Indonesia sebagai salah satu
negara agraris terbesar di dunia tentunya akan berupaya untuk terus memajukan
pertanian. Petani yang menjadi kunci bagi peningkatan usaha pertanian khususnya
untuk mendukung terciptanya swasembada pangan tentunya harus di back up secara
maksimal oleh negara. Dukungan tersebut bukan hanya dilakukan sebatas
memberikan ilmu pengetahuan dan teknologi baru tetapi lebih dari itu bagaimana
agar para petani kecil bisa tetap eksis berupaya untuk menjaga dan membudidayakan
varietas unggul yang menjadi ciri khas pertanian Indonesia.
Isu
adanya kriminalisasi yang
dilakukan oleh negara terhadap para petani kecil yang mempertahankan
varietas bibit unggul yang khas Indonesia menjadi isu utama dalam proses
pengujian UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang tentang Sistem Budidaya Tanaman
di
Mahkamah Konstitusi.
Para Pemohon yang diwakili
oleh para petani kecil dan juga berbagai LSM yang care dengan petani mendalilkan bahwa UU tersebut telah menyebabkan terlanggarnya
hak konstitusional para petani kecil, karena berlakunya Pasal 5 ayat (1), Pasal
6, Pasal 9 ayat (3), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 60 ayat (1)
huruf a, huruf b, Pasal 60 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Sistem Budidaya
Tanaman;
Dengan berlakunya Undang-Undang tersebut para Pemohon
merasa dirugikan hak konstitusionalnya untuk mengembangkan dan memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya, untuk mendapatkan perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang di bawah kekuasaannya,
serta untuk mendapatkan rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi dan untuk
memperoleh perlindungan dan
kepastian hukum, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
Secara konkrit kerugian tersebut terjadi karena
adanya ketentuan dalam UU 12/1992 telah dipergunakan
untuk mengkriminalisasi dan mendiskriminasi petani pemulia tanaman di beberapa wilayah di Indonesia. Padahal, pemuliaan tanaman yang dilakukan oleh petani sudah dilakukan secara turun temurun
dan tidak menimbulkan problem ekologi maupun hukum. Adanya problem hukum justru terjadi
sejak
lahirnya Undang-Undang a quo.
Selain
itu, menurut para Pemohon proses
pemuliaan tanaman yang dilakukan
oleh petani justru bertujuan untuk mempertahankan kemurnian jenis dan juga menghasilkan
jenis varietas baru yang lebih baik. Adanya Undang-Undang a quo telah menyebabkan ribuan varietas padi lokal telah lenyap dari ladang petani karena adanya
pemaksaan kepada petani untuk menanam padi varietas “unggul” nasional dan hibrida. Hal lain yang
juga akan terjadi adalah hilangnya ratusan varietas jagung lokal yang digantikan dengan jagung
produksi perusahaan. Terlebih lagi, dengan maraknya penggunaan benih-benih
perusahaan yang dilegitimasi oleh Undang-Undang a quo telah menyebabkan semakin tingginya kerusakan lingkungan pertanian dan
terjadinya degradasi lingkungan pertanian serta meningkatnya tekanan biotik
maupun abiotik;
Untuk menjawab permasalahan tersebut, Mahkamah dalam
pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa sebagai negara yang pemerintahnya harus
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum [vide
alinea keempat Pembukaan UUD 1945], Pemerintah harus merencanakan pembangunan
di bidang pertanian pada umumnya dan pengembangan budidaya tanaman pada
khususnya. Tugas Pemerintah menyusun rencana pengembangan budidaya tanaman
sesuai dengan tahapan rencana pembangunan
nasional, menetapkan wilayah pengembangan budidaya tanaman dan mengatur
produksi budidaya tanaman tertentu berdasarkan kepentingan nasional, serta menciptakan kondisi yang menunjang peran serta masyarakat
adalah tugas Pemerintah sesuai dengan amanat konstitusi. Dengan demikian
menurut Mahkamah, Pasal 5 ayat (1) yang dimohonkan pengujian
konstitusionalitasnya oleh para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;
Menurut Mahkamah Pasal 6 UU 12/1992 yang dimohonkan
pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon yang menyatakan:
(1) Petani memiliki kebebasan untuk menentukan
pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya.
(2) Dalam menerapkan kebebasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), petani berkewajiban berperanserta dalam mewujudkan
rencana pengembangan dan produksi budidaya tanaman, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5.
(3) Apabila pilihan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), tidak dapat terwujud karena ketentuan Pemerintah, maka Pemerintah
berkewajiban untuk mengupayakan agar petani yang bersangkutan memperoleh
jaminan penghasilan tertentu.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Terhadap
pengujian konstitusionalitas Pasal a quo,
menurut Mahkamah, kebebasan yang dimiliki oleh petani untuk menentukan pilihan
jenis tanaman dan pembudidayaannya bukanlah kebebasan mutlak. Artinya sebagai
warga negara, petani juga dibebani kewajiban untuk berperan serta dalam
mewujudkan rencana pengembangan budidaya tanaman. Bahkan hak asasi manusia pun
dapat dibatasi dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945];
Sebagai salah satu wujud tanggung jawab Pemerintah
terhadap kesejahteraan rakyat pada umumnya dan kesejahteraan petani pada
khususnya, ayat (3) Pasal a quo menentukan bahwa apabila pilihan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal a
quo tidak dapat terwujud karena ketentuan Pemerintah maka Pemerintah
berkewajiban untuk mengupayakan agar petani yang bersangkutan memperoleh
jaminan penghasilan tertentu. Berdasarkan ayat (4) Pasal a quo, hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah. Berdasarkan pertimbangan di atas menurut Mahkamah Pasal 6
Undang-Undang a quo tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian permohonan para Pemohon tentang
pengujian konstiusionalitas Pasal 6 Undang-Undang a quo tidak beralasan menurut hukum;
Bahwa
terkait Pasal 9 ayat (3) UU 12/1992 yang dimohonkan pengujian
konstitusionalitas oleh para Pemohon sepanjang kata “perorangan” menyatakan, “Kegiatan
pencarian dan pengumpulan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum berdasarkan izin”.
Mahkamah berpendapat bahwa dalam kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma
nutfah yang dilakukan oleh badan hukum harus berdasarkan izin, oleh karena bisa
menimbulkan dampak serius bagi petani yang mengakibatkan kerugian bagi mereka.
Misalnya mengumpulkan plasma nutfah yang ternyata setelah diedarkan, tanpa izin
dan tanpa dilepas oleh Pemerintah, hasilnya tidak baik atau kurang dari yang
seharusnya atau malahan sama sekali tanpa hasil. Akan tetapi bagi perorangan
petani kecil yang sehari-hari bergerak untuk mempertahankan hidup dan kehidupan
mereka di sektor pertanian adalah tidak mungkin, kalau tidak dapat dikatakan
mustahil akan berbuat sesuatu yang merugikan diri mereka sendiri. Lebih dari
itu, sebagai petani kecil warga negara Indonesia, Pemerintah yang berkewajiban,
antara lain, untuk memajukan kesejahteraan umum, harus membimbing dengan
melakukan pendampingan kepada mereka, bukan malahan mempersulit mereka dengan
keharusan mendapat izin. Selain itu, petani kecil sebetulnya telah melaksanakan
pencarian dan pengumpulan plasma nutfah dalam kegiatan pertaniannya semenjak
lama, bahkan dapat dikatakan juga menjadi pelestari karena dengan pola
pemilihan tanaman sebetulnya petani telah memilih varietas tertentu yang
dianggap menguntungkan.
Potensi
petani kecil tersebut sangatlah besar, sehingga Pemerintah wajib melindungi.
Apabila ada usaha-usaha petani yang tujuannya untuk mendapatkan varietas atau
benih yang baik, Pemerintah wajib untuk memberikan bimbingan sejak dini supaya
upaya tersebut dapat berhasil dengan baik dan tidak hanya terlibat dalam proses
akhir yaitu pemberian sertifikasi saja. Petani menanggung sepenuhnya atas
usaha-usaha yang dilakukan dan resiko atas gagalnya usaha tersebut. Dengan
demikian, Pemerintah harus aktif untuk membantu petani yang berusaha untuk
menemukan varietas yang baik tidak terbatas pada perencanaan yang dilepas saja.
Berdasarkan
pertimbangan tersebut diatas, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 9 ayat (3)
Undang-Undang a quo bertentangan
dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai bahwa izin dimaksud tidak berlaku
bagi perorangan petani kecil yang melakukan kegiatan berupa pencarian dan
pengumpulan plasma nutfah untuk dirinya maupun komunitasnya sendiri;
Selain itu, terkait Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) UU
12/1992 yang dimohonkan pengujian konstitusionalnya oleh para Pemohon
menyatakan:
(1) Varietas
hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih
dahulu dilepas oleh Pemerintah;
(2) Varietas
hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dilarang diedarkan.
Menurut Mahkamah, mengenai hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri
yang menurut ketentuan Pasal a quo
sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah dilarang diedarkan.
Ketentuan tersebut merupakan salah satu bentuk kewaspadaan Pemerintah untuk
mencegah tindakan sabotase di sektor pertanian, khususnya varietas hasil
pemuliaan dan introduksi dari luar negeri. Akan tetapi khusus varietas hasil pemuliaan
dalam negeri yang dilakukan oleh perorangan petani kecil, yang mata pencaharian
mereka dari hasil pertanian, bahkan secara turun temurun berkecimpung dalam
dunia pertanian adalah tidak mungkin atau bahkan mustahil akan melakukan
sabotase pertanian, sebab hal itu berarti melakukan sabotase terhadap kehidupan
sendiri. Perorangan petani kecil pada umumnya justru mewarisi atau memiliki
kearifan lokal di sektor pertanian yang dapat ditumbuhkembangkan untuk ikut
memajukan sektor pertanian. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal
12 ayat (1) UU 12/1992 yang mengharuskan pelepasan oleh Pemerintah, dan melarang
pengedaran hasil pemuliaan dan introduksi dari luar negeri pada ayat (2) yang
tidak lebih dahulu dilepas oleh Pemerintah, bertentangan dengan konstitusi,
sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku bagi hasil
pemuliaan tanaman yang dilakukan oleh perorangan petani kecil dalam negeri
untuk komunitas sendiri;
Sedangkan
terkait dengan Pasal 60 ayat (1) huruf a dan huruf b, ayat (2) huruf a dan
huruf b UU 12/1992 yang menentukan:
(1) Barangsiapa
dengan sengaja:
a. mencari dan mengumpulkan plasma nutfah tidak berdasarkan
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3);
b. mengedarkan hasil pemuliaan atau introduksi yang belum
dilepas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);
(2) Barang
siapa karena kelalaiannya:
a. mencari dan mengumpulkan plasma nutfah tidak berdasarkan
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3);
b. mengedarkan hasil pemuliaan atau introduksi yang belum
dilepas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);
Menurut Mahkamah, baik Pasal 60 ayat (1) huruf a dan
huruf b, keduanya merujuk pada Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 12 ayat (2). Demikian
pula Pasal 60 ayat (2) huruf a dan huruf b juga merujuk pada Pasal 9 ayat (3)
dan Pasal 12 ayat (2), yang kedua ketentuan tersebut sebagaimana
dipertimbangkan di atas dinyatakan bertentangan dengan konstitusi sepanjang
tidak dimaknai bahwa ketentuan keharusan ada izin tidak berlaku bagi perorangan
petani kecil yang melakukan kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah
untuk komunitasnya sendiri. Adapun terhadap ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang a quo,
Mahkamah telah mempertimbangkan bahwa khusus terhadap varietas hasil pemuliaan
yang dilakukan oleh perorangan petani kecil dalam negeri untuk komunitas
sendiri, tidak diharuskan adanya pelepasan oleh Pemerintah dan pengedaran untuk
komunitasnya sendiri dapat dilakukan tanpa adanya pelepasan oleh Pemerintah.
Dengan demikian, karena telah berubahnya makna Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 12
ayat (2) Undang-Undang a quo
sebagaimana dipertimbangkan di atas, maka ketentuan pidana dalam pasal a quo yang merujuk Pasal 9 ayat (3) dan
Pasal 12 ayat (2) menjadi berubah maknanya sesuai pertimbangan di atas;
Adapun bunyi amar putusan Mahkamah dalam perkara Nomor 99/PUU-X/2012 adalah sebagai berikut:
AMAR
PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1.
Frasa “perorangan” dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk perorangan petani kecil”;
1.2.
Frasa “perorangan” dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan
untuk perorangan petani kecil”;
1.3.
Pasal
9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478), menjadi menyatakan, “Kegiatan pencarian
dan pengumpulan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat
dilakukan oleh perorangan atau badan hukum berdasarkan izin kecuali untuk
perorangan petani kecil”;
1.4.
Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk perorangan petani kecil
dalam negeri”;
1.5.
Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan
untuk perorangan petani kecil dalam negeri”;
1.6.
Pasal
12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478) menjadi menyatakan, “Varietas hasil
pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu
dilepas oleh Pemerintah kecuali hasil pemuliaan oleh perorangan petani kecil
dalam negeri”;
2.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
3. Menolak
permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
=====
Link Putusan Mahkamah Konstitusi >>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar