyetujui dan menandatangani perjanjian untuk
menaati isi perjanjian dalam hal ini PKWT. Untuk melindungi kepentingan
pekerja/buruh yang dalam keadaan lemah karena banyaknya pencari kerja di Indonesia,
peran Pemerintah menjadi sangat penting untuk mengawasi terjadinya
penyalahgunaan ketentuan Pasal 59 Undang-Undang a quo, misalnya melakukan PKWT
dengan pekerja/buruh padahal jenis dan sifat pekerjaannya tidak memenuhi syarat
yang ditentukan Undang-Undang. Lagi pula, jika terjadi pelanggaran terhadap
Pasal 59 Undang-Undang a quo hal itu merupakan persoalan implementasi dan bukan
persoalan konstitusionalitas norma yang dapat diajukan gugatan secara perdata
ke peradilan lain. Dengan demikian menurut Mahkamah Pasal 59 UU 13/2003 tidak
bertentangan dengan UUD 1945;
Bahwa
berdasarkan ketentuan Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU 13/2003, suatu
perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau melalui penyediaan jasa
pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis dengan syarat-syarat tertentu. Dalam
praktik, jenis pekerjaan demikian disebut “pekerjaan outsourcing”, dan
perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing disebut “perusahaan
outsourcing” dan pekerja/buruh yang melaksanakan pekerjaan demikian disebut
“pekerja outsourcing”. Berdasarkan UU 13/2003 a quo ada dua jenis pekerjaan
outsourcing yaitu outsourcing sebagian pelaksanaan pekerjaan melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan dan outsourcing penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana
permasalahan di atas. Pasal 65 Undang-Undang a quo, mengatur syarat-syarat
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan outsourcing dan
Pasal 66 Undang- Undang a quo mengatur outsourcing penyediaan jasa
pekerja/buruh. Pekerjaan yang diserahkan dengan cara outsourcing menurut Pasal
65 Undang-Undang a quo harus memenuhi syarat: (i) dilakukan secara terpisah
dari kegiatan utama; (ii) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak
langsung dari pemberi pekerjaan; (iii) merupakan kegiatan penunjang perusahaan
secara keseluruhan; dan (iv) tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Suatu perusahaan hanya dapat menyerahkan pekerjaan yang demikian kepada perusahaan
lain yang berbentuk badan hukum dan harus dilakukan secara tertulis. Untuk melindungi
hak dan kepentingan pekerja/buruh, Pasal 65 ayat (4) Undang- Undang a quo
menegaskan bahwa perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
perusahaan outsourcing sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan
syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun hubungan kerja dalam
pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara
perusahaan outsourcing dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya, baik berdasarkan
PKWT apabila memenuhi persyaratan Pasal 59 Undang-Undang a quo maupun
berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Jika syarat-syarat penyerahan
sebagian pekerjaan tersebut tidak terpenuhi maka status hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan, demi hukum beralih
menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan;
Adapun penyerahan pekerjaan melalui
penyediaan jasa pekerja/buruh (pekerja outsourcing) harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
(i) Pekerja/buruh dari perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) tidak boleh digunakan oleh
pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan
langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
(ii) Penyedia jasa pekerja/buruh
untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku
dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja
untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 UU 13/2003 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara
tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan
kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi
tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan
pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat
pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
(iii) Penyedia jasa pekerja/buruh
merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(iv) Dalam hal ketentuan
sebagaimana dimaksud point angka i dan angka ii huruf a, huruf b dan huruf d
serta angka (iii) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
Bahwa
berdasarkan norma yang terkandung dalam Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang a
quo, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut adakah ketentuan-ketentuan
tersebut mengakibatkan terancamnya hak setiap orang dan hak-hak pekerja yang
dijamin oleh konstitusi dalam hal ini hak-hak pekerja outsourcing dilanggar
sehingga bertentangan dengan UUD 1945, yaitu hak yang diberikan oleh UUD 1945
kepada setiap orang untuk bekerja dan mendapatkan imbalan serta perlakuan yang
layak dalam hubungan kerja [vide Pasal 28D ayat (2) UUD 1945] dan hak setiap
warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan [vide
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945];
Bahwa
pasal-pasal tentang outsourcing pernah dimohonkan pengujian di Mahkamah
Konstitusi dan telah diputus dengan Putusan Nomor 12/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober
2004. Dalam putusan tersebut, Mahkamah memberi pertimbangan sebagai berikut,
“Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, maka dalam hal buruh dimaksud
ternyata dipekerjakan untuk melaksanakan kegiatan pokok, tidak ada hubungan
kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bukan merupakan bentuk
usaha berbadan hukum, maka demi hukum status hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa beralih menjadi hubungan kerja
antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Oleh karena itu,
dengan memperhatikan keseimbangan yang perlu dalam perlindungan terhadap pengusaha,
buruh/pekerja dan masyarakat secara selaras, dalil para Pemohon tidak cukup
beralasan. Hubungan kerja antara buruh dengan perusahaan penyedia jasa yang melaksanakan
pekerjaan pada perusahaan lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 64 sampai dengan
Pasal 66 Undang-Undang a quo, mendapat perlindungan kerja dan syarat-syarat
yang sama perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi
pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh
karenanya, terlepas dari jangka waktu tertentu yang mungkin menjadi syarat
perjanjian kerja demikian dalam kesempatan yang tersedia maka perlindungan
hak-hak buruh sesuai dengan aturan hukum dalam UU Ketenagakerjaan, tidak
terbukti bahwa hal itu menyebabkan sistem outsourcing merupakan modern slavery
dalam proses produksi”;
Bahwa posisi
pekerja/buruh outsourcing dalam hubungannya dengan perusahaan outsourcing, baik
perusahaan outsourcing yang melaksanakan sebagian pekerjaan dengan perjanjian
pemborongan pekerjaan maupun perusahaan outsourcing yang menyediakan jasa
pekerja/buruh, menghadapi ketidakpastian kelanjutan kerja apabila hubungan
kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan dilakukan berdasarkan PKWT.
Apabila hubungan pemberian kerja antara perusahaan yang memberi kerja dengan perusahaan
outsourcing atau perusahaan yang menyediakan jasa pekerja/buruh outsourcing
habis karena masa kontraknya selesai, maka habis pula masa kerja pekerja/buruh
outsourcing. Akibatnya, pekerja/buruh harus menghadapi resiko tidak mendapatkan
pekerjaan selanjutnya karena pekerjaan borongan atau perusahaan penyediaan jasa
pekerja/buruh tidak lagi mendapat kontrak perpanjangan dari perusahaan pemberi
kerja. Selain adanya ketidakpastian mengenai kelanjutan pekerjaan,
pekerja/buruh akan mengalami ketidakpastian masa kerja yang telah dilaksanakan
karena tidak diperhitungkan secara jelas akibat sering bergantinya perusahaan
penyedia jasa outsourcing, sehingga berdampak pada hilangnya kesempatan pekerja
outsourcing untuk memperoleh pendapatan dan tunjangan yang sesuai dengan masa
kerja dan pengabdiannya. Walaupun, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam
Putusan Nomor 12/PUU-I/2003, tanggal 28 Oktober 2004, terdapat perlindungan
atas hak dan kepentingan pekerja/buruh dalam Undang-Undang a quo [vide Pasal 65
ayat (4) UU 13/2004], yang menyatakan bahwa “Perlindungan kerja dan
syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan
syaratsyarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”, akan tetapi sebagaimana didalilkan oleh
Pemohon maupun kenyataannya tidak ada jaminan bahwa perlindungan kerja dan
syarat-syarat kerja tersebut dilaksanakan. Dengan demikian, ketidakpastian
nasib pekerja/buruh sehubungan dengan pekerjaan outsourcing tersebut, terjadi
karena Undang-Undang a quo tidak memberi jaminan kepastian bagi pekerja/buruh
outsourcing untuk bekerja dan mendapatkan imbalan serta perlakuan yang layak dalam hubungan
kerja dan tidak adanya jaminan bagi pekerja untuk mendapat hak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, sehingga esensi utama dari hukum
perburuhan to protect the workers/laborers terabaikan;
Bahwa menurut
Mahkamah, penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis atau melalui
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) adalah
kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha.
Penyerahan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja yang demikian harus memenuhi
syarat-syarat sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 65 dan Pasal 66 UU
13/2003. Namun demikian, Mahkamah perlu meneliti aspek konstitusionalitas
hak-hak pekerja yang dilindungi oleh konstitusi dalam hubungan kerja antara
perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh. Memperhatikan syarat-syarat dan
prinsip outsourcing baik melalui perjanjian pemborongan pekerjaan maupun
melalui perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh, dapat berakibat hilangnya
jaminan kepastian hukum yang adil bagi pekerja dan hilangnya hak setiap orang
untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja. Hal itu terjadi, karena dengan berakhirnya pekerjaan
pemborongan atau berakhirnya masa kontrak penyediaan pekerja/buruh maka dapat
berakhir pula hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan
pekerja/buruh, sehingga pekerja/buruh kehilangan pekerjaan serta hak-hak
lainnya yang seharusnya diperoleh. Menurut Mahkamah, pekerja/buruh yang
melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsorcing tidak boleh kehilangan
hak-haknya yang dilindungi oleh konstitusi. Untuk itu, Mahkamah harus
memastikan bahwa hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan
outsourcing yang melaksanakan pekerjaan outsourcing dilaksanakan dengan tetap
menjamin perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh, dan penggunaan model
outsourcing tidak disalahgunakan oleh perusahaan hanya untuk kepentingan dan
keuntungan perusahaan tanpa memperhatikan, bahkan mengorbankan, hak-hak
pekerja/buruh. Jaminan dan perlindungan demikian tidak dapat dilaksanakan
dengan baik hanya melalui perjanjian kerja yang mengikat antara perusahaan
dengan pekerja/buruh berdasarkan PKWT, karena posisi pekerja/buruh berada dalam
posisi tawar yang lemah, akibat banyaknya pencari kerja atau oversupply tenaga
kerja;
Berdasarkan
pertimbangan tersebut, untuk menghindari perusahaan melakukan eksploitasi
pekerja/buruh hanya untuk kepentingan keuntungan bisnis tanpa memperhatikan
jaminan dan perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh untuk mendapatkan pekerjaan
dan upah yang layak, dan untuk meminimalisasi hilangnya hak-hak konstitusional
para pekerja outsourcing, Mahkamah perlu menentukan perlindungan dan jaminan
hak bagi pekerja/buruh. Dalam hal ini ada dua model yang dapat dilaksanakan
untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh. Pertama, dengan mensyaratkan agar
perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melakanakan
pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian
kerja waktu tidak tertentu”. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan
perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of
Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan
outsourcing.
Melalui model
yang pertama tersebut, hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan
yang melaksanakan pekerjaan outsourcing adalah konstitusional sepanjang
dilakukan berdasarkan “perjanjian kerja waktu tidak tertentu” secara tertulis.
Model yang kedua diterapkan, dalam hal hubungan kerja antara pekerja/buruh
dengan perusahaan yang melakukan pekerjaan outsourcing berdasarkan PKWT maka
pekerja harus tetap mendapat perlindungan atas hakhaknya sebagai pekerja/buruh
dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer
of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan
yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Dalam praktik, prinsip tersebut telah
diterapkan dalam hukum ketenagakerjaan, yaitu dalam hal suatu perusahaan
diambil alih oleh perusahaan lain. Untuk melindungi hak-hak para pekerja yang
perusahaannya diambil alih oleh perusahaan lain, hak-hak dari pekerja/buruh
dari perusahaan yang diambil alih tetap dilindungi. Pengalihan perlindungan
pekerja/buruh diterapkan untuk melindungi para pekerja/buruh outsourcing dari
kesewenangwenangan pihak pemberi kerja/pengusaha. Dengan menerapkan prinsip pengalihan
perlindungan, ketika perusahaan pemberi kerja tidak lagi memberikan pekerjaan
borongan atau penyediaan jasa pekerja/buruh kepada suatu perusahaan outsourcing
yang lama dan memberikan pekerjaan tersebut kepada perusahaan outsourcing yang
baru, maka selama pekerjaan yang diperintahkan untuk dikerjakan masih ada dan
berlanjut, perusahaan penyedia jasa baru tersebut harus melanjutkan kontrak
kerja yang telah ada sebelumnya, tanpa mengubah ketentuan yang ada dalam
kontrak, tanpa persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan, kecuali perubahan
untuk meningkatkan keuntungan bagi pekerja/buruh karena bertambahnya pengalaman
dan masa kerjanya. Aturan tersebut tidak saja memberikan kepastian akan
kontinuitas pekerjaan para pekerja outsourcing, tetapi juga memberikan
perlindungan terhadap aspek-aspek kesejahteraan lainnya, karena dalam aturan
tersebut para pekerja outsourcing tidak diperlakukan sebagai pekerja baru. Masa
kerja yang telah dilalui para pekerja outsourcing tersebut tetap dianggap ada
dan diperhitungkan, sehingga pekerja outsourcing dapat menikmati hak-hak
sebagai pekerja secara layak dan proporsional. Apabila pekerja outsourcing
tersebut diberhentikan dengan alasan pergantian perusahaan pemberi jasa
pekerja, maka para pekerja diberi kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan
berdasarkan hal itu kepada pengadilan hubungan industrial sebagai sengketa hak.
Melalui prinsip pengalihan perlindungan tersebut, kehilangan atau terabaikannya
hak-hak konstitusional pekerja outsourcing dapat dihindari.
Untuk
menghindari perbedaan hak antara pekerja pada perusahaan pemberi kerja dengan
pekerja outsourcing yang melakukan pekerjaan yang sama persis dengan pekerja
pada perusahaan pemberi kerja, maka perusahaan pemberi kerja tersebut harus
mengatur agar pekerja outsourcing tersebut menerima fair benefits and welfare
tanpa didiskriminasikan dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 64 ayat (4) juncto Pasal 66 ayat (2) huruf c
UU 13/2003;
Bahwa
berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah Pasal 59, Pasal 64,
Pasal 65 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) ayat (6), ayat (8),
ayat (9) serta Pasal 66 ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf c, dan huruf d, ayat
(3), serta ayat (4) UU 13/2003 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Adapun Pasal
65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b UU 13/2003 bertentangan secara
bersyarat dengan UUD 1945 (conditionally unconstitutional). Dengan demikian
permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian;
Berikut bunyi lengkap amar
putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 27/PUU-IX/2011 :
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
• Mengabulkan permohonan Pemohon
untuk sebagian;
• Frasa “…perjanjian kerja waktu
tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu
tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian
kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi
pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian
perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain
atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
• Frasa “…perjanjian kerja waktu
tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu
tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak
disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang
objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang
melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;
• Menolak permohonan Pemohon
untuk selain dan selebihnya;
• Memerintahkan untuk memuat
putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
=============
Link Putusan >>>> http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_27%20PUU%202011-TELAH%20BACA.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar