Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Minggu, 05 April 2015

Konstitusionalitas varietas bibit unggul yang di buat oleh petani kecil


Indonesia sebagai salah satu negara agraris terbesar di dunia tentunya akan berupaya untuk terus memajukan pertanian. Petani yang menjadi kunci bagi peningkatan usaha pertanian khususnya untuk mendukung terciptanya swasembada pangan tentunya harus di back up secara maksimal oleh negara. Dukungan tersebut bukan hanya dilakukan sebatas memberikan ilmu pengetahuan dan teknologi baru tetapi lebih dari itu bagaimana agar para petani kecil bisa tetap eksis berupaya untuk menjaga dan membudidayakan varietas unggul yang menjadi ciri khas pertanian Indonesia.  

                  Isu adanya kriminalisasi yang dilakukan oleh negara terhadap para petani kecil yang mempertahankan varietas bibit unggul yang khas Indonesia menjadi isu utama dalam proses pengujian UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang tentang Sistem Budidaya Tanaman di Mahkamah Konstitusi.
                  Para Pemohon yang diwakili oleh para petani kecil dan juga berbagai LSM yang care dengan petani mendalilkan bahwa UU tersebut telah menyebabkan terlanggarnya hak konstitusional para petani kecil, karena berlakunya Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 9 ayat (3), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 60 ayat (1) huruf a, huruf b, Pasal 60 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Sistem Budidaya Tanaman;
Dengan berlakunya Undang-Undang tersebut para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya untuk mengembangkan dan memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya, untuk mendapatkan perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta untuk mendapatkan rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi dan untuk memperoleh perlindungan dan kepastian hukum, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Secara konkrit kerugian tersebut terjadi karena adanya ketentuan dalam UU 12/1992 telah dipergunakan untuk mengkriminalisasi dan mendiskriminasi petani pemulia tanaman di beberapa wilayah di Indonesia. Padahal, pemuliaan tanaman yang dilakukan oleh petani sudah dilakukan secara turun temurun dan tidak menimbulkan problem ekologi maupun hukum. Adanya problem hukum justru terjadi sejak lahirnya Undang-Undang a quo.
            Selain itu, menurut para Pemohon proses pemuliaan tanaman yang dilakukan oleh petani justru bertujuan untuk mempertahankan kemurnian jenis dan juga menghasilkan jenis varietas baru yang lebih baik. Adanya Undang-Undang a quo telah menyebabkan ribuan varietas padi lokal telah lenyap dari ladang petani karena adanya pemaksaan kepada petani untuk menanam padi varietas unggul nasional dan hibrida. Hal lain yang juga akan terjadi adalah hilangnya ratusan varietas jagung lokal yang digantikan dengan jagung produksi perusahaan. Terlebih lagi, dengan maraknya penggunaan benih-benih perusahaan yang dilegitimasi oleh Undang-Undang a quo telah menyebabkan semakin tingginya kerusakan lingkungan pertanian dan terjadinya degradasi lingkungan pertanian serta meningkatnya tekanan biotik maupun abiotik;
Untuk menjawab permasalahan tersebut, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa sebagai negara yang pemerintahnya harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum [vide alinea keempat Pembukaan UUD 1945], Pemerintah harus merencanakan pembangunan di bidang pertanian pada umumnya dan pengembangan budidaya tanaman pada khususnya. Tugas Pemerintah menyusun rencana pengembangan budidaya tanaman sesuai dengan tahapan rencana pembangunan nasional, menetapkan wilayah pengembangan budidaya tanaman dan mengatur produksi budidaya tanaman tertentu berdasarkan kepentingan nasional, serta menciptakan kondisi yang menunjang peran serta masyarakat adalah tugas Pemerintah sesuai dengan amanat konstitusi. Dengan demikian menurut Mahkamah, Pasal 5 ayat (1) yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;
Menurut Mahkamah Pasal 6 UU 12/1992 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon yang menyatakan:
(1)   Petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya.
(2)   Dalam menerapkan kebebasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), petani berkewajiban berperanserta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanaman, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(3)   Apabila pilihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak dapat terwujud karena ketentuan Pemerintah, maka Pemerintah berkewajiban untuk mengupayakan agar petani yang bersangkutan memperoleh jaminan penghasilan tertentu.
(4)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Terhadap pengujian konstitusionalitas Pasal a quo, menurut Mahkamah, kebebasan yang dimiliki oleh petani untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya bukanlah kebebasan mutlak. Artinya sebagai warga negara, petani juga dibebani kewajiban untuk berperan serta dalam mewujudkan rencana pengembangan budidaya tanaman. Bahkan hak asasi manusia pun dapat dibatasi dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945];
Sebagai salah satu wujud tanggung jawab Pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat pada umumnya dan kesejahteraan petani pada khususnya, ayat (3) Pasal   a quo menentukan bahwa apabila pilihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal a quo tidak dapat terwujud karena ketentuan Pemerintah maka Pemerintah berkewajiban untuk mengupayakan agar petani yang bersangkutan memperoleh jaminan penghasilan tertentu. Berdasarkan ayat (4) Pasal a quo, hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Berdasarkan pertimbangan di atas menurut Mahkamah Pasal 6 Undang-Undang a quo tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian permohonan para Pemohon tentang pengujian konstiusionalitas Pasal 6 Undang-Undang a quo tidak beralasan menurut hukum;
                  Bahwa terkait Pasal 9 ayat (3) UU 12/1992 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas oleh para Pemohon sepanjang kata “perorangan” menyatakan, “Kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum berdasarkan izin”. Mahkamah berpendapat bahwa dalam kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah yang dilakukan oleh badan hukum harus berdasarkan izin, oleh karena bisa menimbulkan dampak serius bagi petani yang mengakibatkan kerugian bagi mereka. Misalnya mengumpulkan plasma nutfah yang ternyata setelah diedarkan, tanpa izin dan tanpa dilepas oleh Pemerintah, hasilnya tidak baik atau kurang dari yang seharusnya atau malahan sama sekali tanpa hasil. Akan tetapi bagi perorangan petani kecil yang sehari-hari bergerak untuk mempertahankan hidup dan kehidupan mereka di sektor pertanian adalah tidak mungkin, kalau tidak dapat dikatakan mustahil akan berbuat sesuatu yang merugikan diri mereka sendiri. Lebih dari itu, sebagai petani kecil warga negara Indonesia, Pemerintah yang berkewajiban, antara lain, untuk memajukan kesejahteraan umum, harus membimbing dengan melakukan pendampingan kepada mereka, bukan malahan mempersulit mereka dengan keharusan mendapat izin. Selain itu, petani kecil sebetulnya telah melaksanakan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah dalam kegiatan pertaniannya semenjak lama, bahkan dapat dikatakan juga menjadi pelestari karena dengan pola pemilihan tanaman sebetulnya petani telah memilih varietas tertentu yang dianggap menguntungkan.
Potensi petani kecil tersebut sangatlah besar, sehingga Pemerintah wajib melindungi. Apabila ada usaha-usaha petani yang tujuannya untuk mendapatkan varietas atau benih yang baik, Pemerintah wajib untuk memberikan bimbingan sejak dini supaya upaya tersebut dapat berhasil dengan baik dan tidak hanya terlibat dalam proses akhir yaitu pemberian sertifikasi saja. Petani menanggung sepenuhnya atas usaha-usaha yang dilakukan dan resiko atas gagalnya usaha tersebut. Dengan demikian, Pemerintah harus aktif untuk membantu petani yang berusaha untuk menemukan varietas yang baik tidak terbatas pada perencanaan yang dilepas saja.
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang a quo bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai bahwa izin dimaksud tidak berlaku bagi perorangan petani kecil yang melakukan kegiatan berupa pencarian dan pengumpulan plasma nutfah untuk dirinya maupun komunitasnya sendiri;
            Selain itu,  terkait Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) UU 12/1992 yang dimohonkan pengujian konstitusionalnya oleh para Pemohon menyatakan:
(1) Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah;
(2) Varietas hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilarang diedarkan.
Menurut Mahkamah, mengenai hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri yang menurut ketentuan Pasal a quo sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah dilarang diedarkan. Ketentuan tersebut merupakan salah satu bentuk kewaspadaan Pemerintah untuk mencegah tindakan sabotase di sektor pertanian, khususnya varietas hasil pemuliaan dan introduksi dari luar negeri. Akan tetapi khusus varietas hasil pemuliaan dalam negeri yang dilakukan oleh perorangan petani kecil, yang mata pencaharian mereka dari hasil pertanian, bahkan secara turun temurun berkecimpung dalam dunia pertanian adalah tidak mungkin atau bahkan mustahil akan melakukan sabotase pertanian, sebab hal itu berarti melakukan sabotase terhadap kehidupan sendiri. Perorangan petani kecil pada umumnya justru mewarisi atau memiliki kearifan lokal di sektor pertanian yang dapat ditumbuhkembangkan untuk ikut memajukan sektor pertanian. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU 12/1992 yang mengharuskan pelepasan oleh Pemerintah, dan melarang pengedaran hasil pemuliaan dan introduksi dari luar negeri pada ayat (2) yang tidak lebih dahulu dilepas oleh Pemerintah, bertentangan dengan konstitusi, sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku bagi hasil pemuliaan tanaman yang dilakukan oleh perorangan petani kecil dalam negeri untuk komunitas sendiri;
Sedangkan terkait dengan Pasal 60 ayat (1) huruf a dan huruf b, ayat (2) huruf a dan huruf b UU 12/1992 yang menentukan:
(1)    Barangsiapa dengan sengaja:
a.  mencari dan mengumpulkan plasma nutfah tidak berdasarkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3);
b.  mengedarkan hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);  
(2)    Barang siapa karena kelalaiannya: 
a.  mencari dan mengumpulkan plasma nutfah tidak berdasarkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3);
b.  mengedarkan hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);
Menurut Mahkamah, baik Pasal 60 ayat (1) huruf a dan huruf b, keduanya merujuk pada Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 12 ayat (2). Demikian pula Pasal 60 ayat (2) huruf a dan huruf b juga merujuk pada Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 12 ayat (2), yang kedua ketentuan tersebut sebagaimana dipertimbangkan di atas dinyatakan bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan keharusan ada izin tidak berlaku bagi perorangan petani kecil yang melakukan kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah untuk komunitasnya sendiri. Adapun terhadap ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang a quo, Mahkamah telah mempertimbangkan bahwa khusus terhadap varietas hasil pemuliaan yang dilakukan oleh perorangan petani kecil dalam negeri untuk komunitas sendiri, tidak diharuskan adanya pelepasan oleh Pemerintah dan pengedaran untuk komunitasnya sendiri dapat dilakukan tanpa adanya pelepasan oleh Pemerintah. Dengan demikian, karena telah berubahnya makna Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang a quo sebagaimana dipertimbangkan di atas, maka ketentuan pidana dalam pasal a quo yang merujuk Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 12 ayat (2) menjadi berubah maknanya sesuai pertimbangan di atas;
Adapun bunyi amar putusan Mahkamah dalam perkara Nomor 99/PUU-X/2012 adalah sebagai berikut:
 AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.    Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1.        Frasa “perorangan”  dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk perorangan petani kecil”;
1.2.        Frasa “perorangan”  dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk perorangan petani kecil”;
1.3.        Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478), menjadi menyatakan, “Kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum berdasarkan izin kecuali untuk perorangan petani kecil”;
1.4.        Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk perorangan petani kecil dalam negeri”;
1.5.        Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk perorangan petani kecil dalam negeri”;
1.6.        Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478) menjadi menyatakan, “Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah kecuali hasil pemuliaan oleh perorangan petani kecil dalam negeri”;
2.    Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
3.    Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.


Tidak ada komentar: